Ada perasaan mengganjal yang dirasakan Aila.
Bukankah tadi Noah mengajaknya ke hotel tempat lelaki itu menginap, agar mereka bisa bicara dengan nyaman?
Namun meski Aila sudah setuju, perasaan gadis itu tetap merasa tidak enak.
"Ada apa?" tanya Noah saat dia menggandeng Aila, tapi gadis itu langsung menarik lepas tangannya.
"Ng ... aku bisa jalan sendiri, Noah." Sambil tersenyum, gadis itu mencoba menutupi kegelisahan yang dia rasakan. "Apa kita nggak bisa bicara di sini saja?" tanyanya, saat mereka sampai di lobi hotel.
Dahi Noah berkerut. Rencana awalnya dia akan mengajak Aila masuk ke kamar hotel lalu menjebak gadis itu di sana. Tapi kalau nanti dia berkesan terlalu memaksa, dia juga tidak mau kalau Aila malah jadi curiga.
'Dari tadi saja sikapnya sudah dingin begini terhadapku,' gerutu Noah dalam hati. 'Siapa sebenarnya yang sudah mengubah gadis ini sampai berubah begini? Terlihat begitu waspada dan nggak mudah mempercayai orang. Pa
"Noah, where else are we going??" "Home, Princess." "Home? What do you mean by home?" Aila memandang tajam ke arah Noah yang memasang ekspresi kaku. Sekarang jelas sudah bagi gadis itu bahwa keputusan yang dia ambil tadi untuk mengikuti Noah adalah salah. "Berhenti, Pak!" serunya ke arah supir taksi. "Tolong berhenti di sini." "Jalan terus! Jangan berani-berani berhenti," sergah Noah, tidak mau mengalah. Tidak cukup sampai di situ, lelaki itu lalu menarik pergelangan tangan kanan Aila lalu mencengkeramnya, membuat cincin yang melingkar di jari manis gadis itu, bisa dia lihat dengan jelas. "Apa ini, Princess?" desisnya marah. "Cincin apa ini? "Noah, itu—" "Tadi sewaktu aku berada di dalam kamar hotel, bibimu meneleponku. Rupanya ibu kandungmu baru saja menghubungi, memberi tahunya soal kabarmu. Kalau hanya itu, aku bisa paham, Princess. Tapi, apa ini? Kabar apa yang kuterima ini? Apa benar kalau kamu sudah menikah? Hah?!"
'Sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri,' ujar sang pemuka agama dengan senyuman bersahajanya. 'Mempelai pria, dipersilakan untuk mencium mempelai wanita.'Kabur. Segalanya terlihat kabur. Bahkan wajah sang lelaki yang sekarang mendekatinya dan tersenyum itu pun, tidak jelas terlihat.Siapa? Siapa lelaki yang sekarang membelai pipinya dengan lembut ini?Rasanya seperti kenal, tapi di saat yang sama juga terasa asing. Entahlah. Pikiran ini seakan-akan tidak bisa diajak fokus untuk sekarang.Segalanya terasa buram dan membingungkan, sampai kemudian sepasang mata hitam yang segelap langit malam tanpa bintang itu masuk ke area penglihatannya.Meski dia tahu bahwa sepasang mata hitam itu tidak mampu melihat, tapi seolah ada sebuah magnet kuat yang membuatnya tidak sanggup untuk mengalihkan pandangan, seolah memaksanya untuk terus memaku pandangan ke arah sana.Lalu, sewaktu sebuah suara lirih terdengar, seketika saja kesadaranny
Saat ini Erik luar biasa gusar. Pengawal yang biasanya selalu bisa bersikap tenang di segala kondisi apa pun itu, sekarang terlihat sangat gelisah. Killian menghilang. Sebelumnya beberapa saat lalu, dia menerima laporan dari petugas keamanan bandara mengenai seseorang bernama Noah Albern yang berhasil mereka temukan. Erik masih berusaha mencari tahu, apakah ada seorang gadis dengan ciri tertentu yang ada bersama lelaki itu. Menemukan Aila jauh lebih penting baginya dibanding lelaki yang para petugas keamanan itu temukan, malah sebenarnya pengawal itu tidak terlalu peduli soal lelaki asing bernama Noah Albern. Namun belum sampai laporan tersebut dia terima secara tuntas, Killian yang sejak tadi terus berada di dekatnya tiba-tiba saja menghilang. "Ke mana sebenarnya Tuan Muda pergi?" gumamnya, berkeliling dan mencari keberadaan Killian. "Padahal tadi beliau masih ada di dekatku, kenapa tiba-tiba saja tidak ada?" Berhenti untuk me
Jelas ada yang salah. Meski begitu, Killian masih belum tahu juga soal penyebabnya."Kiska, stop! Hentikan," desis Killian, mencoba menahan gerakan Aila yang sejak tadi terus mencumbunya. "Sayang, hentikan. Kumohon."Namun seolah tidak mendengarkannya, Aila masih terus saja menciumi Killian. Sekujur tubuh Killian merinding saat bibir mungil gadis itu bermain di tengkuknya. Lelaki itu bahkan harus mengepalkan tangan kuat-kuat demi menahan desahan saat lidah basah Aila menyapa kulit lehernya.Wajah tampan yang biasanya nyaris tanpa ekspresi itu, kini terlihat merah padam. Bukan karena amarah, tapi karena menahan gairah."Kiska," geram Killian dengan suara yang mulai serak. Napas lelaki itu pun sudah semakin berat. "Hentikan atau aku nggak akan sanggup menahannya lagi."Namun sebagai jawabannya, gadis yang biasanya akan menghindar bila Killian mencumbunya itu, kali ini justru menangkup wajah Killian dengan kedua tangan lalu mencium mesra bibir yang se
Seumur hidup, rasanya Killian belum pernah mengalami kejutan sebesar ini."Kills?"Aila merengek memanggilnya. Pengaruh dari permen berisi obat perangsang yang tadi diberikan oleh Noah, masih begitu mempengaruhi gadis itu, membuatnya sangat mendambakan sentuhan."Kills .... Kills ...," panggilnya berulang kali, tapi dengan cepat Killian justru mundur menjauhinya. Lelaki buta itu bersikap seolah Aila adalah sesuatu yang harus dihindari. "Killian ....""Tetap di tempatmu, Kisk— Ma—maksudku, A—" Pertama kali dalam hidupnya pula, Killian mengalami susah bicara sampai harus terbata-bata seperti ini. Dia pun terpaksa berkali-kali menelan ludah hanya demi menyelesaikan kalimatnya. "Ai—la?"Masih dibutakan oleh gairah, Aila tidak mengerti dengan sikap lelaki itu yang sekarang justru menjauhinya."Kills!" panggilnya, setengah memerintah, setengah memohon. "Kemari. Kumohon. Mendekatlah, Kills?"Berjengit sewaktu Ai
"Ngghhnn ... nghnn ... ugh!"Pinggang lelaki itu bergerak naik turun dengan cepat. Sesekali gerakannya mengarah ke kanan dan ke kiri, bahkan memutar beberapa kali sebelum akhirnya kembali maju mundur.Peluh yang saat ini membanjir pun tidak mengurangi atau bahkan mengganggu aktifitas. Yang ada, ritme gerakan malah semakin cepat dan bertenaga seolah tanpa kenal lelah, seakan ada sesuatu yang tengah dikejarnya."Hngh! Ahn! Ahn! Hngh!" erang lelaki itu, di antara deru napasnya yang semakin memburu.Suara decakan, erangan dan desahan saling beradu, mengisi ruangan tempat mereka saling menyatu yang justru terdengar bagaikan penambah semangat.Sebentar lagi. Tinggal sebentar lagi.Deru napas semakin tidak teratur. Hawa panas pun kian bertambah, membuat dinginnya AC yang menyala kencang sama sekali tidak ada pengaruhnya.Geliat dan goyangan yang bergerak dari gadis yang ditindihnya pun, semakin mengantarkan rasa semangat untuk memacu lebih k
Aila mengerang dalam tidurnya.Mengerutkan dahi, perlahan sepasang mata abu itu terbuka.Ini ... di mana?Hal pertama yang dia rasakan setelah terbangun dari tidur adalah rasa pusing yang teramat sangat. Perlu beberapa menit bagi gadis itu untuk memejamkan kedua matanya rapat-rapat sambil mencengkeram erat sprei, sekedar berusaha memfokuskan pandangan yang terus berputar.Ini ... apakah ini kamar Killian?Bertumpu dengan sebelah sikunya, gadis bersurai coklat itu berusaha untuk bangun. Namun, di detik yang sama dia langsung mengernyit dan mengaduh, lalu kembali berbaring.Kenapa seluruh tubuhnya terasa lemas dan pegal-pegal, ya?"Kills?" panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur. Namun setelah beberapa waktu berselang pun, lelaki bersurai hitam itu tidak juga berhasil tertangkap oleh pandangannya.Killian ada di mana? Kenapa dia hanya sendirian di sini? Lagi pula, kenapa dia berada di kamar ini? Bukankah, terakhir kali ha
Rasanya jantung Aila nyaris meledak saja."Coba buka mulutmu, Kiska," pinta Killian sambil mengangkat sepotong sandwich telur, jelas sekali terlihat kalau lelaki itu ingin menyuapi Aila."Ng, Kills .... Aku bisa makan sendiri," gumam Aila dengan wajah yang semakin bersemburat merah."Tapi aku ingin menyuapimu. Apa nggak boleh?""Itu—"Memandang tidak berdaya ke arah Erik, yang sangat jelas terlihat berusaha keras menahan senyuman, Aila menghela napas putus asa."I—ini yang terakhir, Kills," gerutunya dengan wajah cemberut, karena sejak tadi Killian terus menerus menyuapinya. "Aku bukan anak kecil, jadi biarkan aku makan sendiri.""Yang mengatakan kalau kamu anak kecil itu siapa, Kiska?" kekeh Killian, mengusap permukaan bibir Aila untuk memastikan tidak ada sisa sandwich yang berantakan, lalu setelahnya, lelaki itu pun menjilat jarinya sendiri. "Kamu memang bukan anak kecil, tapi kalau urusan membuat anak kecil, pasti bisa