Four Season Hotels and Resort
Penthouse SuitesDi kamar kerja Aria Hills.
Hari ini Ivona memang mengajak Aila ke tempat di mana desainer cantik itu menginap untuk mencoba kembali gaun-gaun yang akan gadis itu kenakan saat pernikahan nanti. Sebenarnya, Aria Hills berjanji untuk datang ke kediaman Ardhana 2 hari lagi, tapi rupanya perempuan paruh baya itu sudah tidak sabar menunggu.
"Cantiknyaa ...," desah Ivona, jelas terlihat begitu terpesona. "Oh, ya Tuhan. Menantuku memang sangat cantik dan anggun."
"Dia calon menantumu, Nyonya Agentine. Bukan menantu." Aria Hills menyahuti ucapan Ivona dengan senyuman di wajah.
"Oh, memang apa bedanya? Toh, tanggal pernikahannya bahkan kurang dari satu minggu lagi."
"Bedanya adalah, Artemisku, ah, maksud saya ... gadis itu bahkan belum sah menjadi istri putra Anda."
"Segera. Tidak lama lagi."
"Tetap saja. Artinya 'kan masih belum."
Tidak hanya Aila yang kebingungan dengan
Sepertinya Aiden belum pernah sebahagia ini."Coba yang ini, Ans. Grilled calamari di sini lumayan rasanya.""Ini, cicipi lasagna-nya. Risotto-nya jangan lupa dimakan juga.""Wagyu steak-nya apakah sesuai dengan seleramu? Aku tadi memesannya dengan tingkat kematangan medium."Aila mengangguk sementara mulutnya sibuk mengunyah. Ada rona bahagia di wajah cantik gadis itu, selain karena pada akhirnya bisa keluar rumah dengan santai, dia juga bisa menikmati makanan favoritnya."Dari mana kamu tahu kalau aku suka makanan Italia?" tanyanya, memasukkan satu suap lagi lasagna dalam potongan besar. Aila memakannya dengan nikmat, tidak menyadari ada sedikit sisa saus yang tertinggal di sudut bibir."Hanya sekedar tebakan saja," jawab Aiden, tersenyum simpul.Dia lalu mengulurkan tangan dan mengusap sisa saus di sudut bibir Aila. Tindakan Aiden membuat gadis itu merona. Ditambah lagi, bukannya mengelap jari yang kotor terkena saus, dia malah men
"Selamat siang, Dokter Aiden." "Selamat siang, Erik. Bagaimana kabarmu?" Sedikit menunduk, Erik memasang senyuman formalnya. "Kabar saya baik, Dokter." "Apakah kita bisa langsung atau—" Aiden mengangkat kedua alis, menatap heran Erik yang memandangi mobilnya dengan cermat. "Erik? Ada apa?" "Maaf, Dokter Aiden. Apakah saya boleh memeriksa mobil Anda sebentar?" "Eh?" Bahkan tanpa menunggu persetujuan dari Aiden, Erik sudah langsung melangkah. Tadi sepertinya dia melihat sekelebatan rambut berwarna coklat madu di balik bangku penumpang. Mengambil sedikit jarak, Erik mengamati mobil mewah yang hanya bisa memuat penumpang 2 orang saja itu. Memang Erik tidak menyentuh Porsche boxster silver milik Aiden, tapi pengawal itu bahkan berjalan mengitarinya sebanyak 2 kali. Pengawal itu sudah hendak menunduk untuk memeriksa bagian bawah mobil, sewaktu suara Aiden terdengar menyela. "Ada apa sebenarnya, Erik?" tanya Aiden, iku
"Kills?""Hm?""Bagaimana kabarmu hari ini?"Sunyi sesaat. Tetap tidak ada jawaban bahkan setelah beberapa saat berlalu.Ingin tahu, akhirnya Aila membalik tubuh. Kalau tadinya dia memunggungi lelaki itu, sekarang mereka tengah berbaring berhadapan. Kepala gadis itu mendongak dengan dagu yang bertumpu di dada Killian, menatap wajah tampan yang masih saja terus terdiam tanpa ada ekspresi apa pun."Kills?" tanya Aila lagi dengan suara lirih. "Kenapa diam saja? Apa aku membuatmu marah?"Mulai merasa gelisah, Aila tanpa sadar mengelus-elus tangan Killian yang menjadi alas bantalnya. Jemari gadis itu juga bergerak tanpa arah di dada bidang Killian.Namun belum terlalu lama, lelaki buta itu lalu menggenggam dan mengelus tangan Aila. Ada beberapa saat berlalu bagi gadis itu dengan tangannya yang tetap terdiam di dada Killian, merasakan detak jantung dan juga kehangatan lelaki tampan itu.Ada debaran yang juga kian dirasakan oleh Aila.
Di hari yang sama, di kediaman keluarga Roxanne. Risa Roxanne tengah duduk sendiri di ruang depan dengan gelisah. Berkali-kali dia melirik handphone di tangan, dan berkali-kali pula dia menghela napas berat karena nyatanya benda pipih itu masih saja tetap sama terdiamnya. "Kenapa dia lama sekali?" keluhnya dengan wajah yang terlihat cemas. "Padahal sudah malam begini." Tidak betah untuk terus duduk, Risa akhirnya memutuskan untuk berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang depan kediaman keluarga Roxanne. Sesekali perempuan itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam. Ini sudah 8 jam berlalu sejak suaminya, Heri Roxanne, berpamitan hendak pergi ke kediaman Agentine. "Apa dia berhasil bertemu dengan lelaki Rusia itu, Claude Agentine? Kabar yang kudengar, lelaki itu tidak memiliki hati dan sangat kejam. Bahkan dia tidak pernah segan sedikit pun untuk menghabisi lawannya," gumam Risa, sekarang menggigiti ujung jari tangannya karena merasa sema
"Aila." "Ya?" "Gadis itu bukanlah Ansia Roxanne, tapi Aila Lewis. Dia adalah kakak kembar Ansia, yang putra kalian salah culik sewaktu dia baru tiba di bandara karena hendak menjenguk Ansia yang mengalami kecelakaan. Ini adalah kebenaran yang ada." Deg! "Apa?" ••• Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, tapi Ivona Agentine masih belum juga bisa tidur. Perempuan berusia 50 tahun itu berdiri di ambang jendela, menatap pemandangan malam hari dari kamar tidurnya yang berada di lantai atas. "Kenapa belum tidur juga?" tanya Claude, memeluk Ivona dari belakang. Dia baru saja menyelesaikan semua pekerjaan dan sedikit heran karena sewaktu masuk ke kamar tidur, ternyata istrinya masih juga belum tidur. "Ada apa? Apa kamu masih memikirkan soal yang tadi?" tanya Claude lagi, kali ini sambil mencium pundak Ivona dan sesekali membelainya. "Bagaimana menurutmu soal apa yang Heri Roxanne katakan tadi, C
Untuk pertama kali, Killian merasa bersyukur atas kebutaannya. Dia memang tidak bisa melihat, tapi lelaki itu bisa merasakan dan menebak apa yang sedang terjadi. Aila sedang dalam pelukannya sewaktu Aiden datang, dan gadis itu langsung menyentakkan tangan Killian lalu menghambur ke dalam pelukan Aiden. "Ada apa?" tanya Aiden, yang dengan suka cita balas memeluk gadis impiannya. Dia mengelus dan menciumi rambut Aila, menghirup dalam-dalam aroma bunga yang ringan dan samar. Kalau saja tidak ada Erik, yang jelas mengamati mereka dengan cermat, mungkin Aiden bisa lupa diri dan melumat sepasang bibir berwarna peach yang selalu membuatnya tergiur itu. "Apa kamu merindukanku?" tanyanya mesra dalam bisikan yang sangat lirih. "Aku datang, Sayang." Aila tidak menjawab. Dia hanya mempererat pelukan dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh Aiden. Sekilas tubuh gadis itu masih bergetar, tapi yang jelas gemetarannya sekarang sudah jauh berkurang.
Sebelumnya, di kediaman Reinhardt. Waktu sudah semakin larut, tapi Aiden masih belum tidur. Dokter muda itu berada di ruang kerjanya, mengamati jam digital berukuran kecil yang bertengger di atas meja. 'Sebentar lagi,' pikirnya sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Sesekali matanya masih mengerling, mengawasi angka digital yang berubah setiap menit, seakan menunggu sesuatu. Menghela napas, dia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam saku kemeja. Ada senyum di wajah kalem Aiden sewaktu mengamati botol yang berisi cairan bening itu. Ukurannya sangat kecil, hanya berisi 10 ml cairan, yang sekarang sudah berkurang lebih dari separuh. "Kenapa aku baru kepikiran sekarang, ya?" gumamnya, masih juga tersenyum sendiri. Menengadah di kursi kerjanya, dokter muda itu kembali menghela napas. Selang beberapa waktu, lagi-lagi dia tersenyum. Cairan dalam botol kecil itulah yang akan membantu untuk mendapatkan apa yang dia
10 menit sudah berlalu.Aiden segera membenahi pakaian gadis yang sekarang tertidur nyenyak itu.Aila tertidur setelah tadi mengalami pelepasan akibat ulah sang dokter muda. Efek obat dan rasa lelah yang dialaminya, membuat gadis itu pun segera lelap.Aiden sempat nyalang sewaktu melihat tubuh molek yang terbaring nyaris telanjang, tersaji pasrah di depan mata. Berkali-kali dia menelan ludah, menahan gairah yang sebenarnya sudah ada di ujung.Namun dengan cepat dokter muda itu memutuskan untuk segera membereskan segala kekacauan yang ada, sehingga terkesan tidak ada apa pun yang terjadi. Bisa gawat kalau dia sampai ketahuan.'Ya karena memang aku belum melakukan apa pun,' batinnya sedikit frustasi. "Sial! Sayang sekali."Waktu terbatas yang dia miliki tidak mungkin digunakan untuk bercinta. Meski tentunya gadis yang sudah tidak sadar itu tidak akan sanggup menolak perbuatannya, tapi Aiden tidak yakin kalau dia bisa berhenti hanya dengan satu
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida