"Itu.... "Jeany tampak ragu sebentar, lalu mengusap wajahnya dan menatap Richard dengan mata berkaca-kaca. "Jadi sebenarnya, tadi ada nomor baru yang mengaku sebagai kamu dan bilang kalau kamu menunggu aku di kafe, makanya aku langsung ke sini. Pas aku telepon tidak diangkat. Terus, setelah sampai sini aku baru tahu itu... itu ternyata nomor Damien," jelas Jeany dengan suara bergetar. Meski masih tampak ketakutan, Jeany berhasil menjelaskan semua kronologi kejadian hari ini dengan singkat. Hal itu tentu saja serta merta membuat Richard marah besar sampai mengepalkan tangannya dengan erat. "Berengsek, mana nomornya sekarang, Jeany. Biar aku lacak di mana bajingan itu sekarang," geram Jeany seraya mengulurkan tangan. Jeany segera memberikan ponsel miliknya pada Richard sembari menunjukkan pada sang suami bahwa pesan dari Damien yang sejak siang mengaku sebagai Richard, itu benar-benar ada."Berengsek!"Richard mengumpat lagi, merasa sangat marah kepada Damien yang telah begitu be
Richard benar-benar menyusun strategi dengan matang untuk penangkapan Damien kali ini, dia bertekad bahwa ini benar-benar terakhir kalinya Damien berada di atas muka bumi ini. "Kali ini aku tidak akan membuatmu lolos, Damien. Aku akan memastikan bahwa ini terakhir kalinya aku berurusan dengan bajingan seperti dirimu," geram Richard dengan mata membara oleh rasa dendam. Setiap kali mengingat bagaimana istrinya gemetar ketakutan di pelukannya seperti kain basah di malam itu, Richard merasakan kemarahan menggelegak dalam dirinya. Richard mengusap wajahnya dengan kasar, lantas masuk mobil untuk pulang ke rumah. Hari ini dia harus pulang cepat agar bisa berlama-lama dengan sang istri sebelum besok melakukan eksekusi kepada Damien. Richard sampai rumah, begitu masuk kamar dia menemukan istrinya yang biasanya jam segini sedang latihan muaythai dengan coach nya, ternyata malah berbaring santai di kamar. "Sayang, tidak pergi latihan muaythai?" sapa Richard seraya mendekat ke arah Jeany da
Saat gerakan Richard yang kasar memaksa Jeany untuk menggerakkan pinggangnya dengan bebas, Jeany berhasil berpegangan erat pada selimut yang ia rasakan di telapak tangannya. "Heuk, mhm, ahhh!""Ha, Jeany."Namun, ketika penis keras dan tebal yang menggali jauh di dalam mulai mengenai bagian paling sensitif secara intensif, serangkaian alasan yang hampir tidak dapat ditahan pun pecah."Haang, Richard. Ohhh!"Saat Jeany memanggil nama Richard dengan pikiran tenang, bibirnya terangkat dan menelan bibir Jeany dalam sekejap. Lidah Richard menyerbu mulut Jeany yang terbuka.Setiap gigi, Iangit-langit mulutnya, dan gusi serta jauh di dalam mulut Jeany berada di dekat lidahnya.Jeany mencengkeram leher Richard, tenggelam dalam ciuman itu, dan memeluknya semakin erat. Perasaan yang menggetarkan membawa Jeany pada kenikmatan yang luar biasa saat tubuh kokoh Richard dirasakan melalui ujung dadanya. "Ah, tidak!"Meski begitu, gerakan tubuh bagian bawahnya tidak berhenti, dan Jeany hanya mengel
"Malam ini, bersiap untuk eksekusi."Pagi hari setelah semalam suntuk bercinta dengan sangat buas bersama sang istri, Richard langsung menelepon Kyle untuk menyiapkan eksekusi bagi Damien. Semua sudah dirancang benar-benar oleh Richard, juga sematang mungkin. Hari ini adalah hari Damien berkunjung ke pub dewasa itu, dan Richard sudah menyiapkan HADIAH BESAR untuknya. Seharian Richard merasa tidak cukup tenang dan berkali-kali meninjau kembali rencana yang dia buat. "Hari ini benar-benar harus terakhir, dan aku juga harus menemukan siapa saja orang-orang di balik Damien," tekad Richard sambil mengepalkan kedua tangannya. Malam tiba, akhirnya saat eksekusi tiba. "Tiara, bersiap."Richard menelepon Tiara, wanita yang ia disiapkan untuk Damien. "Baik, Bos."Tiara sudah siap menjalankan tugasnya dan mulai mendatangi Damien yang tengah duduk sendirian di pub dewasa itu untuk menggoda dan menarik perhatiannya. Alasan Richard memilih bawahannya yang bernama Tiara sangat simpel, itu ka
Tiara merupakan salah satu bawahan istimewa Richard, salah satu dari beberapa orang tersembunyi yang selalu bekerja di belakang pria itu dan tak terekspos secara umum, dia dan timnya biasa digunakan oleh Richard untuk misi-misi khusus seperti ini.Identitas mereka tak diketahui publik, tapi termasuk beberapa orang setia yang selalu ada di belakang Richard. Meski beberapa dari mereka memiliki selera yang cukup aneh, Tiara di antaranya.Mereka juga tak terikat jam kerja, itu karena Richard hanya menggunakan mereka untuk misi khusus, seperti sekarang ini.Meskipun Tiara memiliki wajah cantik dan lemah lembut, tapi sebenarnya kepribadiannya sangat jauh dari itu. Dia adalah seseorang yang sangat menikmati menyiksa orang lain. Mendengar jeritan kesakitan dan wajah putus asa korbannya merupakan kesenangan tersendiri bagi Tiara. Seperti saat ini. Melihat Damien yang kini sudah terikat dengan tak berdaya sambil berbaring telentang di atas ranjang, Tiara tersenyum manis padanya.Dia tak sa
Damien terus mengerang kesakitan, menatap ngeri tulang selangkanya yang berdarah. Sementara itu, Tiara hanya tersenyum dengan ekspresi polos dan tanpa dosa. "Kenapa kamu begitu heboh, Sayang? Ini baru permulaan. Agar permainan kita seru," jawabnya, yang membuat mata Damien melotot lebar seperti hendak keluar dari rongganya. "KAMU SUDAH GILA?!!" teriak Damien, sebelum kemudian dia mengernyit menahan sakit saat merasakan darah mengalir ke dadanya, sementara itu, Tiara yang tadi duduk di atas Damien, turun dari tubuh Damien sembari tertawa terbahak-bahak.Wajahnya yang tadi polos dan seperti gadis lemah berubah seketika menjadi ekspresi seorang psikopat. Tiara bahkan tanpa rasa jijik, menjilat ujung pisau kecil yang dia pegang, di mana terdapat darah Damien di sana. Dia lantas melirik ke arah Damien dengan tatapan malas dan berkata. "Kamu tidak tahu? Aku suka menyiksa lawan mainku. Dengan begitu, gairahku akan menggelora.""A-APA?!"Damien berteriak dengan ketakutan, mulai menyada
Richard termenung sejenak atas kejadian tak terduga di mana Damien meninggal secara mendadak, sebelum kemudian dengan suara berat dia berkata ke Tiara lewat sambungan telepon. "Jangan sentuh mayatnya, aku akan mengirim orang untuk membawanya ke tempat aman dan menghubungi ahli forensik kenalanku untuk mencari tahu penyebab kematiannya," titah Richard, yang dijawab anggukan oleh Tiara. "Haaa, kejadian tak terduga selalu terjadi," gumam Richard seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar tak menyangka Damien akan mati begitu mudah. "Aku tak bermaksud membunuh dirinya, hanya menyiksa bajingan itu sampai setengah mati. Tapi kenapa jadi seperti ini?"Richard menyandarkan punggung di kursi kerjanya yang mewah dan mahal seraya menyugar rambut ke belakang, tiba-tiba dia teringat Jeany istrinya. "Bagaimana jika dia tahu saudara tirinya sudah meninggal dan kemungkinan besar akulah penyebabnya? Dia tidak akan marah, kan?"Richard tiba-tiba merasa sangat gelisah dan ingin segera
"Dasar. Selalu pintar memancing."Setelah mengatakan itu, tanpa melepas bajunya, Richard buru-buru masuk ke bak mandi. Dia lantas mencium Jeany dalam-dalam, menyedot lidahnya. Pada saat itu, Richard seperti merasakan rasa haus yang tak terpuaskan yang sepertinya akan menghabisinya.Sembari meletakkan tangannya di p*ssy Jeany, Richard berbisik ke telinga wanita itu. "Hmmm, tapi di sini terasa lebih hangat."Ucapan dengan nada menggoda Richard, membuat pipi Jeany semburat kemerahan karena malu. Apalagi ketika suaminya bertingkah kikuk seperti pria yang baru pertama kali mengalaminya. Richard mengerutkan kening saat pakaian yang menempel di tubuhnya tidak mau lepas seperti yang dia harapkan. Untuk menggoda Richard yang kini kesusahan melepaskan kemeja dan terlihat tak sabar, tangan Jeany dengan lembut bertumpu pada pusaka suaminya yang tegak dan berkata dengan suara lembut. "Kami memiliki banyak waktu, Sayang."Kata-kata Jeany yang lembut seketika menenangkan Richard dan dia kini ba
Luana, mengusap air matanya dan menatap Gio dengan bibir cemberut. "Kamu tadi minta aku buat menemani kamu main, kan? Sini aku temani. Aku temani sampai kamu bosan main game, kalau perlu sampai pagi." Luana mengatakan itu dengan suara serak. Untunglah besok hari Sabtu, sehingga dia tidak perlu bertemu dengan Kyle sampai hari Senin depan. Gio menggeleng tegas, menunduk untuk menyamakan tinggi wajahnya dengan wajah Luana dan menatap gadis mungil itu dengan tajam. "Luna, kamu janji bakal balik sambil tersenyum, kenapa malah nangis lagi? Ada apa? Cerita sama aku, Luna." Ucapan Gio itu dijawab Luana dengan gelengan, dia balas menatap tajam kepada pria jangkung yang wajahnya sama persis dengan Kyle tersebut. "Nggak usah tanya-tanya karena aku nggak bakal mau cerita!" Melihat kekeras kepalaan di wajah gadis itu, Gio hanya menarik nafas panjang dan memilih untuk mengalah. "Ya sudah. Kamu mau ajak aku ke mana sekarang?" Luana kembali menyeret tangan Gio menuju pinggir j
"Kenapa kamu manggil aku Luna terus,sih, dari tadi? Namaku tuh Luana. L-U-A-NA." Luana mengeja namanya di depan Gio karena kesal pria itu mengubah panggilannya sesuka hati. "Bagiku, kamu Luna-ku," jawab Gio cuek, tersenyum geli melihat Luana yang lagi-lagi cemberut. "Luna?" "Ya, kamu memberi kehidupan baru padaku, kamu sudah seperti rembulan bagiku," jawab Gio dengan tenang. Luana yang masih tidak mengerti kenapa Gio melihat dirinya seperti rembulan, memilih tidak memikirkannya lebih lanjut. "Hm, terserahlah. Tapi kamu agak aneh, kenapa menyamakan aku dengan rembulan, kenapa nggak matahari?" tanya Luana, bingung. Gio lagi-lagi hanya mengendikkan bahu. "Pengen aja." "Dasar aneh." Atas ejekan dari Luana tersebut, Gio tertawa lebar. "Tapi aku tampan, 'kan? Kalau kamu nggak bilang aku tampan, berarti Kyle juga jelek karena wajah kita tuh sama," ancamnya. "liih. Kenapa kamu itu nyebelin banget, sih! Serius deh!" Luana menatap sebal vampir jangkung di depannya
Gio mengetuk pelan puncak kepala Luana satu kali sambil sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi badannya dengan gadis itu. "Kenapa kamu nggak tanya baik-baik kenapa dia tadi ngusir kamu, Luna? Aku tebak, kamu langsung pergi dan menangis seperti ini, kan?" tanyanya tenang. Luana membuang pandang sembari menggigit bibir bawahnya. "Itu.... " Dia tidak bisa menjawab. Dia tidak mau mengakui, bahwa dirinya takut bertanya pada Kyle dan mendapat jawaban yang membuat gadis itu semakin hancur, semisal benar kalau Kyle memang membuang dirinya setelah menikmati tubuhnya. Gio, memandang Luana seperti seorang kakak laki-laki yang menasehati adik perempuannya yang menangis karena bertengkar dengan pacar. "Kamu bilang, Kyle bukan tipe yangbakal memukul atau maki-maki kamu, dia nggak mungkin ngelakuin hal itu ke kamu. Jadi, dia juga bukan tipe yang akan ngusir kamu setelah make kamu, kan?" Luana menatap Gio, mengerjapkan mata berkali-kali dengan ekspresi sendu seperti anak kecil
"Sudah kubilang, jangan nangis," ucap Gio. Luana menggeleng, mengusap pipinya yang basah dan menjawab. "Siapa yang nangis, aku nggak nangis." Gio menyilangkan tangan di dada dan menatap Luana dengan pandangan mengejek. "Ah, benar. Kamu, kan, gengsian." Sindiran Gio tersebut seketika membuat bibir Luana cemberut. "Ngapain juga aku gengsi sama kamu!l" serunya sambil menatap jengkel kepada Gio. Gio hanya tertawa kecil, mencondongkan badannya yang tinggi ke arah Luana dan bertanya dengan tenang. "Si Tuan Muda itu nyakitin kamu? Kamu masuk lagi ke dalam bukan karena ada barang yang ketinggalan, tapi menemui dia, bukan?" Luana melengos sebal, mengarahkan pandangan ke jalanan sore depan kantor yang penuh lalu lalang mobil. "Sok tau. Nyebelin," jawabnya dengan bibir cemberut dan muka ditekuk. Gio tersenyum melihat ekspresi manyun gadis mungil itu, lalu dengan santai berucap. "Berarti jawabannya iya." "Enggak!" Luana segera melayangkan tatapan judes padanya, men
Saat keluar dari ruangan Kyle, Luana berusaha tegar dan bersikap seakan tak ada apa-apa. Namun, begitu sampai depan kamar mandi kantor, langkahnya mulai goyah. "Ah." Luana membuka pelan pintu kamar mandi, duduk dia atas toilet dan membuang celana dalamnya yang basah ke tempat sampah dengan ekspresi lunglai. "Kenapa.... " Gadis itu mendesah, menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar suara isakannya tidak terdengar sampai luar. "Kyle, kenapa kamu begini padaku?" gumamnya nelangsa. Menangis seperti itu rasanya lebih sakit dan menyesakkan, tapi hal itu tidak sesakit yang di rasakannya sekarang. Dirinya merasa hancur saat diusir seperti wanita murahan oleh Kyle tadi, hati gadis itu kini remuk redam. "Teganya kamu, Kyle. Teganya.... " Dia menangis sampai bahunya naik-turun, menekan dadanya yang terasa sangat sesak sampai kesulitan bernapas. Dengan pandangan penuh kaca-kaca air mata yang siap tumpah,
"Luana? Bolehkah?" Pria itu meminta izin untuk menjilati leher dan dadanya yang penuh keringat. Saat Luana dengan malu-malu mengangguk, Kyle segera dengan tekun melakukan apa yang dia inginkan. Kyle baru tahu, bahwa keringat gadis ini ketika sedang terangsang ternyata bisa membantu mengembalikan kekuatan miliknya yang sempat menghilang. Magic stone bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan ini. Saat keringat Luana habis dijilat oleh Kyle, kyle memandang Luana dengan ekspresi lapar. "Lun, cara bikin kamu berkeringat bagaimana?" bisiknya dengan suara menggoda, membuat gadis itu memandang Kyle dengan pipi merona merah, sementara Kyle menggesek penis miliknya yang sudah tegak di antara paha Luana. "Kenapa tiba-tiba ingin membuat saya berkeringat, Tuan?" Luana yang gugup, sampai tanpa sadar berbicara formal kepada Kyle. Kyle tidak menjawab, malah melesak kan mulutnya di buah dada Luana yang benar-benar menggoda, membuat gadis itu mengerang pelan dan menggeliat. "Hah
"Kamu tahu.... " Kyle berkata dengan napas tersengal-sengal. "Cuma tubuh kamu yang bisa membuat suhu tubuhku hangat kembali, Luana," lanjutnya dengan suara lemah. Mendengar itu, Luana tanpa ragu segera berdiri dan melempar jas yang ia pakai ke lantai. "Baiklah. Aku akan melakukannya, aku akan melakukan hal itu, Kyle. Aku akan melakukan apa pun! Kamu harus sembuh, kamu nggak boleh pergi!" teriak Luana dengan penuh tekad. Gadis itu segera berlari ke pintu untuk menguncinya dan menepuk tangan satu kali sebagai sensor lampu, membuat ruangan itu seketika gelap gulita. "Kyle, tunggu. Aku akan membantumu!" Luana tanpa ragu dia melepas blush hijau muda yang dia pakai dan melempar bra miliknya ke lantai, kemudian dengan tubuh atas tanpa memakai apa pun, mulai naik ke atas tubuh Kyle yang terbaring di sofa. "Kamu percaya sama aku, oke? Aku akan melakukan seperti saat membuat kamu bisa kembali normal ketika SMA, aku akan membuat kamu sembuh lagi, Kyle. Jangan pergi dulu, jang
Jam kerja selesai. Kyle semakin panik saat melihat Luana yang mulai berkemas, sementara Jasmine dan Gio belum juga meninggalkan meja kerja mereka. Kyle memutar otak untuk mencari cara supaya Luana masuk ke dalam ruangannya tanpa membuat Gio dan Jasmine tahu sehingga kedua makhluk brengsek itu tidak merecoki pertemuan mereka dengan alasan yang mengada-ada. Sementara itu, sakit kepala Kyle semakin parah dan demamnya mulai tinggi. Kyle meraih ponsel di meja, mengetik sesuatu dengan jemari yang gemetar karena demam. [Lun.] Bahkan untuk mengirimkan pesan singkat seperti itu, Kyle membutuhkan usaha yang sangat keras. Kepalanya seperti berputar-putar dan demam yang dideritanya membuat pria itu tidak fokus. Matanya sampai menyipit untuk menyelesaikan chat yang ia kirim ke Luana. [Sini, ke aku.] Tak sanggup lagi mengetik banyak, Kyle melempar ponselnya dan memijat kepala yang seperti meledak. Dia tak sanggup menahan sakit ini lagi, sepertinya magic stone yang dipinjamk
Gio lagi-lagi tersenyum dengan ekspresi licik, sebelum kemudian menjawab. "Karena aku yang menukar sendiri barang itu sebelum sampai ke Kyle, jadi tentu saja aku tahu." Ekor mata Gio melirik ke Kyle yang sedang memijat keningnya dengan ekspresi puas. "Sayangnya, karena kekuatannya melemah, Kyle bahkan nggak sadar kalau barang itu palsu dan terus bergantung pada benda itu seperti orang bodoh," lanjutnya dengan bibir mencibir. "Kamu gila!" Jasmine berseru, menggeleng tak percaya, tapi juga salut pada pria yang sepertinya lebih kuat dari Kyle ini. Sepertinya, pria yang wajahnya mirip Kyle ini sedang tidak berbohong, kini Jasmine baru menyadari bahwa aura Kyle hari ini, memang tidak sekuat dan semenusuk biasanya. "Sekarang, kamu percaya padaku, kan?" Gio bertanya dengan ekspresi penuh kemenangan. Jasmine ingin mengangguk tapi dia sadar bahwa harus berhati-hati dengan pria di sampingnya ini, jadi dia menjawab. "Aku masih harus berpikir lebih dalam lagi." Gio yang