Seorang gadis memasuki area pemakaman dengan langkah gontai. Tak jarang badannya ambruk pun kadang tersungkur karena air mata yang laksana bah telah mengaburkan pandangannya.
Bibir tipisnya tak lekang menyebut nama Zain--sang penghuni hati. Ia adalah lelaki yang sebelum akhir hayatnya telah menghujamkan luka di hatinya. Lelaki yang membuat hatinya patah ketika memutuskan bersanding dengan wanita lain, dan semakin patah bahkan serasa ikut mati di detik ketika kabar kematian si lelaki sampai di gendang telinganya.
Seharusnya pagi ini Zain duduk di pelaminan bersama Nurmala, gadis yang menurutnya ia cintai. Gadis idaman yang selama ini ia cari. Namun nahas sebelum itu terwujud, kecelakaan tunggal telah merenggut nyawanya pun separuh nyawa Raisya. Semangat hidup seorang Raisya seolah ikut terkubur bersama jasad sang kekasih hati.
Raisya tersungkur di atas pusara dengan air mata yang entah seakan tak ada habisnya.
"Aku lebih ikhlas kalau Mas meninggalkanku untuk menikahi Nurmala, bukan meninggalkanku dengan cara seperti ini."
Raisya meraung tanpa suara, menahan sesak dalam dada. Tangisnya semakin lama berubah menjadi isakan, hingga terasa lelah mata meminta untuk terpejam. Lelah jiwa raga membuatnya terlelap untuk beberapa saat.
"Sya ...."
Ia rasakan sebuah tangan mengelus pundaknya. Entah berapa lama matanya terlelap, mendekap pusara Zain. Ketika ia menoleh, tampak di matanya wanita yang telah merebut hati lelaki penghuni hatinya, menatapnya dengan penuh rasa iba.
"Mas Zain sudah tenang di sana, Insyallah. Kamu yang sabar, ya? Ikhlaskan," tuturnya lirih.
Raisya menghela napas panjang. Gadis yang sekarang berdiri di hadapannya itu adalah calon pengantin Zain, Nurmala. Gadis santun yang senantiasa menghiasi kepalanya dengan kerudung lebar.
Nurmala tampak terlihat tegar meski matanya terlihat merah dan sembab.
"Ayo, ikutlah denganku. Mungkin kamu butuh menenangkan diri sebelum kembali ke kotamu," ajak Nurmala.
Kata-kata gadis itu kembali membuat Raisya tergagap. Sambutan Nurmala terhadap dirinya sungguh diluar dugaan. Raisya pikir, Nurmala akan mencacinya dan melampiaskan kekesalannya pada Raisya.
***
Deru mobil membawa Raisya ke sebuah rumah bercat hijau muda dengan halaman yang cukup luas. Rumah asri yang ditanami berbagai jenis bunga di sekitarnya, persis seperti rumah idaman Raisya selama ini.
Nurmala menuntun Raisya menuju sebuah kamar dan mendudukannya di atas kasur. Raganya kini seolah tak bertulang, lemas. Nurmala memandang Raisya sekilas lalu menghembuskan napas panjang.
"Istirahatlah disini malam ini. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirihnya.
Dia hendak beranjak keluar sebelum akhirnya berbalik ke arah Raisya lagi.
"Ini adalah kamar Almarhum Mas Zain. Kamu ...." dia berhenti berucap ketika wajah Raisya yang semula menunduk, mendongak seketika.
Bagaikan orang linglung, Raisya mengedarkan pandangan, menelisik tiap sudut kamar, berharap menemukan jejak-jejak Zain di sana.
Tampak buku-buku berjajar rapi di raknya. Mayoritas buku-buku sastra yang dulu sering mereka baca bersama. Ada pula beberapa foto yang diletakkan di nakas. Foto yang membuat dadanya bertambah sesak dan merembeslah lagi air mata yang sempat terhenti.
Terdengar Nurmala menghembuskan nafas berat lagi. Kemungkinan ia jengah dengan perilaku Raisya yang tak henti-hentinya menangis.
"Ma-af. Aku hanya ... hanya shock. Aku tak mengira kalau ... kalau semuanya akan berakhir seperti ini."
Tangis Raisya pecah kembali. Bukan ... bukan menangis, lebih tepatnya meraung. Nurmala beranjak mendekatinya lalu merengkuh Raisya ke dalam pelukannya.
"Sudahlah, tenangkan dirimu. Kita bahas itu nanti. Istirahatlah! Aku ada di ruang tengah jika kamu butuh sesuatu," ucapnya lalu beranjak keluar dan menutup pintu kamar pelan.
Setelah kepergian Nurmala, tubuh Raisya beringsut meraih foto di atas nakas. Memeluknya dengan deraian air mata, lalu merebahkan tubuh dengan tatapan kosong. Raisya merasa seakan dunianya telah usai bersamaan dengan tutupnya usia seorang Zain.
***
"Sebelumnya aku mau minta maaf padamu, harusnya pada Mas Zain juga," ucap Nurmala lirih, kepalanya kian menunduk menatap kaki telanjangnya yang menapak lantai.
"Kau tahu, aku merasa begitu bersalah telah menjauhkan Mas Zain darimu," lanjutnya lagi.
Nurmala menatap lekat netra Raisya seolah mencoba menebak pikiran gadis yang dicintai almarhum calon suaminya tersebut. Raisya dengan mata sembabnya perlahan menunduk, mencoba menyusun kalimat yang tepat untuk menanggapi untaian kalimat-kalimat Nurmala. Untuk beberapa saat mereka sama-sama terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
"Malam sebelum kecelakaan, kami sempat berdebat tentang ... tentang dirimu."
Nurmala mencoba membuka percakapan dengan hati-hati. Entah perasaan siapa yang ingin ia jaga.
"Mas Zain tak mau melepasmu," lanjutnya lagi.
Raisya tertegun, sedangkan matanya mulai mengembun. Sedang Nurmala, merasakan nyeri di hatinya saat mengungkap kebenaran tersebut kepada Raisya.
"Nur, bisakah kita tak membicarakan ini lagi. Aku sudah ikhlaskan semua. Ikhlas dia yang lebih memilihmu, dan sekarang ikhlas karena dia telah berpulang," dalihnya, meski jauh dalam hatinya masih tak rela dengan pukulan bertubi-tubi yang diterimanya.
"Terimakasih untuk tidak memusuhiku," lanjut Raisya, lirih.
"Aku sudah merasa baikan. Kalau tak ada lagi hal yang ingin dibicarakan, aku pamit pulang!" lanjutnya lagi.
Tanpa menunggu jawaban Nurmala, Raisya menyambar tasnya lalu beranjak menuju pintu utama. Tak mendengar apa pun lagi mungkin lebih baik bagi hati Raisya.
"Tetaplah ceria seperti Raisya yang dikenal Mas Zain! Itu permintaan terakhirnya,"
seru Nurmala, membuat Raisya urung melangkah.Raisya menarik napas dalam, menahan bulir bening itu jatuh lagi. Riak mukanya kian mendung.
"Setelah semua yang dia lakukan di belakangku, lalu dia pergi begitu saja tanpa tanggung-tanggung. Dia pergi ke tempat yang aku tak bisa menjangkaunya sama sekali. Apakah menurutmu aku masih bisa ceria seperti dulu?" jawabnya, masih membelakangi Nurmala.
"Dia hanya ingin maaf darimu, itu saja. Dan ikhlaskan janji yang pernah dia ucapkan," lanjutnya lagi.
Bayangan masa lalu terlintas di benak Raisya. Ia hampir melupakan janji yang telah Zain ikrarkan dulu. Janji akan selalu di samping Raisya untuk menjaganya apapun yang terjadi, meski setelah mati, Zain rela menjadi hantu, candanya kala itu. Tak tanggung-tanggung, janji yang diikrarkannya dengan setetes darahnya juga darah Raisya di atas sebuah batu.
"Andai aku tak mengikhlaskannya bagaimana?"
Nurmala yang masih berdiri di dekat sofa, beranjak mendekati Raisya yang telah berada di ambang pintu lalu ditatapnya lekat netra gadis cantik di hadapannya tersebut.
Nurmala yang berhati lembut, mampu merasakan getar kehampaan lewat mata Raisya. Betapa kesedihan telah merenggut keceriaannya yang selama ini selalu Raisya tampakkan.
"Aku tak tahu janji apa yang Almarhum maksud. Aku hanya menyampaikan pesan."
"Jika memang dia menepati janjinya, harusnya saat ini dia sudah jadi hantu, 'kan?" Raisya tertawa sumbang.
Kekecewaan, penyesalan dan rasa kehilangan mulai menghempaskan setengah kewarasannya. Sedikit pun Raisya tak berniat menagih janji yang telah ia lupakan. Janji yang terkubur bersama raga yang terbujur kaku dalam liang lahat.
Sebelumnya pun, ia telah lelah menuntut status hubungannya dengan Zain yang tak jelas arah tujuannya hingga berdatanganlah satu persatu wanita yang singgah dan berlalu di hati Zain. Hati seorang Zain memang tak ubah seperti jalan tol.
Wajah yang rupawan dengan tinggi tak kurang dari 175 cm itu menjadi incaran kaum hawa. Kulitnya yang bersih dengan jambang tipis tak ayal membuat penampilannya tampak lebih macho. Bisa di bilang ia seorang badboy. Meski Raisya tahu, Zain hanya membutuhkan perhatian dan kasih sayang sebagai pelampiasan perlakuannya dulu dari keluarganya. Sialnya, betapa tergila-gilanya Zain dengan wanita pilihannya, tapi tetap tak bisa melepas genggamannya pada Raisya.
"Kita pun tau tak ada istilah hantu. Arwahnya sudah berpindah tempat dan tak lagi ada di sini, bukankah begitu?" lanjutnya lagi.
Nurmala hanya mengangguk lalu mengantarkan kepergian Raisya sampai ke teras setelah sebelumnya menawarkan mengantar sampai terminal.
"Aku lumayan mengenal daerah ini. Percayalah, aku akan baik-baik saja," kilah Raisya, menolak secara halus tawaran Nurmala.
***
Raisya memandang makam Zain dari seberang jalan. Tak ada niat mendekat, hanya singgah untuk berpamitan. Hatinya telah ikhlas melepas.
Raisya mulai menyusuri jalan menuju warung terdekat, berharap menjumpai seteguk air mineral untuk sekedar melepas dahaga.
Ia ulurkan uang lima ribuan kepada bibi penjaga warung lalu membuka tutup air mineral dingin yang baru saja ku keluarkan dari dalam show case. Bibi warung hanya tersenyum dan bertanya ala kadarnya mengingat asingnya wajah Raisya.
"Duduk dulu, neng! Angkot menuju terminal mungkin setengah jam lagi baru lewat," ujarnya.
Raisya hanya mengangguk lalu duduk di bangku panjang depan warung. Ia menghela napas panjang, mencoba melepaskan beban yang semakin menindih semangatnya untuk hidup. Tatapannya kosong ke arah jalan dengan berbagai macam kendaraan berlalu lalang yang disertai deru juga debu. Pikirannya jauh berkelana mengulik kenangan bersama seorang Zainal Abidin.
Suara hantaman juga ledakan tiba-tiba menggema di seluruh penjuru. Badan Raisya terhempas kuat ke samping. Samar ia melihat bibi pemilik warung tersungkur tertindih atap, juga ... juga dia. Dia yang kini sedang mendekapnya erat.
Air matanya menggenang demi melihat Zain yang beberapa jam lalu telah dibaringkan di peristirahatannya yang terakhir. Namun sekarang dia di sini.
"Dia pergi ke tempat yang tak pernah bisa kutemui!! Kecuali ... kecuali kalau kami berada pada satu kondisi, satu dimensi."
"Iya lah! Temui dia setelah kalian sama-sama jadi arwah!"
Percakapannya dengan Nurmala kembali terngiang sebelum akhirnya semua menghitam dan gelap.
Apakah Aku Sudah Mati?"Di mana aku? Tempat apa ini?" Raisya bermonolog. Pikirannya tak mampu mencerna.Ia edarkan pandangan ke sekeliling. Tampak di hadapannya sebuah jalan setapak yang dikelilingi pohon jati. Tempat yang benar-benar asing. Tak ada apapun selain ia dan pohon-pohon yang bergerak pun rasanya tidak.Raisya berjalan ragu-ragu menyusuri jalan tanpa alas kaki. Entahlah, apa itu bisa disebut berjalan atau melayang lebih tepatnya, karena Raisya merasa tubuhnya seringan kapas.Belum usai tanya yang mengganggu pikiran, tiba-tiba dalam sekali kedip, jalan setapak berubah menjadi jalan perkotaan yang teramat lebar dengan bangunan megah di sekitarnya. Suasana pun berubah menjadi ramai. Namun ada yang aneh. Mereka yang berlalu lalang menatap tanpa ekspresi, dan lagi, semua seakan berjalan dengan arah berlawanan dengan Raisya. Tak ada seorangpun yang berjalan searah dengan langkahnya.Tiba-tiba riuh ricuh menggema. Entah bagaimana ceritanya doro
Sesaat setelah kepergian Raisya, Nurmala duduk termenung di sisi ranjang kamarnya.Tatapannya nanar ke arah kebaya pengantin yang teronggok di sudut ruangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya pun kini tumpah tanpa bisa ia bendung lagi.Undangan bahkan telah tersebar, dan hari ini seharusnya ia tersenyum di pelaminan bersama Zain. Namun, ternyata takdir berkata lain, justru tangis berkepanjangan yang ia dapatkan saat Zain pulang dalam keadaan telah menjadi mayat.Zainal Abidin!Pria gagah dengan jambang tipis yang memiliki senyum menawan. Sosok yang telah mencuri hatinya setelah sekian lama ia menutup hati. Zain yang penuh perhatian, membuat Nurmala luluh. Ia memperlakukan Nurmala bak ratu.Zain pula yang mengenalkannya pada sosok supel Raisya. Raisya yang diperkenalkan Zain sebagai adik angkatnya. Namun perlakuan Zain pada Raisya sungguh berbeda dari yang Nurmala kira. Binar-binar cinta di mata Zain ketika memandang Raisya cukup membuat Nurma
Flash BackZain menatap Raisya dan Faisal yang sedang bercengkrama dengan pandangan nanar. Ia tak habis pikir bagaimana bisa Faisal yang notabene terkenal dingin bisa seceria dan seramah itu dengan Raisya. Tak bisa ia pungkiri, Raisya memang punya daya pikat sendiri dibanding gadis-gadis lain. Fisiknya yang menawan dengan karakternya yang unik membuat semua orang betah berlama-lama dengannya.Zain mengurungkan niatnya untuk mendekat. Ada percikan-percikan cemburu yang siap meledak di hati Zain saat ini. Ia takut pada perasaannya sendiri yang selalu mengakui bahwa Raisya hanyalah seorang adik baginya, tak lebih. Meski tak jarang pula Raisya menanyakan perihal hubungan mereka yang memang tak bisa disebut biasa. Namun lagi-lagi Zain mengelak dengan alasan yang meruntuhkan harapan Raisya.Zain melangkahkan kaki menuju taman kota dengan hati gamang. Masih bisa ia lihat mereka yang sedang bercengkrama di depan sana, di warung bakso Pak Ujang. Taman ini memang be
Zain memarkir motor agak jauh dari tempat kos Raisya. Bagi Zain, tidak lah penting apakah Raisya bersedia menemuinya atau tidak. Paling tidak, ia bisa memandang wajah Raisya untuk terakhir kali sebelum memboyong Nurmala ke Lombok, tanah kelahirannya.Dari balik jendela kaca dengan korden yang terbuka, terlihat Raisya menangis sesenggukan sambil memeluk lutut.Zain terperangah saat menyadari bahwa Raisya bukan memeluk lutut, melainkan memeluk jaket kulit berwarna hitam miliknya. Tak terasa air matanya menitik, menyaksikan Raisya yang terluka karena keegoisannya.Dalam keremangan cahaya bulan, ia sembunyikan bayangan diri di balik pohon di seberang jalan demi melunturkan rindu yang tak lagi mampu ia tahan.Deru mobil mendekat, lalu berhenti tepat di sampingnya yang tak tampak oleh mereka. Bisa ia dengar dengan jelas percakapan dua orang yang berada dalam mobil tersebut."Ingat ya? Taruh benda ini di kantong baju Raisya. Bagaimanapun caranya, ba
Dirja menghempaskan badan dengan kasar ke sofa ruang tamu, memijit pelipisnya pelan. Kekesalannya mengingat kegagalan Mbah Tukijan untuk melenyapkan Raisya membuat kepalanya berdenyut-denyut. Apalagi jika teringat gepokan uang berwarna merah yang ia berikan beberapa waktu lalu."Bisa-bisanya salah orang? Makhluk bod** macam apa yang dipeliharanya? Dasar dukun amatir!" gerutunya."Kenapa lagi, Pak? Gagal, ya? Ck ...."Lisa--anak bungsu Dirja angkat bicara sambil terkekeh lirih."Udah Lisa bilangin kalau dukun pilihan bapak itu dukun abal-abal! Udah abal-abal, mesum lagi!" timpalnya lagi."Nanti malam bapak mau ke sana, kamu ikut gih!" bujuknya."Ogah! Lisa malas ke tempat kumuh itu, belum lagi mata dukun mesum itu jelalatan nggak karuan. Bapak rela Lisa diapa-apain sama dia? Ihhh ... amit-amit!!" cerocosnya, bergidik ngeri."Ya, nggak mungkin diapa-apain, Lis. 'Kan ada bapak!""Ogah! Ajak ibu aja, tuh," jawabnya, ketus. Keke
"Lah, kenapa kaget gitu, Van?" "Ya Allah ... tadi saya pikir bapak siapa, muncul tiba-tiba gitu," gerutu Revan sembari mengelus dadanya. Pak Subur malah menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang hitam akibat racun rokok yang dihisapnya saban hari. "Kenapa motornya? Coba sini bapak lihat?!" Pak Subur yang memang punya bengkel motor, sedikit banyak tahu hal ihwal permasalahan motor. Beberapa menit kemudian suara bising pun terdengar. "Ndak apa-apa gini, loh!" katanya. "Tadi tiba-tiba aja mati, Pak," jawab Revan, keheranan. "Yo wes, ayo bapak bonceng saja! Kamu ndak kira kuat ngadepin barang ndak jelas gitu!" gerutu Pak Subur sambil meraih kendali motor dari tangan Revan. "Barang ndak jelas apa maksudnya, Pak?" Revan dirundung rasa penasaran. "Nanti bapak jelaskan di rumahmu, Le! Wes jangan banyak tanya! Wes Magrib ini." Pak Subur pun melajukan motor dengan kecepatan maksimal, seolah-olah se
Sebuah bayangan mengendap-endap di lorong rumah sakit. Gerak-geriknya yang mencurigakan, mengundang perhatian seorang perawat yang kebetulan sedang melintas. Ia pun menghampiri pria yang sebagian wajahnya tertutup masker tersebut."Maaf, Pak! Jam besuk sudah habis. Tidak seharusnya Bapak ada di sini," tanyanya dengan mata memindai penampilan Dirja yang memakai setelan serba hitam.Dirja bergeming, menatap lurus mata perawat di depannya sambil merapal mantra. Urung, perawat yang tadinya mencegahnya memasuki ruangan, kini mematung di tempat--tampak linglung sesaat--hingga akhirnya berjalan menjauh tanpa memedulikan keberadaan Dirja.Gegas Dirja melesat menuju ruangan Raisya dirawat. Ruangan tersebut berada di lantai dua, khusus untuk pasien dengan penanganan intensif. Sama halnya yang ia lakukan terhadap perawat tadi, Dirja mulai merapal mantra lalu meniupkannya ke udara.Ia melenggang santai menuju sebuah brankar yang di atasnya terbaring tubuh lemah
Di atas gundukan tanah yang masih basah, Dirja terisak. Tangis kekalahan serta tangis kehilangan membaur jadi satu. Kini dendamnya kepada sang kakak tertua beserta anak cucunya makin menggunung.Gegas ia memacu laju mobil menembus senja menuju hutan tempat Mbah Tukijan berada. Satu jam berlalu sejak ia meninggalkan kota, kini pondok yang ia tuju telah di depan mata. Tampak Mbah Tukijan sedang bersemedi ditemani kepulan asap kemenyan."Kamu gagal!"Lelaki sepuh itu berkata tanpa membuka mata. Dirja terduduk lunglai di depannya dengan pandangan kosong."Ada seseorang yang membantu kakakmu mengembalikan kiriman-kiriman kita. Sepertinya dia bukan orang sembarangan," kata Mbah Tukijan, menyudahi semedinya."Malam ini malam Jumat Kliwon. Bukankah waktu yang tepat untuk menyerang kediaman mereka. Buhul yang saya tanam sepertinya belum bisa mereka temukan," sahut Dirja."Baiklah, sediakan barang-barang yang saya perlukan sesegera mungkin sebel