Zain memarkir motor agak jauh dari tempat kos Raisya. Bagi Zain, tidak lah penting apakah Raisya bersedia menemuinya atau tidak. Paling tidak, ia bisa memandang wajah Raisya untuk terakhir kali sebelum memboyong Nurmala ke Lombok, tanah kelahirannya.
Dari balik jendela kaca dengan korden yang terbuka, terlihat Raisya menangis sesenggukan sambil memeluk lutut.
Zain terperangah saat menyadari bahwa Raisya bukan memeluk lutut, melainkan memeluk jaket kulit berwarna hitam miliknya. Tak terasa air matanya menitik, menyaksikan Raisya yang terluka karena keegoisannya.
Dalam keremangan cahaya bulan, ia sembunyikan bayangan diri di balik pohon di seberang jalan demi melunturkan rindu yang tak lagi mampu ia tahan.
Deru mobil mendekat, lalu berhenti tepat di sampingnya yang tak tampak oleh mereka. Bisa ia dengar dengan jelas percakapan dua orang yang berada dalam mobil tersebut.
"Ingat ya? Taruh benda ini di kantong baju Raisya. Bagaimanapun caranya, barang ini harus bersamanya hingga tengah malam nanti!" titah seorang pria paruh baya yang tak lain adalah Dirja--adik bungsu nenek Raisya.
Tampak gadis di sampingnya bersungut- sungut, memutar bola mata malas.
Mata Zain membulat ketika melihat barang yang dipegang Dirja. Buntalan kecil yang dilapisi kain kafan. Jelas sekali bahwa itu sejenis buhul.
Pandangannya Zain berubah nanar, penuh amarah. Percakapan bapak dan anak itu pun berubah serupa dengung.
"Kamu dengar bapak, ndak?" tanya Dirja.
"Iya ... iya!! Lagian Bapak ini aneh. Gimana Lisa bisa jamin kalau Raisya sedang make baju berkantong coba? Kalau nggak gimana? Masa harus Lisa tempel pake lakban? Kan nggak lucu! Gimana kalau ketahuan coba? Raisya tuh nggak tinggal sendirian, paaakkk!! Banyak noh teman kosnya!"
Tampak si bapak memandang anaknya dengan tatapan geram. Hendak pula tangannya terangkat namun urung. Hanya hidungnya saja kembang kempis menahan kedongkolan.
"Terus mau kamu gimana? Lebih nggak lucu lagi kalau bapak yang ke sana!" kata Dirja, tak mau kalah.
"Ya udahlah, siniin barangnya! Ribet kalau berurusan sama Bapak. Aneh-aneh perintahnya!" Lisa mengulurkan tangan, mengambil sebuah benda kecil dari tangan bapaknya.
"Nih, bawain oleh-olehnya biar tidak terlihat mencurigakan!" kata Dirja lagi sembari menyerahkan kantong kresek berisi brownis panggang. Lisa pun berlalu dengan wajah ditekuk.
Zain menajamkan penglihatan di tengah keremangan cahaya. Dia kenal betul dengan Lisa yang kuliah satu universitas dengan Raisya. Lisa adalah gadis cantik yang arogan dan berperangai buruk.
Tampak Lisa bercengkrama dengan Raisya meski terlihat Raisya lebih banyak diam mendengarkan. Setengah jam berlalu, Lisa dan Raisya tampak berpelukan. Keduanya berjalan beriiringan menuju teras.
"Gue pulang ya, Sya?" pamitnya.
"Iya, Bi. Terimakasih oleh-olehnya," jawab Raisya.
Setelah mobil Lisa dan bapaknya berlalu, Zain memberanikan diri menemui Raisya. Pasrah saja seandainya pada akhirnya akan terusir. Rasa khawatir akan keselamatan Raisya membuatnya menepis dugaan-dugaan buruk di pikiran.
"Assalamu'alaikum," ucapnya pelan.
Tak ada jawaban.
"Assalamu'alaikum!!" Zain mengulangi salamnya dengan suara lebih nyaring.
Hening, masih tak ada jawaban.
Zain menghembuskan napas kasar setelah sekian menit menunggu namun tetap tak ada jawaban pun tak terlihat si empunya kamar keluar. Suasana kosan yang biasa ramai pun tampak lengang.
Menit demi menit berlalu, Zain masih berdiri mematung di depan pintu kamar kos Raisya. Masih berharap ia membukakan pintu lalu memeluknya erat. Tak terasa ada butiran bening mengalir di pipinya. Ia merasa akan menjadi gila karena situasi seperti ini. Ia mulai membenci dirinya sendiri.
Terlihat jam di tangannya menunjukkan angka 23.00. Hatinya gamang, antara kembali atau menunggu Raisya.
Disaat kaki Zain mulai melangkah pergi, terlihat pintu kamar Raisya terbuka. Terlihat sosoknya menatap ke arah Zain dengan pandangan sendu. Tanpa pikir panjang, Zain menghambur lalu memeluk Raisya erat. Isakan tangis mereka saling bersahutan.
Rindu keduanya luruh dalam dekapan. Meski di seberang sana ada hati yang terluka. Bagi Zain, cukup malam ini saja hatinya mendua, hingga ijab qabul terlaksana.
Raisya mulai melepaskan pelukan. Masih tampak lelehan bening di pipinya yang kemerahan.
"Pulanglah, Mas! Nurmala menunggu."
Terlihat semburat kesendihan di mata Raisya yang biasanya bercahaya. Ia mengangkat gawainya, memperlihatkan history chatnya dengan Nurmala lalu tersenyum kecut.
"Maafkan mas, Sya! Mas udah bikin Raisya kecewa." ucapnya sembari mengelap butiran bening yang meluncur bebas.
Pantang bagi seorang Zainal Abidin menitikkan air mata hanya untuk wanita, tapi untuk Raisya, semua terjadi begitu saja. Mematahkan prinsip yang selama ini ia pegang teguh.
"Mas Zain nggak salah apa- apa. Mungkin kita nggak jodoh. Pulanglah, ini sudah larut. " Katanya sembari melepaskan jaket hitam yang dikenakannya lalu memakaikannya ke tubuh Zain yang hanya berbalut kaos tipis.
Zain meraih tangan itu, lalu menggenggamnya erat. Raisya hanya diam dan mengalihkan pandangan, ada bulir yang berjatuhan lalu disekanya pelan.
"Cuacanya dingin," ucapnya lagi.
Ucapan yang begitu singkat, tak seperti Raisya yang biasanya banyak bicara. Zain hanya berdiri mematung, menggenggam tangan Raisya lebih erat lagi.
"Pulanglah, Mas. Aku yakin Mas nggak salah pilih, Nurmala gadis yang baik," bunuknya, lirih.
"Berjanjilah untuk nggak ngilang lagi, Sya?" pinta Zain, memelas.
Raisya menunduk semakin dalam lalu menghembuskan napas berat, tangisnya tertahan. Ia mulai mengurai jemarinya dari genggaman Zain, lalu melangkah memasuki kamar tanpa kata.
Sungguh sering kali takdir membawa langkah anak manusia jauh dari rencana masa depan yang telah tersusun rapi dalam benak.
"Raisya ...." Zain mendesah pelan.
Dengan kaki lunglai ia melangkah meninggalkan tempat Raisya. Benar Raisya pantas merasa kecewa, tapi Raisya tak pernah mengetahui bahwa jauh di dalam lubuk hati Zain, menyimpan kecewa yang lebih dalam lagi.
Pandangannya beralih ke arah batu besar yang teronggok di bawah pohon mangga. Ukuran pohon itu pun dua kali lebih besar dari kebanyakan pohon yang ada. Di tempat itu lah ia sering bercengkrama dengan Raisya. Di atas batu itu pula ia pernah menawarkan janji yang tanpa sadar, akan memasungnya sampai ia mati.
***
Zain memacu motor dengan kecepatan tinggi menembus gerimis malam. Akal sehat seolah tak lagi bernaung dalam kepalanya. Jalanan yang sepi menambah kegilaannya malam itu.
Sekelebat bayangan hitam tertangkap matanya. Dalam sekejap tampak segerombol anjing raksasa dengan seringai buasnya menghadang jalan dan siap menerkam. Sekuat tenaga Zain menginjak rem hingga bunyi berdecit memekakkan telinga disusul suara benturan keras pada pembatas jalan.
Tubuhnya terhempas lalu terpental hingga meringsek di atas aspal. Sempat ia melihat benda kecil berbungkus kafan terserak di dekat tubuhnya yang kini remuk sebelum bayangan anjing raksasa mendekat, menerkam lalu semuanya berubah gelap.
Tubuh Zain terbujur kaku di tepi jalan dengan darah menggenang. Tak ada teriakan, tak ada tangisan ... hanya hening.
Dirja menghempaskan badan dengan kasar ke sofa ruang tamu, memijit pelipisnya pelan. Kekesalannya mengingat kegagalan Mbah Tukijan untuk melenyapkan Raisya membuat kepalanya berdenyut-denyut. Apalagi jika teringat gepokan uang berwarna merah yang ia berikan beberapa waktu lalu."Bisa-bisanya salah orang? Makhluk bod** macam apa yang dipeliharanya? Dasar dukun amatir!" gerutunya."Kenapa lagi, Pak? Gagal, ya? Ck ...."Lisa--anak bungsu Dirja angkat bicara sambil terkekeh lirih."Udah Lisa bilangin kalau dukun pilihan bapak itu dukun abal-abal! Udah abal-abal, mesum lagi!" timpalnya lagi."Nanti malam bapak mau ke sana, kamu ikut gih!" bujuknya."Ogah! Lisa malas ke tempat kumuh itu, belum lagi mata dukun mesum itu jelalatan nggak karuan. Bapak rela Lisa diapa-apain sama dia? Ihhh ... amit-amit!!" cerocosnya, bergidik ngeri."Ya, nggak mungkin diapa-apain, Lis. 'Kan ada bapak!""Ogah! Ajak ibu aja, tuh," jawabnya, ketus. Keke
"Lah, kenapa kaget gitu, Van?" "Ya Allah ... tadi saya pikir bapak siapa, muncul tiba-tiba gitu," gerutu Revan sembari mengelus dadanya. Pak Subur malah menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang hitam akibat racun rokok yang dihisapnya saban hari. "Kenapa motornya? Coba sini bapak lihat?!" Pak Subur yang memang punya bengkel motor, sedikit banyak tahu hal ihwal permasalahan motor. Beberapa menit kemudian suara bising pun terdengar. "Ndak apa-apa gini, loh!" katanya. "Tadi tiba-tiba aja mati, Pak," jawab Revan, keheranan. "Yo wes, ayo bapak bonceng saja! Kamu ndak kira kuat ngadepin barang ndak jelas gitu!" gerutu Pak Subur sambil meraih kendali motor dari tangan Revan. "Barang ndak jelas apa maksudnya, Pak?" Revan dirundung rasa penasaran. "Nanti bapak jelaskan di rumahmu, Le! Wes jangan banyak tanya! Wes Magrib ini." Pak Subur pun melajukan motor dengan kecepatan maksimal, seolah-olah se
Sebuah bayangan mengendap-endap di lorong rumah sakit. Gerak-geriknya yang mencurigakan, mengundang perhatian seorang perawat yang kebetulan sedang melintas. Ia pun menghampiri pria yang sebagian wajahnya tertutup masker tersebut."Maaf, Pak! Jam besuk sudah habis. Tidak seharusnya Bapak ada di sini," tanyanya dengan mata memindai penampilan Dirja yang memakai setelan serba hitam.Dirja bergeming, menatap lurus mata perawat di depannya sambil merapal mantra. Urung, perawat yang tadinya mencegahnya memasuki ruangan, kini mematung di tempat--tampak linglung sesaat--hingga akhirnya berjalan menjauh tanpa memedulikan keberadaan Dirja.Gegas Dirja melesat menuju ruangan Raisya dirawat. Ruangan tersebut berada di lantai dua, khusus untuk pasien dengan penanganan intensif. Sama halnya yang ia lakukan terhadap perawat tadi, Dirja mulai merapal mantra lalu meniupkannya ke udara.Ia melenggang santai menuju sebuah brankar yang di atasnya terbaring tubuh lemah
Di atas gundukan tanah yang masih basah, Dirja terisak. Tangis kekalahan serta tangis kehilangan membaur jadi satu. Kini dendamnya kepada sang kakak tertua beserta anak cucunya makin menggunung.Gegas ia memacu laju mobil menembus senja menuju hutan tempat Mbah Tukijan berada. Satu jam berlalu sejak ia meninggalkan kota, kini pondok yang ia tuju telah di depan mata. Tampak Mbah Tukijan sedang bersemedi ditemani kepulan asap kemenyan."Kamu gagal!"Lelaki sepuh itu berkata tanpa membuka mata. Dirja terduduk lunglai di depannya dengan pandangan kosong."Ada seseorang yang membantu kakakmu mengembalikan kiriman-kiriman kita. Sepertinya dia bukan orang sembarangan," kata Mbah Tukijan, menyudahi semedinya."Malam ini malam Jumat Kliwon. Bukankah waktu yang tepat untuk menyerang kediaman mereka. Buhul yang saya tanam sepertinya belum bisa mereka temukan," sahut Dirja."Baiklah, sediakan barang-barang yang saya perlukan sesegera mungkin sebel
Rona fajar menjelma saat seraut wajah teduh menyapa Raisya yang sedang khusuk menyiram bunga. Rutinitas yang ia lakukan demi membunuh kebosanan setelah cuti kuliah.Raisya memindai penampilan pemuda tersebut dari atas hingga bawah. Wajah asing yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Kepala yang dihiasi peci dengan baju koko putih tulang serta bawahan sarung coklat kemerah-merahan. Wajahnya teduh menenangkan bagi siapa pun yang memandang, tak terkecuali Raisya."Assalamu'alaikum," sapa pemuda berwajah teduh itu.Tercipta lengkungan senyum di bibirnya yang tipis. Dagunya yang terbelah menambah manisnya senyum pemuda tersebut.Pandangan keduanya terkunci untuk beberapa detik, saling menelisik satu sama lain. Saat tersadar, pemuda tersebut langsung menunduk sedangkan Raisya segera membuang muka."Wa'alaikumsalam," jawabnya lirih."Maaf, apa Mbah Darsihnya ada di rumah?" tanyanya, sopan.Belum sempat Raisya menjawab, seruan dari arah pintu m
Seorang gadis memasuki area pemakaman dengan langkah gontai. Tak jarang badannya ambruk pun kadang tersungkur karena air mata yang laksana bah telah mengaburkan pandangannya.Bibir tipisnya tak lekang menyebut nama Zain--sang penghuni hati. Ia adalah lelaki yang sebelum akhir hayatnya telah menghujamkan luka di hatinya. Lelaki yang membuat hatinya patah ketika memutuskan bersanding dengan wanita lain, dan semakin patah bahkan serasa ikut mati di detik ketika kabar kematian si lelaki sampai di gendang telinganya.Seharusnya pagi ini Zain duduk di pelaminan bersama Nurmala, gadis yang menurutnya ia cintai. Gadis idaman yang selama ini ia cari. Namun nahas sebelum itu terwujud, kecelakaan tunggal telah merenggut nyawanya pun separuh nyawa Raisya. Semangat hidup seorang Raisya seolah ikut terkubur bersama jasad sang kekasih hati.Raisya tersungkur di atas pusara dengan air mata yang entah seakan tak ada habisnya."Aku lebih ikhlas kalau Mas mening
Apakah Aku Sudah Mati?"Di mana aku? Tempat apa ini?" Raisya bermonolog. Pikirannya tak mampu mencerna.Ia edarkan pandangan ke sekeliling. Tampak di hadapannya sebuah jalan setapak yang dikelilingi pohon jati. Tempat yang benar-benar asing. Tak ada apapun selain ia dan pohon-pohon yang bergerak pun rasanya tidak.Raisya berjalan ragu-ragu menyusuri jalan tanpa alas kaki. Entahlah, apa itu bisa disebut berjalan atau melayang lebih tepatnya, karena Raisya merasa tubuhnya seringan kapas.Belum usai tanya yang mengganggu pikiran, tiba-tiba dalam sekali kedip, jalan setapak berubah menjadi jalan perkotaan yang teramat lebar dengan bangunan megah di sekitarnya. Suasana pun berubah menjadi ramai. Namun ada yang aneh. Mereka yang berlalu lalang menatap tanpa ekspresi, dan lagi, semua seakan berjalan dengan arah berlawanan dengan Raisya. Tak ada seorangpun yang berjalan searah dengan langkahnya.Tiba-tiba riuh ricuh menggema. Entah bagaimana ceritanya doro
Sesaat setelah kepergian Raisya, Nurmala duduk termenung di sisi ranjang kamarnya.Tatapannya nanar ke arah kebaya pengantin yang teronggok di sudut ruangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya pun kini tumpah tanpa bisa ia bendung lagi.Undangan bahkan telah tersebar, dan hari ini seharusnya ia tersenyum di pelaminan bersama Zain. Namun, ternyata takdir berkata lain, justru tangis berkepanjangan yang ia dapatkan saat Zain pulang dalam keadaan telah menjadi mayat.Zainal Abidin!Pria gagah dengan jambang tipis yang memiliki senyum menawan. Sosok yang telah mencuri hatinya setelah sekian lama ia menutup hati. Zain yang penuh perhatian, membuat Nurmala luluh. Ia memperlakukan Nurmala bak ratu.Zain pula yang mengenalkannya pada sosok supel Raisya. Raisya yang diperkenalkan Zain sebagai adik angkatnya. Namun perlakuan Zain pada Raisya sungguh berbeda dari yang Nurmala kira. Binar-binar cinta di mata Zain ketika memandang Raisya cukup membuat Nurma