Mobil Dante melaju masuk ke halaman Mansion Clarikson. Dante segera beranjak keluar dari mobil, memutarinya lalu membukakan pintu untuk Shia. "Keluarlah, Love" ucap Dante sambil menggenggam erat tangan Shia. Shia mengangguk dan melangkah keluar. Namun, pertanyaan tentang David langsung muncul di benaknya. "David?" Shia bergumam. tepat di depannya David muncul dengan santainya bersama mobil yang sebelumnya Shia bawa. "Hai, wild girl" sapa David sambil mengabaikan Dante yang tampak menguarkan aura tak mengenakan "Aku mengembalikan mobilmu dengan selamat, meski sedikit lecet" lanjutnya dengan candaan ringan.” Shia tidak langsung merespon. Sebaliknya, ia lebih tertarik memandangi David dan Dante dengan tajam, memindai keduanya dengan netra birunya. "Jadi, bisa jelaskan bagaimana kalian bisa bekerja sama?" tanya Shia dengan nada datar. "Hanya sebatas kenal dan tahu" jawab Dante tanpa ekspresi berlebih. Namun, satu alis Shia terangkat, menatap Dante dengan skeptis. "Kau tahu aku membenc
BRAK! “BRENGSEK! BERANINYA MEREKA MENGINCAR ROBERT SEBELUM AKU YANG MELAKUKANNYA!!” Shia memaki geram. Teriakan marahnya memecah hening di sekitar rumah sakit, dan tindakannya kini menjadi pusat perhatian bagi beberapa pengunjung yang berada di sana. Netra biru itu menatap melalui kaca ruang operasi di mana Robert berada. Pikirannya penuh dengan kemarahan, keputusasaan, dan kekesalan yang mendalam. Shia terlambat dan dia tau itu. “Shia.. kita di tempat umum,” ucap Paman Ronnie dengan lembut, mencoba menenangkan keponakannya yang tengah lepas kendali. Shia menyorot pamannya itu dengan tatapan tajam tanpa menyadari air matanya mulai menetes. “Kau menangis, Shia..” ucap David, yang terkejut melihat sisi emosional yang belum pernah dia lihat sebelumnya pada gadis tangguh itu. Meskipun Shia tidak mengakuinya, namun David sadar. Shia menangisi kondisi ayahnya yang terbaring di ruang operasi “Aku tidak menangis! Aku sangat membenci Robert hingga ingin membunuhnya. Aku menunggu waktu yang
Shia menjatuhkan tas besar dipunggungnya pada lantai lalu mulai merakit sebuah senjata. Mata birunya mengintai rombongan pria yang berada jauh di depannya. Ia membidik senapan panjangnya tepat di kepala seseorang yang Shia yakini sebagai atasan kelompok itu. Dengan hati-hati, Shia merapatkan bibir senapan panjangnya dan mengamati gerak-gerik mereka, Mengunci targetnya yang saat ini sedang bergerak. Ia mengukur jarak, memperhitungkan faktor angin, dan mengatur nafasnya dengan tenang. Saat yang tepat tiba, Shia mengeluarkan tembakan pertamanya. Suara dentuman senapan panjangnya meluncur di antara reruntuhan, menghujam kegelapan dan menembus udara malam. Peluru melesat dengan kecepatan tinggi, mengunci targetnya yang sedang memberikan perintah pada anak buahnya. Peluru itu mengenai kepala pria tua tersebut, menyapu nyawanya dalam sekejap. Darah menyembur, dan kebingungan melanda di antara rombongan pria itu. Sebelum mereka bisa bereaksi, tembakan kedua menghantam sasaran lain yang berd
Shia duduk dalam sebuah kamar, tangannya terikat dengan tali dan mata yang tertutup oleh kain. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa berakhir di tempat seperti ini, yang pasti Shia yakin jika pelakunya adah George. Pintu terbuka perlahan, suara langkah kaki terdengar mendekati Shia lalu tak lama ikatan yang menutup matanya terlepas. “Bajingan!” Shia mengumpat. Mata biru itu menatap George dengan tajam. Tangan George terulur hendak mengusap kepala Shia namun Shia segala memalingkan pandangannya, menghindari tangan George. Tindakannya itu membuat George tertawa hambar. “Aku sangat menyesal atas apa yang telah terjadi padamu, Shia. Sejujurnya aku tidak ingin kau terlibat dalam semua ini” Suara George terdengar lembut membuat Shia nyaris mual dibuatnya. “Aku tidak pernah bermaksud untuk melukaimu Shia. Ayo kita mulai semuanya dari awal” Ajaknya. Shia berdecih sambil mendengus keras. Mata birunya menampakan binar ejekan “Sebaiknya periksa kesehatan jiwamu ke dokter, sepertinya ada masalah
“Pergilah. Aku sadar jika mendapatkan hatimu hal yang mustahil.” “Huh?” Shia memandang George dengan tatapan bingung, tidak yakin apakah dia bisa percaya pada apa yang baru saja didengarnya. George dengan santainya mengangkat bahu. “Aku bercanda. Apa kau pikir aku akan membiarkanmu pergi setelah melukai wajahku? tentu saja tidak, Shia” ucap Geroge lalu keluar dengan cepat disertai dengan suara pintu yang terkunci. “Bajingan sialan!” ucap Shia dengan wajah kesalnya, dia tertipu oleh Geroge. Malam berlalu dengan cepat. Shia menghela nafas lelah, sudah ini hari kedua dirinya terkurung di kamar minim ini. Dia hanya berbaring di ranjang lalu menatap pemandangan luar dari tempat yang tinggi. Shia perkirakan dia berada disebuah bangunan yang mirip dengan menara, untungnya Geroger berbaik hati tidak mengikat kedua tangan dan kakinya. “Bagaimana kabar daddy?” Shia bergumam Hal yang mudah bagi Shia untuk keluar dari kamar ini namun dia tidak yakin dengan keadaan di luar. Dia tidak tau stru
“Kau menemukannya?” Ucap Dante seraya mengetuk meja kantornya dengan pelan. Dia sedang menunggu laporan Ero yang baru saja membuka kantor pintu Dante. “Mr Pattion membawa Nyonya pergi bersama beberapa pria, kami sudah menelusuri kamera pengintai dan titik terakhir berada di kota Texas. Handphone Nyonya Shia ditemukan disana” ucapnya sambil menyerahkan sebuah handphone dalam kondisi rusak itu. Dante menghela nafas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang merambat di seluruh tubuhnya “Lakukan pencarian Shia secara terbuka dan tandai semua orang yang mencurigakan!” Perintah Dante. Ero mengangguk lalu keluar dari ruangan Dante ‘Kau kehilangannya lagi bodoh’ Seruan itu membuat Dante memejamkan matanya, kepalanya berdenyut sakit setelah beberapa menit matanya terbuka, netra abu-abunya semakin menggelap bersamaan dengan jam tangannya berdering. "Tuan kami mendeteksi sinyal terakhir Nyonya Shia di sebuah bangunan terpencil di pinggiran kota Texas. Sepertinya tempat itu telah lama dit
Shia hanya terbaring di ranjang dingin dan hampa, dengan rantai yang mengikat kedua tangannya dan kakinya. Setiap kali matanya terbuka, ruangan itu terasa semakin sempit dan terang. Syukurnya George memberikannya sebuah kamar dengan jendela sehingga ada cahaya matahari yang masuk. Lina, sosok yang telah menjadi penyiksa dirinya. Terkadang, kekerasan itu berupa tamparan yang membakar pipinya, atau mungkin pukulan yang meninggalkan bekas luka. “Berapa lama waktu yang kau butuhkan Dante?” Shia bergumam menatap ke luar jendela. Jika diperkirakan sudah hampir 5 hari dirinya terkurung ditempat ini dan selama itu Shia tidak tau bagaimana kondisi Dante ataupun Robert yang masih koma. Mata Shia melirik ke kamera yang setia merekam setiap detiknya. Kamera pengawas yang berada disudut kamar. Meskipun tubuhnya terluka dan terpukul, keterlihatan kamera menjadi penjaga bisu atas rahasia yang mungkin saja dapat menjadi kunci kebebasannya. Shia kembali menatap keluar jendela. Sebenarnya hal yang m
Sebuah kapal berjenis Yacht belayar sejauh 10 Km dari bibir pantai sebuah pulau tak berpenghuni. Orang-orang mungkin akan mengira jika itu hanyalah sebuah kapal yang mengangkut para pelancong namun nyatanya kapal itu mengangkut sekelompok mafia yang paling kuat di benua Eropa. Sang pemimpin mafia, yang dikenal sebagai Zedane, memandang pulau tak berpenghuni itu dengan tajam melalui teropongnya. Wajahnya yang dingin dan tegas mencerminkan otoritasnya yang tak terbantahkan di kalangan mafia Eropa. Angin sepoi-sepoi laut mengibaskan rambut hitamnya yang tergerai di udara “Joker!” Panggil Dante dengan suara tegas, memanggil ketua tim shadow-nya. "Tarik mundur semua bawahan yang ikut. Aku akan ke sana sendiri!" Joker, seorang pria yang telah lama setia kepada Zedane dan mengepalai tim bayangan mereka, merasa tidak yakin dengan keputusan ini. "Tapi Tuan-" kata-kata Joker terpotong saat Dante mengarahkan ponselnya pada Joker. “Dia mengundangku untuk datang” Serunya. Layar ponsel Dante me