“Assalamualaikum.”
Izhar memasuki rumah terlebih dahulu, dia memasukkan barang belanjaannya. Semula dia merasa tak aneh dengan suasana rumah, mendadak terkejut begitu melihat Ayesha yang tidur di sofa ruang tamu saat itu. Izhar seketika menoleh ke arah Nirmala yang ada di belakangnya.“Ay?” Izhar segera mendekati Ayesha yang tidur meringkuk di sofa.Ayesha tampak tersentak saat tangan Izhar menyentuhnya. Gadis itu seketika mendudukkan dirinya, menatap Izhar dengan tatapan bingung. Semalaman dia menunggu Izhar dan Nirmala pulang.“Kamu tidur di sini? Kenapa?” tanya Izhar.Nirmala yang baru memasuki rumah menatap ke arah Ayesha yang tampak masih sedikit linglung. Ayesha membalas tatapannya sejenak. Ayesha masih sibuk mengumpulkan nyawanya.“Oh, iya. Kamu telepon Aa berkali-kali semalam, ada apa?” Izhar teringat akan hal tersebut.“Kita nginep di hotel semalam,” ucap Nirmala secara tiba-tiba.Izhar menatap Nirmala singkat dan melirik Ayesha yang menggaruk wajahnya. Wajahnya dipenuhi bintik merah, hingga ke lehernya. Dia digigit nyamuk karena tidur di sana?“Oh,” ucap Ayesha singkat seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamarnya.Izhar memperhatikan Ayesha, merasa bersalah melihat Ayesha mungkin menunggu mereka semalaman, dilihat dari caranya menelepon puluhan kali dan ditemukan tidur di sofa.“Kamu enggak harus bilang kita dari mana,” ucap Izhar pelan sambil menatap Nirmala.“Dia kayaknya nunggu, makanya aku kasih tahu. Dari pada nanti salah paham atau apa. Supaya dia ngerti kalau kita dari mana,” balas Nirmala seraya beranjak ke kamarnya juga.Izhar menghela nafasnya, duduk di sofa dan mengusap wajahnya halus. Satu sisi ada Ayesha, di sisi lain ada Nirmala. Dia merasa bersalah pada Ayesha karena mungkin membuatnya ketakutan sendirian di rumah sepanjang malam. Di sisi lain dia lagi-lagi salah di mata Nirmala.Di kamar, Ayesha menatapi wajahnya di cermin yang terasa gatal akibat gigitan nyamuk. Dia menggaruknya halus agar tak melukai wajahnya sendiri. Itu termasuk aset baginya.“Kenapa enggak ngabarin aja dari awal, coba?! Enak banget tidur di hotel, sementara Ay di sini malah digigit nyamuk,” protes Ayesha, mengumpat dengan suara pelan.Ayesha mendecak pelan. Dia jadi agak jengkel karena dibuat menunggu. Jika dirinya tak punya trauma akan hal itu mungkin dia bisa bersantai semalam. Sayangnya, dia punya trauma tentang bagaimana orang di sekitarnya tak kunjung pulang setelah tak ada kabar.“Ay?” Izhar membuka pintu kamarnya dan mengulum bibirnya menatapi Ayesha.“Apa? Ay mau istirahat,” sahut Ayesha tak ramah karena dirinya masih mengantuk.Izhar menghela nafasnya dan memasuki kamar Ayesha. Ayesha menatapi pria itu dan mendecak sambil berjalan menjauhi Izhar yang berusaha mendekatinya.“Ay, kamu nunggu Aa semalam?” tanya Izhar.“Enggak, ngapain nunggu Aa? Semalam bukan jatahnya Ay, kan?” balas Ayesha sinis.“Kamu terdengar jengkel dan kesal. Kamu cemburu karena Aa pergi berdua sama Nirmala?” Izhar hendak Menggoda Ayesha untuk membuat suasana tak terlalu canggung.“Ay ada hak buat cemburu? Ngapain? Buang waktu,” balasnya gengsi.“Tapi kamu telepon Aa puluhan kali semalam. Kamu juga sampai tidur di sofa, apa karena kamu takut ditinggal sendirian semalaman?” goda Izhar lagi.Ayesha mendecak sesaat. Dia menyangkalnya, sungguh. Ayesha menatapi Izhar yang berhasil membuatnya waswas semalaman. Mungkin Izhar tak akan mengerti maksudnya saat itu.“Bisa enggak, sih, kalau pulang telat, atau bahkan enggak pulang itu ngabarin? Aa selalu nyuruh Ay buat kayak gitu kalau keluar, tapi Aa enggak ngasih feedback ke Ay. Bukan masalah cemburu apa enggak. Ay mah silakan aja, kalian mau ngapain sesuka hati juga, silakan! Dari awal Ay ke sini juga Ay sadar diri siapa Ay. Ay enggak suka dibiarin nunggu kayak semalam.”Ayesha terdengar serius sekarang. Dan itu membuat Izhar menarik bibirnya juga meneguk ludahnya mendengarkan Ayesha. Ayesha mendecak lagi seraya memegangi keningnya dan mengurutnya pelan.“Ay, kenapa? Semalam ada apa selama Aa pergi?” Izhar jadi khawatir padanya sekarang.“Enggak ada yang terjadi. Ay cuman mau menyampaikan itu. Ay enggak suka nunggu yang enggak pasti,” tekan Ayesha agak mengeraskan suaranya.Melihat Ayesha yang tampaknya marah membuat Izhar mendekat dan memegangi bahunya. Ayesha menatap Izhar lekat, saat Izhar membimbingnya untuk duduk di sisi ranjangnya.“Iya, iya. Aa enggak akan kayak gitu lagi. Maaf buat semalam,” ucap Izhar guna menenangkan Ayesha.Sementara Ayesha menghela nafasnya dan memalingkan wajahnya. Entah kenapa rasanya menyenangkan saat seseorang mendengarkannya dan bahkan memperlakukannya sesuai yang dia inginkan dalam hatinya.“Maaf, ya?” bujuk Izhar lagi, dia tampak manis sekarang ini.Bohong jika Ayesha tak bisa memaafkan Izhar. Belakangan ini jantungnya selalu berpacu cepat jika berhadapan dengan Izhar atau melakukan kontak mata. Apa lagi jika Izhar melakukan sentuhan langsung. Sungguh, dia bisa hilang akal jika begini terus.“Kamu mau Aa beliin sesuatu?”“Enggak usah.”“Bilang aja, apa? Sebagai permintaan maaf Aa karena bikin kamu khawatir semalaman mungkin, atau cemburu atau apa. Aa enggak tahu perasaan kamu kalau kamu enggak ngasih tahu. Kamu harus terus terang sama Aa.”“Ay bilang enggak.”“Kamu susah banget diajak bicara, Ay. Tinggal ungkapin perasaan kamu kayak kamu lagi marah, kesel. Ungkapin apa yang ada di pikiran kamu.”“Ay enggak lagi mikirin apa-apa!”"Lihat wajah kamu. Sampai digigit nyamuk kayak gini. Kamu nungguin Aa semalam, ya?" godanya lagi."Enggak, dih. Ngapain? Kepedean!""Oh, ya? Kamu marah-marah mulu, gengsian lagi."Ayesha gengsi.***Hari-hari berlalu seperti biasanya. Agak datar dan tak banyak yang terjadi. Hingga Izhar harus pergi ke luar kota untuk pekerjaannya sebagai manager konstruksi.“Selama Aa pergi, Aa harap kalian akur,” ucap Izhar sambil melirik Nirmala dan Ayesha yang mendengarkannya dengan baik.“Kalau Aa pergi seminggu, Ay mau ke rumah Devan. Ay mau di rumah Devan dulu,” balas Ayesha.“Enggak,” ucap Izhar tanpa memikirkan terlebih dahulu perkataan Ayesha.“Kenapa? Aa enggak ada di sini, berarti Ay juga lepas tugas sementara sebagai istri Aa, kan?”“Izinkan Ay pergi, lagi pula dia enggak akan bantu aku di rumah selama kamu pergi,” ucap Nirmala, terdengar membela Ayesha.“Justru Aa mau kalian tetap serumah supaya kalian lebih akur. Kalian enggak akur belakangan ini,” ucap Izhar.Izhar menatapi keduanya. Dia berharap Nirmala dan Ayesha setidaknya punya hubungan yang termasuk baik. Sayangnya, keduanya bagai air dan minyak.“Ay mau ke rumah Devan,” tekan Ay, dia memaksa untuk kembali ke rumah sepupunya itu.“Mau apa sih, di rumah Devan? Supaya bisa keluyuran? Main sampai malam sama temen-temen kamu?” Izhar menatap Ayesha dan bicara dengan nada menyindir.Ayesha kemudian mendecak pelan tak percaya dengan apa yang dia dengar. Memang benar itu rencananya. Agar setidaknya dia bisa bebas seperti saat melajang.“Mala, jaga Ayesha jangan sampai dia keluyuran.”***Setelah kepergian Izhar untuk seminggu, Nirmala dan Ayesha jarang berinteraksi jika tidak perlu. Paling Ayesha hanya bertanya tentang tugas rumah itupun kadang Nirmala menjawabnya dan kadang tidak. Mereka tidak akur."Teh, ada cucian enggak?" Ayesha berdiri di depan kamar Nirmala hendak mengambil pakaian kotor."Huek!"Ayesha menatapi pintu kamar Nirmala dengan matanya yang melebar saat mendengar Nirmala yang terdengar mual dan muntah."Teh?"“Huek!” Wanita itu mendekap mulutnya dengan tangan kirinya. Dan kemudian mendesah pelan seraya meraup sebuah testpack yang ada di laci. Terlihat ada beberapa, dia selalu menyimpannya untuk jaga-jaga. Kebiasaan yang sampai sekarang belum kunjung membuahkan hasil. Membawa benda yang baru saja diambilnya ke kamar mandi, dia hendak menggunakannya. Nirmala menatapi alat itu dengan tidak sabar sesaat setelah menggunakannya. Menunggu alat itu bekerja sambil menatapinya lekat. Dia tak pernah bosan dikecewakan oleh alat sekali pakai tersebut. “Hah?!” Wanita itu tercengang melihat bagaimana satu garis muncul dan diikuti dengan garis lainnya. Dua garis melintang pendek di dalam kotak yang menjadi penanda jika dirinya hamil. Ya, hamil. Sebuah kata yang telah lama dinantikannya bersama Izhar. Dia hamil, sebuah kabar besar. Izhar. Izhar harus tahu tentang ini, pikirnya. Nirmala buru-buru keluar dari kamar mandi, menyerbu handphonenya dan memotret alat tes kehamilan itu. Dikirimnya pada Izhar. T
“Lagian, siapa yang ganggu? Teteh playing victim, deh. Teteh pikir jadi Ay juga mudah?” Ayesha terdengar balik marah karena tuduhan Nirmala padanya. Meski begitu, Ayesha berusaha mengendalikan dirinya sendiri, karena tahu jika Nirmala sedang mengandung. “Bukannya mau kamu sendiri buat pergi, Ay? Teteh ngizinin kamu pergi, jadi pergi sekarang! Bukannya kamu juga lebih milih cerai sama A Izhar ketimbang harus melahirkan anaknya A Izhar? Tepati pilihan kamu itu! Kenapa? Sekarang kamu berubah pikiran karena mulai ngerasa dicintai sama A Izhar?” Ayesha mengerjapkan matanya. Jika ditanya apa dia merasa dicintai oleh Izhar, bohong jika dia jawab tidak. Dia ingat bagaimana Izhar sedia menemaninya makan jika dirinya kelaparan di tengah malam, perhatian Izhar akan hal kecil, semua detail sekecil apa pun tentang dirinya yang diingat Izhar. Belum lagi cara bagaimana Izhar memeluk dan mengecupnya saat tidur. “Atau kamu yang sekarang punya perasaan sama A Izhar?” Nirmala menatap Ayesha yang tak
“Assalamualaikum!” Izhar memasuki rumah dengan barang bawaannya. Seraya menjawab salam dari suaminya, Nirmala berlari mendekati Izhar dan memeluknya. Izhar sendiri sudah merentangkan tangannya ketika Nirmala sudah berlari ke arahnya. Izhar agak terkejut untuk sesaat dan kemudian terkekeh sambil mendekap Nirmala cukup erat namun hati-hati. “Jangan lari-lari, kamu lagi hamil muda, loh,” tegur Izhar seraya menatap Nirmala lekat. “Iya, iya. Namanya juga spontan, lihat Aa baru pulang setelah hampir dua minggu pergi. Katanya cuman seminggu, tau-tau minta tambahan waktu. Gimana, sih?” Nirmala tampak cemberut. “Maaf, itu kan, di luar perkiraan,” jawab Izhar.“Aduh, putra Ibu udah pulang lagi. Mulai sekarang, kalau bisa jangan sering bepergian jauh. Istri kamu lagi hamil sekarang, kamu harus mengambil peran penting buat jaga dia.” Izhar langsung menoleh ke arah Mayang yang kini tersenyum ke arahnya penuh seri. Tampak berbeda dengan rautnya untuk terakhir kali. Izhar sendiri hanya tersenyum
“Aa mau ke mana?” Nirmala menatapi Izhar yang menggunakan jaketnya malam itu. “Ibu udah tidur?” tanya Izhar seraya menatap balik ke arah Nirmala. “Udah, kenapa? Aa mau ketemu Ayesha di belakang Ibu?” tanya Nirmala lagi. Izhar menghela nafasnya sejenak. “Mala, Aa harus ngasih Ayesha kepastian tentang ini. Sejak Aa bilang kalau Aa bakal pulang hari ini, Ayesha jadi enggak membalas pesan Aa atau mengangkat telepon dari Aa,” jelas Izhar. “Bukannya itu udah jelas, A? Berarti Ayesha juga menghindari Aa. Ayesha yang mau ini semua. Ayesha yang mau cerai,” tekan Nirmala berusaha meyakinkan Izhar. “Aa pengen dengar itu semua dari Ayesha. Kenapa kamu menahan Aa kayak gini? Apa semuanya yang kamu ucapkan enggak benar?” Izhar berusaha mengkonfirmasi lagi pernyataan Nirmala. Nirmala seketika terdiam. “Izinkan Aa pergi, Aa enggak akan lama,” janji Izhar seraya mendekat ke arah Nirmala. “Aa enggak tahu rasanya jadi aku.
“Aa ada janji pertemuan buat bicara tentang kerjaan. Aa enggak akan lama, kok.” Izhar berpamitan pada Nirmala yang sudah pasti akan menahannya untuk pergi lagi. “Yakin itu tentang kerjaan?” tanya Nirmala berusaha mengkonfirmasi lagi pernyataan Izhar. “Iya, Sayang.” Izhar menghela nafasnya berusaha meyakinkan Nirmala. “Kamu enggak akan anter Nirmala buat periksa kandungannya hari ini?” tanya Mayang yang baru keluar kamarnya dan menemukan Izhar yang sudah hendak pergi pagi itu. “Janjian sama dokternya sore ini, kok. Nanti Aa jemput, kamu siap-siap aja sekitar jam 14.00.” Izhar kemudian pamit kepada ibu dan istrinya untuk pergi. Dia segera keluar dan tampak bergegas. Dia tampak gelisah lantaran harus berbohong kepada istri dan ibunya untuk menemui Ayesha. Toh, dirinya berbohong juga untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya dengan Nirmala. Izhar pergi dengan mobilnya menuju ke rumah sepupu Ayesha—Devan. Dia ingin menemui Ayes
Izhar mendekati Ayesha dan tanpa ragu memeluknya sebagai pelepasan rindunya. Sementara Ayesha yang masih setengah sadar dari tidurnya kini terdiam sambil memegangi pundak Izhar. Ada perasaan hangat di hatinya saat Izhar memeluknya erat seperti itu. Membuat Ayesha tak ragu untuk memejamkan matanya dan tangannya perlahan membalas pelukan Izhar. Pelan tapi pasti, Izhar membawa Ayesha ke posisi yang lebih nyaman dan membiarkannya terbaring lagi. Ayesha menatapi Izhar yang perlahan melepaskan pelukannya dan melakukan kontak mata dengannya. Ayesha sendiri tampak terhipnotis oleh Izhar. “Ay, Aa kangen kamu. Ay, boleh enggak?” Izhar meminta izin Ayesha dulu. “Hah?” Ayesha yang pandangannya kosong menatap Izhar tak mencerna dengan baik maksudnya. “Aa kangen sama kamu. Aa lagi mau kamu sekarang. Boleh?” pinta Izhar lagi. “Oh, ya.” Ayesha tampak linglung menatap Izhar, dia tak sadar jika yang terjadi itu sungguh terjadi. Dia pikir ini
“Aa bakal bilang kalau Bibi Diana yang sempat telepon Aa karena enggak kunjung menjemput kamu. Jadi, Aa harus menjemput kamu sesegera mungkin. Itu yang bakal Aa bilang ke ibu sama Mala,” jelas Izhar saat mereka berdua dalam perjalanan pulang. Ayesha hanya diam. Dia memang ingin bersama Izhar. Namun masih ada keinginan untuk tak bersama Izhar juga. Hatinya tak menentu dan dirinya tak bisa memutuskan dengan cepat. “Kenapa Aa mau mempertahankan Ay? Lagian Ay enggak hamil, Aa bisa aja menceraikan Ay secepat yang Aa mau. Toh, selagi hubungan kita juga belum lama.” Ayesha mendesah pelan. “Memang belum lama. Tapi itu pasti akan berbekas lama di ingatan Aa. Alasan Aa mempertahankan kamu ... singkatnya karena Aa sayang sama kamu,” jawab Izhar seadanya. Ayesha menyinggung senyum kemudian. Dia kadang tak percaya dengan ucapan manis seorang pria. Dia sering mendapatkan pernyataan bohong seperti itu sebelumnya. Namun dia lupa, jika kasih sayang yang sesung
Izhar menemani Nirmala memasuki ruangan dokter dan membantunya naik ke brankar pasien. Dokter Maryam adalah teman Nirmala sewaktu mereka di pesantren. Untuk itulah, mudah bagi Nirmala membuat janji dengan dokter yang merupakan temannya itu. “Wah, alhamdulillah! Turut senang dengar kabar kamu hamil,” ucapnya. “Iya, alhamdulillah.” Nirmala berbaring di atas brankar. Maryam menyingkap sedikit atasan yang digunakan Nirmala dan mengoleskan gel ultrasonik di perut Nirmala dan mengambil alat khusus seraya meratakan gel yang baru dioleskan ke perut Nirmala. Izhar melirik ke layar di mana tampak gambar yang ditampilkan, di mana itu adalah bayinya yang masih berukuran sebesar kacang tanah. Izhar seketika tersenyum senang melihatnya, dia melirik Nirmala yang tengah memperhatikan reaksinya. Ini yang mereka tunggu setelah sekian lama. “Dari hari pertama haid terakhir, kurang lebih usia kandungannya seharusnya sebulan atau sekitar empat minggu. Ta
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga