Untuk pertama kali, Killian merasa bersyukur atas kebutaannya.
Dia memang tidak bisa melihat, tapi lelaki itu bisa merasakan dan menebak apa yang sedang terjadi.
Aila sedang dalam pelukannya sewaktu Aiden datang, dan gadis itu langsung menyentakkan tangan Killian lalu menghambur ke dalam pelukan Aiden.
"Ada apa?" tanya Aiden, yang dengan suka cita balas memeluk gadis impiannya.
Dia mengelus dan menciumi rambut Aila, menghirup dalam-dalam aroma bunga yang ringan dan samar. Kalau saja tidak ada Erik, yang jelas mengamati mereka dengan cermat, mungkin Aiden bisa lupa diri dan melumat sepasang bibir berwarna peach yang selalu membuatnya tergiur itu.
"Apa kamu merindukanku?" tanyanya mesra dalam bisikan yang sangat lirih. "Aku datang, Sayang."
Aila tidak menjawab. Dia hanya mempererat pelukan dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh Aiden. Sekilas tubuh gadis itu masih bergetar, tapi yang jelas gemetarannya sekarang sudah jauh berkurang.
Sebelumnya, di kediaman Reinhardt. Waktu sudah semakin larut, tapi Aiden masih belum tidur. Dokter muda itu berada di ruang kerjanya, mengamati jam digital berukuran kecil yang bertengger di atas meja. 'Sebentar lagi,' pikirnya sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Sesekali matanya masih mengerling, mengawasi angka digital yang berubah setiap menit, seakan menunggu sesuatu. Menghela napas, dia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam saku kemeja. Ada senyum di wajah kalem Aiden sewaktu mengamati botol yang berisi cairan bening itu. Ukurannya sangat kecil, hanya berisi 10 ml cairan, yang sekarang sudah berkurang lebih dari separuh. "Kenapa aku baru kepikiran sekarang, ya?" gumamnya, masih juga tersenyum sendiri. Menengadah di kursi kerjanya, dokter muda itu kembali menghela napas. Selang beberapa waktu, lagi-lagi dia tersenyum. Cairan dalam botol kecil itulah yang akan membantu untuk mendapatkan apa yang dia
10 menit sudah berlalu.Aiden segera membenahi pakaian gadis yang sekarang tertidur nyenyak itu.Aila tertidur setelah tadi mengalami pelepasan akibat ulah sang dokter muda. Efek obat dan rasa lelah yang dialaminya, membuat gadis itu pun segera lelap.Aiden sempat nyalang sewaktu melihat tubuh molek yang terbaring nyaris telanjang, tersaji pasrah di depan mata. Berkali-kali dia menelan ludah, menahan gairah yang sebenarnya sudah ada di ujung.Namun dengan cepat dokter muda itu memutuskan untuk segera membereskan segala kekacauan yang ada, sehingga terkesan tidak ada apa pun yang terjadi. Bisa gawat kalau dia sampai ketahuan.'Ya karena memang aku belum melakukan apa pun,' batinnya sedikit frustasi. "Sial! Sayang sekali."Waktu terbatas yang dia miliki tidak mungkin digunakan untuk bercinta. Meski tentunya gadis yang sudah tidak sadar itu tidak akan sanggup menolak perbuatannya, tapi Aiden tidak yakin kalau dia bisa berhenti hanya dengan satu
Aila mengerang dalam tidurnya.Entah mengapa, sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sangat berat untuk digerakkan. Kepala gadis itu berdenyut sakit seolah terbelah, dan tenggorokan pun seolah terbakar.Apa dia sakit?Aila sendiri pun tidak mengerti, karena selama ini dia belum pernah mengalami sakit yang serupa ini."Tidur lagi saja. Jangan memaksakan diri untuk bangun," sahut sebuah suara bernada rendah dan berat.Tidak lama kemudian, Aila merasa ada sebuah tangan yang menyentuh dahinya dan diam beberapa saat di sana."Demammu sudah turun. Syukurlah," ujar suara itu lagi, kali ini disertai desahan napas lega.Tangan itu lalu berpindah, mengelus-elus puncak kepalanya, membuat Aila merasa nyaman. Namun sakit kepala yang dia rasakan semakin tidak tertahan, seolah ada palu yang dipukulkan terus menerus.Ini sebenarnya kenapa? Kenapa kepalanya terasa begitu sakit seperti ini?"Sst, tenanglah," gumam suara itu, dan Aila mer
"Akh! Pelan-pelan, Aisa," keluh Aiden, saat Aisa mengusapkan kasa yang sudah dibasahi alkohol ke atas luka-lukanya. Padahal gadis itu sudah melakukan sepelan mungkin, tapi toh dia masih saja merasa kesakitan. "Kenapa Kakak sampai bisa babak belur seperti ini?" tanya Aisa, melalui isyarat tangan. "Luka Kakak sangat banyak dan sepertinya parah. Apa nggak sebaiknya kalau Kakak ke rumah sakit saja?" Meringis beberapa kali, Aiden tidak segera menjawab. Sebenarnya dokter muda itu tadi juga sudah berencana hendak ke rumah sakit terdekat, tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Dia khawatir kalau nanti pihak rumah sakit akan bertanya macam-macam. Bagaimana pun, Aiden tidak ingin nama baiknya sebagai seorang dokter sekaligus pemilik sebuah rumah sakit menjadi tercemar. Memang hal ini bisa saja Aiden gunakan agar memberi keuntungan baginya, apalagi kalau nanti hasil visum keluar. Dia bisa menggunakan hal tersebut untuk menuntut Killian atau paling tidak, mengancam lela
Hawa dingin begitu menggigit dan langit masih terlihat gelap karena fajar belum menyingsing. Suasana pun terasa sunyi, bahkan sedikit muram. Benar-benar khas suasana dini hari yang biasa. Namun kali ini ada yang berbeda. Di halaman belakang kediaman keluarga Ardhana yang sangat luas, nampak kobaran api yang lumayan besar. Hawa panasnya mendera ke sekitar, memberi kehangatan, dan membuat suasana yang seharusnya suram kini terasa lebih terang. Erik berdiri tidak jauh dari kobaran api yang memang sengaja dinyalakan atas perintahnya. Oh, ralat. Lebih tepatnya, atas perintah Killian, karena dia memerintahkan agar isi kamarnya disingkirkan dan dibakar. Lelaki buta itu tidak ingin ada sedikit pun sisa yang tertinggal dari hal apa pun yang mungkin sudah Aiden lakukan selama di dalam kamar tidurnya. Terlalu berlebihan memang, tapi seperti itulah sosok seorang Killian dan Erik tanpa banyak bicara pun segera menurutinya. Apalagi, saat akhirnya mereka men
Semalaman Aiden tidak tidur. Sejak menyadari perbuatan apa yang sudah dia lakukan dengan adik tirinya, dokter muda itu tidak sanggup memejamkan kedua mata. Pikirannya pun segera memutar kembali ingatan saat tadi Aisa bercerita sambil terisak-isak. Tubuh gadis itu gemetar hebat sewaktu menuturkan saat-saat awal Aiden pertama kali memperkosanya dulu. "Apa yang sudah kulakukan?" gumamnya frustasi. "Lalu sekarang, apa yang harus kulakukan?" Aiden meremas dan mengacak-acak rambutnya sendiri sebelum akhirnya berteriak. Yang dia rasakan saat ini adalah campuran dari rasa tidak percaya, frustasi dan juga marah. Dia sangat menyayangi Aisa. Meski gadis itu hanya merupakan adik tiri yang bahkan tidak berhubungan darah dengannya, tapi Aiden tulus menyayangi Aisa. Apalagi saat dulu, ibu tirinya yang merupakan ibu kandung Aisa, mengalami keguguran sehingga adik Aiden meninggal. Bayi perempuan yang seharusnya baru terlahir dua bulan ke depan itu terpaksa dil
Tanpa sadar Aila tersenyum.Gadis cantik itu masih tertidur. Kedua matanya terpejam dan suara dengkur halus pun terdengar. Hela napas gadis itu naik turun dengan tenang dan teratur, terlihat begitu nyenyak dan nyaman dalam gelungan selimut yang hangat.Killian dengan hati-hati naik kembali ke tempat tidur. Berbaring pelan di samping gadis yang masih sangat lelap itu, lalu ikut menyusup masuk ke balik selimut.Ada senyuman di wajah tampannya saat lelaki buta itu mencium puncak kepala Aila dan mengendus aroma rambut gadis itu. Itu adalah senyuman lembut Killian yang hingga sekarang nyaris tidak pernah terlihat.Selama ini senyuman yang kerap kali menghias di wajah tampan itu adalah senyuman palsu atau senyum yang berisi ancaman. Mengharapkan seorang Killian Ardhana Putra bisa tersenyum dengan tulus, nyaris sama mustahilnya dengan berharap turun salju di musim panas.Menelusuri wajah dan memainkan ujung rambut calon istrinya, Killian merasa luar biasa
Acara pernikahan akhirnya tiba."Di mana dia sekarang?"Killian berdiri dengan gelisah. Tidak seperti biasanya, lelaki yang sering kali terlihat mengenakan outfit berwarna gelap itu, kali ini mengenakan setelan jas dan celana berwarna silver, dihiasi aksen berwarna emas dan biru yang terlihat kontras tapi dengan perpaduan yang sangat cocok."Ada apa dengan Tuan Muda?" bisik salah satu pengawal ke rekan yang berdiri di sebelahnya."Mungkin karena ini hari pernikahan beliau?" jawab temannya, balas berbisik.Mereka berdua segera terdiam dan memasang kembali sikap siap saat mendapatkan lirikan penuh peringatan dari Erik.Berdeham sekali, pengawal paruh baya itu pun kembali meluruskan sikap. Sepasang matanya juga tidak luput mengawasi Killian yang mondar-mandir dengan sikap gugup dan gelisah. Mau tidak mau, Erik pun akhirnya mengulum senyum. Selama 20 tahun dia mengabdi di keluarga Ardhana, rasanya baru pertama kali ini Erik melihat Killian bersi