Saat Richard tengah memikirkan alasan apa yang membuat Jeany marah, ibu Richard kembali menelepon. "Dante, sekarang ganti jawab dengan jujur, apa istrimu berubah setelah bertemu denganku? kamu terus bertanya tentang pertemuan kami dari kemarin, jadi aku curiga ada sesuatu yang terjadi di antara kalian. Jangan menutupinya dari ibu," cecar nyonya Rosalie. Karena terus didesak ibunya untuk bercerita, akhirnya Richard pun buka suara. "Ya. Sebenarnya aku yakin dia melakukan ini tidak ada hubungannya dengan ibu, tapi... kemarin dia tiba-tiba dia mendiamkan aku sampai sekarang. Itulah kenapa aku bingung apa sebabnya," jawab Richard seraya memijat keningnya. "Ah! Apakah karena ceritaku?"Nyonya Rosalie tiba-tiba berseru saat mendengar keluhan anaknya, sehingga Richard langsung bertanya apa maksudnya."Cerita apa itu, Ibu?"Nyonya Rosalie pun menceritakan tentang masa remaja Richard, di mana banyak perempuan yang mendekati dirinya tapi semua ditolak oleh Richard. Nyonya Rosalie juga menyeb
"Peluk aku, dengan lembut," jawab Jeany dengan ekspresi sungguh-sungguh. "Sampai aku baik-baik saja. Jadi aku bisa melupakan segalanya dan hanya mengingat kamu," lanjutnya dengan wajah tersipu. Mendengar itu, Richard menyeringai dan berbisik di telinganya. "Kalo itu maumu, tentu saja aku harus mematuhinya.”Saat suaminya mengatakan itu, Jeany merasa menggigil karena rasa senang yang membengkak dalam dirinya, dia segera menerima pelukan dari Richard dengan penuh suka cita. Mereka berpelukan cukup lama, seperti permintaan Jeany yang menginginkan dipeluk sampai tenang dan lupa dengan kecemburuannya, setelah berpelukan, Richard pun memberi istrinya ciuman manis. Richard kemudian membungkuk dan mengangkat roknya. Pria itu membelai kaki istrinya yang ramping dan mencium kakinya. Richard lantas dengan luwes membuntuti ciumannya perlahan ke paha bagian dalam Jeany. Akhirnya, bibir Richard mencapai pusatnya dan dia menciumnya dengan lembut dan penuh perasaan. "Hm? Mmmhhh!"Jeany tersent
Setelah kesalahpahaman kecil yang terjadi antara Jeany dan mertuanya, semua berjalan lancar. Namun, dari kejadian itu, Jeany memutuskan bahwa hanya diam di rumah, membuat pikirannya menjadi sempit. Jadi dia pun meminta izin kepada Richard untuk bekerja. "Rich, menurutmu, bagaimana kalau aku mencoba bisnis dengan membangun sebuah kafe? Aku merasa bosan menghabiskan waktu di rumah, jadi, bolehkah jika aku melakukan sebuah bisnis kecil-kecilan?"Malam hari, Jeany akhirnya mengutarakan keinginannya. Dia mengira Richard akan menolak ide itu, tapi ternyata tidak, suaminya memberi dukungan penuh. "Ya, tentu saja kamu boleh melakukan itu, Sayang. Di mana kamu ingin membangun kafe impianmu? Aku akan membiayai semuanya. Hanya saja, saranku, tempatnya jangan terlalu jauh dari rumah. Boleh?"Richard menyetujui permintaan Jeany hanya dengan satu syarat, yaitu tak boleh terlalu jauh dari rumah. "Tentu saja boleh, Rich!" jawab Jeany dengan penuh semangat. "Hmmm, baiklah. Aku akan mengurus semu
"Siapa sih sebenarnya dia?" Jeany yang membaca catatan misterius yang lagi-lagi itu hanya berupa beberapa baris kalimat singkat, merasa langsung ketakutan begitu membacanya. Jelas-jelas dari catatan itu ada maksud tak baik dari pengirim, tapi siapa? Siapa yang sedang mengintai dan menerorku? "Siapa pengirim bunga dan catatan ini? Kenapa dia terus menerorku?" gumam Jeany dengan gelisah. Muncul beberapa nama di kepala untuk orang-orang yang pernah terlibat dengan dirinya selama ini. Namun, Jeany segera menggeleng saat memikirkan mereka karena mereka semua bukankah sudah dibereskan Richard? "Aku tidak merasa memiliki musuh, tapi siapa sebenarnya dia? Kenapa dia terlihat sangat benci padaku?"Jeany mondar-mandir di ruangannya, memikirkan siapa kira-kira yang mungkin dia sakiti hatinya akhir-akhir ini. Tepat ketika Jeany sedang memikirkan hal itu, Joyi masuk ke ruangan Jeany dan memberi tahu sesuatu yang membuat Jeany sangat terkejut. "Nyonya, ada kiriman bunga lagi."Joyi tidak me
"Ayolah, tolong diangkat, tolong diangkat ...."Jeany berbisik dengan suara gemetar sambil menggigiti kuku jari, wanita itu menekan angka satu dan panggilan kepada Richard pun tersambung pada nada dering ketiga."Jeany, tumben nelepon? Ada apa? Apa kamu ingin kubelikan sesuatu sebelum pulang?"Mendengar suara suaminya tersebut, Jeany segera menjerit histeris antara lega dan ketakutan yang masih merajai dirinya karena melihat tampilan kafe miliknya saat ini."Rich?Halo?! Ini kamu, kan? Kamu benar-benar Richard, kan????"Jeany bertanya dengan seluruh badan gemetaran, takut jika ternyata dia bukan Richard, melainkan penjahat yang telah melakukan semua hal ini padanya. "Rich, tolong katakan jika ini benar-benar kamu! Aku sangat takut sekarang!!" seru Jeany lagi dengan air mata berderai, antara lega juga takut setelah mendengar suara suaminya. "Jeany? Halo? Ada apa? Kenapa suaramu seperti sedang menangis? Ada apa, Jeany?"Di seberang, suara Richard terdengar panik, sedangkan Jeany yang
Jeany memanggil suaminya dengan putus asa. Meski begitu tentu saja Richard tidak mungkin datang secepat kilat begitu Jeany memanggil, karena Richard bukanlah seorang superhero. "Huftt, aku harus tenang di saat seperti ini." Jeany lantai memandang pintu kafe yang tekunci dengan lega, berpikir kalau dia setidaknya aman di dalam. "Aku harus menelepon polisi," ucapnya dan segera menelepon polisi untuk meminta bantuan. Baru saja dia lega setelah menelepon polisi, peneror yang sepertinya mengetahui bahwa Jeany sudah membuka pesan pertama darinya, sebuah pesan baru masuk. Jeany dengan gemetar membacanya. [Peringatan pertama. Haha. Sangat menyenangkan melihat reaksimu, Jeany! Aku sangat lega!!! Kamu pasti ketakutan di dalam, kan? Hmmm, Bagaimana, ya, kalau kubuat tangan dan kakimu yang indah itu terpotong-potong? Kebetulan suamimu yang seperti pahlawan itu tidak ada di sini, jadi kenapa tidak?]Tangan Jeany yang menggenggam ponsel, terlihat memutih karena menggenggam ponsel itu begitu ku
"Kenapa? Kamu takut, Jeany? Ekspresimu saat ketakutan sangat lucu!" ejek Damien sambil memain-mainkan batu yang tengah dia pegang. Tubuh Jeany gemetar hebat saat melihat batu di tangan Damien, apalagi ketika Damien mulai membenturkan batu besar di tangannya ke pintu kaca. "Tidaakkk! Kubilang jangan masukkk!!" Jeany berteriak dengan panik saat menyadari sebentar lagi pasti berhasil masuk.Sampai berapa lama dia bertahan dari serangan Damien? Apakah dia akan selamat kali ini sementara Richard tak ada tanda-tanda akan datang? Jeany berteriak dalam hati dengan wajah pias. "Hahaha! Jeany, ekspresimu sangat menghibur!"Damien tertawa keras melihat ketakutan di wajah Jeany dan memukulkan keras-keras batu itu di pintu kaca. Lalu.... Pranggg!!!Pintu kaca itu retak, sehingga Jeany memegang sapu erat-erat dengan tangan yang sudah basah keringat, memandang pintu dengan pasrah. Damien menyeringai lebar sambil membenturkan kembali batu di tangannya dengan kekuatan yang lebih besar. "Tidaa
"Itu.... "Jeany tampak ragu sebentar, lalu mengusap wajahnya dan menatap Richard dengan mata berkaca-kaca. "Jadi sebenarnya, tadi ada nomor baru yang mengaku sebagai kamu dan bilang kalau kamu menunggu aku di kafe, makanya aku langsung ke sini. Pas aku telepon tidak diangkat. Terus, setelah sampai sini aku baru tahu itu... itu ternyata nomor Damien," jelas Jeany dengan suara bergetar. Meski masih tampak ketakutan, Jeany berhasil menjelaskan semua kronologi kejadian hari ini dengan singkat. Hal itu tentu saja serta merta membuat Richard marah besar sampai mengepalkan tangannya dengan erat. "Berengsek, mana nomornya sekarang, Jeany. Biar aku lacak di mana bajingan itu sekarang," geram Jeany seraya mengulurkan tangan. Jeany segera memberikan ponsel miliknya pada Richard sembari menunjukkan pada sang suami bahwa pesan dari Damien yang sejak siang mengaku sebagai Richard, itu benar-benar ada."Berengsek!"Richard mengumpat lagi, merasa sangat marah kepada Damien yang telah begitu be