“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya.
“Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan.Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu.“Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih.“Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya.Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Punya anak? Enggak, enggak. Ay masih terlalu muda buat itu dan Ay yakin enggak sanggup. Andai kata Kakek tahu kalau Aa nikahin Ay buat punya anak, Ay yakin Kakek enggak mau menyetujuinya sekalipun Aa orang baik! Andai Kakek masih hidup, Ay bakal aduin ini ke Kakek!” Seorang gadis menentang suaminya dengan lantang. Siapa lagi jika bukan Ayesha yang kini menolak suaminya yang baru saja bicara baik-baik padanya jika dirinya ingin memiliki seorang putra. “Ay, Aa butuh waktu untuk menyampaikan ini sama kamu, karena tahu ini reaksi kamu. Aa enggak bisa ngasih tahu kamu sebelum kita menikah.” Izhar, pria itu bicara dengan tenang. “Dan sekarang setelah menikah, bilang pengen punya bayi dengan santainya. Pengen bayinya apa pengen enaknya aja?!” balasnya sinis. Izhar menghela nafasnya berat. Bukan nafsu semata yang membuatnya ingin menyentuh Ayesha malam itu. Dibalik itu, ada seorang wanita yang tengah menguping pembicaraan pribadi di dalam kamar itu dari luar. Wanita yang mendecak dengan m
“Ay, enggak gitu maksud Aa. Bukan kamu yang milih, tapi Aa,” tanggap Izhar cepat. Ayesha menatap Izhar lekat sambil menggeleng cukup kuat. “Selama Ay enggak ngizinin Aa nyentuh Ay, Aa juga enggak bisa nyentuh Ay gitu aja.” Sayangnya, niat mengancam Ayesha malah berbalik. Izhar terlalu lemah lembut pada perempuan apa lagi gadis muda seperti Ayesha. Dia tak bisa mengancam Ayesha dengan keras, sekeras apa pun sifat bawaan gadis ini. *** Nirmala tengah menyiapkan sarapan pagi itu. Dan Izhar duduk menikmati pelayanan dari Nirmala yang senantiasa melayaninya dengan baik. “Nanti aku mau belanja mingguan. Aa mau titip apa?” tanya Nirmala sambil menyajikan makanan. “Selain kebutuhan, enggak ada. Uangnya masih cukup, apa perlu ditambahin?” Izhar tersenyum menatap istri pertamanya yang sudah sibuk melayaninya. “Kayaknya kurang, soalnya ada beberapa lebih banyak yang harus aku beli,” jawab Nirmala. “Iya, nanti habis makan Aa transfer lagi ke rekening kamu,” balas Izhar. “Ngomong-ngomong,
“Iya, soalnya kucing berhenti ngeong juga kalau udah dikasih makan,” balas Ayesha pedas. Sementara Izhar hanya bisa menghela nafasnya pelan. Pria itu berusaha untuk tak marah dan senantiasa sabar. Yang dihadapi hanya gadis muda yang belum bisa memfilter ucapannya. Kedatangan keluarga Izhar pagi itu selain mengejutkan juga berhasil memaksa Ayesha untuk tak mengurung diri di kamar seperti biasa. Gadis itu keluar kamar setelah mandi dan disambut oleh ibu mertuanya yang sudah menyiapkan makanan untuknya.“Ay, sini makan dulu! Kamu belum sarapan, kan?” Mayang buru-buru menghampiri Ayesha. “Ah, Ayesha biasanya enggak sarapan. Kalau sarapan biasanya perut Ay sakit nanti, terus biasanya malah langsung keluar lagi.” Ayesha menolak dengan perasaan canggung. “Kamu enggak boleh terbiasa enggak sarapan, dong! Lama-lama juga nanti kalau terbiasa, enggak kayak gitu. Justru harus dibiasakan sarapan. Kalau sakit perut terus nanti keluar lagi juga enggak apa-apa, itu tandanya sisa-sisa kemarin udah
“Ay, cara bicara kamu tadi enggak sopan, kamu tahu itu, kan?!” Izhar berusaha menasihati Ayesha yang sekarang duduk di sisi kasur dengan perasaan yang tak nyaman. Dia paling benci saat Izhar menasihati seperti ini. “Enggak sopan apanya? Ay udah cukup sopan segitu, tuh. Ay enggak ngomong kasar, kan?” sahutnya agak sinis. “Kalau keluarga Aa kesinggung atas ucapan kamu tadi, gimana? Kamu tahu memutuskan tali silaturahmi itu enggak baik dan akan menimbulkan banyak masalah baru nantinya?” “Ya, seenggaknya untuk sekarang permasalahan soal keluarga Aa yang doyan membahas tentang anak selesai. Mereka enggak akan datang lagi, dan pastinya mereka enggak bisa membahas tentang anak. Ya, kan?” Ayesha mengangkat kedua alisnya dengan santai. “Ay!” Izhar menatapi istrinya itu, agak kaget dengan apa yang dia katakan tadi. Karena merasa dirinya mulai marah dengan apa yang dikatakan Ayesha, Izhar buru-buru duduk untuk meredam rasa marahnya. Dia duduk tak jauh dari Ayesha dan menghela nafasnya. Perl
Karena rasa bersalah yang membuat hatinya gelisah, Ayesha jadi terus terpikirkan tentang apa yang terjadi hari ini dan memikirkan setiap apa yang dia katakan sebelumnya. Hal itu juga menjadi dorongan untuk Ayesha mengambil sebuah lingerie dari lemarinya. Untuk pertama kalinya, Ayesha menggunakan salah satu hadiah pernikahannya yang dia tahu persis untuk apa itu. Sebuah potongan kain yang digunakan untuk menarik perhatian pria. Pikirannya agak sedikit kacau karena memikirkan Izhar yang sempat tampak putus asa tadi. Dengan pakaiannya yang baru, Ayesha duduk di atas kasur sambil menggigiti jarinya. Dia gelisah sambil menantikan sosok Izhar yang akan tidur bersamanya malam ini. Pintu terbuka perlahan dan Ayesha bisa melihat bagaimana Izhar memasuki kamarnya. Gadis itu seketika mematung sesaat saat melihat Izhar masuk, sebagaimana Izhar yang langsung mematung juga begitu melihat pemandangan yang dia sangka bisa dilihatnya malam itu. “Ay, kamu ... ngapain?” Izhar tercengang setengah mati
“Kamu dengar suara Ayesha tadi malam?” Izhar ingin memastikannya lagi. Dia kini terlihat kikuk, terdiam menatapi Nirmala yang tampak masam. Dia tahu, istri pertamanya pasti akan sangat cemburu mengetahui apa yang terjadi. Nirmala sendiri tak menjawab. Dia tak ingin memperjelasnya, dan rasanya tak perlu. Dia hanya mendesah pelan seraya duduk di kasurnya dan merapikan segala barang di kasurnya. “Ayesha bersedia. Kamu tahu maksudnya, bukan?” Izhar menghela nafasnya pelan. “Aku tahu. Ke depannya cuman ada Ayesha di mata kamu. Ke depannya kamu bakal punya anak sama Ayesha, sementara aku kesepian di sini, sendirian.” Nirmala terdengar jengkel. “Enggak, kok. Aa enggak terus sama Ayesha, tapi Aa juga terus sama kamu. Komitmennya memaksa Aa untuk bersikap adil. Aa enggak akan membeda-bedakan,” ucap Izhar. “Bukan Aa, tapi ibu. Keluarga Aa,” tekan Nirmala tanpa menatap ke arah Izhar sama sekali. Izhar tak membalasnya lagi. Rasanya lelah untuk meyakinkan dua pihak dengan masing-masing argu
“Kamu haid?” Izhar mendekati Ayesha sambil membawakan keresek berisikan pesanan gadis itu. Yang ditanya duduk di sisi kasur sambil memegangi pinggangnya dan mendengus seraya mengangguk. Ayesha menerima keresek yang diberikan Izhar untuknya, berisikan pembalut yang dia pesan pada Izhar saat pria itu dalam perjalanan pulang. “Makasih,” ucap Ayesha seraya membuka kereseknya dan melihat ada camilan juga di sana. “Ay enggak nitip yang lainnya,” ucap Ayesha pelan. “Inisiatif Aa, Ay. Barang kali kamu moody lagi, kalau datang bulan. Enggak datang bulan aja, kerjaan kamu kesel, jengkel, sebel, marah-marah.” Izhar terkekeh pelan seraya duduk di sisinya. Ayesha mendecak sambil menyungging senyum. Ada benar juga. Ayesha mendesis sambil agak mencengkeram perutnya. Dia kadang mengalami ini, kram saat haid dan nyeri. “Kenapa? Sakit?” Izhar mengusap punggung Ayesha halus, untuk membantunya merasa baikan. “Mm,” jawab Ayesha. “Kalau hamil, kamu enggak akan nyeri haid,” ucap Izhar asal. “Ya, iy
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga