Karena mendadak mual setelah mencium bau mi instan, Ayesha membuangnya. Mengurungkan niatnya untuk makan. Malah karena setelah itu, dia masih harus merasakan mual. Tak ada yang mencurigakan baginya jika berpikir mungkin mi kadaluwarsa menghasilkan bau seperti itu.
Izhar bukannya tak ada niat menemui Ayesha. Namun mengingat jika Ayesha sendiri mungkin kaget dan membutuhkan waktu untuk sendiri, dia mengurungkan niatnya. Dan berpikir jika Ayesha bersama paman dan bibinya mungkin lebih baik dari pada di rumah saat ada dua keluarga.Ayesha sendiri bangun dengan keadaan tak enak. Entah karena dirinya tak makan nasi sama sekali kemarin dan maag-nya kambuh atau karena luka di tangannya yang terinfeksi hingga timbul demam.Dia hanya berbaring, tak ada yang ingin dia makan pagi itu karena mual melandanya. Mual yang terjadi semalam tampaknya belum reda. Namun karena lapar, di siang hari Ayesha memesan kimbap untuk dia makan. Setidaknya ada yang harus dia makan.“Yakin lo, enggak mau ke dokter?” Devan hendak berangkat turnamen saat itu, memastikan jika Ayesha baik-baik saja sendirian di rumah kakeknya. “Iya, gue udah ngerasa baikan. Nih, pegang!” Ayesha memegangi tangannya Devan dan menaruh punggung tangannya di keningnya, menunjukkan jika demamnya sudah turun. “Mending lo di rumah gue, deh. Dari pada di sini, enggak ada yang jaga lo. Gue bilang bokap nyokap dulu, deh. Gue yang cerita.” Devan mengambil handphonenya dan hendak menelepon orang tuanya. “Dev, jangan!” Ayesha mencegahnya. “Emang kenapa, sih?” Devan mendecak. Ayesha terdiam sejenak dan menghela nafasnya. Dia telah membuat Devan penasaran, karena dia sebenarnya tak ingin menceritakan hal ini pada Devan. Entah kenapa tapi dirinya tak bisa. Namun sambil memandangi lengannya yang masih di perban, Ayesha menunjukkannya pada Devan.“Luka ini ... Gue udah cerita kenapa bisa, kan? Gue enggak sengaja, tapi yang luka karena kejadia
Satu garis terpampang jelas. Ayesha hendak mendesah lega saat tak ada garis lain yang mengikuti kemunculan garis lainnya. Namun, kelegaan itu tertahan saat yang dia takutkan muncul. Satu garis lainnya muncul mengikuti garis yang pertama tadi. Sejenak, Ayesha terdiam menatapi alat tersebut. Beberapa saat melamun memandanginya. Hingga sedetik kemudian dia tersadar dan buru-buru membuangnya ke tempat sampah. Keresek yang melapisi tempat sampahnya dia ambil dan dia ikat untuk segera di buang juga. Habis membuang sampah, Ayesha kembali ke kamarnya dengan tatapannya yang kosong. Kedua tangannya bergerak tak beraturan, dia gelisah. Yang kemudian gadis itu meremas rambutnya. “Enggak, enggak ... Jangan, jangan hamil!” gerutunya pelan seraya mondar-mandir tak jelas. Beberapa saat kemudian, gadis itu terduduk di lantai di dekat kasurnya. Dia tak ingin hamil. Dirinya ingin bercerai dengan Izhar dalam keadaan dirinya belum hamil. Dia seharusnya tak hamil j
“Gue enggak peduli lo mau bilang apa ke anak-anak Apollo tentang gue, silakan lo bilang! Cuman, sebagai gantinya gue mau lo ngasih gue alamat klinik itu.” Ayesha menegarkan hatinya sendiri. [“Ay?”] Terdengar suara Inggit. Ayesha kemudian menutupi matanya dengan satu telapak tangannya. Inggit kelihatannya ada di sana, sedang bersama dengan Belia. Itu pasti membuatnya tahu juga tentang kehamilannya. “Lo enggak bilang ada Inggit di sana. Ada Syifa sama Risma juga? Kalian dengar gue hamil? Ya, gue hamil. Ayesha hamil.” Ayesha menekan kalimatnya, dia terdengar emosi dan emosinya tak stabil. [“Cuman gue doang. Enggak ada Syifa atau Risma.”] Suara Inggit sangat halus terdengarnya. [“Ay, lo tahu bapaknya, kan? Siapa? Argi? Apa Argi merkosa lo sewaktu habis lo tolak waktu kita sunmori itu? Makanya lo enggak ikut event yang ada setelahnya?”] Belia bertanya sangat hati-hati. “Bukan.” Ayesha menggelengkan kepalanya, seraya menghapus ai
“Ayesha enggak ada di sini?” Izhar mengernyitkan dahinya keheranan. Om dan bibi Ayesha juga turut keheranan karena Izhar ingin bertemu dengan Ayesha, seolah Ayesha ada bersama mereka. Sementara mereka yakin jika tak ada tanda-tanda kehadiran Ayesha lagi. “Apa yang membuat kamu berpikir Ayesha di sini?” “Apa Ayesha enggak ke sini sama sekali?” tanya Izhar lagi, ingin memastikan. “Enggak, kok.”Mendapatkan jawaban tersebut membuat Izhar segera kembali ke mobilnya. Entah keluarganya Ayesha yang mungkin berbohong tentang kehadirannya atau justru Devan yang menyembunyikan Ayesha. Izhar ingat betul jika Devan terdengar yakin namun dengan jeda yang cukup lama waktu itu. Tanpa pikir panjang, Izhar menelepon Devan. Dia harus menemui Ayesha, dia harus berbicara dengannya. Atau setidaknya memastikan Ayesha baik-baik saja untuk saat ini. Devan dan Ayesha yang masih tengah makan dan minum sambil menonton teralihkan saat mendengar handphonenya Devan berbunyi. Terlihat nama yang membuat Ayesha
“Lo sakit apa? Kok, enggak bilang sama gue?” Devan keluar dari mobil dan menghampiri Ayesha. “Gue baru mau bilang,” jawab Ayesha kaku. “Lo udah lama bolak-balik ke sini?” Devan menatapi plang namanya, dia berpikir positif tentang Ayesha yang datang ke klinik tanpa memberitahu sesuatu padanya. Devan menoleh ke kanan dan ke kiri. Tempat itu sunyi. Ada pemukiman juga di sekitar sana. Namun ruko di samping kanan dan kiri dari klinik itu tampak tak penghuni dengan tulisan ‘Dijual/Disewakan’ yang diikuti nomor agen di sekitarnya. Selain sebuah warteg dan warung yang sepi pengunjung, klinik tersebut tak punya tetangga lain. Hawa tak enak berhasil membuat Devan merinding. Dia menatapi Ayesha yang tak lagi menjawabnya dan hanya menatapi plang klinik yang di referensikan oleh Belia. Ayesha meleos masuk lebih dulu dan Devan mengikutinya di belakang. Devan tak tahu apa yang sebenarnya akan dilakukan Ayesha. Namun dia hanya perlu menemaninya dan
“Harusnya lo lakuin sendiri! Gugurin aja sendiri! Lo enggak usah bawa-bawa gue, anjing! Gue enggak akan pernah bisa hidup tanpa rasa bersalah selama lo masih tetap pada keputusan lo. Ini layaknya gue jadi kaki tangan pembunuhan bayi yang enggak ada dosa sama sekali. Gue akan bisa tidur setelah ini, kalau gue jadi lo!” Devan membentaknya. Tak terima dengan keputusan Ayesha hari ini. Tak terima dengan segala yang Ayesha putuskan tanpa adanya diskusi dengannya dan Ayesha sejenak jidat membawanya ke segala masalahnya. Bahkan termasuk dalam melakukan pembunuhan ini. “Dan lo pikir gue bisa tidur nyenyak dengan kehadiran bayi ini? Dengan kehadiran laki gue yang enggak bisa jadi seorang ayah utuh buat anak gue nanti?” balas Ayesha. Pria itu perlahan mengendurkan tangannya yang ada di lengan atas Ayesha. Memperhatikan Ayesha yang menangis sejadinya, setelah lama dirinya tak melihat Ayesha menangis. “Hanya karena itu, Ay? Kenapa lo enggak bilang apa-apa
“Lo enggak bilang sama laki gue, kan? Please, jangan dulu!” Tangis Ayesha pecah lagi setelahnya. Dia meminta Devan untuk tetap tutup mulut, lantaran hatinya teguh untuk menggugurkan kandungannya. Dia tak ingin Izhar tahu sampai tindakan dilakukan. Mendengar itu, Devan tentu semakin marah. Pria itu lantas masuk ke kamarnya dengan cepat. “Apa lo bilang? Bilang sekali lagi!” bentak Devan tak sabar. “Dev!” Inggit menarik baju Devan, berusaha menghentikan Devan agar tak kasar pada Ayesha. Devan yang tertahan oleh Inggit menatapi Ayesha yang menangis di sisi kasurnya, sambil memeluk lututnya dan bersandar dengan lemah di sana. Nafas Devan menderu cepat, dadanya kembang kempis tak beraturan. Amarahnya mudah sekali tersulut jika tentang Ayesha. “Heh, tolol! Lo enggak mau kabarin laki lo kalau lo hamil biar apa? Biar bisa bunuh tu bayi, hah? Biar selama-lamanya laki lo enggak tahu kalau lo pernah hamil, hah? Dia berhak tahu, dia bap
“Gue masih enggak ngerti, kenapa lo tiba-tiba berubah pikiran dengan cepat cuman karena omongan Ayesha. Lo tahu sendiri, Ayesha kadang manipulatif.” Belia menatap Devan. Devan hanya menyinggung senyum mendengarnya. Dia tak ingin membalasnya dan hanya mengangkat satu bahunya acuh. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, menunggu tindakan dilakukan pada Ayesha sebenarnya agak mendebarkan. Jantungnya benar-benar tidak aman. “Lo bilang tindakan ini bahaya buat Ayesha, lo lupa?” Inggit juga turut memancing Devan bicara. “Ketimbang Ayesha, lebih manipulatif mana sama gue? Jelas, gue enggak mau Ayesha kenapa-napa. Dia adek gue,” jawab Devan seadanya. Jawaban Devan malah semakin menimbulkan tanda tanya besar di benak Inggit dan Belia. Sungguh, perkataannya sangat sulit dicerna. Sementara Devan hanya tersenyum aneh saja di sana. Di dalam ruang tindakan, Ayesha tampak berkeringat dingin. Suasana di ruangan membuat giginya bergemeletuk takut
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga