Richard bertanya dengan hati-hati, meski dia sudah menebak bahwa pasti ini ulah ibunya sendiri. Bukan tanpa alasan Richard menaruh penjagaan penuh di rumah sakit dan memerintah tegas kepada Dave dan beberapa bodyguard lain yang bertugas menjaga Jeany, untuk benar-benar mengawasi gerak gerik ibunya tiap kali berkunjung ke sana, Richard benar-benar yakin bahwa alasan dibalik komanya sang istri, pasti ulah ibunya. Meski sampai saat ini, Richard belum menemukan bukti apa pun. Namun, instingnya berkata seperti itu. Karena itulah dia langsung bertanya kepada Jeany apakah ibunya, wanita yang dimaksud Jeany telah mengancam sang istri di belakang. Sayangnya, Jeany langsung menggeleng saat Richard menyebutkan ibunya. "Bukan. Bukan ibumu, Rich."Richard cukup terkejut, saat Jeany menggeleng saat Richard menyebutkan ibunya, dia menatap suaminya dengan muram dan menjawab."Bukan ibumu yang telah mengancamku," ulang Jeany dengan tegas. "Tapi, mantan pacarmu."Jeany mengatakan itu dengan penuh
Richard berpikir sejenak dengan permintaan serius istrinya. Dalam hati, dia merasa sangat khawatir dengan keselamatan Jeany, tapi di sisi lain, Richard sendiri juga ingin mendukung istrinya, agar bisa menunjukkan kepada orang-orang jahat itu, bahwa Jeany bukan wanita lemah. "Richard, please? Ya? Boleh?"Jeany memohon lagi dengan wajah memelas yang menggemaskan, sehingga Richard akhirnya menarik napas panjang dan berkata dengan nada pasrah. "Hmm, baiklah. Tapi kamu harus berjanji untuk tidak membahayakan dirimu sendiri, oke? Kamu juga harus melaporkan apa pun padaku, jangan bergerak sendiri," tegas Richard, memegang tangan Jeany dengan lembut, sampai istrinya mengangguk. "Oke, aku janji," jawab Jeany sambil tersenyum senang, mencium punggung tangan suaminya. Beberapa saat kemudian, Mayes bersama baby sitter, datang ke ruangan itu membawa Maureen untuk bertemu Jeany."Maureen..."Jeany sangat senang dengan kedatangan putrinya dan segera memeluknya, kebahagiaan terpancar di mata wa
Setelah Jeany berbicara panjang lebar dengan Axelle di rumah sakit, keduanya akhirnya pulang ke rumah. Begitu sampai rumah, Jeany tidak lantas beristirahat, tapi langsung mendata nama-nama para pelayan yang berada di rumah yang kini dia tinggali bersama Jeany, bahkan sampai security dan sopir pribadi juga.Dari melihat latar belakang mereka, Jeany akhirnya membagi para pelayan menjadi dua kelompok, pelayan yang baru direkrut untuk melayani rumah ini, dan pelayan yang sudah pernah bekerja di rumah ini sejak sebelum Jeany menikah dengan Richard. "Hmm, dari dua kelompok pelayan itu, siapakah yang di dapuk Shena atau ibu mertua sebagai mata-mata?"Jeany bergumam, memandang daftar karyawan di rumah Richard. "Aku harus mulai menyelidikinya."Jeany berkata pada dirinya sendiri dengan tekad. Itu karena dia tak tahu siapa yang malam itu menaruh teh di kamarnya dan membuat dirinya sampai muntah darah dan jatuh koma. "Aku berjanji akan menyelesaikan masalah ini sendiri."Jeany mengangguk pen
"Aha, semua data mereka sudah di tangan aku sekarang."Jeany tersenyum puas saat melihat map yang dia pegang. Mencari informasi tentang kelemahan para pelayan tidak sulit dengan adanya kekuatan uang, apalagi dia didukung penuh oleh Richard. Jadi hanya dalam waktu yang sangat dekat, semua latar belakang pelayan di rumah ini sudah ada di tangan Jeany.Dia dengan tekun mempelajari berkas berkas yang sudah di tangan dan menghafal satu per satu kelemahan para pelayan sebagai jaga-jaga.Jeany pun mulai menjalankan rencana dengan target pertama, dengan sengaja dia memilih para pelayan lama terlebih dahulu.Saat sedang makan malam, dia dengan sengaja berbicara dengan Richard tentang kehidupan mereka yang begitu mesra, di mana Jeany dengan dengan cerdik mengatur pelayan yang berbaris di belakang mereka hanyalah para pelayan lama, untuk melihat apakah ada yang lapor tentang pembicaraannya dengan Richard kepada Shena. "Biasanya Shena diam diam akan langsung mengirim pesan padaku untuk memat
Jeany dengan lembut pun menjelaskan alasannya dengan sabar."Karena satu, jika kita melakukan itu, maka kita telah berbuat tidak adil kepada pelayan lain yang bekerja dengan baik di rumah ini, yang tidak tahu apa-apa dengan kejahatan Shena atau ibu mertua, dan yang kedua, kalau kita memecat mereka semua sekarang, memang kita telah menyingkirkan mata-mata yang ditanam orang-orang itu saat ini, tapi tidak dipungkiri kalau mereka bisa melakukan hal itu lagi di masa depan, mengirim mata-mata baru, itu hanya akan membuat kita lelah," jelas Jeany dengan sabar."Jadi, menurutmu itu bukan cara yang efektif?" tanya Richard, yang dibalas anggukan oleh Jeany. "Ya, kamu benar. Itu bukan cara yang efektif dan aku tidak mau merugikan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan masalah ini," jawab Jeany. Richard yang menyadari kesalahannya, menganggukkan kepala, setuju."Haaa. Kamu benar. Jadi, kamu ingin mencungkil borok Shena dan ibu dari rumah ini dan menyingkirkannya tanpa merusak yang lain?
"Ini akan menjadi pertarungan yang rumit."Jeany menghela napas panjang. Sebenarnya dalam hati, wanita itu sudah menyangka hal seperti ini, tapi dia masih tetap menyangkalnya, karena memikirkan suaminya, Richard. "Sepertinya pada akhirnya aku memang harus berhadapan langsung dengan ibu mertua," gumam Jeany, menatap langit langit kamar. "Tapi mau bagaimana? Lari dan menghindar tidak akan menyelesaikan masalah," lanjutnya ssambil sekali lagi menghela napas panjang. Bagaimana pun, nyonya Rosalie adalah ibu kandung Richard suaminya, itulah kenapa saat ini Jeany ragu ragu saat mengambil langkah.Yah, jika dipikir lagi, tentu saja pelayan pelayan baru yang dibawa ibu mertuanya ke sini, lebih terikat dengan ibu mertua maupun Shena daripada dirinya yang seorang nyonya baru, sehingga lebih mudah bagi dua orang itu menyogok mereka sebagai mata-mata.Pasalnya, meski mereka para pelayan baru di rumah ini, tapi para pelayan itu sudah bekerja di rumah nyonya Rosalie selama bertahun-tahun. Fakt
Tanpa merasa curiga, seorang security segera menjawab. "Ohhh, wanita itu? Ya, kami ingat dulu dia sering bertemu tuan Dante di rumah lama. Tapi dibandingkan dia, nyonya jauh lebih baik dan lebih pantas menjadi istri tuan Dante. Selain itu, tuan Dante terlihat mencintai Anda lebih dari apa pun, Nyonya. Tidak ada bandingnya dengan wanita bernama Shena itu. Dan kami rasa, hubungan mereka tidak sedekat yang Anda kira, sejauh yang kami ingat, hubungan mereka sebatas pertemanan saja," jelas salah satu security yang dibalas anggukan security yang lain. "Aaah, begitu."Jeany tersenyum simpul saat mendengar itu dan berkata lagi. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk berbincang-bincang denganku, lain kali aku aah memperlakukan kalian dengan lebih baik lagi," ucap Jeany dengan sopan yang langsung dibalas oleh para security bahwa Jeany tidak perlu terlalu sopan kepada mereka."Nyonya, tidak perlu seperti itu. Kami sudah sangat senang melayani Anda dan tuan Dante."Seorang security menjawa
Shena masih terus berteriak dan kehilangan kendali, belum tahu jika yang menerima teleponnya adalah Richard. "HEH WANITA BODOH! KENAPA KAMU DIAM! PUAS KAMU SUDAH BERMESRAAN DENGAN DANTE ! MERASA DIA MILIKMU SEORANG, HAH?!" teriak Shena seperti orang tidak waras. Ekspresi Richard tentu saja langsung menggelap saat mendengar bagaimana Shena, yang selalu bersikap manis padanya dan Jeany di depan Richard, saat ini malah memaki-maki istrinya seperti orang tak berpendidikan. "Bajingan."Richard sudah bersiap bicara sepatah dua kata untuk membungkam mulut gila Shena, juga tak sabar memberi tahu Kyle untuk mengeksekusi Shena, tapi istrinya langsung menutup mulut Richard dengan tangan. "No," tolak Jeany, menggeleng pelan. Mata Richard terbelalak tak percaya mendengar kata-kata yang diucapkan istrinya. Sedangkan Jeany, dengan tenang mengambil ponsel dari tangan Richard dan segera mematikan telepon dari Shena tanpa mengucapkan apa pun. "Jeany, kenapa? Dia sudah berani menghina kamu sepert
Tubuh Jamie adalah satu-satunya tubuh pria yang pernah dia peluk dan akan selamanya menjadi satu-satunya orang yang dipeluk olehnya. Berada di pelukan pria tegap ini selalu nyaman, Lyodra juga merasa begitu tenang dengan aroma harum dari tubuh Jamie yang terus menemani dirinya sejak masa sulit sampai sekarang. Jadi, setelah berhasil memeluknya lagi, sungguh sangat disayangkan kalau langsung melepaskannya begitu saja, kan? "Terus?" Jamie bertanya lagi, kali ini sambil membenahi rambut Lyodra yang jatuh menutupi pipi gadis itu, lalu menyelipkan nya ke belakang telinga. Sikap yang sangat manis, membuat jantung Lyodra berdebar kencang. "Hati aku. Sakit banget," keluh Lyodra dengan bibir cemberut dan suara manja, masih memeluk Jamie meski sedikit melonggarkan pelukan sehingga bisa menatap wajah tampan Jamie. "Kenapa?" Jamie bertanya dengan suara lembut, yang membuat Lyodra menghela napas panjang dan mengeratkan pelukan. "Om, peluknya lamaan dikit, ya? Kan aku masih sak
"Ahhh, benarkah dia sudah punya pacar?" Lyodra llemas bukan main setelah mendengar gosip tentang Jamie yang dilontarkan Luna saat makan siang tadi. "Jamie sudah berciuman sama cewek bernama Shane itu, apa artinya mereka akan pacaran?" gumam Lyodra dengan wajah murung. Padahal dia baru saja bersuka cita karena perlakuan Jamie pagi ini, tapi sekarang... setelah diangkat tinggi-tinggi seperti itu, dia tiba-tiba seperti dihempaskan ke bumi begitu saja. Sakit. "Secantik apa sih cewek yang namanya nona Shane itu? Sampe bisa menggelayut manja di lengan Jamie?" gerutu Lyodra yang merasa cemburu hanya dengan mendengar ceritanya. Dia tak terima ada gadis yang dekat dengan Jamie, meski pada kenyataannya, dia sendiri bukan siapa-siapa Jamie. "Ahhh, aku nggak terima!" Lyodra yang diserang rasa cemburu yang menggila, mulai men stalking semua hal tentang Nathalie Shane, mulai dari tempat sekolah dan tempat kerjanya sekarang. "Haaaah?? Dia saingankuu??!" Setelah melihat semua ha
Saat Lyodra sedang sibuk memikirkan apakah dia harus menggoda Jamie dan menabrak tembok besi antara dia dan Jamie, Ervyl, si biang gosip mulai melontarkan sesuatu yang membuat semua orang yang ada di meja makan itu terkejut. "Eh, aku tiba-tiba kepikiran loh sejak kemarin, bos kita akhir-akhir ini penampilannya agak beda ya nggak sih? Apa diam-diam di kantor ini ada yang disukai sama si bos?" Suasana mendadak hening mendengar ucapan Ervyl, Andin yang sedang mengunyah makanannya bahkan menghentikan kunyahan. "Jangan bercanda." "Itu nggak mungkin, 'kan?" Andin menyahut, menatap teman-temannya meminta kepastian, sedang Lyodra yang diam-diam tertarik dengan fakta itu, menyimak obrolan dengan semangat. "Eh, serius, deh. Masa kalian nggak merhatiin sih kalo dia itu setiap hari selalu lebih cakep dari hari kemarin?" sahut Ervyl yang masih kukuh pada pendirian kalau sepertinya bos mereka berubah akhir-akhir ini. "Yaelah, Ryl. Dari dulu kali bos kita makin hari makin tampan, kay
Namun, tentu saja tak ada respon atas pertanyaan Jamie tersebut karena Lyodra benar-benar sudah tertidur lelap. "Ya ampun, Lyodra. Gimana bisa ada cewek yang begitu ceroboh kayak kamu," ucapnya. Geleng-geleng kepala. Jamie pun memelankan laju mobil, lalu dengan satu tangan, dia menutupi badan depan Lyodra dengan jas miliknya. "Dasar." Dia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat gadis itu yang kini benar-benar terlelap dalam tidurnya tersebut. Jamie yang melajukan mobilnya dan kini sudah sampai di rumahnya, dengan hati-hati mengangkat tubuh Lyodra yang sedang tertidur tersebut dan membawanya ke salah satu kamar yang ada di sana. "Lyodra?" Panggilan Jamie tak mendapat jawaban. Kini Lyodra sudah dia baringkan di ranjang kamarnya, gadis itu tidur dengan sangat nyenyak. Jamie yang berdiri di dekat ranjang menatap gadis yang sedang tertidur dengan wajah damai tersebut seraya menarik napas panjang. "Gadis bodoh," ucapnya pelan. Bisa-bisanya saat sedang bekerja dia malah t
Kini Lyodra sadar sepenuhnya kenapa para karyawan perempuan di kantor Jamie selalu diam-diam histeris tiap kali bertemu bos mereka ini. Pria ini... punya segalanya. Karisma, suara, sikap dingin tapi hangat. Dan tentu saja, pesona yang bahkan bisa membakar siapa pun hanya dengan duduk diam seperti sekarang. "Kenapa memangnya dengan leher dan tulang selangkaku?" tanya Jamie dengan santai, nadanya seperti biasa: tenang, tapi tajam. Seolah dia tahu bahwa tubuhnya adalah godaan terbesar Lyodra. Lyodra menggigit bibir bawah sebelum menjawab pertanyaan bos-nya tersebut. Matanya sempat ingin menatap, tapi cepat-cepat ia alihkan. Keduanya saling pandang beberapa detik—terlalu lama, terlalu sunyi—sebelum Lyodra pura-pura fokus ke jalan lagi. Pura-pura sibuk mengemudi, padahal mobil yang mereka tumpangi adalah mobil pintar. Mobil itu bisa mengemudi sendiri—tapi hati Lyodra? Itu rusak, sejak lama, karena Jamie. Lyodra berdeham satu kali dan menjawab dengan gagap. "Gara-gara lihat it
Jamie sendiri merasa puas dengan kepatuhan Lyodra, bagaimana pun juga dia sangat khawatir jika gadis kecil itu minum dan berakhir mabuk, karena Luke pasti akan memarahinya. Tapi yang lebih jujur, Jamie hanya tak rela ada yang melihat Lyodra kehilangan kontrol—dia ingin gadis itu selalu dalam lindungannya. Pesta berjalan dengan lancar, Jamie yang merasa kasihan jika Lyodra menemani dirinya terlalu larut malam akhirnya memutuskan untuk mengajak Lyodra untuk pulang lebih awal. "Langsung antar saja ke tempat tinggalku," perintah Jamie yang duduk di samping Lyodra yang sedang duduk di balik kemudi, seraya menarik turun dasi yang dia pakai dan membuka kancing baju yang mencekik leher. Penampilannya berubah menjadi kasual, tapi anehnya terlihat seksi. Terlalu seksi. "Baik, Tuan," jawab Lyodra lalu segera memfokuskan pandangan ke depan karena tidak mau terpergok telah terpesona beberapa detik dengan penampilan bos-nya tersebut. Dia akui, meski image-nya terkenal sebagai pria yang
Setelah seminggu bekerja, Jamie mulai menyesuaikan diri dengan ritme baru. Bekerja dengan Lyodra, meski masih dalam tahap awal, terasa lebih mudah. Keputusan-keputusan kecil yang ia buat untuk melibatkan Lyodra dalam banyak hal—meski tidak selalu diungkapkan dengan kata-kata—terasa seperti pengakuan tak langsung. Jam kerja hampir berakhir, dan Lyodra menyiapkan laporan terakhir untuk Jamie. Namun, ketika ia menyerahkan dokumen yang sudah disiapkan, Jamie berhenti sejenak menatapnya. “Lyodra,” panggilnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Ya, Tuan?” Jamie menatapnya, dengan sedikit keraguan di matanya. “Kerja kamu sangat baik. Terima kasih.” Lyodra terkejut, dan senyumnya merekah. “Terima kasih, Tuan Jamie. Itu berarti banyak.” Jamie menatapnya, dan untuk sesaat, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Sebuah kehangatan yang tak biasa. “Mungkin kamu memang punya potensi lebih dari yang aku kira.” Lyodra hanya bisa tersenyum, meski hatinya berdebar. Lyodra
“Laporan meeting pagi sudah saya susun sesuai format yang biasa Anda gunakan tiga tahun lalu, dan ini data terbaru dari divisi pemasaran. Saya juga siapkan jadwal Anda hari ini, lengkap dengan catatan kecil untuk setiap klien, termasuk preferensi kopi mereka.” Lyodra menyampaikan laporan dengan fasih. Jamie hanya menatap Lyodra selama beberapa detik. Sorot matanya sulit ditebak. Diam. Dingin seperti biasa. Tapi bukan itu yang membuat Lyodra gugup—melainkan kenyataan bahwa ia akhirnya berdiri di hadapan pria itu, bukan sebagai gadis kecil yang dulu, tapi sebagai sekretaris pribadi yang ia harap bisa diandalkan. Luke bersandar ke dinding, mengangkat jempol diam-diam. “Gila. Hari kedua dan semuanya sudah sangat rapi," gumamnya pelan. Luke merasa sangat bangga karena hasil didikannya ternyata luar biasa. Jamie akhirnya bicara. “Bagus. Terus pertahankan seperti ini, Lyodra.” Satu kalimat. Pendek. Tapi cukup membuat Lyodra nyaris menangis bahagia. Ia menunduk sedikit,
Sore itu, langit Jakarta mulai berubah jingga. Di dalam taksi menuju kantor pusat JC Corporation, Lyodra tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Jari-jarinya terus bermain dengan ujung blazer putihnya, sesekali ia menatap bayangannya sendiri di jendela. “Hari ini... aku akan bertemu dia lagi,” gumam Lyodra, suaranya nyaris seperti bisikan. Ingatan itu datang seperti gelombang. Tentang seorang pria muda berjas hitam, dengan tatapan dingin namun tangan yang hangat menyelamatkannya dari mimpi buruk masa lalu. Pria yang ia sebut cinta pertamanya. Pria yang selalu hadir dalam doanya selama bertahun-tahun. Jamie. Taksi berhenti di depan gedung tinggi menjulang dengan logo 'JC Corp' yang elegan dan dingin. Lyodra menatap ke atas, meneguk napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. “Aku sudah dewasa, Jamie. Aku datang bukan sebagai gadis kecil yang dulu kamu selamatkan, tapi sebagai wanita yang ingin kamu lihat. Yang ingin kamu banggakan.” Setelah menyelesaikan registrasi masuk dan men