Sepasang mata yang segelap langit malam itu terbuka.
Killian terdiam beberapa saat, mencoba menyerap keadaan sekitar, sampai kemudian dia teringat tengah berada di mana. Raut wajah yang semula dingin itu pun melembut, saat menemukan sosok mungil yang tengah meringkuk dalam dekapan. Hembusan napas hangat yang teratur menyapu permukaan dada telanjangnya pun menghantarkan berbagai gelenyar menyenangkan ke seluruh tubuh."Kiska," gumamnya dengan nada nyaris memuja, menyadari betapa tenteram hatinya saat ini.Ujung jari Killian bergerak perlahan, menyibakkan beberapa helai rambut Aila yang terjuntai menutupi sebagian wajah, lalu dia selipkan ke balik telinga. Menunduk, lelaki bersurai hitam itu pun mencium puncak kepala perempuan yang sudah berhasil mendapatkan hatinya. Di sana, Killian sengaja diam berlama-lama sebelum kemudian ciumannya turun ke dahi, lalu ke kedua kelopak mata yang tertutup dalam lelap tidur.Semua itu dia lakukan dengan lembut dan berhati-hati, seSuasana di pukul dua dini hari itu begitu hening. Bahkan karena saking heningnya, suara detak jam dinding pun sampai bisa terdengar jelas.Seekor cecak baru saja merayap dari dinding ke plafon ruang tamu, saat ada sosok tubuh seseorang yang melayang. Seolah dilempar begitu saja dari lantai dua, tubuh itu melambung, membentur dan menabrak-nabrak meja dan juga kursi serta hiasan yang mengisi ruang tamu, sebelum akhirnya jatuh dengan suara derakan yang keras.Arthur mengerang. Sekujur tubuhnya kesakitan, seolah semua tulang sudah patah dan remuk. Punggung pun berderak ketika dia sedikit bergerak, dan ada tusukan tajam serta menyakitkan di bagian dada, membuat pria separuh baya itu berpikiran bahwa ada tulang rusuk dan tulang punggung yang kemungkinan memang mengalami retak."Siapa?!" tanyanya, berusaha memasang suara bentakan di antara nada mengaduhnya. "Siapa kamu? Kenapa kamu berada di dalam kamar tidur keponakanku? Apakah kamu seorang pencuri yang menyusup masuk? Ha?!
Hampir pukul empat dini hari di Adelaide, Australia.Sebuah mobil Bugatti La Voiture berwarna hitam nyaris tidak terlihat sewaktu melesat di jalanan Adelaide yang sepi. Suara mesinnya pun sangat lirih sehingga tidak sampai mengoyak keheningan malam yang masih tersisa.Killian mencengkeram setir mobilnya kuat-kuat. Rahangnya menegang dan sesekali lelaki tampan itu memejamkan kedua matanya dengan raut wajah kaku.Hingga saat ini pun kemarahan lelaki itu belum juga susut, bahkan kalau boleh dikata, malah semakin berkobar. Menarik napas dalam dan menggertakkan rahang, Killian berusaha kuat agar kakinya tidak bablas menjejak pedal gas lebih dalam, yang hanya akan membuat laju mobil Bugatti miliknya melesat semakin cepat.Melirik sekilas, Killian memastikan keadaan Aila yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya.Kalau saja tidak ada istrinya itu, pasti sekarang dia akan lebih mengebut lagi. Apalagi, saat pikiran Killian berkecamuk seperti saat ini."F*ck!"
Keesokan paginya.Aila mengerang dalam tidurnya. Perempuan berambut coklat itu sesaat menggeliat sebelum akhirnya membuka mata.Ada beberapa saat yang dia habiskan untuk memastikan penglihatan, merasa heran dengan tempat di mana dia berada, membuat sepasang alisnya pun bertaut.Bukankah seharusnya dia berada di dalam kamar tidurnya? Lalu, ini di mana?Meski masih belum melihat ke sekeliling pun, Aila bisa menyadari betapa mewah tempatnya berada sekarang. Sebagai misal, kasur super empuk dan super nyaman tempatnya tidur sekarang ini."Kills?" panggilnya dengan suara serak, khas bangun tidur. "Kills, kamu di man- Akh!"Aila baru saja sedikit mengangkat tubuh hendak bangun, ketika kepalanya mendadak terasa sakit. Rasanya seolah ada sesuatu yang sangat kuat mencengkeram, membuat perempuan bermata abu itu merasa berat dan mual. Meringis dan berdesis nyeri, dia pelan-pelan berusaha untuk duduk sambil memijit pelan pelipisnya.Ini ... kenapa?"Kiska?
Pukul 11:45 pmBandara Udara Internasional Adelaide1 James Schofield Dr, Adelaide AustraliaSebuah mobil Bugatti La Voiture berwarna hitam meluncur masuk ke jalur runway bandara dan berhenti persis di dekat sebuah pesawat jet.Beberapa pria dengan setelan jas yang semula berdiri di sekitar pesawat pun segera memasang postur badan yang lebih tegak, dan ketika sang pengendara membuka pintu bagian pengemudi lalu keluar dari mobil, secara serentak mereka pun menundukkan kepala untuk menghormat."Selamat malam, Tuan Muda," sapa seorang lelaki dengan setelan jas yang seragam dengan yang lain dan memiliki rambut berwarna merah, Ethan Shaw. "Semua sudah kami siapkan, sesuai dengan permintaan Tuan Muda."Sebelah alis lawan bicaranya terangkat, dan dengan tanggap, Ethan menjawab pertanyaan yang dilontarkan dalam diam itu."Saya sendiri yang sudah memastikan ulang semuanya, Tuan Muda. Mansion baru untuk Nyonya Muda sudah siap, Nyonya Lewis sudah dirawa
"Jangan memandangku seperti itu," sergah Ansia sambil mendengus kesal. "Lalu jangan pula bertanya padaku. Tanyakan saja pada lelaki tua yang sejak tadi kerjanya hanya marah-marah melulu itu. Dia juga yang sudah memaksa aku untuk datang.""Nona Muda, sudah berapa kali saya ingatkan agar Anda bisa bersikap lebih sopan terhadap beliau?" potong, Rafael, seorang pria yang terlihat seumuran dengan Erik. Pria yang tidak lain adalah asisten pribadi Gallahan itu pun menatap Ansia dengan ekspresi wajah yang jelas menunjukkan rasa tidak suka."Dan berapa kali pula sudah kukatakan, bahwa namaku adalah Ansia, bukan 'Nona Muda'?" balas Ansia dengan nada yang tidak kalah kesalnya. "Lagi pula, nggak perlu memanggilku 'Nona Muda'. Panggilan semacam itu, kedengarannya kuno sekali. Ck!"Pria separuh baya itu sudah membuka mulut, berniat untuk membalas omongan pedas Ansia, ketika Gallahan mengangkat sebelah tangan dan membuatnya langsung terdiam."Ian," panggilnya, membuat Killian yang seja
"Haa .... Sial sekali." Menengadahkan kepala dan menyergah napas, Killian pun menggerutu. Menggertakkan rahangnya, lelaki bersurai hitam itu sama sekali tidak mengira kalau dia harus keluar dari kediaman Ardhana dengan berjalan kaki seperti ini. Arah dari pelataran depan sampai ke gerbang keluar bukanlah jarak yang cukup dekat. Jangankan dengan berjalan kaki, saat menaiki mobil saja setidaknya masih membutuhkan waktu lebih dari lima menit untuk bisa melewati halaman depan kediaman utama keluarga Ardhana yang luas ini. "Lalu, sekarang aku malah harus jalan kaki," Killian mendengus kesal. "What a perfect damn!" "Si Pak Tua itu ... dia memang benar-benar menyebalkan." Sambil berjalan, Killian pun meneruskan lagi gerutuannya. "Setelah sekian tahun dia enak-enakan menghabiskan waktu untuk berkeliling dunia, bersenang-senang dengan dalih ingin melupakan kesedihan akibat kematian Nenek. Sementara itu, bagaimana denganku?" Berbalik dan memandang
"Silakan masuk, Tuan Muda."Erik segera membukakan pintu rumahnya untuk Killian. Lelaki tampan bersurai hitam itu sesaat berdiri diam, mengedarkan pandangan ke bagian dalam rumah yang tidak terlalu luas, tapi apik itu. "Maaf atas kesederhanaan di rumah saya ini, Tuan Muda," ujar Erik lagi, segera berjalan ke arah dapur yang berdampingan dengan ruang tamu dengan konsep open kitchen tersebut. "Anda ingin minum apa? Biar saya buatkan."Berdeham, untuk beberapa saat Killian masih belum menemukan kata-kata yang bisa dia ucapkan. "Nggak perlu repot-repot, Erik. Dan jangan terlalu sungkan karena di sini akulah yang menumpang.""Jangan berkata seperti itu, Tuan Muda. Silakan anggap rumah ini sebagai rumah Tuan Muda sendiri," sahut Erik, yang akhirnya memutuskan untuk membuatkan Killian segelas jus jeruk dingin."Kamu tinggal sendirian di sini, Erik?" tanya Killian sambil mengelilingi ruang tamu dan mengamati semua benda yang ada di sana. Perhatiannya kemudian terta
Suara robekan kain bergema di tengah keheningan.Lelaki itu menarik pinggul perempuan muda di depannya dengan kasar, dia mengangkatnya ke atas meja kerja yang sudah berantakan dan merentangkan kaki sang perempuan muda di depannya.Suara erangan tidak dapat dicegah untuk keluar dari sepasang bibir yang semerah buah ceri ketika jemari sang lelaki meluncur di antara kedua kaki dan mendesak masuk ke dalam dirinya. "Ngh! Ngh! Ngh!" erang sang perempuan muda yang sebenarnya baru akan beranjak sembilan belas tahun itu. Kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri secara tidak beraturan, bukan karena menolak perbuatan sang lelaki, tapi karena gelombang kenikmatan yang dia rasakan.Kepalanya terkulai ke samping sementara perempuan muda itu menyangga tubuhnya dengan kedua siku, merasakan ledakan gairah yang semakin mendekat dengan cepat.Ada rintihan protes yang terdengar kala sang lelaki justru berhenti bergerak dan menarik jemarinya. Rasanya sangat membuat frustasi ke