“Kamu dengar suara Ayesha tadi malam?”
Izhar ingin memastikannya lagi. Dia kini terlihat kikuk, terdiam menatapi Nirmala yang tampak masam. Dia tahu, istri pertamanya pasti akan sangat cemburu mengetahui apa yang terjadi.Nirmala sendiri tak menjawab. Dia tak ingin memperjelasnya, dan rasanya tak perlu. Dia hanya mendesah pelan seraya duduk di kasurnya dan merapikan segala barang di kasurnya.“Ayesha bersedia. Kamu tahu maksudnya, bukan?” Izhar menghela nafasnya pelan.“Aku tahu. Ke depannya cuman ada Ayesha di mata kamu. Ke depannya kamu bakal punya anak sama Ayesha, sementara aku kesepian di sini, sendirian.” Nirmala terdengar jengkel.“Enggak, kok. Aa enggak terus sama Ayesha, tapi Aa juga terus sama kamu. Komitmennya memaksa Aa untuk bersikap adil. Aa enggak akan membeda-bedakan,” ucap Izhar.“Bukan Aa, tapi ibu. Keluarga Aa,” tekan Nirmala tanpa menatap ke arah Izhar sama sekali.Izhar tak membalasnya lagi. Rasanya lelah untuk meyakinkan dua pihak dengan masing-masing argumen. Namun, inilah yang harus dia jalani.***Sepulang dari masjid, Izhar mendatangi kamar Ayesha, untuk memastikannya bangun. Dan seperti biasa, Ayesha tak pernah ditemukan sudah bangun di kasurnya. Gadis itu masih meringkuk di bawah selimut yang hangat, yang memeluk dirinya dengan erat.“Ay, bangun!” Izhar mendekatinya dan duduk di pinggir kasur, tepat di depan Ayesha.Ayesha yang tampal tertidur pulas sebenarnya selalu membuatnya tak tega untuk membangunkannya. Tapi dia harus, karena dirinya akan bertanggung jawab atas Ayesha.Ditepuknya pelan bahu Ayesha, membuatnya empunya mulai mengerjapkan matanya hendak bangun. Izhar tersenyum begitu Ayesha kini melirik dari mata ekornya dari matanya yang tampak masih ingin tertutup rapat.“Bangun, sholat dulu! Mandi dulu tapi sebelumnya. Tahu kan, caranya mandi besar?” Izhar mengusap pelan bahu Ayesha, sambil memperhatikan Ayesha yang masih setengah sadar.Ayesha menelentangkan tubuhnya, dengan kedua tangannya yang menggeliat. Gadis itu kemudian menatap Izhar dengan matanya yang terbuka lebih lebar. Namun secara mendadak dia teringat bagaimana Izhar berada di dekatnya tadi malam, tanpa jarak.Mendadak dia menegang. Matanya melebar dan kedua tangannya secara spontan menyilang ke bahunya. Dia tampak sedikit memerah kemudian. Aksi itu diperhatikan Izhar yang langsung terkekeh.“Mandi makanya, biar enggak ngerasa lengket,” ujar Izhar.Ayesha mendecak pelan, menatap Izhar dengan mengernyitkan dahinya. Dia lupa kenapa dirinya tak segera mandi. Tadi saat Izhar pergi, sebenarnya dia sudah bangun karena ingin mandi. Sayangnya dia malah tertidur lagi hingga harus bertemu Izhar dengan keadaan secanggung itu.“Mau sendiri apa ditemenin?” Izhar sengaja menggodanya, lantaran Ayesha tampak memerah.“Ish!” Ayesha seketika memukul pundak Izhar secara spontan karena kalimat godaannya itu.Izhar tertawa sambil memegangi bahunya. Dia memandang Ayesha yang tampaknya masih malu-malu kepadanya. Mungkin dia bisa lebih mendekati Ayesha setelah ini.“Mandi!” Izhar mengulangi perintahnya.“Iya, sebentar. Sana keluar dulu!” balas Ayesha.“Kenapa?”“Malah tanya kenapa. Nanti Aa sendiri yang menderita kalau lihat Ay. Keluar sana! Lagian Aa di sini mau ngapain?”“Mau bantu kamu. Barang kali kamu butuh bantuan Aa.” Izhar terkekeh menatapnya.“Ay enggak perlu bantuan Aa, Aa keluar aja sana! Repot nanti kalau lihat Ay lagi,” balasnya.“Aa rela keramas lagi,” sahut Izhar.“Dih, mesum!” Ayesha tampak cemberut karena perasaan canggung di sekitarnya.“Ya udah, iya. Aa keluar, nih. Kalau ada butuh bantuan, panggil aja!” ujar Izhar.Izhar beranjak dari tempat duduknya dan segera meninggalkan kamar Ayesha. Dia diam-diam tersenyum karena rasanya menyenangkan bisa mulai bercanda seperti itu pada Ayesha.Sementara melihat Izhar yang hendak keluar, Ayesha bangun mendudukkan dirinya perlahan dan mendesis pelan saat hendak menurunkan kakinya dari kasur. Desisan Ayesha membuat Izhar menoleh ke arahnya. Dam Ayesha seketika menatapi Izhar dengan perasaan bingung.“Butuh bantuan, enggak?” tawar Izhar sekali lagi, dia hendak menggoda istri mudanya itu.“Sakit,” keluh Ayesha dengan arah pandang matanya ke tempat lain.“Aa tahu, kamu bakal ngeluh gitu. Makanya, Aa di sini, bersedia membantu kamu.” Izhar berbalik dan mendekati Ayesha untuk membantunya yang merasa sakit.“Enggak aneh, sih. Ini pengalaman kedua Aa. Enggak adil banget. Ini pertama buat Ay, tapi buat Aa bukan hal yang aneh lagi,” balas Ayesha agak sinis saat Izhar mendekat.“Ya, ya, kamu boleh bilang gitu.” Izhar hanya tersenyum membalasnya dan menggendong Ayesha.“Ngilu banget dipake jalan,” keluh Ayesha.“Belum juga nyoba jalan.”“Udah, tadi. Waktu Aa pergi, Ay niatnya mau mandi. Cuman karena ngerasa sakit dan males jalan, akhirnya Ay nunggu reda.”“Nunggu reda apanya? Hujan?”“Sakitnya!”Ayesha mendesis di gendongan Izhar. Izhar mengantarkannya ke kamar mandi untuk segera mandi.Sementara di luar kamar Ayesha, ada Nirmala yang sekarang menatapi kamar Ayesha dengan tajam. Bagaimana tidak, dia menunggu suaminya keluar namun belum juga keluar.“Kalau Ayesha hamil duluan, posisi aku di sini bisa terancam. Aku enggak boleh biarin Ayesha sampai hamil. Ini pasti karena kemarin. Bodoh, Mala!” Nirmala menyesali perkataannya kemarin yang mungkin agak mendorong Ayesha untuk bertindak seperti ini.Nirmala gelisah dan cemas sekarang, takut jika posisinya sebagai istri Izhar tak aman. Dia takut jika nanti suaminya lebih memperhatikan Ayesha, begitu pula dengan keluarga suaminya.***Izhar segera berangkat bekerja pagi itu. Dan Ayesha akhirnya keluar kamar untuk sarapan. Dia berjalan agak pelan, rambutnya masih terlihat sedikit basah saat itu. Nirmala kelihatannya menunggu Ayesha di dapur, dia ingin memastikan apakah yang di dalam benaknya benar atau tidak.Kelihatannya benar, dia memperhatikan cara berjalan Ayesha yang berbeda dan rambutnya juga basah habis keramas. Sementara Ayesha melirik Nirmala sesaat.“Kamu jadi gadis penurut lagi sekarang?” sindir Nirmala.Ayesha terdiam sejenak dan melirik Nirmala. Entah kenapa Nirmala seolah seperti mengajaknya bertengkar selalu.“Kamu pernah dengar enggak, istri pertama selalu punya kesan terbaik untuk suaminya?” Nirmala lagi-lagi berusaha menyinggung Ayesha.“Lalu? Kenapa? Bukannya Teh Mala bilang untuk mendamaikan A Izhar sama keluarganya memberikan apa yang mereka mau? Teh Mala cemburu? Teh Mala enggak ada hak, dong. Ini juga untuk Teh Mala, mereka bakal berhenti bicara tentang bayi setelahnya,” balas Ayesha.“Untuk aku? Aku lebih suka kamu enggak setuju untuk punya anak.” Nirmala menatap Ayesha lekat.“Itu berbanding terbalik dari yang Teh Mala bilang kemarin. Kenapa? Teh Mala takut semua perhatian A Izhar jadi ke Ay, begitu pula keluarganya A Izhar?” Ayesha bicara dengan cukup tenang.Nirmala tak menjawab dan hanya menatap Ayesha dengan jengkel.“Tenang aja, Ay enggak ada minat cari perhatian. Ay lakukan ini buat kenyamanan Ay sendiri."“Kamu haid?” Izhar mendekati Ayesha sambil membawakan keresek berisikan pesanan gadis itu. Yang ditanya duduk di sisi kasur sambil memegangi pinggangnya dan mendengus seraya mengangguk. Ayesha menerima keresek yang diberikan Izhar untuknya, berisikan pembalut yang dia pesan pada Izhar saat pria itu dalam perjalanan pulang. “Makasih,” ucap Ayesha seraya membuka kereseknya dan melihat ada camilan juga di sana. “Ay enggak nitip yang lainnya,” ucap Ayesha pelan. “Inisiatif Aa, Ay. Barang kali kamu moody lagi, kalau datang bulan. Enggak datang bulan aja, kerjaan kamu kesel, jengkel, sebel, marah-marah.” Izhar terkekeh pelan seraya duduk di sisinya. Ayesha mendecak sambil menyungging senyum. Ada benar juga. Ayesha mendesis sambil agak mencengkeram perutnya. Dia kadang mengalami ini, kram saat haid dan nyeri. “Kenapa? Sakit?” Izhar mengusap punggung Ayesha halus, untuk membantunya merasa baikan. “Mm,” jawab Ayesha. “Kalau hamil, kamu enggak akan nyeri haid,” ucap Izhar asal. “Ya, iy
“Assalamualaikum.” Izhar memasuki rumah terlebih dahulu, dia memasukkan barang belanjaannya. Semula dia merasa tak aneh dengan suasana rumah, mendadak terkejut begitu melihat Ayesha yang tidur di sofa ruang tamu saat itu. Izhar seketika menoleh ke arah Nirmala yang ada di belakangnya. “Ay?” Izhar segera mendekati Ayesha yang tidur meringkuk di sofa. Ayesha tampak tersentak saat tangan Izhar menyentuhnya. Gadis itu seketika mendudukkan dirinya, menatap Izhar dengan tatapan bingung. Semalaman dia menunggu Izhar dan Nirmala pulang. “Kamu tidur di sini? Kenapa?” tanya Izhar. Nirmala yang baru memasuki rumah menatap ke arah Ayesha yang tampak masih sedikit linglung. Ayesha membalas tatapannya sejenak. Ayesha masih sibuk mengumpulkan nyawanya. “Oh, iya. Kamu telepon Aa berkali-kali semalam, ada apa?” Izhar teringat akan hal tersebut. “Kita nginep di hotel semalam,” ucap Nirmala secara tiba-tiba. Izhar menatap Nirmala singkat dan melirik Ayesha yang menggaruk wajahnya. Wajahnya dipenu
“Huek!” Wanita itu mendekap mulutnya dengan tangan kirinya. Dan kemudian mendesah pelan seraya meraup sebuah testpack yang ada di laci. Terlihat ada beberapa, dia selalu menyimpannya untuk jaga-jaga. Kebiasaan yang sampai sekarang belum kunjung membuahkan hasil. Membawa benda yang baru saja diambilnya ke kamar mandi, dia hendak menggunakannya. Nirmala menatapi alat itu dengan tidak sabar sesaat setelah menggunakannya. Menunggu alat itu bekerja sambil menatapinya lekat. Dia tak pernah bosan dikecewakan oleh alat sekali pakai tersebut. “Hah?!” Wanita itu tercengang melihat bagaimana satu garis muncul dan diikuti dengan garis lainnya. Dua garis melintang pendek di dalam kotak yang menjadi penanda jika dirinya hamil. Ya, hamil. Sebuah kata yang telah lama dinantikannya bersama Izhar. Dia hamil, sebuah kabar besar. Izhar. Izhar harus tahu tentang ini, pikirnya. Nirmala buru-buru keluar dari kamar mandi, menyerbu handphonenya dan memotret alat tes kehamilan itu. Dikirimnya pada Izhar. T
“Lagian, siapa yang ganggu? Teteh playing victim, deh. Teteh pikir jadi Ay juga mudah?” Ayesha terdengar balik marah karena tuduhan Nirmala padanya. Meski begitu, Ayesha berusaha mengendalikan dirinya sendiri, karena tahu jika Nirmala sedang mengandung. “Bukannya mau kamu sendiri buat pergi, Ay? Teteh ngizinin kamu pergi, jadi pergi sekarang! Bukannya kamu juga lebih milih cerai sama A Izhar ketimbang harus melahirkan anaknya A Izhar? Tepati pilihan kamu itu! Kenapa? Sekarang kamu berubah pikiran karena mulai ngerasa dicintai sama A Izhar?” Ayesha mengerjapkan matanya. Jika ditanya apa dia merasa dicintai oleh Izhar, bohong jika dia jawab tidak. Dia ingat bagaimana Izhar sedia menemaninya makan jika dirinya kelaparan di tengah malam, perhatian Izhar akan hal kecil, semua detail sekecil apa pun tentang dirinya yang diingat Izhar. Belum lagi cara bagaimana Izhar memeluk dan mengecupnya saat tidur. “Atau kamu yang sekarang punya perasaan sama A Izhar?” Nirmala menatap Ayesha yang tak
“Assalamualaikum!” Izhar memasuki rumah dengan barang bawaannya. Seraya menjawab salam dari suaminya, Nirmala berlari mendekati Izhar dan memeluknya. Izhar sendiri sudah merentangkan tangannya ketika Nirmala sudah berlari ke arahnya. Izhar agak terkejut untuk sesaat dan kemudian terkekeh sambil mendekap Nirmala cukup erat namun hati-hati. “Jangan lari-lari, kamu lagi hamil muda, loh,” tegur Izhar seraya menatap Nirmala lekat. “Iya, iya. Namanya juga spontan, lihat Aa baru pulang setelah hampir dua minggu pergi. Katanya cuman seminggu, tau-tau minta tambahan waktu. Gimana, sih?” Nirmala tampak cemberut. “Maaf, itu kan, di luar perkiraan,” jawab Izhar.“Aduh, putra Ibu udah pulang lagi. Mulai sekarang, kalau bisa jangan sering bepergian jauh. Istri kamu lagi hamil sekarang, kamu harus mengambil peran penting buat jaga dia.” Izhar langsung menoleh ke arah Mayang yang kini tersenyum ke arahnya penuh seri. Tampak berbeda dengan rautnya untuk terakhir kali. Izhar sendiri hanya tersenyum
“Aa mau ke mana?” Nirmala menatapi Izhar yang menggunakan jaketnya malam itu. “Ibu udah tidur?” tanya Izhar seraya menatap balik ke arah Nirmala. “Udah, kenapa? Aa mau ketemu Ayesha di belakang Ibu?” tanya Nirmala lagi. Izhar menghela nafasnya sejenak. “Mala, Aa harus ngasih Ayesha kepastian tentang ini. Sejak Aa bilang kalau Aa bakal pulang hari ini, Ayesha jadi enggak membalas pesan Aa atau mengangkat telepon dari Aa,” jelas Izhar. “Bukannya itu udah jelas, A? Berarti Ayesha juga menghindari Aa. Ayesha yang mau ini semua. Ayesha yang mau cerai,” tekan Nirmala berusaha meyakinkan Izhar. “Aa pengen dengar itu semua dari Ayesha. Kenapa kamu menahan Aa kayak gini? Apa semuanya yang kamu ucapkan enggak benar?” Izhar berusaha mengkonfirmasi lagi pernyataan Nirmala. Nirmala seketika terdiam. “Izinkan Aa pergi, Aa enggak akan lama,” janji Izhar seraya mendekat ke arah Nirmala. “Aa enggak tahu rasanya jadi aku.
“Aa ada janji pertemuan buat bicara tentang kerjaan. Aa enggak akan lama, kok.” Izhar berpamitan pada Nirmala yang sudah pasti akan menahannya untuk pergi lagi. “Yakin itu tentang kerjaan?” tanya Nirmala berusaha mengkonfirmasi lagi pernyataan Izhar. “Iya, Sayang.” Izhar menghela nafasnya berusaha meyakinkan Nirmala. “Kamu enggak akan anter Nirmala buat periksa kandungannya hari ini?” tanya Mayang yang baru keluar kamarnya dan menemukan Izhar yang sudah hendak pergi pagi itu. “Janjian sama dokternya sore ini, kok. Nanti Aa jemput, kamu siap-siap aja sekitar jam 14.00.” Izhar kemudian pamit kepada ibu dan istrinya untuk pergi. Dia segera keluar dan tampak bergegas. Dia tampak gelisah lantaran harus berbohong kepada istri dan ibunya untuk menemui Ayesha. Toh, dirinya berbohong juga untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya dengan Nirmala. Izhar pergi dengan mobilnya menuju ke rumah sepupu Ayesha—Devan. Dia ingin menemui Ayes
Izhar mendekati Ayesha dan tanpa ragu memeluknya sebagai pelepasan rindunya. Sementara Ayesha yang masih setengah sadar dari tidurnya kini terdiam sambil memegangi pundak Izhar. Ada perasaan hangat di hatinya saat Izhar memeluknya erat seperti itu. Membuat Ayesha tak ragu untuk memejamkan matanya dan tangannya perlahan membalas pelukan Izhar. Pelan tapi pasti, Izhar membawa Ayesha ke posisi yang lebih nyaman dan membiarkannya terbaring lagi. Ayesha menatapi Izhar yang perlahan melepaskan pelukannya dan melakukan kontak mata dengannya. Ayesha sendiri tampak terhipnotis oleh Izhar. “Ay, Aa kangen kamu. Ay, boleh enggak?” Izhar meminta izin Ayesha dulu. “Hah?” Ayesha yang pandangannya kosong menatap Izhar tak mencerna dengan baik maksudnya. “Aa kangen sama kamu. Aa lagi mau kamu sekarang. Boleh?” pinta Izhar lagi. “Oh, ya.” Ayesha tampak linglung menatap Izhar, dia tak sadar jika yang terjadi itu sungguh terjadi. Dia pikir ini
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga