Seluruh penghuni kediaman Ardhana sangat bersemangat dan bergairah hari ini.
"Pastikan semua sudah beres sebelum beliau bangun."
"Kami bertiga akan membersihkan semua lorong dan kamar di lantai dua. Yang lain, tolong atur tugas masing-masing, ya."
"Kalian jangan sibuk sendiri, tolong bantu aku! Apa menu sarapan kesukaan beliau? Apa yang harus kumasak?"
Sontak semua pelayan yang ada, tertawa. Wajah kepala koki yang garang itu, sekarang malah terlihat lucu karena panik. Mereka tidak menyangka kalau orang yang selama ini kaku soal segalanya itu, bisa panik seperti ini.
"Tuan Erik! Jangan hanya diam dan minum kopi dengan santai! Cepat beri tahu aku, apa saja menu kesukaan Nona!"
Plakk!
Sebuah pukulan keras mendarat di lengannya. Dengan wajah berkerut seram, kepala koki menoleh hendak marah, sampai akhirnya melihat bahwa yang memukul tadi adalah wakil kepala koki yang notabene adalah sang istri sendiri. Seketika, lelaki baya itu pun langsu
Bulan madu?Killian mengacak-acak rambutnya dengan kesal.Jadi, alasan kenapa ibunya mendadak datang dan marah-marah tidak jelas seperti ini adalah karena masalah bulan madu?"Ibu sudah menyiapkan semuanya untuk bulan madu kalian. Bahkan Ibu juga sudah mewanti-wanti Erik agar memastikan semua berjalan dengan lancar. Tapi apa? Nyatanya, kalian malah masih ada di sini," sembur Ivona, memandang kesal ke arah Killian dan Erik bergantian.Diam-diam Erik menghela napas lega. Pengawal paruh baya itu sebenarnya dalam hati sudah cemas kalau perbuatannya yang membakar buku nikah semalam, ketahuan."Bu, ini bukan saat yang tepat untuk bulan madu," sahut Killian."Bukan saat yang tepat? Memangnya kenapa, Ian? 'Kan bagus kalau kalian pergi bulan madu setelah menikah. Siapa tahu 'kan kalau kalian bisa segera memiliki anak?"Ivona masih saya mengeyel. Perempuan itu benar-benar berharap agar menantunya segera hamil.'Dengan begitu, dia tidak a
Satu hari sebelumnyaHotel J.W MarriottDeluxe RoomNoah merasa luar biasa kesal.Dia sudah berusaha menghubungi nomor kontak keluarga Roxanne berulang kali, tapi hasilnya nihil. Baik Heri maupun Risa Roxanne, keduanya sama-sama tidak bisa dihubungi."Apa nomor yang diberikan oleh Tante Lusi ini benar?" gumamnya, menggerutu. Kaleng berisi bir yang sudah habis ditenggak, Noah lemparkan begitu saja.Dia sudah tiba di Indonesia sejak tadi siang, tapi bahkan sampai malam ini masih belum ada kabar apa pun yang bisa dia dapatkan."Ke mana kamu sebenarnya, Princess?" Noah dengan gusar membuka satu lagi kaleng bir. "Bukankah waktu itu kamu berkata hanya akan pergi selama satu minggu? Tapi ini bahkan sudah nyaris tiga bulan."Terdiam sesaat, Noah menyesali kembali keputusannya untuk melepaskan Aila begitu saja waktu itu."F*ck!" memaki, Noah melempar kaleng bir yang masih separuh tersisa itu. Dia sama sekali tidak peduli walau bir
Ada perasaan mengganjal yang dirasakan Aila. Bukankah tadi Noah mengajaknya ke hotel tempat lelaki itu menginap, agar mereka bisa bicara dengan nyaman? Namun meski Aila sudah setuju, perasaan gadis itu tetap merasa tidak enak. "Ada apa?" tanya Noah saat dia menggandeng Aila, tapi gadis itu langsung menarik lepas tangannya. "Ng ... aku bisa jalan sendiri, Noah." Sambil tersenyum, gadis itu mencoba menutupi kegelisahan yang dia rasakan. "Apa kita nggak bisa bicara di sini saja?" tanyanya, saat mereka sampai di lobi hotel. Dahi Noah berkerut. Rencana awalnya dia akan mengajak Aila masuk ke kamar hotel lalu menjebak gadis itu di sana. Tapi kalau nanti dia berkesan terlalu memaksa, dia juga tidak mau kalau Aila malah jadi curiga. 'Dari tadi saja sikapnya sudah dingin begini terhadapku,' gerutu Noah dalam hati. 'Siapa sebenarnya yang sudah mengubah gadis ini sampai berubah begini? Terlihat begitu waspada dan nggak mudah mempercayai orang. Pa
"Noah, where else are we going??" "Home, Princess." "Home? What do you mean by home?" Aila memandang tajam ke arah Noah yang memasang ekspresi kaku. Sekarang jelas sudah bagi gadis itu bahwa keputusan yang dia ambil tadi untuk mengikuti Noah adalah salah. "Berhenti, Pak!" serunya ke arah supir taksi. "Tolong berhenti di sini." "Jalan terus! Jangan berani-berani berhenti," sergah Noah, tidak mau mengalah. Tidak cukup sampai di situ, lelaki itu lalu menarik pergelangan tangan kanan Aila lalu mencengkeramnya, membuat cincin yang melingkar di jari manis gadis itu, bisa dia lihat dengan jelas. "Apa ini, Princess?" desisnya marah. "Cincin apa ini? "Noah, itu—" "Tadi sewaktu aku berada di dalam kamar hotel, bibimu meneleponku. Rupanya ibu kandungmu baru saja menghubungi, memberi tahunya soal kabarmu. Kalau hanya itu, aku bisa paham, Princess. Tapi, apa ini? Kabar apa yang kuterima ini? Apa benar kalau kamu sudah menikah? Hah?!"
'Sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri,' ujar sang pemuka agama dengan senyuman bersahajanya. 'Mempelai pria, dipersilakan untuk mencium mempelai wanita.'Kabur. Segalanya terlihat kabur. Bahkan wajah sang lelaki yang sekarang mendekatinya dan tersenyum itu pun, tidak jelas terlihat.Siapa? Siapa lelaki yang sekarang membelai pipinya dengan lembut ini?Rasanya seperti kenal, tapi di saat yang sama juga terasa asing. Entahlah. Pikiran ini seakan-akan tidak bisa diajak fokus untuk sekarang.Segalanya terasa buram dan membingungkan, sampai kemudian sepasang mata hitam yang segelap langit malam tanpa bintang itu masuk ke area penglihatannya.Meski dia tahu bahwa sepasang mata hitam itu tidak mampu melihat, tapi seolah ada sebuah magnet kuat yang membuatnya tidak sanggup untuk mengalihkan pandangan, seolah memaksanya untuk terus memaku pandangan ke arah sana.Lalu, sewaktu sebuah suara lirih terdengar, seketika saja kesadaranny
Saat ini Erik luar biasa gusar. Pengawal yang biasanya selalu bisa bersikap tenang di segala kondisi apa pun itu, sekarang terlihat sangat gelisah. Killian menghilang. Sebelumnya beberapa saat lalu, dia menerima laporan dari petugas keamanan bandara mengenai seseorang bernama Noah Albern yang berhasil mereka temukan. Erik masih berusaha mencari tahu, apakah ada seorang gadis dengan ciri tertentu yang ada bersama lelaki itu. Menemukan Aila jauh lebih penting baginya dibanding lelaki yang para petugas keamanan itu temukan, malah sebenarnya pengawal itu tidak terlalu peduli soal lelaki asing bernama Noah Albern. Namun belum sampai laporan tersebut dia terima secara tuntas, Killian yang sejak tadi terus berada di dekatnya tiba-tiba saja menghilang. "Ke mana sebenarnya Tuan Muda pergi?" gumamnya, berkeliling dan mencari keberadaan Killian. "Padahal tadi beliau masih ada di dekatku, kenapa tiba-tiba saja tidak ada?" Berhenti untuk me
Jelas ada yang salah. Meski begitu, Killian masih belum tahu juga soal penyebabnya."Kiska, stop! Hentikan," desis Killian, mencoba menahan gerakan Aila yang sejak tadi terus mencumbunya. "Sayang, hentikan. Kumohon."Namun seolah tidak mendengarkannya, Aila masih terus saja menciumi Killian. Sekujur tubuh Killian merinding saat bibir mungil gadis itu bermain di tengkuknya. Lelaki itu bahkan harus mengepalkan tangan kuat-kuat demi menahan desahan saat lidah basah Aila menyapa kulit lehernya.Wajah tampan yang biasanya nyaris tanpa ekspresi itu, kini terlihat merah padam. Bukan karena amarah, tapi karena menahan gairah."Kiska," geram Killian dengan suara yang mulai serak. Napas lelaki itu pun sudah semakin berat. "Hentikan atau aku nggak akan sanggup menahannya lagi."Namun sebagai jawabannya, gadis yang biasanya akan menghindar bila Killian mencumbunya itu, kali ini justru menangkup wajah Killian dengan kedua tangan lalu mencium mesra bibir yang se
Seumur hidup, rasanya Killian belum pernah mengalami kejutan sebesar ini."Kills?"Aila merengek memanggilnya. Pengaruh dari permen berisi obat perangsang yang tadi diberikan oleh Noah, masih begitu mempengaruhi gadis itu, membuatnya sangat mendambakan sentuhan."Kills .... Kills ...," panggilnya berulang kali, tapi dengan cepat Killian justru mundur menjauhinya. Lelaki buta itu bersikap seolah Aila adalah sesuatu yang harus dihindari. "Killian ....""Tetap di tempatmu, Kisk— Ma—maksudku, A—" Pertama kali dalam hidupnya pula, Killian mengalami susah bicara sampai harus terbata-bata seperti ini. Dia pun terpaksa berkali-kali menelan ludah hanya demi menyelesaikan kalimatnya. "Ai—la?"Masih dibutakan oleh gairah, Aila tidak mengerti dengan sikap lelaki itu yang sekarang justru menjauhinya."Kills!" panggilnya, setengah memerintah, setengah memohon. "Kemari. Kumohon. Mendekatlah, Kills?"Berjengit sewaktu Ai
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida