“Dingin?”
Tiba di perkebunan teh, rombongan tersebut berhenti di sebuah warung. Ayesha yang tampak kedinginan mengundang perhatian dari Argi yang memperhatikannya sejak dia baru datang.“Enggak juga,” jawab Ayesha seraya terkekeh pelan.“Ekhm!” Teman-teman Ayesha memperhatikan Argi yang tampaknya memulai pendekatan lagi.Ayesha seketika melirik ke arah mereka dengan rautnya yang tak nyaman. Dia tahu, Argi sedang berusaha mendekatinya lagi di sana. Dan teman-temannya terkekeh menggodanya.“Ay, kita mau ke kamar mandi, lo ikut enggak?” tanya Belia, salah satu temannya.“Ey, Bel, lo ngerusak suasana aja. Udah, enggak usah ikut lo, Ay. Ngapain juga ke kamar mandi rame-rame. Gi, titip Ayesha dulu sebentar, ya. Si Devan lagi sama yang lain soalnya.” Syifa seolah memberikan peluang untuk Argi dengan membiarkannya berduaan dengan Ayesha.“Oh, okay. Jangan lama, ya!” pinta Ayesha.Mereka hanya tersenyum dan mening“Kan, Aa udah bilang, jangan pulang malam-malam.” “Ay enggak pulang malam, Ay pulang pagi,” celetuk Ayesha karena lagi-lagi ditegur Izhar. “Ngeyel ya, kamu! Kamu enggak ada di rumah sehabis magrib itu bikin Aa khawatir, Ay. Kemarin kalau ada apa-apa di sana gimana?” Izhar menolak pinggangnya dan menatapi istrinya yang benar-benar baru pulang. “Aa mau Ay kemarin pulang dari sana sore-sore? Terobos hujan? Terobos kabut? Ay yakin sampai sekarang Ay enggak akan sampai rumah tapi sampai rumah sakit, lebih parahnya kuburan.” Izhar menghela nafasnya. Ayesha sulit diatur, membuatnya harus benar-benar bersabar menghadapinya. Pria itu membiarkan Ayesha beristirahat setelah ditegur. Melihat Ayesha yang langsung terlelap membuat Izhar tahu, dia mungkin kelelahan juga. Izhar keluar dari kamar Ayesha setelah mengetahui Ayesha terlelap. Dia menemukan Nirmala yang membawa keranjang dari halaman belakang dan tampak tengah kesal. “Kamu ngapa
“Tapi itu dari Aa! Aku enggak ikhlas itu rusak karena itu dari Aa!” “Nanti bisa diperbaiki sama tukang jahit. Ya, walau bentukan bagian tangannya enggak akan kayak dulu lagi. Tapi, kan yang penting bisa menutupi kamu.” Izhar mencoba menenangkan Nirmala. Nirmala menangis seharian karena gamisnya. Ayesha tak mengerti apa yang salah dengan itu. Namun melihat Nirmala sangat menyayangi gamis pemberian Izhar, berarti dia sangat mencintainya. Dan Izhar yang memberikannya juga kelihatannya sangat mencintai Nirmala. “Kan, Aa juga sebelumnya udah bilang, supaya cuciannya Aa aja yang cuci, kenapa kamu malah minta Ayesha? Ya, jadi begini, kan ...” Izhar dengan tenang mengusapi punggung Nirmala. Sementara Ayesha, yang ditetapkan sebagai tersangka berdiri di depan kamar Nirmala. Bersandar ke dinding dengan menyenderkan kepalanya ke tembok. Dan dia menatapi Izhar yang keluar dari kamar Nirmala dengan membawa gelas kosong. “Kenapa Aa nyuruh Ay di si
Bertemu banyak orang yang tak dikenalnya, bahkan orang-orang yang membuatnya tak nyaman saja sudah cukup menekan Ayesha. Kejadian barusan juga berhasil membuatnya melamun di kamar mandi. Sambil menaruh tangannya di air mengalir, seperti Izhar merawat luka Nirmala. Dia sudah lelah berada di lingkungan yang membuatnya tak nyaman dan harus menghabiskan energi ekstra untuk tetap bertahan. Kemalangan lagi-lagi membuatnya semakin terpuruk. Sudah cukup baginya belakangan ini merasa diasingkan oleh suaminya. Dan kini dia harus melakukan kesalahan di depan keluarga besar Izhar. Dia bisa saja menyangkal jika itu bukan salahnya dan membela dirinya sekencang biasanya. Namun entah kenapa belakangan ini rasanya lemas. “Ay?” Izhar memasuki rumah dari halaman belakang dan melihat Ayesha yang sedang ada di kamar mandi dapur, karena kamarnya tak memiliki kamar mandi khusus.“Kamu apa-apaan? Apa cuman karena Mala nyuruh kamu siapin minuman, kamu sampai numpahin d
Keputusan Ayesha kemudian membulat. Jika dirinya sekarang memilih untuk bercerai. Toh, Izhar tak membelanya sama sekali tadi dan justru menyudutkannya. Dia bahkan tak tahu jika lengannya terluka dan malah menyentuhnya. Ayesha juga sudah muak terjebak dalam pengasingan. Saat Ayesha mengemas barangnya, dia tampak ragu untuk meninggalkan Izhar yang tengah terluka, di saat istri pertamanya tengah hamil. Meski begitu, dia yakin keluarganya tak akan membiarkannya. Lain jika dirinya yang sakit, dia tak punya siapa-siapa untuk merawatnya. Ayesha keluar dari kamarnya, dan berpapasan dengan Inaya yang setia menunggunya di sana. Inaya menatapnya dengan tatapan marah, karena Ayesha telah melukai kakak dan kakak iparnya. “Jadi, kamu memutuskan untuk pisah sama A Izhar? Kenapa enggak dari dulu aja? Kata Teh Mala sebelumnya kamu udah pulang ke rumah sepupu kamu buat cerai,” sinis Inaya. “Itu atas permintaan Aa kamu, Aa kamu yang enggak mau cerai,” jawab Ayes
Karena mendadak mual setelah mencium bau mi instan, Ayesha membuangnya. Mengurungkan niatnya untuk makan. Malah karena setelah itu, dia masih harus merasakan mual. Tak ada yang mencurigakan baginya jika berpikir mungkin mi kadaluwarsa menghasilkan bau seperti itu. Izhar bukannya tak ada niat menemui Ayesha. Namun mengingat jika Ayesha sendiri mungkin kaget dan membutuhkan waktu untuk sendiri, dia mengurungkan niatnya. Dan berpikir jika Ayesha bersama paman dan bibinya mungkin lebih baik dari pada di rumah saat ada dua keluarga. Ayesha sendiri bangun dengan keadaan tak enak. Entah karena dirinya tak makan nasi sama sekali kemarin dan maag-nya kambuh atau karena luka di tangannya yang terinfeksi hingga timbul demam. Dia hanya berbaring, tak ada yang ingin dia makan pagi itu karena mual melandanya. Mual yang terjadi semalam tampaknya belum reda. Namun karena lapar, di siang hari Ayesha memesan kimbap untuk dia makan. Setidaknya ada yang harus dia makan.
“Yakin lo, enggak mau ke dokter?” Devan hendak berangkat turnamen saat itu, memastikan jika Ayesha baik-baik saja sendirian di rumah kakeknya. “Iya, gue udah ngerasa baikan. Nih, pegang!” Ayesha memegangi tangannya Devan dan menaruh punggung tangannya di keningnya, menunjukkan jika demamnya sudah turun. “Mending lo di rumah gue, deh. Dari pada di sini, enggak ada yang jaga lo. Gue bilang bokap nyokap dulu, deh. Gue yang cerita.” Devan mengambil handphonenya dan hendak menelepon orang tuanya. “Dev, jangan!” Ayesha mencegahnya. “Emang kenapa, sih?” Devan mendecak. Ayesha terdiam sejenak dan menghela nafasnya. Dia telah membuat Devan penasaran, karena dia sebenarnya tak ingin menceritakan hal ini pada Devan. Entah kenapa tapi dirinya tak bisa. Namun sambil memandangi lengannya yang masih di perban, Ayesha menunjukkannya pada Devan.“Luka ini ... Gue udah cerita kenapa bisa, kan? Gue enggak sengaja, tapi yang luka karena kejadia
Satu garis terpampang jelas. Ayesha hendak mendesah lega saat tak ada garis lain yang mengikuti kemunculan garis lainnya. Namun, kelegaan itu tertahan saat yang dia takutkan muncul. Satu garis lainnya muncul mengikuti garis yang pertama tadi. Sejenak, Ayesha terdiam menatapi alat tersebut. Beberapa saat melamun memandanginya. Hingga sedetik kemudian dia tersadar dan buru-buru membuangnya ke tempat sampah. Keresek yang melapisi tempat sampahnya dia ambil dan dia ikat untuk segera di buang juga. Habis membuang sampah, Ayesha kembali ke kamarnya dengan tatapannya yang kosong. Kedua tangannya bergerak tak beraturan, dia gelisah. Yang kemudian gadis itu meremas rambutnya. “Enggak, enggak ... Jangan, jangan hamil!” gerutunya pelan seraya mondar-mandir tak jelas. Beberapa saat kemudian, gadis itu terduduk di lantai di dekat kasurnya. Dia tak ingin hamil. Dirinya ingin bercerai dengan Izhar dalam keadaan dirinya belum hamil. Dia seharusnya tak hamil j
“Gue enggak peduli lo mau bilang apa ke anak-anak Apollo tentang gue, silakan lo bilang! Cuman, sebagai gantinya gue mau lo ngasih gue alamat klinik itu.” Ayesha menegarkan hatinya sendiri. [“Ay?”] Terdengar suara Inggit. Ayesha kemudian menutupi matanya dengan satu telapak tangannya. Inggit kelihatannya ada di sana, sedang bersama dengan Belia. Itu pasti membuatnya tahu juga tentang kehamilannya. “Lo enggak bilang ada Inggit di sana. Ada Syifa sama Risma juga? Kalian dengar gue hamil? Ya, gue hamil. Ayesha hamil.” Ayesha menekan kalimatnya, dia terdengar emosi dan emosinya tak stabil. [“Cuman gue doang. Enggak ada Syifa atau Risma.”] Suara Inggit sangat halus terdengarnya. [“Ay, lo tahu bapaknya, kan? Siapa? Argi? Apa Argi merkosa lo sewaktu habis lo tolak waktu kita sunmori itu? Makanya lo enggak ikut event yang ada setelahnya?”] Belia bertanya sangat hati-hati. “Bukan.” Ayesha menggelengkan kepalanya, seraya menghapus ai
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga