"Kau memiliki bukti jika kakakku melakukan itu?" tanya Ronnie, masih tak percaya bahwa Rabella mungkin terlibat dalam sesuatu yang begitu mengerikan. "Aku paham jika sulit dipercaya. Aku membunuhnya karena itu, untuk melindungi Shia, seperti permintaan terakhirnya," ucap Robert dengan suara yang penuh duka. “Jadi itu alasan kau menyembunyikan semua kebenarannya dari Shia?” Dante, yang sejak tadi menyimak, mulai bersuara. Namun, tak ada jawaban yang diberikan oleh Robert, membuat kedua pria lainnya bisa menyimpulkan bahwa itulah alasannya. "Aku butuh waktu untuk memproses ini semua" ucap Ronnie dengan suara serak. Hatinya berkecamuk antara kesedihan dan rasa kehilangan, namun di sisi lain, kebingungan dan ketidakpercayaan terhadap apa yang baru saja didengarnya semakin memperumit perasaannya. Dante tersenyum lagi, kali ini dengan nada sindiran "Jangan membuang waktu, paman. Kita harus menyelesaikan Costa saat ini. Jadi, apakah kau bersedia melupakan masa lalumu untuk kepentingan kel
“Bukan ayahmu yang membunuh Ibumu tapi mereka dan sekarang mereka mengawasimu, Shia. itulah alasan aku menolakmu berhubungan dengan Ruel” Ungkap David pada akhirnya. Shia menatap tak percaya pada David. Apa maksudnya? Ayahnya yang dia kira orang yang membunuh ibunya ternyata orang yang salah. Jadi, apa selama ini targetnya membalas dendam pada Robert itu salah? BRAk! David tersenyum tipis saat secara tiba-tiba Shia menyerangnya. Gadis itu menjatuhkan tubuh David ke bawah dengan wajah David yang langsung menyentuh lantai. Dengan lincah, Shia berdiri di atas David, menyadari bahwa ayahnya bukanlah pembunuh ibunya. Denyut adrenalin melonjak di dalam dirinya, dan ia mencoba mencerna informasi yang baru saja diungkapkan oleh David. “Kau tega sekali Shia, padahal aku yang mengajarimu trik ini” David tertawa kecil namun berbeda dengan Shia yang menatapnya tajam. “Apa mereka juga yang menculikku dan membunuh Liam?!” Tanya Shia dengan tajam, mengabaikan ucapan David. “Tidak” David mengge
"Masih meragukanku D02?" ucap Shia dengan senyuman lebarnya. Tangannya dengan santai melempar sebuah kunci pada David “Bantu aku” ucap Shia. David menangkap kunci yang dilemparkan Shia lalu mengangguk. Keduanya berjalan keluar dari apartemen, Shia menembak CCTV yang ada didalam lift. Begitu tiba dilantai bawah, keduanya berjalan berlawanan. David menuju basement dan membawa mobil Shia keluar dari sana sedangkan Shia menuju pintu belakang Sementara itu, di luar. Mata abu-abu itu memperhatikan setiap gerak bayangan dengan seringaian lebar. Seolah siap untuk memuaskan dirinya dengan menyerang sang pengganggu yang mengusik teritorinya. Namun begitu menyadari Shia yang berjalan kearahnya, pria itu menyalakan mobilnya. Membuka pintu dan membiarkan Shia masuk ke dalam mobil. Dante menatap istrinya yang duduk di kursi sampingnya dengan tatapan dingin. "Kenapa kau kabur, Love?" tanya Dante. Shia hanya membalas dengan dengusan malas. “Shia sudah bersamamu?” Suara itu terdengar dari sebuah
Mata biru Shia membulat kaget, mencermati Dante dengan campuran ketakutan dan kebingungan. "Dante, Granat itu... kenapa menggunakan granat? Dan bagaimana bisa kau memilikinya?" Dante tetap tenang, seolah-olah mengantisipasi pertanyaan itu. "Aku seorang pembisnis Love” Jawabnya singkat Shia masih terdiam, mencoba mengatasi kejutan dari pengalaman yang baru saja terjadi. "Tapi, granat? Kau seorang pekerja bisnis, bukan tentara!" Shia tidak bodoh untuk mengetahui jika granat dilarang untuk dijual belikan. Bahkan di dunia bawahpun granta hanya bisa didapatkan oleh orang-orang tertentu. Karena granat berbeda dengan bom rakitan biasa. Shia saja waktu menjadi agen tidak pernah membawa granat. Tapi kenapa Dante bisa memilikinya, bukan hanya satu tapi tiga “Kau ini sebenarnya siapa Dante?” Shia bertanya. Mata birunya terfokus pada netra abu-abu Dante yang penuh dengan misteri Perlahan langkah Dante mendekat menuju Shia. tangan kekarnya mengusap rambut Shia dengan lembut “Aku suamimu Love.
Mobil Dante melaju masuk ke halaman Mansion Clarikson. Dante segera beranjak keluar dari mobil, memutarinya lalu membukakan pintu untuk Shia. "Keluarlah, Love" ucap Dante sambil menggenggam erat tangan Shia. Shia mengangguk dan melangkah keluar. Namun, pertanyaan tentang David langsung muncul di benaknya. "David?" Shia bergumam. tepat di depannya David muncul dengan santainya bersama mobil yang sebelumnya Shia bawa. "Hai, wild girl" sapa David sambil mengabaikan Dante yang tampak menguarkan aura tak mengenakan "Aku mengembalikan mobilmu dengan selamat, meski sedikit lecet" lanjutnya dengan candaan ringan.” Shia tidak langsung merespon. Sebaliknya, ia lebih tertarik memandangi David dan Dante dengan tajam, memindai keduanya dengan netra birunya. "Jadi, bisa jelaskan bagaimana kalian bisa bekerja sama?" tanya Shia dengan nada datar. "Hanya sebatas kenal dan tahu" jawab Dante tanpa ekspresi berlebih. Namun, satu alis Shia terangkat, menatap Dante dengan skeptis. "Kau tahu aku membenc
BRAK! “BRENGSEK! BERANINYA MEREKA MENGINCAR ROBERT SEBELUM AKU YANG MELAKUKANNYA!!” Shia memaki geram. Teriakan marahnya memecah hening di sekitar rumah sakit, dan tindakannya kini menjadi pusat perhatian bagi beberapa pengunjung yang berada di sana. Netra biru itu menatap melalui kaca ruang operasi di mana Robert berada. Pikirannya penuh dengan kemarahan, keputusasaan, dan kekesalan yang mendalam. Shia terlambat dan dia tau itu. “Shia.. kita di tempat umum,” ucap Paman Ronnie dengan lembut, mencoba menenangkan keponakannya yang tengah lepas kendali. Shia menyorot pamannya itu dengan tatapan tajam tanpa menyadari air matanya mulai menetes. “Kau menangis, Shia..” ucap David, yang terkejut melihat sisi emosional yang belum pernah dia lihat sebelumnya pada gadis tangguh itu. Meskipun Shia tidak mengakuinya, namun David sadar. Shia menangisi kondisi ayahnya yang terbaring di ruang operasi “Aku tidak menangis! Aku sangat membenci Robert hingga ingin membunuhnya. Aku menunggu waktu yang
Shia menjatuhkan tas besar dipunggungnya pada lantai lalu mulai merakit sebuah senjata. Mata birunya mengintai rombongan pria yang berada jauh di depannya. Ia membidik senapan panjangnya tepat di kepala seseorang yang Shia yakini sebagai atasan kelompok itu. Dengan hati-hati, Shia merapatkan bibir senapan panjangnya dan mengamati gerak-gerik mereka, Mengunci targetnya yang saat ini sedang bergerak. Ia mengukur jarak, memperhitungkan faktor angin, dan mengatur nafasnya dengan tenang. Saat yang tepat tiba, Shia mengeluarkan tembakan pertamanya. Suara dentuman senapan panjangnya meluncur di antara reruntuhan, menghujam kegelapan dan menembus udara malam. Peluru melesat dengan kecepatan tinggi, mengunci targetnya yang sedang memberikan perintah pada anak buahnya. Peluru itu mengenai kepala pria tua tersebut, menyapu nyawanya dalam sekejap. Darah menyembur, dan kebingungan melanda di antara rombongan pria itu. Sebelum mereka bisa bereaksi, tembakan kedua menghantam sasaran lain yang berd
Shia duduk dalam sebuah kamar, tangannya terikat dengan tali dan mata yang tertutup oleh kain. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa berakhir di tempat seperti ini, yang pasti Shia yakin jika pelakunya adah George. Pintu terbuka perlahan, suara langkah kaki terdengar mendekati Shia lalu tak lama ikatan yang menutup matanya terlepas. “Bajingan!” Shia mengumpat. Mata biru itu menatap George dengan tajam. Tangan George terulur hendak mengusap kepala Shia namun Shia segala memalingkan pandangannya, menghindari tangan George. Tindakannya itu membuat George tertawa hambar. “Aku sangat menyesal atas apa yang telah terjadi padamu, Shia. Sejujurnya aku tidak ingin kau terlibat dalam semua ini” Suara George terdengar lembut membuat Shia nyaris mual dibuatnya. “Aku tidak pernah bermaksud untuk melukaimu Shia. Ayo kita mulai semuanya dari awal” Ajaknya. Shia berdecih sambil mendengus keras. Mata birunya menampakan binar ejekan “Sebaiknya periksa kesehatan jiwamu ke dokter, sepertinya ada masalah