Sophia menatap dokumen yang terbentang di depannya. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Semua syarat yang diajukan Alex terhampar jelas, menusuk hatinya, tapi dia sudah kebal. Tak ada lagi rasa malu atau sakit. Yang ada hanya tekad untuk mempertahankan apa yang tersisa dari hidupnya bersama Alex.Tanpa banyak pikir, Sophia mengambil pulpen yang sudah disiapkan William. Namun sebelum ia sempat membubuhkan tanda tangan, William bergerak cepat."Tunggu dulu, Nyonya," kata William, menghentikan gerakan tangannya.Sophia meliriknya dengan tatapan malas. "Apa lagi?" tanyanya dingin."Perlu saksi. Ini soal legalitas," jawab William cepat. Tanpa menunggu persetujuan Sophia, ia segera berjalan menuju ke depan cafe.Sophia tidak menanggapi. Baginya, siapa pun saksinya tidak penting. Yang penting surat ini segera selesai.Beberapa menit kemudian, William kembali membawa seorang pria berpakaian seragam kafe, lengkap dengan papan nama kecil di dadanya."Ini pak Andre, manajer kafe. Dia akan jadi saksi
Saat sudah tiba di apartemennya, ponsel William berdering. Sang atasan yang menghubunginya. William buru-buru mengangkat panggilan telepon itu, sambil mendaratkan bokongnya di atas sofa ruang keluarga di dalam apartemennya. Sementara sang kekasih justru dengan sengaja membuka seluruh pakaiannya di hadapan William, membuat pria itu tak fokus menjawab telepon Alex.Wanita itu naik ke atas pangkuan William, tubuhnya benar-benar sudah polos tanpa sehelai benang pun sebagai penutup. Dia mulai mencium leher William, dan memberi gigitan kecil di sana, menjilat penuh hasrat, namun tidak sampai meninggalkan bekas, sebab ia tahu kalau sang kekasih sama sibuknya seperti Alex, dan setiap harinya selalu bertemu dengan banyak klien. Suster Lila tidak mau membuat William malu.Tangannya terulur membuka kancing kemeja William, lalu membuangnya ke sembarang arah. Wanita itu kembali berdiri dan menarik tangan kekasihnya untuk ikut berdiri. William tak bisa berbuat apa-apa, wanita ini memang memiliki
Markus akhirnya bergerak. Ia melangkah cepat ke arah meja, menahan diri untuk tidak membanting apapun. Ia butuh berpikir, butuh menahan amarahnya supaya tidak semakin memperkeruh situasi.Sementara itu, Sophia hanya berdiri santai, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan ekspresi puas. Seolah dia tahu, Markus sekarang benar-benar di genggamannya."Jangan main-main dengan omongan kayak gitu, Sophia," desis Markus, suaranya pelan tapi jelas penuh ancaman.Sophia tertawa kecil. Bukan tawa ceria. Bukan tawa bahagia. Tapi tawa dingin penuh penghinaan."Kamu pikir aku main-main? Kalau aku kepepet, aku nggak akan pikir dua kali buat buka semuanya," ucapnya santai. "Kamu dan aku pada akhirnya sama aja. Sama-sama jatuh."Markus membalikkan badan, menatap Sophia dengan mata merah menahan amarah."Apa maumu sebenarnya?" tanyanya geram.Sophia menurunkan suaranya. "Aku mau mereka hancur. Alex. Pelakor itu dan anaknya. Semuanya. Aku mau mereka ngerasain apa itu kehilangan," jawabnya, suaranya berg
“Aku menginginkanmu, Angel.” Tubuh Angelica yang berdiri membelakangi pria itu sontak meremang saat sepasang lengan kekar melingkari pinggangnya, menariknya dengan perlahan ke pelukan yang erat. Terlebih suara berat Alex yang penuh godaan berbisik di telinganya. Belum sempat memproses segalanya, tangan kekasihnya itu mulai bergerak penuh gairah di atas tubuh Angelica.Angelica terkesiap.Seharusnya, dia menolak dan coba menghentikannya. Ada yang harus dia bicarakan terkait pertemuannya dengan ibu Alex.Namun, pria itu tahu benar titik-titik kelemahan Angelica, hingga dia pun tak kuasa menahan diri. “Tunggu saja, akan kujadikan Kau Nyonya Alexander, Sayang,” bisik Alex penuh penekanan. Pria itu pun mendorong tubuh wanita itu pelan ke dalam ruang pribadi di dalam ruang kerjanya dan melakukannya seolah tak ada hari esok..... “Bu, Angel?!”Deg!Panggilan sang dokter membuat Angelica tersentak dan kembali dari lamunannya. Bisa-bisanya dia teringat akan masa lalunya di saat
Alex memberi kode pada asistennya untuk segera keluar dari ruangan, membiarkan dia dan Angelica berdua di dalam. William, sang asisten, tampak ragu sejenak, seolah ingin memastikan bahwa atasannya benar-benar ingin menghadapi wanita ini sendirian. Namun, tatapan tajam Alex membuatnya mengangguk cepat. "Baik, Tuan. Saya permisi," ucapnya pelan, sebelum menutup pintu ruang kerja sang CEO dengan hati-hati. Suara pintu yang tertutup terdengar begitu nyaring di telinga Angelica, seakan menjadi tanda bahwa kini ia terperangkap dalam situasi yang tak bisa ia hindari. Ia berdiri di hadapan pria yang dulu pernah mencintainya dengan begitu dalam. Pria yang selama tujuh tahun selalu menatapnya dengan penuh kasih sayang, tapi kini menatapnya dengan dingin, penuh kebencian. Berani-beraninya perempuan ini kembali datang dalam kehidupan Alex, setelah dia hampir membuat Alex mengakhiri hidupnya. Alex tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Dia hampir gila karena tak berhasil menemukan Ange
Ruang kerja Alex terasa lebih dingin dari biasanya. Atau mungkin hanya Angelica yang merasakannya. Tatapan Alex yang menusuk seakan membekukan udara di sekitarnya. Angelica mengumpulkan keberaniannya, meski ia tahu jawaban yang akan ia dapatkan mungkin tak akan menyenangkan. "Syarat apa yang kau maksud, Alex?" tanyanya pelan, suaranya sedikit bergetar. Alex menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, jemarinya kembali mengetuk-ngetuk meja dengan ritme teratur. "Syaratnya sederhana, Angel. Kau harus patuh pada setiap perintahku. Tidak ada protes, tidak ada keluhan. Dan yang paling penting..." Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Angelica tajam. "Kau harus menandatangani kontrak kerja sama denganku minimal 10 tahun." Angelica mengerutkan kening. "Se--sepuluh tahun?" Alex mengangguk. "Jika sebelum kontrak itu berakhir kau memutuskan untuk pergi, maka aku akan melaporkanmu ke kantor polisi." Darah di wajah Angelica seakan menghilang. "A--Apa maksudmu?" Alex menyeringa
Begitu Angelica keluar dari ruangan Alex, ia meninggalkan nomor ponselnya di meja William. Angelica segera pergi dari sana, namun tatapan penuh sindiran langsung menyambutnya. Beberapa karyawan yang mengenalnya dulu menoleh dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sebagian hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan pekerjaan mereka, tapi tak sedikit yang sengaja memperlambat langkah, seolah ingin memastikan bahwa itu benar-benar Angelica, wanita yang dulu begitu beruntung, dan kini kembali dalam keadaan berbeda. "Dia balik lagi ke sini?" bisik salah satu dari mereka dengan nada geli. "Berani juga dia datang setelah apa yang terjadi dulu," sahut yang lain. "Jangan-jangan dia mau kerja di sini lagi?" "Mana mungkin. Tuan Alex nggak sebodoh itu untuk nerima dia lagi." Ema sangat yakin kalau atasannya tidak mungkin menerima Angelica kembali. Dia salah satu saksi hidup bagaimana Alex hancur dan kini membenci Angelica. Ema, adalah rekan kerja Angelica dulu di bagian marketing
Angelica duduk di kursi berhadapan dengan dokter Aurora, spesialis jantung yang menangani kasus Olivia, sejak pindah ke kota. Tangannya saling meremas di atas paha, berusaha menenangkan diri, tetapi detak jantungnya berdegup begitu kencang. Tatapan serius dokter Aurora membuat napasnya terasa semakin berat. “Bu Angelica, kondisi Olivia semakin memburuk. Kita harus segera melakukan operasi transplantasi jantung. Untungnya, Olivia sudah masuk dalam daftar penerima donor.” Angelica menahan napas. Ada secercah harapan di sana. Tetapi… kenapa wajah dokter Aurora masih tampak berat? “Tapi, Bu Angelica… Anda harus segera menyiapkan biayanya, minimal setengahnya sudah harus segera dibayar.” Seakan ada batu besar yang menghantam dadanya. Seluruh tubuhnya terasa lemas seketika. “Be–berapa biayanya, dok?” Angelica terbata. Dokter menyebutkan perkiraan biaya yang harus disiapkan Angelica. Dokter Aurora kembali menjelaskan. “Untuk prosedur ini, Anda harus membayar sebagian biayanya
Markus akhirnya bergerak. Ia melangkah cepat ke arah meja, menahan diri untuk tidak membanting apapun. Ia butuh berpikir, butuh menahan amarahnya supaya tidak semakin memperkeruh situasi.Sementara itu, Sophia hanya berdiri santai, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan ekspresi puas. Seolah dia tahu, Markus sekarang benar-benar di genggamannya."Jangan main-main dengan omongan kayak gitu, Sophia," desis Markus, suaranya pelan tapi jelas penuh ancaman.Sophia tertawa kecil. Bukan tawa ceria. Bukan tawa bahagia. Tapi tawa dingin penuh penghinaan."Kamu pikir aku main-main? Kalau aku kepepet, aku nggak akan pikir dua kali buat buka semuanya," ucapnya santai. "Kamu dan aku pada akhirnya sama aja. Sama-sama jatuh."Markus membalikkan badan, menatap Sophia dengan mata merah menahan amarah."Apa maumu sebenarnya?" tanyanya geram.Sophia menurunkan suaranya. "Aku mau mereka hancur. Alex. Pelakor itu dan anaknya. Semuanya. Aku mau mereka ngerasain apa itu kehilangan," jawabnya, suaranya berg
Saat sudah tiba di apartemennya, ponsel William berdering. Sang atasan yang menghubunginya. William buru-buru mengangkat panggilan telepon itu, sambil mendaratkan bokongnya di atas sofa ruang keluarga di dalam apartemennya. Sementara sang kekasih justru dengan sengaja membuka seluruh pakaiannya di hadapan William, membuat pria itu tak fokus menjawab telepon Alex.Wanita itu naik ke atas pangkuan William, tubuhnya benar-benar sudah polos tanpa sehelai benang pun sebagai penutup. Dia mulai mencium leher William, dan memberi gigitan kecil di sana, menjilat penuh hasrat, namun tidak sampai meninggalkan bekas, sebab ia tahu kalau sang kekasih sama sibuknya seperti Alex, dan setiap harinya selalu bertemu dengan banyak klien. Suster Lila tidak mau membuat William malu.Tangannya terulur membuka kancing kemeja William, lalu membuangnya ke sembarang arah. Wanita itu kembali berdiri dan menarik tangan kekasihnya untuk ikut berdiri. William tak bisa berbuat apa-apa, wanita ini memang memiliki
Sophia menatap dokumen yang terbentang di depannya. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Semua syarat yang diajukan Alex terhampar jelas, menusuk hatinya, tapi dia sudah kebal. Tak ada lagi rasa malu atau sakit. Yang ada hanya tekad untuk mempertahankan apa yang tersisa dari hidupnya bersama Alex.Tanpa banyak pikir, Sophia mengambil pulpen yang sudah disiapkan William. Namun sebelum ia sempat membubuhkan tanda tangan, William bergerak cepat."Tunggu dulu, Nyonya," kata William, menghentikan gerakan tangannya.Sophia meliriknya dengan tatapan malas. "Apa lagi?" tanyanya dingin."Perlu saksi. Ini soal legalitas," jawab William cepat. Tanpa menunggu persetujuan Sophia, ia segera berjalan menuju ke depan cafe.Sophia tidak menanggapi. Baginya, siapa pun saksinya tidak penting. Yang penting surat ini segera selesai.Beberapa menit kemudian, William kembali membawa seorang pria berpakaian seragam kafe, lengkap dengan papan nama kecil di dadanya."Ini pak Andre, manajer kafe. Dia akan jadi saksi
"Maksud Anda mau apa, Nyonya?" tanya William datar."Ya, mau menyetujui persyaratan yang diajukan oleh Alex," jawab Sophia tanpa ragu.Dahi William mengernyit. Matanya menyipit, menatap Sophia lama seolah memastikan dia tidak salah dengar. Ada nada tidak percaya dalam sikapnya."Anda yakin mau menyetujui persyaratan yang sangat berat ini, Nyonya? Anda boleh membacanya lagi kalau perlu, supaya tidak menyesal di kemudian hari," kata William. Suaranya terdengar hati-hati. "Menurut saya, Nyonya, ini terlalu memberatkan. Kalau Anda mau dengar saran saya, lebih baik Anda lakukan tes DNA saja."Sophia terdiam. Tubuhnya terasa kaku. Lidahnya kelu. Ia tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, William benar. Di sisi lain, dia tak mungkin menjalani tes itu karena tahu hasilnya tidak akan memihak padanya.William, melihat Sophia membeku, melanjutkan bicaranya. "Kalau memang Anda yakin anak itu benar-benar darah daging Tuan Muda, Anda tidak perlu takut. Tes DNA akan membuktikan. Kalau hasilnya po
Mobil menepi di tempat yang sepi, suster Lila mendorong mundur tempat duduknya, dan menurunkan sedikit sandarannya. William berjongkok persis di depan sang kekasih setelah memastikan mobil terparkir dengan baik, meski sempit dia tak peduli karena hasratnya sudah tidak bisa dikendalikan.“Naikkan kakimu, La,” ucapnya.Suster Lila membuka celana dalamnya, lalu melebarkan pahanya setelah kedua kakinya naik ke tempat duduknya. William mulai menjilati bagian intim berwarna merah itu, sesekali menghisapnya tanpa rasa jijik sama sekali. Lidahnya bermain-main di dalam sana, matanya terpejam. Sementara suster Lila meremas dadanya sendiri, sambil menahan diri agar tak berteriak di dalam mobil.“Pindah ke belakang sebentar ya, aku gak tahan. Nanti di apartemen ronde kedua,” ujar William.Saat hasratnya sudah tak bisa dikendalikan, ponsel William tiba-tiba berdering. Ia mengerling layar, dan mendapati nama Sophia tertera di sana.Belum sempat mereka pindah ke belakang, sudah ada gangguan menyeba
"Ada apa, William? Tegang amat! Ada yang darurat kah?" tanya Alex dengan suara datar.William tampak tergesa-gesa masuk lebih jauh ke dalam rumah itu, biar bisa segera berada di dekat atasannya untuk menyampaikan kabar penting. Tapi baru saja dia duduk, suara Olivia terdengar seperti sambaran petir di siang bolong.“Om William cari suster Lila ya? Tadi siang Via dengar Om William telepon suster Lila," sahut Olivia polos, tanpa merasa ada yang salah dengan ucapannya.Kalimat biasa itu membuat wajah William tambah pucat seketika. Ia tampak seperti maling yang tertangkap basah. Tangannya bahkan sempat gemetar saat mencoba merapikan jaket kulitnya, berusaha menutupi kegugupannya.Olivia memiliki kecerdasan seperti sang papa, jadi jangan pikir kalau anak kecil yang sering menangis itu karena menahan sakit saat belum dioperasi adalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Sekarang dia menyadari, kalau dirinya sudah tidak kesusahan lagi seperti dulu. Apalagi suster Lila, yang tidak bisa menutup
Setelah bayangan Alex benar-benar hilang dari pintu utama, Sophia langsung membalikkan badan. Langkahnya cepat, penuh tekanan. Dia naik ke lantai tiga tanpa menoleh lagi. Napasnya memburu, matanya tajam. Begitu sampai di kamarnya, tanpa berpikir panjang dia menarik kursi rias dan membantingnya ke lantai. Suaranya menggema keras. Botol parfum, alat make-up, dan cermin kecil terlempar dari meja dan jatuh berserakan. Beberapa ada yang pecah. Tapi Sophia tak peduli.Sang anak sampai terkejut dan menangis histeris. Pengasuhnya segera merengkuh tubuh bayi mungil itu lalu dibawa keluar dari dalam kamar sang mama. Sang pengasih tahu akhir-akhir ini sedang ada masalah berat antara kedua majikannya.Sophia memukul meja dengan kedua tangannya. Wajahnya merah padam. Giginya bergemeletuk menahan emosi. Dia seperti bom yang siap menghancurkan dunia kapan saja. Suara-suara lirih kemarahan keluar dari mulutnya, hampir seperti gumaman, tapi penuh dengan ancaman."Aku yang sah jadi istrinya. Aku yang
Sophia kembali duduk di sofa ruang tamu dengan ponsel di tangannya. Jemarinya cepat mengetik pesan untuk Markus, tanpa ragu, tanpa jeda.“Cepatlah datang ke kota New Capitol. Aku ingin tahu siapa perempuan di masa lalu Alex yang kembali dengan seorang anak. Aku ingin melihat tampangnya seperti apa.”Belum sampai satu menit, centang dua biru muncul. Markus langsung membalas pesan perempuan itu.“Wanita di masa lalu Alex lebih dari sekadar mantan. Dia sangat cantik. Bukan hanya dari tampilan luar, tapi juga sikap dan kepribadiannya. Banyak pria di kantor GG Corporation mengaguminya. Tapi pada akhirnya, Alex yang berhasil memilikinya.”Markus tidak pernah mengada-ngada. Memang itulah kenyataannya, jujur dulu hasratnya tak bisa dikendalikan ketika dia hampir saja berhasil memperkosa perempuan itu. Namun sayangnya Angelica berhasil kabur meski akhirnya kembali tertangkap oleh komplotan mereka. Semua anak buah Nyonya Abigail dan Tuan Daniel mengakui kalau kekasih Alex meski berasal dari ka
Di sisi lain, Alex kembali ke rumah utama. Suasana rumah tampak sepi, tapi dalam pikirannya penuh gejolak. Saat menutup pintu utama, matanya langsung menangkap sosok Sophia yang sedang menaiki tangga menuju lantai tiga. Tanpa membuang waktu, Alex bersuara.“Sophia… Aku mau bicara,” ucapnya datar.Langkah Sophia terhenti. Dia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Sejak Markus menyebut soal wanita dan anak kecil yang mirip Alex, pikirannya tak pernah tenang. Cemburu sudah menumpuk, tapi dia memilih diam. Dia ingin tetap terlihat tidak tahu apa-apa tentang wanita itu dan anaknya di mata Alex—meski dalam hati, dia nyaris hancur.Setelah menarik napas panjang untuk menenangkan diri, Sophia turun lagi dan mendekati Alex yang menunggu di ruang tamu lantai satu.“Duduk,” kata Alex, tanpa memberi pilihan lain.Sophia mengangguk. Ia duduk, meski tubuhnya terasa kaku. Matanya menatap wajah suaminya yang tak pernah menampakkan sedikit pun rasa peduli padanya.“Aku mau kita bercerai,” kata Alex