“Lo sakit apa? Kok, enggak bilang sama gue?” Devan keluar dari mobil dan menghampiri Ayesha. “Gue baru mau bilang,” jawab Ayesha kaku. “Lo udah lama bolak-balik ke sini?” Devan menatapi plang namanya, dia berpikir positif tentang Ayesha yang datang ke klinik tanpa memberitahu sesuatu padanya. Devan menoleh ke kanan dan ke kiri. Tempat itu sunyi. Ada pemukiman juga di sekitar sana. Namun ruko di samping kanan dan kiri dari klinik itu tampak tak penghuni dengan tulisan ‘Dijual/Disewakan’ yang diikuti nomor agen di sekitarnya. Selain sebuah warteg dan warung yang sepi pengunjung, klinik tersebut tak punya tetangga lain. Hawa tak enak berhasil membuat Devan merinding. Dia menatapi Ayesha yang tak lagi menjawabnya dan hanya menatapi plang klinik yang di referensikan oleh Belia. Ayesha meleos masuk lebih dulu dan Devan mengikutinya di belakang. Devan tak tahu apa yang sebenarnya akan dilakukan Ayesha. Namun dia hanya perlu menemaninya dan
“Harusnya lo lakuin sendiri! Gugurin aja sendiri! Lo enggak usah bawa-bawa gue, anjing! Gue enggak akan pernah bisa hidup tanpa rasa bersalah selama lo masih tetap pada keputusan lo. Ini layaknya gue jadi kaki tangan pembunuhan bayi yang enggak ada dosa sama sekali. Gue akan bisa tidur setelah ini, kalau gue jadi lo!” Devan membentaknya. Tak terima dengan keputusan Ayesha hari ini. Tak terima dengan segala yang Ayesha putuskan tanpa adanya diskusi dengannya dan Ayesha sejenak jidat membawanya ke segala masalahnya. Bahkan termasuk dalam melakukan pembunuhan ini. “Dan lo pikir gue bisa tidur nyenyak dengan kehadiran bayi ini? Dengan kehadiran laki gue yang enggak bisa jadi seorang ayah utuh buat anak gue nanti?” balas Ayesha. Pria itu perlahan mengendurkan tangannya yang ada di lengan atas Ayesha. Memperhatikan Ayesha yang menangis sejadinya, setelah lama dirinya tak melihat Ayesha menangis. “Hanya karena itu, Ay? Kenapa lo enggak bilang apa-apa
“Lo enggak bilang sama laki gue, kan? Please, jangan dulu!” Tangis Ayesha pecah lagi setelahnya. Dia meminta Devan untuk tetap tutup mulut, lantaran hatinya teguh untuk menggugurkan kandungannya. Dia tak ingin Izhar tahu sampai tindakan dilakukan. Mendengar itu, Devan tentu semakin marah. Pria itu lantas masuk ke kamarnya dengan cepat. “Apa lo bilang? Bilang sekali lagi!” bentak Devan tak sabar. “Dev!” Inggit menarik baju Devan, berusaha menghentikan Devan agar tak kasar pada Ayesha. Devan yang tertahan oleh Inggit menatapi Ayesha yang menangis di sisi kasurnya, sambil memeluk lututnya dan bersandar dengan lemah di sana. Nafas Devan menderu cepat, dadanya kembang kempis tak beraturan. Amarahnya mudah sekali tersulut jika tentang Ayesha. “Heh, tolol! Lo enggak mau kabarin laki lo kalau lo hamil biar apa? Biar bisa bunuh tu bayi, hah? Biar selama-lamanya laki lo enggak tahu kalau lo pernah hamil, hah? Dia berhak tahu, dia bap
“Gue masih enggak ngerti, kenapa lo tiba-tiba berubah pikiran dengan cepat cuman karena omongan Ayesha. Lo tahu sendiri, Ayesha kadang manipulatif.” Belia menatap Devan. Devan hanya menyinggung senyum mendengarnya. Dia tak ingin membalasnya dan hanya mengangkat satu bahunya acuh. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, menunggu tindakan dilakukan pada Ayesha sebenarnya agak mendebarkan. Jantungnya benar-benar tidak aman. “Lo bilang tindakan ini bahaya buat Ayesha, lo lupa?” Inggit juga turut memancing Devan bicara. “Ketimbang Ayesha, lebih manipulatif mana sama gue? Jelas, gue enggak mau Ayesha kenapa-napa. Dia adek gue,” jawab Devan seadanya. Jawaban Devan malah semakin menimbulkan tanda tanya besar di benak Inggit dan Belia. Sungguh, perkataannya sangat sulit dicerna. Sementara Devan hanya tersenyum aneh saja di sana. Di dalam ruang tindakan, Ayesha tampak berkeringat dingin. Suasana di ruangan membuat giginya bergemeletuk takut
Membujuk Ayesha bukanlah hal yang mudah. Namun, sementara waktu Izhar ingin Ayesha menerima kehadiran bayinya. Sehingga mungkin diperlukan perhatian khusus bagi Ayesha dan perlakuan istimewa juga untuknya. “Ayesha hamil.” Izhar bicara dengan ibunya dan Nirmala saat hendak mengambil barangnya. Mayang dan Nirmala mematung, terkejut dengan apa yang mereka dengar. Dan Nirmala tentunya tak terima atas kehamilan Ayesha. Di mana dirinya juga sedang hamil. “Aa batal menceraikan Ayesha karena dia hamil?” tanya Nirmala, sama seperti Ayesha yang tak ada habisnya membahas perceraian. “Aa enggak mungkin menceraikan Ayesha saat dia sedang hamil, Mala,” jawab Izhar yakin. “Aa yakin itu anak Aa? Memang yang Ayesha kandung anaknya siapa? Dia pernah enggak pulang semalam dan bisa aja dia bermalam sama laki-laki lain dan sekarang hamil,” tuduh Nirmala. “Mala!” Izhar menegurnya, menyebut namanya dengan cukup halus dan tenang saat itu.
“Fakta tentang Ayesha enggak punya siapa-siapa lagi selain saya. Dia bilang begitu. Dia enggak mungkin punya suami, tapi merasa suaminya enggak bisa tanggung jawab sepenuhnya. Akhirnya, karena kalimat Ayesha itu, saya menyetujui Ayesha untuk aborsi. Walau hanya sebagai penyenang hati Ayesha saja, jika saya memang ada di pihaknya,” jelas Devan. Benar, Ayesha disebut manipulatif oleh temannya, dan lihat bagaimana Devan lebih manipulatif. Mereka terlahir dari akar yang kurang lebih sama, dan begitulah sifat mereka berdua. “Lalu sekarang? Bukankah dia akan tahu jika kamu yang melakukan ini? Menghubungi saya dan mencegahnya untuk melakukan aborsi?” tanya Izhar lagi. “Fakta lainnya adalah saya enggak bisa meyakinkan Ayesha untuk enggak aborsi. Itu karena terhalang sebuah fakta, kalau saya berarti harus menjadi kaki tangan pembunuhan bayi. Dan satu-satunya yang bisa mencegah tindakan itu terjadi hanya satu orang. Siapa lagi kalau bukan Aa? Suaminya Ayesha, aya
“Mala, kamu sabar dulu, ya? Kamu udah dapat bagian kamu kemarin-kemarin. Sekarang giliran Ayesha. Sampai kapan Aa harus berjauhan sama Ayesha? Kamu tahu sendiri, Ayesha lagi hamil, sama halnya dengan kamu, dia juga butuh perhatian.” Izhar berucap dengan tenang. Sementara Ayesha yang berbaring membelakangi Izhar dengan memejamkan matanya mendengarkan pembicaraan mereka. Dia tahu, jika Izhar berusaha melakukan yang terbaik. Namun kadang kala, Izhar memang berperilaku selayaknya manusia biasa. [“Aa cuman perhatian sama Ayesha sekarang, itu yang aku lihat. Aku juga bisa balikin omongan Aa. Aku juga hamil, aku butuh perhatian.”]“Aa kurang perhatian apa sama kamu sejak kamu hamil?” Izhar menghela nafasnya cukup panjang. Izhar menatap ke arah Ayesha, dia tak ingin mengganggu Ayesha tidur. Tadi dia sudah terbangun karenanya. Oleh karena itu dia bangkit dan segera keluar dari kamar, melanjutkan pembicaraan dengan Nirmala dan membujuk Nirmala agar seger
“Aa baru sadar setelah kejadiannya lama berlalu?” Ayesha mendelik sinis pada suaminya itu. “Maaf.” Tak ada kata lain yang bisa Izhar ucapan selain permohonan maafnya. Izhar menyesal karena membuat Ayesha di posisi yang sangat tidak mengenakan. Hal terbaik yang bisa dia lakukan setelah ini adalah senantiasa berada di sisi Ayesha dan lebih memperhatikannya. Ayesha kelaparan malam itu, dan Izhar menemaninya makan sekaligus menyiapkan makanan untuk Ayesha yang sedang hamil. Meski hanya nasi hangat dengan sebuah telur mata sapi, dengan kecap yang membalur, Ayesha tampaknya suka dengan makanannya malam itu. Dia tak protes meski hanya makan telur. Toh, Izhar pandai melakukan banyak hal termasuk memasak. Ayesha merasa cukup beruntung mendapatkan suami yang pandai menggantikan tugas istri. Bahkan bertindak lebih baik dari seorang istri. Pantas saja Nirmala sangat takut kehilangan Izhar. Dari mana lagi dia bisa mendapatkan suami seperti Izhar?
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga