Apakah Aku Sudah Mati?
"Di mana aku? Tempat apa ini?" Raisya bermonolog. Pikirannya tak mampu mencerna.
Ia edarkan pandangan ke sekeliling. Tampak di hadapannya sebuah jalan setapak yang dikelilingi pohon jati. Tempat yang benar-benar asing. Tak ada apapun selain ia dan pohon-pohon yang bergerak pun rasanya tidak.
Raisya berjalan ragu-ragu menyusuri jalan tanpa alas kaki. Entahlah, apa itu bisa disebut berjalan atau melayang lebih tepatnya, karena Raisya merasa tubuhnya seringan kapas.
Belum usai tanya yang mengganggu pikiran, tiba-tiba dalam sekali kedip, jalan setapak berubah menjadi jalan perkotaan yang teramat lebar dengan bangunan megah di sekitarnya. Suasana pun berubah menjadi ramai. Namun ada yang aneh. Mereka yang berlalu lalang menatap tanpa ekspresi, dan lagi, semua seakan berjalan dengan arah berlawanan dengan Raisya. Tak ada seorangpun yang berjalan searah dengan langkahnya.
Tiba-tiba riuh ricuh menggema. Entah bagaimana ceritanya dorongan serta himpitan dari kerumunan orang-orang menggiring Raisya memasuki gedung dengan ruangan yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah tiang besar yang tinggi menjulang. Semacam mercusuar namun lebih luas, lebih megah dan lebar. Perasaan Raisya tak menentu dengan puluhan manusia yang berjibun dalam gedung, tanpa satupun yang ia kenal.
Raisya berusaha mencari jalan keluar, namun nihil. Ia berputar-putar dalam sebuah labirin megah ... seorang diri. Perasaannya mulai kalut, berusaha menepi diantara jibunan manusia lalu terisak lirih. Ia merasakan kesendirian dan keterasingan yang begitu menyayat.
"Aku mau pulang," rintihnya, menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Cairan bening pun meluncur bebas dari pelupuk matanya yang memerah.
Raisya tersentak saat seseorang mendekap tubuh mungilnya. Belum sempat mendongakkan muka, sosok tersebut telah menggiringnya berjalan tanpa melepas dekapan. Berusaha melindunginya dari riuhnya lalu lalang.
"Pulanglah!!" Ujarnya setelah mereka berjalan beberapa saat.
Mata Raisya membulat sempurna ketika mendapati dirinya telah berada di luar gedung. Lebih mengejutkan lagi melihat sosok yang kini mendekap tubuh ringkihnya.
Dia adalah lelaki yang ia rindukan. Memakai kaos berwarna putih dipadu padan dengan celana jeans biru. Jambang tipis dengan alis tebal serta rambut hitam lebat. Dia adalah Zainal Abidin.
Raisya menangis tergugu dan semakin mengeratkan pelukan. Ia luahkan segala sesak dalam dada hingga runtuhlah rindu yang sempat membatu.
"Pulanglah," katanya, lembut; menatap mata Raisya yang sembab.
"Tak bisakah kita pulang sama-sama?" tanyanya memelas.
Sosok Zain menggeleng sambil melepaskan pelukan. Dia menatap Raisya sendu, lalu berlalu tanpa menoleh lagi. Tangis Raisya pecah saat genggaman tangan mereka terurai.
***
Dirja--adik bungsu nenek Raisya menutup matanya khusuk, sedangkan mulutnya komat-komit mengikuti ucapan Mbah Tukijan--dukun yang tinggal di tengah hutan Mojopati. Di hadapan mereka, tampak asap kemenyan mengepul dengan sebaskom bunga tujuh rupa yang terendam air bersama selembar foto di dalamnya.
"Bukalah matamu!" perintah lelaki tua dengan pakaian yang serba hitam tersebut.
Dirja pun mengikuti perintah sang dukun. Mbah Tukijan mencelupkan kedua jempolnya ke dalam baskom, lalu mengusap kedua mata Dirja perlahan.
"Lihatlah!" serunya, sambil mengarahkan telunjuk ke dalam baskom.
Air yang tadinya bening, secara gaib memunculkan seraut wajah yang ia kenal, Raisya--keponakannya. Wajah yang hampir tak dapat ia kenali dengan kondisi yang memprihatinkan. Darah segar masih tampak mengucur dari bagian belakang kepalanya, sedangkan kaki dan tangan tampak lunglai terendam genangan darah merah. Sedetik kemudian, lengkungan tipis terlukis di bibir Dirja.
"Ingat, Dirja! Tugasku telah kulakukan, sisanya adalah tugasmu. Jika gadis itu mati, kamu dan keluargamu aman. Namun, jika ia sanggup bertahan dalam waktu tujuh hari, maka bersiap-siaplah untuk hal yang terburuk," jelasnya dengan seringai yang sulit diartikan.
"Dalam kondisi seperti itu, sedikit kemungkinan untuk bisa bertahan, Mbah! Bukankah begitu?" Dirja bertanya dengan penuh percaya diri.
Mbah Tukijan hanya manggut-manggut sambil memegangi jenggotnya yang lebat.
"Ini maharnya, Mbah," kata Dirja.
Nampak seringai tanpa gigi menggambarkan betapa senangnya dia akan mahar yang Dirja berikan.
"Sengaja saya lebihkan biar Mbah senang," cicitnya.
"Saya mau mereka meregang nyawa satu per satu, Mbah!" katanya lagi.
Mbah Tukijan tampak berfikir. Lalu menghela nafas panjang.
"Mbah tidak janji. Mereka semua bukan tanpa pagar. Bahkan rumah mereka pun dipagar. Mbah hanya bisa mencelakai ketika mereka lengah, ketika jiwa mereka terguncang dan pikiran kosong." jelasnya panjang lebar.
Dirja tampak manggut-manggut. Semua yang dikatakan Mbah Tukijan memang ada benarnya. Mayoritas anggota keluarga Mbah Darsih--Kakaknya semua adalah ahli ibadah. Lain halnya dengan Raisya yang tinggal terpisah dari mereka. Raisya masih begitu labil hingga dengan mudah bisa mereka celakai.
Entah berada dimana ruhnya sekarang, mungkin sudah jadi budak makhluk- makhluk peliharaan Mbah Tukijan. Dirja pun mengulum senyum. Paling tidak, keluarga kakaknya akan berpikir ulang untuk memenuhi permintaannya setelah peringatan yang dia berikan kali ini. Dia akan bertambah kaya ketika Mbah Darsih dengan suka rela menyerahkan semua warisan orangtua mereka kepada Dirja.
"Saya sabar menunggu, Mbah. Setelah cucu keponakan saya mati, pasti mereka akan terguncang. Bukankah itu peluang buat kita ? " kata Dirja, penuh semangat.
Mbah Tukijan manggut-manggut. Tampak setuju dengan ucapan Dirja.
"Baiklah, akan ku pantau terus keluarga itu. Mereka sudah ku tempatkan untuk berjaga- jaga di sana. Kamu tenang saja," jelas Mbah Tukijan.
"Mereka? Mereka siapa, Mbah ?" tanya Dirja, penasaran.
"Mereka anak buahku. Salah satunya tengah duduk di sampingmu, di belakangmu, bahkan di pangkuanmu." Mbah Tukijan terkekeh.
Seketika bulu kuduk Dirja merinding, bau melati bercampur bangkai menguar. Dia edarkan pandangan, namun tak ada sesiapa kecuali dia dan Mbah Tukijan. Saking semangatnya menghancurkan keluarga sang kakak, sampai-sampai tak disadarinya betapa menyeramkannya gubuk Mbah Tukijan yang beberapa waktu lalu dia masuki.
Meski notabene kelakuannya seperti iblis, namun dia merasa ngeri kalau dapat melihat penampakan iblis itu sendiri.
"Kalau begitu saya pamit, Mbah," kata Dirja, tak mau berlama-lama.
Mbah Tukijan hanya mengangguk dan membiarkan Dirja berlalu keluar pintu. Waktu menunjukkan pukul 21.30 saat Dirja memutuskan untuk pulang.
Hawa dingin menelisik, dia edarkan pandangan ke sekililing. Gelap!! Nyali Dirja tiba-tiba menciut saat bau bangkai kembali menguar. Buru-buru dia masuk mobil lalu melaju sekencang mungkin.
"Fyuhh ... akhirnya, sampai jalan besar juga!" gumam Dirja sambil mengelap peluh di dahinya yang penuh kerutan.
Dia mencoba mengurangi kecepatan setelah merasa semua kembali terkendali. Lalu lalang kendaraan membuatnya tak lagi merasa sendiri, membuat keberaniannya yang sempat ciut kembali mencuat.
Hawa dingin yang tak biasa datang tiba-tiba, membuat tengkuk Dirja meremang. Dalam keadaan setengah sadar, terbesit keinginan untuk menengok ke arah kaca spion. Seperti ada magnet yang menarik wajahnya.
Ujung matanya menangkap bayangan sesosok pemuda berwajah pucat dengan kaos putih penuh bercak darah duduk menatapnya dingin dari jok belakang. Ia pun tersentak setengah tak percaya. Pasalnya, sedari tadi dia sendirian. Pelan-pelan ia menoleh ke belakang demi memastikan apa yang baru saja di lihatnya.
Kosong!!
Pandangan Dirja terkunci untuk beberapa saat hingga tiba-tiba ada suara benturan keras pada bamper depan mobil. Seperti tersadar dari lamunan, pandangannya teralih ke arah depan dan menginjak rem sekuat mungkin.
Seorang pria berbadan besar keluar dari dalam mobil. Kejadian yang begitu cepat membuat Dirja seperti orang linglung. Untungnya Dirja melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang sehingga terhindar dari kecelakaan fatal.
"Keluar!!" gedoran pada kaca mobil membuat Dirja mau tidak mau harus keluar.
"Maaf, Bang! Saya tidak sengaja. Akan saya ganti semua kerugian yang ada," katanya ketakutan. Wajah garang penuh tato di depannya tampak merah padam.
Singkat cerita, isi dompet Dirja menjadi kosong melompong dikuras pria garang yang barusan dia tabrak.
"Sialan!!" umpat Dirja, sesaat setelah mobil orang tersebut berlalu.
Dirja menendang ban mobil sekuat tenaga, meluapkan semua kekesalan.
"Dasar!! Hantu sialan!!"
Lagi-lagi Dirja mengumpat tanpa menyadari keberadaan sosok pemuda dengan muka bersimpah darah yang tengah mengawasi.
Dering ponsel menghentikan aktivitas mengumpatnya.. Tertera nama anak bungsunya--Lisa di layar.
"Hallo?"
"Bapak dimana sekarang? Kenapa dari tadi susah sekali Lisa hubungi?" Tanpa ba bi bu, Lisa memberondong bapaknya dengan beberapa pertanyaan.
"Bapak lagi di jalan. Kenapa?" balasnya.
"Semua keluarga lagi ngumpul di rumah budhe. Raisya kecelakaan di Malarang. Kondisinya kritis," jelasnya panjang lebar.
"Terus Bapak disuruh ngapain?" tanya Dirja, tak peduli.
Tak terdengar jawaban dari seberang sana. Sambungan dimatikan sepihak. Dirja tampak berdecih lirih lalu menyeringai.
"Permainan baru saja dimulai, Mbak!" gumamnya.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Lalu lalang kendaraan sudah mulai berkurang. Niat hati berbalik ingin membuka pintu mobil, namun sialnya Dirja malah melihat penampakan dia ... pemuda dengan wajah pucat itu lagi; menatapnya tajam dari seberang jalan. Pandangan Dirja serasa dikunci, sedang sosok pemuda tersebut semakin mendekat. Pelan namun menyeramkan. Matanya memancarkan amarah. Sialnya, mata Dirja terus menatapnya lekat, tanpa bisa dia palingkan. Ingin Dirja rapalkan doa pengusir setan namun apalah daya, ngaji pun dia tak bisa.
"H-ha-hantuuu"
Dirja lari terbirit-birit setelah kakinya mampu digerakkan mengikuti perintah otak. Dia tinggalkan mobilnya begitu saja menuju warung yang terletak beberapa meter dari tempatnya berdiri. Napas Dirja terengah-engah, peluh membajiri badan.
Dirja mencoba mengatur nafas setelah sampai di depan warung, mencoba menetralkan perasaan yang sempat terguncang."P-P-Paak! A-a-ada ... ada hantu di sana!" jelas Dirja, terbata- bata. Pria tua penjaga warung kopi yang sedang duduk membelakangi Dirja bergeming. Deru napas Dirja memburu.
"Bisakah bapak menemani saya sebentar untuk mengunci mobil saya, Pak? Saya mohon, Pak ? Ada barang berharga saya yang tertinggal," jelasnya.
Bapak penjaga warung itu hanya diam, tak merespon ucapan Dirja sama sekali. Tanpa pikir panjang, Dirja mendekat dan menyentuh lengan Bapak tersebut.
"Paakk?" panggilnya, lirih.
"Apa hantunya seperti saya?" katanya sembari menoleh ke arah Dirja dengan muka hancur dan bola mata yang mencuat keluar. Ribuan belatung menempel di sebagian permukaan kulitnya membuat jijik siapa saja yang melihat.
Dirja mundurkan badan, wajahnya pias. Sedetik kemudian tawa sosok muka hancur tersebut menggema memekakkan telinga. Dirja tergagap, lemas; lalu pandangannya berubah gelap.
Sesaat setelah kepergian Raisya, Nurmala duduk termenung di sisi ranjang kamarnya.Tatapannya nanar ke arah kebaya pengantin yang teronggok di sudut ruangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya pun kini tumpah tanpa bisa ia bendung lagi.Undangan bahkan telah tersebar, dan hari ini seharusnya ia tersenyum di pelaminan bersama Zain. Namun, ternyata takdir berkata lain, justru tangis berkepanjangan yang ia dapatkan saat Zain pulang dalam keadaan telah menjadi mayat.Zainal Abidin!Pria gagah dengan jambang tipis yang memiliki senyum menawan. Sosok yang telah mencuri hatinya setelah sekian lama ia menutup hati. Zain yang penuh perhatian, membuat Nurmala luluh. Ia memperlakukan Nurmala bak ratu.Zain pula yang mengenalkannya pada sosok supel Raisya. Raisya yang diperkenalkan Zain sebagai adik angkatnya. Namun perlakuan Zain pada Raisya sungguh berbeda dari yang Nurmala kira. Binar-binar cinta di mata Zain ketika memandang Raisya cukup membuat Nurma
Flash BackZain menatap Raisya dan Faisal yang sedang bercengkrama dengan pandangan nanar. Ia tak habis pikir bagaimana bisa Faisal yang notabene terkenal dingin bisa seceria dan seramah itu dengan Raisya. Tak bisa ia pungkiri, Raisya memang punya daya pikat sendiri dibanding gadis-gadis lain. Fisiknya yang menawan dengan karakternya yang unik membuat semua orang betah berlama-lama dengannya.Zain mengurungkan niatnya untuk mendekat. Ada percikan-percikan cemburu yang siap meledak di hati Zain saat ini. Ia takut pada perasaannya sendiri yang selalu mengakui bahwa Raisya hanyalah seorang adik baginya, tak lebih. Meski tak jarang pula Raisya menanyakan perihal hubungan mereka yang memang tak bisa disebut biasa. Namun lagi-lagi Zain mengelak dengan alasan yang meruntuhkan harapan Raisya.Zain melangkahkan kaki menuju taman kota dengan hati gamang. Masih bisa ia lihat mereka yang sedang bercengkrama di depan sana, di warung bakso Pak Ujang. Taman ini memang be
Zain memarkir motor agak jauh dari tempat kos Raisya. Bagi Zain, tidak lah penting apakah Raisya bersedia menemuinya atau tidak. Paling tidak, ia bisa memandang wajah Raisya untuk terakhir kali sebelum memboyong Nurmala ke Lombok, tanah kelahirannya.Dari balik jendela kaca dengan korden yang terbuka, terlihat Raisya menangis sesenggukan sambil memeluk lutut.Zain terperangah saat menyadari bahwa Raisya bukan memeluk lutut, melainkan memeluk jaket kulit berwarna hitam miliknya. Tak terasa air matanya menitik, menyaksikan Raisya yang terluka karena keegoisannya.Dalam keremangan cahaya bulan, ia sembunyikan bayangan diri di balik pohon di seberang jalan demi melunturkan rindu yang tak lagi mampu ia tahan.Deru mobil mendekat, lalu berhenti tepat di sampingnya yang tak tampak oleh mereka. Bisa ia dengar dengan jelas percakapan dua orang yang berada dalam mobil tersebut."Ingat ya? Taruh benda ini di kantong baju Raisya. Bagaimanapun caranya, ba
Dirja menghempaskan badan dengan kasar ke sofa ruang tamu, memijit pelipisnya pelan. Kekesalannya mengingat kegagalan Mbah Tukijan untuk melenyapkan Raisya membuat kepalanya berdenyut-denyut. Apalagi jika teringat gepokan uang berwarna merah yang ia berikan beberapa waktu lalu."Bisa-bisanya salah orang? Makhluk bod** macam apa yang dipeliharanya? Dasar dukun amatir!" gerutunya."Kenapa lagi, Pak? Gagal, ya? Ck ...."Lisa--anak bungsu Dirja angkat bicara sambil terkekeh lirih."Udah Lisa bilangin kalau dukun pilihan bapak itu dukun abal-abal! Udah abal-abal, mesum lagi!" timpalnya lagi."Nanti malam bapak mau ke sana, kamu ikut gih!" bujuknya."Ogah! Lisa malas ke tempat kumuh itu, belum lagi mata dukun mesum itu jelalatan nggak karuan. Bapak rela Lisa diapa-apain sama dia? Ihhh ... amit-amit!!" cerocosnya, bergidik ngeri."Ya, nggak mungkin diapa-apain, Lis. 'Kan ada bapak!""Ogah! Ajak ibu aja, tuh," jawabnya, ketus. Keke
"Lah, kenapa kaget gitu, Van?" "Ya Allah ... tadi saya pikir bapak siapa, muncul tiba-tiba gitu," gerutu Revan sembari mengelus dadanya. Pak Subur malah menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang hitam akibat racun rokok yang dihisapnya saban hari. "Kenapa motornya? Coba sini bapak lihat?!" Pak Subur yang memang punya bengkel motor, sedikit banyak tahu hal ihwal permasalahan motor. Beberapa menit kemudian suara bising pun terdengar. "Ndak apa-apa gini, loh!" katanya. "Tadi tiba-tiba aja mati, Pak," jawab Revan, keheranan. "Yo wes, ayo bapak bonceng saja! Kamu ndak kira kuat ngadepin barang ndak jelas gitu!" gerutu Pak Subur sambil meraih kendali motor dari tangan Revan. "Barang ndak jelas apa maksudnya, Pak?" Revan dirundung rasa penasaran. "Nanti bapak jelaskan di rumahmu, Le! Wes jangan banyak tanya! Wes Magrib ini." Pak Subur pun melajukan motor dengan kecepatan maksimal, seolah-olah se
Sebuah bayangan mengendap-endap di lorong rumah sakit. Gerak-geriknya yang mencurigakan, mengundang perhatian seorang perawat yang kebetulan sedang melintas. Ia pun menghampiri pria yang sebagian wajahnya tertutup masker tersebut."Maaf, Pak! Jam besuk sudah habis. Tidak seharusnya Bapak ada di sini," tanyanya dengan mata memindai penampilan Dirja yang memakai setelan serba hitam.Dirja bergeming, menatap lurus mata perawat di depannya sambil merapal mantra. Urung, perawat yang tadinya mencegahnya memasuki ruangan, kini mematung di tempat--tampak linglung sesaat--hingga akhirnya berjalan menjauh tanpa memedulikan keberadaan Dirja.Gegas Dirja melesat menuju ruangan Raisya dirawat. Ruangan tersebut berada di lantai dua, khusus untuk pasien dengan penanganan intensif. Sama halnya yang ia lakukan terhadap perawat tadi, Dirja mulai merapal mantra lalu meniupkannya ke udara.Ia melenggang santai menuju sebuah brankar yang di atasnya terbaring tubuh lemah
Di atas gundukan tanah yang masih basah, Dirja terisak. Tangis kekalahan serta tangis kehilangan membaur jadi satu. Kini dendamnya kepada sang kakak tertua beserta anak cucunya makin menggunung.Gegas ia memacu laju mobil menembus senja menuju hutan tempat Mbah Tukijan berada. Satu jam berlalu sejak ia meninggalkan kota, kini pondok yang ia tuju telah di depan mata. Tampak Mbah Tukijan sedang bersemedi ditemani kepulan asap kemenyan."Kamu gagal!"Lelaki sepuh itu berkata tanpa membuka mata. Dirja terduduk lunglai di depannya dengan pandangan kosong."Ada seseorang yang membantu kakakmu mengembalikan kiriman-kiriman kita. Sepertinya dia bukan orang sembarangan," kata Mbah Tukijan, menyudahi semedinya."Malam ini malam Jumat Kliwon. Bukankah waktu yang tepat untuk menyerang kediaman mereka. Buhul yang saya tanam sepertinya belum bisa mereka temukan," sahut Dirja."Baiklah, sediakan barang-barang yang saya perlukan sesegera mungkin sebel
Rona fajar menjelma saat seraut wajah teduh menyapa Raisya yang sedang khusuk menyiram bunga. Rutinitas yang ia lakukan demi membunuh kebosanan setelah cuti kuliah.Raisya memindai penampilan pemuda tersebut dari atas hingga bawah. Wajah asing yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Kepala yang dihiasi peci dengan baju koko putih tulang serta bawahan sarung coklat kemerah-merahan. Wajahnya teduh menenangkan bagi siapa pun yang memandang, tak terkecuali Raisya."Assalamu'alaikum," sapa pemuda berwajah teduh itu.Tercipta lengkungan senyum di bibirnya yang tipis. Dagunya yang terbelah menambah manisnya senyum pemuda tersebut.Pandangan keduanya terkunci untuk beberapa detik, saling menelisik satu sama lain. Saat tersadar, pemuda tersebut langsung menunduk sedangkan Raisya segera membuang muka."Wa'alaikumsalam," jawabnya lirih."Maaf, apa Mbah Darsihnya ada di rumah?" tanyanya, sopan.Belum sempat Raisya menjawab, seruan dari arah pintu m