Karena rasa bersalah yang membuat hatinya gelisah, Ayesha jadi terus terpikirkan tentang apa yang terjadi hari ini dan memikirkan setiap apa yang dia katakan sebelumnya. Hal itu juga menjadi dorongan untuk Ayesha mengambil sebuah lingerie dari lemarinya.
Untuk pertama kalinya, Ayesha menggunakan salah satu hadiah pernikahannya yang dia tahu persis untuk apa itu. Sebuah potongan kain yang digunakan untuk menarik perhatian pria. Pikirannya agak sedikit kacau karena memikirkan Izhar yang sempat tampak putus asa tadi.Dengan pakaiannya yang baru, Ayesha duduk di atas kasur sambil menggigiti jarinya. Dia gelisah sambil menantikan sosok Izhar yang akan tidur bersamanya malam ini.Pintu terbuka perlahan dan Ayesha bisa melihat bagaimana Izhar memasuki kamarnya. Gadis itu seketika mematung sesaat saat melihat Izhar masuk, sebagaimana Izhar yang langsung mematung juga begitu melihat pemandangan yang dia sangka bisa dilihatnya malam itu.“Ay, kamu ... ngapain?” Izhar tercengang setengah mati dengan tangannya yang bahkan agak gemetar saat menutup pintu kamar Ayesha.Ayesha melamun sesaat. Mendadak tubuhnya terasa lumpuh sekarang.“Itu ... Bukannya Aa pengen punya bayi? Bukannya harus bikin dulu?” Ayesha berusaha tenang.Izhar mengernyitkan dahinya. Sedikit bingung dengan perubahan sikap Ayesha. Semula dia menolak, mendadak sudah menyiapkan dirinya dan bahkan menyerahkan dirinya begitu saja.“Kamu berubah pikiran?” tanya Izhar agak ragu.“Kenapa? Aa enggak mau? Ya udah, enggak usah.” Merasa suasana semakin canggung dan Ayesha tidak mau malu sendiri jika sekarang Izhar yang balik menolaknya.“Bukan begitu, Ay.” Izhar menghela nafasnya dan menggaruk pelan kepalanya.“Mau sekarang atau enggak sama sekali? Ay mulai enggak nyaman ini,” keluhnya.“Sebentar, Ay. Kamu mendadak banget kayak gini, bikin Aa agak sedikit bingung.”“Ish, buruan!” Kesabaran Ayesha bak tisu dibagi tiga, dia tak nyaman berpakaian seperti itu di depan Izhar hanya untuk menghilangkan perasaannya yang gelisah dan tak enakan.“Kamu udah enggak sabar?” tanya Izhar mengernyit pelan.“Ay enggak nyaman!” keluh Ayesha lagi. “Entah itu karena pakaiannya, entah itu karena tatapan Aa, entah itu karena atmosfer di sekitar sini.”Izhar tampak masih agak canggung dengannya. Jika di depannya Nirmala, mungkin dia sudah tersenyum menghampirinya dan menerkamnya begitu saja. Tapi ini Ayesha. Yang semula menolak dirinya dan secara mendadak, kurang dari 12 jam dia mengubah pikirannya.“Kamu mengizinkan Aa menyentuh kamu malam ini? Kamu ridho?” tanya Izhar memastikan.Ayesha memejamkan matanya sesaat dan menghela nafasnya panjang. Dia benar-benar sudah tak tahan lagi dengan jantungnya yang berdebar tak karuan karena atmosfer di sekitarnya.“Iya!” tekan Ayesha lagi.“Atas izin kamu, ya, ini.” Izhar mendekati Ayesha, naik ke atas kasur menghampiri Ayesha.Namun, mendadak Ayesha langsung mengangkat telapak tangannya untuk menghentikan Izhar sesaat. Rautnya menunjukkan sedikit rasa takut dan keraguan atas tindakannya sendiri.“Aa berpengalaman, kan? Ini bukan pertama kalinya buat Aa, jadi ...” Ayesha memejamkan matanya erat, benar-benar menyesali tindakannya.“Aa bakal pelan-pelan, Aa janji. Ya, seperti yang kamu tahu, ini bukan yang pertama untuk Aa. Aa tahu apa yang perlu Aa lakukan,” balas Izhar, menatap Ayesha dengan yakin.Izhar memperhatikan bagaimana wajah Ayesha sudah memerah saat itu. Dengan kedua matanya yang terpejam erat ketakutan. Ini pertama kalinya dia bisa Ayesha secara terbuka dengan ekspresinya di saat yang pertama. Ini akan menjadi salah satu momen kenangan yang indah.Ayesha menghela nafasnya dan membuka matanya perlahan. Dia kemudian membaringkan tubuhnya, berusaha santai dan rileks. Izhar menatapinya dan terkekeh kecil melihat preman yang sukanya marah-marah itu.Karena Ayesha yang agak tegang dan tatapannya yang terus menatap ke arah langit-langit, dia bahkan tak tahu kapan Izhar menarik selimutnya dengan keadaan sudah mengekspos dadanya.Mata Ayesha melebar saat Izhar membawa selimut untuk menutupi tubuhnya dan tubuh dirinya sendiri. Sungguh, begitu Izhar memeluk Ayesha untuk memberikan rasa tenang, Ayesha membisu.Izhar menatap Ayesha dan mengecup keningnya sambil membacakan doa. Ayesha tak bisa mendengar dengan baik, tapi dia tahu apa yang Izhar lakukan.***Deru nafas menghiasi kamar Ayesha yang sudah gelap. Ayesha tak bisa tidur dengan lampu menyala, harus selalu padam. Namun meski lampu sudah padam, Ayesha tak bisa memejamkan matanya.Gadis itu tidur meringkuk dengan badan Izhar yang besar mendekapnya dari belakang. Ayesha sebenarnya lelah, tapi jantungnya masih tak stabil untuk membuatnya beristirahat. Ini seperti dirinya baru saja meneguk satu cup kopi.“Apa sakit, Ay?” tanya Izhar dengan matanya yang tak lepas dari Ayesha saat itu.“Aa nanya?” balas Ayesha berusaha menstabilkan suara nafasnya yang lebih menggebu.“Memastikan, Ay.“ Izhar tersenyum tipis dan mempererat pelukannya.“Bisa berhenti meluk, enggak? Lengket tau!” keluh Ayesha pelan.“Kamu enggak suka dipeluk? Biasanya perempuan paling suka dipeluk,” balas Izhar.Izhar menguap, dia sebenarnya mengantuk namun tak ingin tidur begitu saja. Dia tak ingin menyinggung Ayesha jika dirinya meninggalkan Ayesha setelah menggunakannya.“Enggak,” jawab Ayesha seadanya, dia sebenarnya hanya mulai tak terbiasa dengan pelukan.“Ngomong-ngomong, apa yang membuat kamu berubah pikiran, Ay? Bahkan langsung menyerahkan diri kamu begitu saja. Ada yang mengusik kamu sebelumnya?” tanya Izhar.Ayesha tak menyiapkan jawaban untuk itu. Dia bahkan tak terpikirkan jika Izhar akan bertanya. Dia pikir Izhar akan tak begitu memikirkannya.“Cuman ... Enggak ada,” jawab Ayesha lagi.“Kalau kamu merasa terpaksa, atau mengalami tekanan dari orang lain ... Aa enggak bisa bilang kamu seharusnya enggak kayak gini, soalnya udah terjadi juga. Tapi kamu bisa cerita sama Aa, kalau-kalau memang ada yang menekan kamu untuk ini,” ujar Izhar.Izhar cukup perhatian. Ayesha pikir Izhar kaku padanya, namun tidak juga. Izhar juga mungkin butuh waktu untuk beradaptasi dengannya, sama halnya dengan Ayesha.“Enggak ada,” jawab Ayesha lagi.Izhar hanya tersenyum mendengarnya dan mengecup kepala Ayesha dengan halus. Beberapa saat Ayesha diam, Izhar mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Ayesha. Ayesha mulai memejamkan matanya dan dia hanya tersenyum sambil mengusap pelan pipi Ayesha.Gadis itu cantik.***Pukul 03.00, Izhar sudah keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Dan karena dia mandi di kamar mandi yang terdapat di kamar Nirmala, dia disambut begitu keluar dari kamar mandi.“Tumben, keramas jam segini setelah dari kamar Ayesha,” ucap Nirmala dingin menatapnya.Izhar menatap Nirmala sambil tersenyum simpul. Dia tak bisa mengatakan jika dirinya habis melakukan hubungan, itu rahasia. Dan tak seharusnya dia umbar, walau pada Nirmala, istri pertamanya“Kepalanya lagi enggak enak,” balas Izhar.“Aa berharap aku enggak dengar suaranya Ayesha dari sini? Apa Aa enggak sadar seberapa keras suaranya?”“Kamu dengar suara Ayesha tadi malam?” Izhar ingin memastikannya lagi. Dia kini terlihat kikuk, terdiam menatapi Nirmala yang tampak masam. Dia tahu, istri pertamanya pasti akan sangat cemburu mengetahui apa yang terjadi. Nirmala sendiri tak menjawab. Dia tak ingin memperjelasnya, dan rasanya tak perlu. Dia hanya mendesah pelan seraya duduk di kasurnya dan merapikan segala barang di kasurnya. “Ayesha bersedia. Kamu tahu maksudnya, bukan?” Izhar menghela nafasnya pelan. “Aku tahu. Ke depannya cuman ada Ayesha di mata kamu. Ke depannya kamu bakal punya anak sama Ayesha, sementara aku kesepian di sini, sendirian.” Nirmala terdengar jengkel. “Enggak, kok. Aa enggak terus sama Ayesha, tapi Aa juga terus sama kamu. Komitmennya memaksa Aa untuk bersikap adil. Aa enggak akan membeda-bedakan,” ucap Izhar. “Bukan Aa, tapi ibu. Keluarga Aa,” tekan Nirmala tanpa menatap ke arah Izhar sama sekali. Izhar tak membalasnya lagi. Rasanya lelah untuk meyakinkan dua pihak dengan masing-masing argu
“Kamu haid?” Izhar mendekati Ayesha sambil membawakan keresek berisikan pesanan gadis itu. Yang ditanya duduk di sisi kasur sambil memegangi pinggangnya dan mendengus seraya mengangguk. Ayesha menerima keresek yang diberikan Izhar untuknya, berisikan pembalut yang dia pesan pada Izhar saat pria itu dalam perjalanan pulang. “Makasih,” ucap Ayesha seraya membuka kereseknya dan melihat ada camilan juga di sana. “Ay enggak nitip yang lainnya,” ucap Ayesha pelan. “Inisiatif Aa, Ay. Barang kali kamu moody lagi, kalau datang bulan. Enggak datang bulan aja, kerjaan kamu kesel, jengkel, sebel, marah-marah.” Izhar terkekeh pelan seraya duduk di sisinya. Ayesha mendecak sambil menyungging senyum. Ada benar juga. Ayesha mendesis sambil agak mencengkeram perutnya. Dia kadang mengalami ini, kram saat haid dan nyeri. “Kenapa? Sakit?” Izhar mengusap punggung Ayesha halus, untuk membantunya merasa baikan. “Mm,” jawab Ayesha. “Kalau hamil, kamu enggak akan nyeri haid,” ucap Izhar asal. “Ya, iy
“Assalamualaikum.” Izhar memasuki rumah terlebih dahulu, dia memasukkan barang belanjaannya. Semula dia merasa tak aneh dengan suasana rumah, mendadak terkejut begitu melihat Ayesha yang tidur di sofa ruang tamu saat itu. Izhar seketika menoleh ke arah Nirmala yang ada di belakangnya. “Ay?” Izhar segera mendekati Ayesha yang tidur meringkuk di sofa. Ayesha tampak tersentak saat tangan Izhar menyentuhnya. Gadis itu seketika mendudukkan dirinya, menatap Izhar dengan tatapan bingung. Semalaman dia menunggu Izhar dan Nirmala pulang. “Kamu tidur di sini? Kenapa?” tanya Izhar. Nirmala yang baru memasuki rumah menatap ke arah Ayesha yang tampak masih sedikit linglung. Ayesha membalas tatapannya sejenak. Ayesha masih sibuk mengumpulkan nyawanya. “Oh, iya. Kamu telepon Aa berkali-kali semalam, ada apa?” Izhar teringat akan hal tersebut. “Kita nginep di hotel semalam,” ucap Nirmala secara tiba-tiba. Izhar menatap Nirmala singkat dan melirik Ayesha yang menggaruk wajahnya. Wajahnya dipenu
“Huek!” Wanita itu mendekap mulutnya dengan tangan kirinya. Dan kemudian mendesah pelan seraya meraup sebuah testpack yang ada di laci. Terlihat ada beberapa, dia selalu menyimpannya untuk jaga-jaga. Kebiasaan yang sampai sekarang belum kunjung membuahkan hasil. Membawa benda yang baru saja diambilnya ke kamar mandi, dia hendak menggunakannya. Nirmala menatapi alat itu dengan tidak sabar sesaat setelah menggunakannya. Menunggu alat itu bekerja sambil menatapinya lekat. Dia tak pernah bosan dikecewakan oleh alat sekali pakai tersebut. “Hah?!” Wanita itu tercengang melihat bagaimana satu garis muncul dan diikuti dengan garis lainnya. Dua garis melintang pendek di dalam kotak yang menjadi penanda jika dirinya hamil. Ya, hamil. Sebuah kata yang telah lama dinantikannya bersama Izhar. Dia hamil, sebuah kabar besar. Izhar. Izhar harus tahu tentang ini, pikirnya. Nirmala buru-buru keluar dari kamar mandi, menyerbu handphonenya dan memotret alat tes kehamilan itu. Dikirimnya pada Izhar. T
“Lagian, siapa yang ganggu? Teteh playing victim, deh. Teteh pikir jadi Ay juga mudah?” Ayesha terdengar balik marah karena tuduhan Nirmala padanya. Meski begitu, Ayesha berusaha mengendalikan dirinya sendiri, karena tahu jika Nirmala sedang mengandung. “Bukannya mau kamu sendiri buat pergi, Ay? Teteh ngizinin kamu pergi, jadi pergi sekarang! Bukannya kamu juga lebih milih cerai sama A Izhar ketimbang harus melahirkan anaknya A Izhar? Tepati pilihan kamu itu! Kenapa? Sekarang kamu berubah pikiran karena mulai ngerasa dicintai sama A Izhar?” Ayesha mengerjapkan matanya. Jika ditanya apa dia merasa dicintai oleh Izhar, bohong jika dia jawab tidak. Dia ingat bagaimana Izhar sedia menemaninya makan jika dirinya kelaparan di tengah malam, perhatian Izhar akan hal kecil, semua detail sekecil apa pun tentang dirinya yang diingat Izhar. Belum lagi cara bagaimana Izhar memeluk dan mengecupnya saat tidur. “Atau kamu yang sekarang punya perasaan sama A Izhar?” Nirmala menatap Ayesha yang tak
“Assalamualaikum!” Izhar memasuki rumah dengan barang bawaannya. Seraya menjawab salam dari suaminya, Nirmala berlari mendekati Izhar dan memeluknya. Izhar sendiri sudah merentangkan tangannya ketika Nirmala sudah berlari ke arahnya. Izhar agak terkejut untuk sesaat dan kemudian terkekeh sambil mendekap Nirmala cukup erat namun hati-hati. “Jangan lari-lari, kamu lagi hamil muda, loh,” tegur Izhar seraya menatap Nirmala lekat. “Iya, iya. Namanya juga spontan, lihat Aa baru pulang setelah hampir dua minggu pergi. Katanya cuman seminggu, tau-tau minta tambahan waktu. Gimana, sih?” Nirmala tampak cemberut. “Maaf, itu kan, di luar perkiraan,” jawab Izhar.“Aduh, putra Ibu udah pulang lagi. Mulai sekarang, kalau bisa jangan sering bepergian jauh. Istri kamu lagi hamil sekarang, kamu harus mengambil peran penting buat jaga dia.” Izhar langsung menoleh ke arah Mayang yang kini tersenyum ke arahnya penuh seri. Tampak berbeda dengan rautnya untuk terakhir kali. Izhar sendiri hanya tersenyum
“Aa mau ke mana?” Nirmala menatapi Izhar yang menggunakan jaketnya malam itu. “Ibu udah tidur?” tanya Izhar seraya menatap balik ke arah Nirmala. “Udah, kenapa? Aa mau ketemu Ayesha di belakang Ibu?” tanya Nirmala lagi. Izhar menghela nafasnya sejenak. “Mala, Aa harus ngasih Ayesha kepastian tentang ini. Sejak Aa bilang kalau Aa bakal pulang hari ini, Ayesha jadi enggak membalas pesan Aa atau mengangkat telepon dari Aa,” jelas Izhar. “Bukannya itu udah jelas, A? Berarti Ayesha juga menghindari Aa. Ayesha yang mau ini semua. Ayesha yang mau cerai,” tekan Nirmala berusaha meyakinkan Izhar. “Aa pengen dengar itu semua dari Ayesha. Kenapa kamu menahan Aa kayak gini? Apa semuanya yang kamu ucapkan enggak benar?” Izhar berusaha mengkonfirmasi lagi pernyataan Nirmala. Nirmala seketika terdiam. “Izinkan Aa pergi, Aa enggak akan lama,” janji Izhar seraya mendekat ke arah Nirmala. “Aa enggak tahu rasanya jadi aku.
“Aa ada janji pertemuan buat bicara tentang kerjaan. Aa enggak akan lama, kok.” Izhar berpamitan pada Nirmala yang sudah pasti akan menahannya untuk pergi lagi. “Yakin itu tentang kerjaan?” tanya Nirmala berusaha mengkonfirmasi lagi pernyataan Izhar. “Iya, Sayang.” Izhar menghela nafasnya berusaha meyakinkan Nirmala. “Kamu enggak akan anter Nirmala buat periksa kandungannya hari ini?” tanya Mayang yang baru keluar kamarnya dan menemukan Izhar yang sudah hendak pergi pagi itu. “Janjian sama dokternya sore ini, kok. Nanti Aa jemput, kamu siap-siap aja sekitar jam 14.00.” Izhar kemudian pamit kepada ibu dan istrinya untuk pergi. Dia segera keluar dan tampak bergegas. Dia tampak gelisah lantaran harus berbohong kepada istri dan ibunya untuk menemui Ayesha. Toh, dirinya berbohong juga untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya dengan Nirmala. Izhar pergi dengan mobilnya menuju ke rumah sepupu Ayesha—Devan. Dia ingin menemui Ayes
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga