"Silakan masuk, Tuan Muda."
Erik segera membukakan pintu rumahnya untuk Killian. Lelaki tampan bersurai hitam itu sesaat berdiri diam, mengedarkan pandangan ke bagian dalam rumah yang tidak terlalu luas, tapi apik itu."Maaf atas kesederhanaan di rumah saya ini, Tuan Muda," ujar Erik lagi, segera berjalan ke arah dapur yang berdampingan dengan ruang tamu dengan konsep open kitchen tersebut. "Anda ingin minum apa? Biar saya buatkan."Berdeham, untuk beberapa saat Killian masih belum menemukan kata-kata yang bisa dia ucapkan. "Nggak perlu repot-repot, Erik. Dan jangan terlalu sungkan karena di sini akulah yang menumpang.""Jangan berkata seperti itu, Tuan Muda. Silakan anggap rumah ini sebagai rumah Tuan Muda sendiri," sahut Erik, yang akhirnya memutuskan untuk membuatkan Killian segelas jus jeruk dingin."Kamu tinggal sendirian di sini, Erik?" tanya Killian sambil mengelilingi ruang tamu dan mengamati semua benda yang ada di sana. Perhatiannya kemudian tertaSuara robekan kain bergema di tengah keheningan.Lelaki itu menarik pinggul perempuan muda di depannya dengan kasar, dia mengangkatnya ke atas meja kerja yang sudah berantakan dan merentangkan kaki sang perempuan muda di depannya.Suara erangan tidak dapat dicegah untuk keluar dari sepasang bibir yang semerah buah ceri ketika jemari sang lelaki meluncur di antara kedua kaki dan mendesak masuk ke dalam dirinya. "Ngh! Ngh! Ngh!" erang sang perempuan muda yang sebenarnya baru akan beranjak sembilan belas tahun itu. Kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri secara tidak beraturan, bukan karena menolak perbuatan sang lelaki, tapi karena gelombang kenikmatan yang dia rasakan.Kepalanya terkulai ke samping sementara perempuan muda itu menyangga tubuhnya dengan kedua siku, merasakan ledakan gairah yang semakin mendekat dengan cepat.Ada rintihan protes yang terdengar kala sang lelaki justru berhenti bergerak dan menarik jemarinya. Rasanya sangat membuat frustasi ke
Killian tidak menyangka bahwa akan ada banyak kejutan yang akan dia terima hari ini.Kejutan pertama dia terima ketika tiba di kediaman keluarga Reynault.Ini masih pukul tujuh pagi, waktu yang terlalu pagi untuk datang berkunjung ke kediaman seseorang, tapi Killian tidak peduli. Toh, baginya Aiden bukan orang lain. Hubungan mereka akhir-akhir ini memang sempat renggang dan memburuk, tapi bagaimana pun juga mereka sudah tumbuh bersama sejak kecil.Oleh karena itulah, pagi ini bahkan saat si penjaga gerbang pun masih terlihat begitu mengantuk, Killian dengan cuek masuk begitu saja. Pintu rumah sudah dipastikan terkunci, tapi itu bukan masalah karena lelaki bersurai hitam itu masih menyimpan kunci cadangan yang dia miliki saat terakhir kali masuk tanpa ijin dulu.Ada kernyit di dahi Killian saat merasakan betapa sepi kediaman yang tidak bisa dikata kecil ini. Walau tidak sebesar kediaman utama keluarga Ardhana, tapi kediaman keluarga Reynault ini juga terbilang cuk
Kejutan yang kedua untuk hari ini pun, sudah menunggu Killian."Apa yang dia lakukan di sini?""Bagaimana kalau kamu tanyakan saja langsung padaku? Alih-alih menganggapku hanya sebagai pajangan dinding semata."Rahang Killian terlihat menegang, dengan tubuh kaku dia memandang lurus, sama sekali tidak menghiraukan ucapan terakhir yang dia dengar.Hari ini dia ada rencana untuk bertemu dengan rekanan bisnis yang juga adalah teman semasa kuliahnya dulu, Ayik Yuwendi, yang merupakan CEO sekaligus anak dari pemilik Yuwendi Corporations.Ada proposal kerja sama yang perlu mereka bicarakan dengan lebih mendalam dan Ayik pun mengundang Killian untuk datang ke ruang kantornya satu jam sebelum waktu makan siang.Namun sewaktu dia diantar ke ruang kerja Ayik, di sana sudah ada kejutan yang menyambut.Di dalam ruangan yang elegan itu, Ayik Yuwendi tidak seorang diri, tapi ada Andreas Rezef Callisto beserta asisten pribadinya, Ronald, yang sudah menunggu.
Di kediaman Ardhana.Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, dan di ruang keluarga saat ini tengah terjadi situasi yang menegangkan."Apa katamu tadi?" Menggeram dengan sepasang alis yang mencuram dan tubuh yang menegang, Gallahan Ardhana terlihat murka. "Coba ulangi ucapanmu tadi, Aiden!"Menarik napas dengan susah payah, sekarang Aiden merasa seolah ingin menggali tanah lalu mengubur dirinya sendiri. Setidaknya, dia tidak perlu menghadapi Gallahan yang auranya semakin menggelap saja.Ah, sial! Kalau saja Killian tidak ikut campur. Yang dia lakukan saat ini tidak ada bedanya dengan sebuah pernyataan bunuh diri."Aku pasti nggak akan kesulitan seperti sekarang," gerutunya dengan hati merasa nelangsa, tapi juga kesal. "Si Cowok Iblis itu ... benar-benar merepotkan saja!"Ada gerakan kecil dan Aiden merasakan ada yang meremas samping kemejanya. Melirik, dokter muda itu bisa melihat Aisa yang juga sama pucat. Menghela napas berat, Aiden lalu mencoba unt
Dahi Aila berkerut. Sepasang mata abunya menatap tidak percaya atas apa yang dia lihat sekarang."Ibu?" tanyanya, merasa kaget karena Risa yang menghambur berlari dan langsung memeluknya setelah turun dari mobil. "Sayang. Aila. Nak. Bagaimana keadaanmu? Apa kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka? Mana yang sakit, Nak? Mana?" Aila hanya sanggup mengerjap-ngerjap, merasa bingung dengan rentetan pertanyaan Risa."Satu-satu, Sayang," tegur Heri, yang sudah menyusul turun dari mobil dan menghampiri mereka. "Putrimu itu pasti kebingungan kalau kamu memberondongnya dengan pertanyaan seperti itu. Lagi pula, ayo kita masuk dulu. Jangan berdiri di depan pintu seperti ini."Masih juga merasa kebingungan dengan kedatangan Heri dan Risa yang tiba-tiba, Aila menurut saja ketika digandeng ibunya masuk."Bagaimana kabarmu?" tanya Risa lagi, menarik agar Aila duduk di sebelahnya. "Lalu, di mana Lusi? Apakah dia sedang tidur siang?"Belum sempat Aila berhasil m
Kediaman ArdhanaSeperti biasa Gallahan sedang menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam ruang kerja, berkutat di antara begitu banyak pekerjaan yang ada. Absennya Killian sejak beberapa bulan lalu benar-benar membuat pria yang sudah tidak lagi muda itu nyaris terkubur dalam kesibukan. Bahkan demi lebih mempermudah dan mempercepat Gallahan untuk menyelesaikan semua urusan, dia pun sudah belajar mempergunakan sistem yang sebelumnya sudah dipakai oleh Killian, termasuk tiga orang sekretaris yang dia pekerjakan sekaligus, khusus untuk membantunya."Tapi kenapa semua pekerjaan ini seperti tidak ada habis-habisnya?" tanyanya, entah kepada siapa dengan nada menggerutu. "Bagaimana Killian dulu bisa menangani semua ini sendirian, ya? Tugas sebagai kepala keluarga ternyata ternyata begitu banyak, yang satu belum selesai, sudah datang lagi yang lainnya. Haish!"Meletakkaan semua laporan yang ada, Gallahan memilih untuk meregangkan badan. Dalam hati dia mengakui, bahwa
Setelah sekian lama, akhirnya wajah Gallahan terlihat cerah juga."Nak, apakah kamu baik-baik saja?" tanyanya, benar-benar merasa khawatir. "Lelaki brengsek itu tadi tidak melukaimu 'kan?""Tuan Bes— ehm, maksud saya, Tuan Gal, kalau Anda ingin, kami masih bisa mengejarnya sekarang," tawar salah satu pengawal, sedikit berkeringat dingin saat mendapat lirikan tajam dari Gallahan."Saya tidak apa-apa kok, Kek," sahut perempuan berambut hitam yang tidak lain adalah Aila itu. "Sungguh. Jadi jangan repot-repot."Tersenyum, Gallahan pun mengangguk. "Baiklah, tapi sebagai gantinya, biar Kakek yang mengantarmu, ya? Ah, atau sudah ada keluarga yang akan menjemputmu?"Aila tersenyum. Tentu saja jawabannya adalah tidak ada.Dia saja saat ini sedang kabur. Jadi, mana mungkin ada orang dari keluarga Roxanne yang akan datang menjemputnya?"Sayangnya, tidak ada, Kek," ujarnya sambil menggeleng, menurut saja ketika salah seorang pengawal Gallahan meminta dengan sopan untuk memb
"Apakah tidak akan ada masalah, Tuan Besar?""Apa maksudmu, Raf?""Bukankah rencana semula kita pergi ke bandara adalah untuk mengejar jejak Tuan Muda?" tanya Rafael, sekaligus mengingatkan Gallahan. "Menurut informasi yang kita terima, bukankah Tuan Muda hari ini mengambil penerbangan dengan tujuan Adelaide, dan kemungkinan besar beliau akan bertemu dengan perempuan tersebut. Bukankah Tuan Besar sendiri yang mengatakan ingin menemui langsung perempuan perusak rumah tangga itu?"Gallahan diam, berlagak seolah sibuk mengamati kesibukan jalan raya di luar jendela mobilnya. "Oh, entahlah, Raf," ujarnya kemudian, setelah sepuluh menit penuh Rafael bersikeras memandanginya, menuntut sebuah penjelasan. "Seperti yang kamu tahu sendiri, bagaimana mungkin aku diam saja ketika melihat Aila sedang diganggu oleh seorang lelaki asing seperti itu?""Apakah itu yang menjadi alasan utama bagi Tuan Besar untuk membatalkan secara mendadak penerbangan yang sudah susah payah saya atur,