"Akh! Pelan-pelan, Aisa," keluh Aiden, saat Aisa mengusapkan kasa yang sudah dibasahi alkohol ke atas luka-lukanya. Padahal gadis itu sudah melakukan sepelan mungkin, tapi toh dia masih saja merasa kesakitan.
"Kenapa Kakak sampai bisa babak belur seperti ini?" tanya Aisa, melalui isyarat tangan. "Luka Kakak sangat banyak dan sepertinya parah. Apa nggak sebaiknya kalau Kakak ke rumah sakit saja?"
Meringis beberapa kali, Aiden tidak segera menjawab. Sebenarnya dokter muda itu tadi juga sudah berencana hendak ke rumah sakit terdekat, tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Dia khawatir kalau nanti pihak rumah sakit akan bertanya macam-macam. Bagaimana pun, Aiden tidak ingin nama baiknya sebagai seorang dokter sekaligus pemilik sebuah rumah sakit menjadi tercemar.
Memang hal ini bisa saja Aiden gunakan agar memberi keuntungan baginya, apalagi kalau nanti hasil visum keluar. Dia bisa menggunakan hal tersebut untuk menuntut Killian atau paling tidak, mengancam lela
Hawa dingin begitu menggigit dan langit masih terlihat gelap karena fajar belum menyingsing. Suasana pun terasa sunyi, bahkan sedikit muram. Benar-benar khas suasana dini hari yang biasa. Namun kali ini ada yang berbeda. Di halaman belakang kediaman keluarga Ardhana yang sangat luas, nampak kobaran api yang lumayan besar. Hawa panasnya mendera ke sekitar, memberi kehangatan, dan membuat suasana yang seharusnya suram kini terasa lebih terang. Erik berdiri tidak jauh dari kobaran api yang memang sengaja dinyalakan atas perintahnya. Oh, ralat. Lebih tepatnya, atas perintah Killian, karena dia memerintahkan agar isi kamarnya disingkirkan dan dibakar. Lelaki buta itu tidak ingin ada sedikit pun sisa yang tertinggal dari hal apa pun yang mungkin sudah Aiden lakukan selama di dalam kamar tidurnya. Terlalu berlebihan memang, tapi seperti itulah sosok seorang Killian dan Erik tanpa banyak bicara pun segera menurutinya. Apalagi, saat akhirnya mereka men
Semalaman Aiden tidak tidur. Sejak menyadari perbuatan apa yang sudah dia lakukan dengan adik tirinya, dokter muda itu tidak sanggup memejamkan kedua mata. Pikirannya pun segera memutar kembali ingatan saat tadi Aisa bercerita sambil terisak-isak. Tubuh gadis itu gemetar hebat sewaktu menuturkan saat-saat awal Aiden pertama kali memperkosanya dulu. "Apa yang sudah kulakukan?" gumamnya frustasi. "Lalu sekarang, apa yang harus kulakukan?" Aiden meremas dan mengacak-acak rambutnya sendiri sebelum akhirnya berteriak. Yang dia rasakan saat ini adalah campuran dari rasa tidak percaya, frustasi dan juga marah. Dia sangat menyayangi Aisa. Meski gadis itu hanya merupakan adik tiri yang bahkan tidak berhubungan darah dengannya, tapi Aiden tulus menyayangi Aisa. Apalagi saat dulu, ibu tirinya yang merupakan ibu kandung Aisa, mengalami keguguran sehingga adik Aiden meninggal. Bayi perempuan yang seharusnya baru terlahir dua bulan ke depan itu terpaksa dil
Tanpa sadar Aila tersenyum.Gadis cantik itu masih tertidur. Kedua matanya terpejam dan suara dengkur halus pun terdengar. Hela napas gadis itu naik turun dengan tenang dan teratur, terlihat begitu nyenyak dan nyaman dalam gelungan selimut yang hangat.Killian dengan hati-hati naik kembali ke tempat tidur. Berbaring pelan di samping gadis yang masih sangat lelap itu, lalu ikut menyusup masuk ke balik selimut.Ada senyuman di wajah tampannya saat lelaki buta itu mencium puncak kepala Aila dan mengendus aroma rambut gadis itu. Itu adalah senyuman lembut Killian yang hingga sekarang nyaris tidak pernah terlihat.Selama ini senyuman yang kerap kali menghias di wajah tampan itu adalah senyuman palsu atau senyum yang berisi ancaman. Mengharapkan seorang Killian Ardhana Putra bisa tersenyum dengan tulus, nyaris sama mustahilnya dengan berharap turun salju di musim panas.Menelusuri wajah dan memainkan ujung rambut calon istrinya, Killian merasa luar biasa
Acara pernikahan akhirnya tiba."Di mana dia sekarang?"Killian berdiri dengan gelisah. Tidak seperti biasanya, lelaki yang sering kali terlihat mengenakan outfit berwarna gelap itu, kali ini mengenakan setelan jas dan celana berwarna silver, dihiasi aksen berwarna emas dan biru yang terlihat kontras tapi dengan perpaduan yang sangat cocok."Ada apa dengan Tuan Muda?" bisik salah satu pengawal ke rekan yang berdiri di sebelahnya."Mungkin karena ini hari pernikahan beliau?" jawab temannya, balas berbisik.Mereka berdua segera terdiam dan memasang kembali sikap siap saat mendapatkan lirikan penuh peringatan dari Erik.Berdeham sekali, pengawal paruh baya itu pun kembali meluruskan sikap. Sepasang matanya juga tidak luput mengawasi Killian yang mondar-mandir dengan sikap gugup dan gelisah. Mau tidak mau, Erik pun akhirnya mengulum senyum. Selama 20 tahun dia mengabdi di keluarga Ardhana, rasanya baru pertama kali ini Erik melihat Killian bersi
"Sekarang, upacara pernikahan bisa dimulai. Kedua mempelai, silakan mendekat." Atensi setiap orang yang berada di dalam ballroom mewah itu meningkat. Acara pernikahan seorang Killian Ardhana Putra, pengusaha muda yang selama ini dikenal sebagai pria yang sedingin tembok baja, tentu saja membuat mereka begitu bergairah dan penasaran. Dalam hati, mereka masih tidak mengira bahwa lelaki yang dijuluki sang iblis di kalangan para pengusaha itu akan benar-benar melepas lajangnya. Rasanya nyaris mustahil bagi seorang Killian Ardhana Putra untuk bisa memiliki perasaan untuk orang lain secara tulus. Toh, selama ini lelaki itu sudah terkenal sebagai orang yang sanggup melakukan segala taktik dan tipu daya. Sementara itu, Aila sendiri kembali merasa gugup. Degup jantung berdebar begitu kencang hingga gadis itu nyaris tidak dapat mendengar apa pun kecuali suara detakan yang terasa menggila. Memejamkan kedua mata kuat-kuat, dia bahkan merasa kalau kedua kakinya tidak lagi
'Apa aku harus mengatakannya? Lagi?''Bagaimana kalau nggak ada juga yang percaya? Toh, selama ini aku juga sudah berkali-kali mengatakan soal hal tersebut dan tetap saja hasilnya nihil.''Tapi aku nggak bisa begini! Yang ada di buku nikah itu bukan namaku!'Aila menggigit bibir dan meremas kedua tangannya. Sedari tadi gadis cantik itu sibuk berpikir dan gelisah sendiri.Sebagian dari dirinya berteriak bahwa pernikahan ini tidak sah karena nama yang tertera di buku nikah bukanlah namanya, tapi Ansia. Jadi bukankah yang secara resmi menikah dengan Killian Ardhana Putra adalah Ansia Roxanne, bukan Aila Lewis?"Aku harus pergi. Bagaimana pun, aku harus berusaha meluruskan soal salah paham ini!" putusnya dan sudah langsung beranjak berdiri.Namun baru satu langkah, gadis itu kembali termangu.Yang menjadi masalah adalah cara dia untuk meyakinkan bahwa dia bukan Ansia, melainkan Aila. Jadi, bagaimana?Mengeluh, lagi-lagi Aila menyad
"Sayang? Kenapa?" "Eh?" Aila mengerjap, berjengit kaget sewaktu jari Killian mengusap pipinya yang basah. "Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya Killian lagi, beringsut mendekat ke gadis yang sekarang menjadi istrinya itu. "Ak—aku," Aila gelagapan, terlihat bingung sendiri. Bukankah tadi dia sedang bersama ayah dan ibunya? Bahkan ada Claude dan Ivona Agentine juga. Memeluk dirinya sendiri, Aila seolah masih bisa merasakan pelukan ayah dan ibunya. "Sayang? Kenapa? Hei," tanya Killian lagi, menyibakkan rambut Aila. Beberapa kali lelaki buta itu juga menciumi puncak kepala istrinya. "Ada apa? Kamu sakit?" Menggeleng, Aila mengusap dahinya yang ternyata berkeringat. Mengedarkan pandangan, gadis itu menyadari di mana dia berada sekarang. "Ini ... kamarmu, Kills?" tanyanya sedikit berbisik. "Iya. Mau di mana lagi?" jawab Killian, menarik Aila mendekat lalu memangkunya. "Aku nggak mau menghabiskan malam p
Seluruh penghuni kediaman Ardhana sangat bersemangat dan bergairah hari ini."Pastikan semua sudah beres sebelum beliau bangun.""Kami bertiga akan membersihkan semua lorong dan kamar di lantai dua. Yang lain, tolong atur tugas masing-masing, ya.""Kalian jangan sibuk sendiri, tolong bantu aku! Apa menu sarapan kesukaan beliau? Apa yang harus kumasak?"Sontak semua pelayan yang ada, tertawa. Wajah kepala koki yang garang itu, sekarang malah terlihat lucu karena panik. Mereka tidak menyangka kalau orang yang selama ini kaku soal segalanya itu, bisa panik seperti ini."Tuan Erik! Jangan hanya diam dan minum kopi dengan santai! Cepat beri tahu aku, apa saja menu kesukaan Nona!"Plakk!Sebuah pukulan keras mendarat di lengannya. Dengan wajah berkerut seram, kepala koki menoleh hendak marah, sampai akhirnya melihat bahwa yang memukul tadi adalah wakil kepala koki yang notabene adalah sang istri sendiri. Seketika, lelaki baya itu pun langsu
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida