Sosok mungil yang dulu selalu ia idamkan, tapi kenapa sekarang terasa sangat berat di hatinya?Memiliki anak lagi bukan masalah, tapi sekarang ia bahkan tidak punya tempat kembali kecuali mendompleng pada Via temannya."Haruskah aku kembali padanya dan mengatakan soal janin ini?" lirihnya nyaris tak terdengar.Membayangkan betapa Galih tak perduli pada saat terakhir hatinya mulai sakit dan marah. Pria itu pasti akan mengejeknya jika ia mengatakan telah hamil dari hubungan mereka. "Tidak, bahkan sebaiknya aku pergi saja dari hidupnya sejauh mungkin," ujarnya sambil terus menatap ke layar monitor USG."Usianya enam Minggu, dia sehat," kata dokter itu menginterupsi lamunannya."Oh, syukurlah, Dokter," katanya sedikit terkejut dengan senyuman dipaksakan."Ini pasti akan membuat suamimu bahagia, selamat," kata dokter itu menyelamati.Setelah selesai pemeriksaan dan resep vitamin, Aziya melangkah pergi dari klinik tersebut dalam hati yang gundah. Menjalani kehidupan seorang ibu tunggal san
Galih mengambil ponsel ayahnya, melihat kebenaran gambar yang telah ayahnya dapatkan dari seseorang. Ia sungguh penasaran dan sangat berharap semua itu benar adanya.Dengan menatap layar ponsel tak berkedip, Galih melihat sisi itu dan wajahnya langsung berubah. Terlihat senyum bercampur cemas menjadi satu."Ini Humaira ayah, ibu... mereka benar-benar masih hidup," ucapnya bergetar. "Dimana ini? Aku harus mencarinya sendiri," katanya lagi."Tenanglah Galih... kita akan mencarinya, tapi kau harus tenang.""Bagaimana bisa ayah, bagaimana aku bisa tenang? Rasanya aku sudah hampir gila karena tidak bisa menemukan mereka. Dan sekarang aku percaya, bahwa mereka memang masih hidup dan tinggal tak jauh dari kita, aku harus mencarinya sebelum aku menjadi semakin gila."Setelah mengatakannya, kini Galih memperhatikan secara seksama lokasi dimana foto itu diambil. Sayangnya ia tak mengenali tempat tersebut.Dengan cepat Iapun mengirimkan gambar tersebut kepada salah seorang asistennya."Ayah, ibu
Alih-alih menggubris ancaman Arkan, Galih malah sangat bersemangat karena mendapatkan titik terang keberadaan Aziya dan kedua anaknya."Menelantarkan katanya? Mana mungkin aku sekejam itu, mereka yang pergi dariku dengan kejam, aku tidak mungkin membiarkan mereka hidup dalam kekacauan," omel Galih pada dirinya sendiri saat melaju dengan kencang menuju Bandara. Ia harus mendapatkan mereka bagaimanapun juga."Kalian mau kemana? Kenapa harus pergi? Ah tidak, bahkan aku masih trauma soal kecelakaan itu," ocehnya penuh kekhawatiran.Membayangkan hari-hari mendapatkan berita kecelakaan itu, rasanya Galih sudah sangat putus asa. Hidupnya serasa tidak lagi berguna dan penyesalan menyiksanya setiap waktu."Kau tidak boleh pergi, Aziya. Kau harus kembali padaku," katanya.Sementara itu, Arkan menghampiri Aziya dan kedua anaknya."Kau terlihat sangat pucat dan kurus, Aziya. Apa kau sedang sakit?" tanya Arkan sembari memperhatikan wajah Aziya yang tirus. "Apa kau tak bahagia hidup bersama Galih?
Arkan tersenyum kecut, "Bagaimana aku tau kau menyesal atau tidak? Kau suaminya, kau juga kaya, tapi dia tidak terlihat bahagia atau menuruti apa yang kau mau. Hubungan macam apa yang terjadi diantara kalian?" cibir Arkan mencemooh Galih."Sial! Ini bukan urusanmu!""Benarkah? Aziya tadi bilang... aku mungkin punya kesempatan untuk bisa bersama dengannya, kalian sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi bukan?" kata Arkan semakin menggoda emosional Galih. Arkan hanya ingin tahu sebenarnya seberapa besar Galih mencintai Aziya.Galih sangat marah sekarang. Hidupnya serasa semakin kacau. Batu saja kehilangan Aziya karena wanita itu telah lepas landas, sekarang Arkan berbicara omong kosong."Apa maksudmu tidak ada apa-apa? Dia istriku, aku tidak akan membiarkan siapapun memilikinya!" katanya sambil mencengkram kerah leher kemeja Arkan."Ssst, lepaskan tanganmu, banyak orang di sini yang melihat kita," kata Arkan, berusaha melepaskan cengkraman Galih."Begini saja, aku akan berusaha mendekatin
"Deo Anggara adalah putra sulungku yang bekerja di entertainment. Aku benci melihatnya selalu membawa wanita jalang pulang ke rumah. Akhir-akhir ini aku bersyukur dia sudah tidak lagi melakukannya, tapi kau tetap harus berhati-hati, aku tidak suka kalau dia sampai mengganggumu," begitu kata wanita itu memperingatkan Aziya dari putranya sendiri."Baiklah, Bibi. Aku malah merasa menjadi beban di rumah ini.""Tidak Aziya, kau samasekali bukan beban, tapi kau malah menjadi hiburan bagiku. Dan ini, aku juga sudah menyiapkan semua kebutuhan kamu dari pakaian dan juga perlengkapan di ruangan ini, jadi kau bisa leluasa di dalam sini."Aziya tertegun dengan semua yang diberikan bibi Elena untuknya. Kamar besar itu lebih seperti sebuah apartemen mewah yang sudah komplit dengan dapur minimalis dan juga kamar mandi dengan bathtub. Ditambah lagi balkon yang bisa melihat pemandangan sebuah taman di samping rumah."Tapi ini terlalu berlebihan, Bibi," ujar Aziya, ia hanya bisa merasa sangat berhutang
Aziya benar-benar terkejut, ucapan Deo seperti mengintimidasi dirinya saat ini."Apa maksudmu? Apa yang harus diikuti? Aku tidak pernah berpikir seperti itu, sebab keadaan seseorang di dalam pernikahan bukankah tidak bisa diprediksi?" kata Aziya balik bertanya."Siapa sih yang mau pernikahannya hancur? Pastilah tidak ada yang berharap kehancuran itu terjadi.""Kau sangat kejam karena memisahkan anak dari ayahnya, bukankah itu jejak yang sama dengan ibuku?"Aziya yang merasa dihakimi semakin kesal."Terserah! Kau tahu, lelaki semacam kamu adalah lelaki yang sama dengan ayah kedua anakku. Siapa yang kejam sebenarnya ini? Tentu saja pria brengsek yang tidak tahu perasaan seorang wanita, bukankah begitu?!"Deo langsung tersenyum saat ia dikatai brengsek oleh seorang wanita lusuh seperti Aziya. Hidupnya yang biasa bersenang-senang dengan wanita cantik cukup heran dengan nyali Aziya."Justru karena aku sangat memahami perasaan wanita, itulah sebabnya aku sudah mengatakan bahwa aku tidak aka
Dari dekat, barulah Via mengerti siapa yang sedang berada di restoran miliknya. Dia adalah Galih, pria brengsek yang mempermainkan perasaan sahabatnya. Dia adalah seorang pria yang menjadikan pernikahan sebuah permainan, bagaimanapun ia tidak bisa menerima perlakuan lelaki ini pada sahabatnya."Apa ini? Kenapa makanan restoran kita dikembalikan? Sebaiknya komplain harus ditangani dengan tegas karena bisa jadi seseorang sedang berusaha merusak reputasi restoran kita," kata Via, ia bersedekap ketus saat berbicara pada karyawannya demi menyinggung Galih."Begini Bu... ""Ini restoran ku, kalau tidak suka siapapun boleh mencari restoran lain tanpa melakukan perbuatan-perbuatan tidak hormat."Galih juga heran, apa yang telah membuat wanita ini tersinggung? Tentu saja ia akan membayar penuh semua yang dia beli, tanpa mengurangi rasa hormat. Akan tetapi ia tidak bisa menelan masakan yang baru saja dihidangkan. Ia harus membeli makanan yang lain dan tidak berbau amis.Galih berdiri, berhadapa
Elena begitu tercengang dengan putra yang dengan terang-terangan berani melamar Aziya, tamu terhormatnya. Ia tidak bisa membayangkan perasaan Aziya saat ini, apakah wanita itu baik-baik saja mendengarkan ocehan putranya?"Pergilah, Deo, kau tidak harus mengganggu kami," tegas ibunya mengusir putranya."Astaga, ibu sangat protektif sama dia, aku jadi penasaran, sebenarnya siapa sih yang anak ibu," gerutunya tapi tetap menurut pergi karena Aziya terlihat canggung. "Biasanya, ibu yang memohon supaya aku datang, tapi sekarang ibu malah mengusirku, tapi baiklah... demi calon menantu ibu, aku rela buat pergi," oceh Deo lagi.Elena menggelengkan kepalanya karena kelakuan Deo yang sangat membuatnya resah. "Maafkan Deo, Aziya. Dia memang suka jadi biang kerok kalau di rumah," terang wanita itu karena menyesali suasana yang tadi tenang malah jadi tegang karena ulah Deo."Nggak apa-apa, Bibi, Deo memang masih suka bebas, sehingga ia mengatakan apapun yang dia mau," jawab Aziya."Benar katamu, a