“Laki gue makin sini agak cuek sama gue, Dev.” Ayesha mengeluh pelan.
“Perasaan lo aja kali, lo emang lagi sensitif. Kemarin gue bercanda dikit aja lo ngambek,” balas Devan enteng, dia sendiri memang melihat Ayesha belakangan ini agak sensitif.“Menurut lo gue baperan?” tanya Ayesha.“Iya, itu fakta, sih, bukan opini gue aja. Lo belakangan ini sensitif, Ay. Dikit-dikit pake perasaan. Tapi wajar, sih, secara lo lagi hamil, mana bentar lagi lahiran.” Devan berusaha mengerti Ayesha.“Masih lama,” timpal Ayesha.“Usia kandungan lo udah masuk 7 bulan, ege!” Devan mendecak pelan.Ayesha menganggukkan kepalanya, membenarkan hal tersebut. Devan benar, sebentar lagi dirinya akan melahirkan dan itu menjadi pikiran baru untuknya. Tambahan beban untuk otaknya dan perasaannya yang mulai waswas.“Ya udah, gue cabut dulu. Gue udah beliin lo sate sama lontong yang lo mau. Udah kan, enggak ada lagi?” tanya Devan seraya bangkit danBelakangan ini, Ayesha sering merasakan mulas. Namun setiap kali laporan pada Izhar, Izhar bilang jika itu kontraksi palsu yang umum terjadi setelah memasuki trimester akhir. Yang membuat Ayesha berusaha tenang, walau dia semakin gelisah saat merasakannya semakin sering. “Aa enggak bisa di sini aja? Ay enggak kuat,” keluh Ayesha di telepon. [“Ay, Aa baru pulang kerja. Aa bahkan belum makan. Itu wajar, sayang, normal. Enggak ada yang perlu khawatirkan, hpl kamu masih lama.”] Izhar kelihatannya hampir hilang kesabaran. “Tapi Ay beneran mules terus, udah dari tadi siang,” imbuh Ayesha lagi. [“Iya, enggak apa-apa.”] Izhar berusaha menenangkan Ayesha juga saat itu. “Aa ke sini, semalam ini aja, ya? Ay mau ditemani Aa, Ay takut,” ucap Ayesha, terdengar cengeng. [“Ay ... Jangan takut, kamu beneran enggak kenapa-napa, kok. Nikmati aja, ke depannya kamu enggak akan merasakan hal yang sama, kok, kecuali kamu hamil lagi.”] Izhar sempa
Izhar mengernyitkan dahinya, begitu pula Nirmala saat panggilan masuk dan membuat handphone Izhar berdering. Itu mengganggu keduanya, tentu saja. Izhar menatapi Nirmala yang terbangun karena telepon itu dan segera bangkit untuk mengambil handphonenya. Ayesha lagi. Ayesha yang tadi menutup teleponnya lebih dulu dan sekarang Ayesha yang meneleponnya lagi. Itu berhasil membuat Izhar menghela nafasnya berat. “Ayesha?“ Nirmala menatapi Izhar, bertanya siapa yang menelepon di tengah malam begitu. “Ya.” Izhar segera mengangkat telepon dari Ayesha tersebut. “Ay, kenapa lagi, sih? Ini udah malam, Ay. Waktunya istirahat.”[“Ketubannya ... ketubannya pecah.”] Terdengar bagaimana suara Ayesha sangat gemetar. “Hah? Gimana, gimana? Hpl kamu masih lama, Ay.” Izhar tak percaya dengan apa yang dia dengar. “Kenapa?” Nirmala mengernyitkan dahinya, kaget dengan ekspresi Izhar yang juga kaget. [“Ay harus apa?”] Suara Ayesha terdengar t
Tiba di rumah sakit, Ayesha langsung mendapatkan perawatan pasca bersalin sementara bayinya masuk ke NICU karena lahir dalam keadaan prematur. Dan Izhar menghela nafasnya berat, duduk di ruang tunggu dekat NICU. Dia tak memikirkan bagaimana jika bayinya akan terlahir prematur. Nirmala mengusap pelan punggung Izhar, dia tahu jika Izhar kaget dan mungkin menyesal karena sebelumnya tak datang untuk Ayesha. Dia juga sedikitnya merasa bersalah pada Ayesha. “Itu semua udah rencana Allah, A!” ujar Nirmala pelan. Devan menatapi Nirmala dan Izhar. Entah kenapa dia yang merasa marah melihat suami dari sepupunya berduaan bersama perempuan lain saat istrinya baru saja melahirkan. Ya, sepertinya dia tahu bagaimana posisi Ayesha selama ini dari perasaannya saat itu. “Itu pasti karena dia enggak suka makan sayur-sayuran. Makanan yang dia konsumsi itu makanan cepat saji semua, enggak ada yang bagus buat badan. Badannya aja kurus kering gitu, gimana mau lahir
Ayesha bangun dan tentunya dia langsung meminta makan. Setelah kejadiannya melahirkan sebelum hari perkiraannya tiba, dengan kondisi sedang sendirian dan bayinya keluar begitu saja, dia memerlukan tenaga untuk dirinya sendiri tentunya. Dan Izhar yang sudah siaga di sisinya dengan tak pergi bekerja hari itu segera menyuapinya makan. Sesekali Izhar merapikan rambut Ayesha yang berantakan. Sambil sesekali mengusap kepalanya juga dengan lembut. Ayesha sendiri tampak cukup menikmatinya, dia tak banyak bicara juga.“Ay, bayinya lahir selamat. Kamu enggak mau bilang apa-apa tentang gimana kamu bersalin sendiri?” tanya Izhar, menatapi Ayesha yang sejak tadi pandangannya ke arah lain. “Ay juga enggak tahu gimana. Tapi semalam itu ... antara panjang sama pendek, antara cepat sama lambat itu nyaris sama.” Ayesha bicara agak melantur. “Maksudnya?” “Ay enggak tahu. Ay enggak berusaha ngeluarin bayinya, sama sekali. Ay cuman atur nafas seperti yang
Izhar hendak membantu Ayesha untuk bangkit, namun terkejut saat melihat Ayesha sudah bisa bangkit sendiri. Ayesha berdiri dan mengambil ikat rambut untuk mengikat rambutnya yang berantakan. Izhar hendak membantunya lagi, namun Ayesha sudah menyelesaikannya. Keduanya berjalan menuju ke NICU untuk melihat bayi mereka. Dengan menggunakan alat pelindung diri demi keamanan dan kesterilan tempat tersebut, mereka masuk untuk menengok bayi mereka. Izhar tersenyum saat sudah berada di dekatnya, matanya membentuk bulan sabit seolah tengah berbahagia menyambut kehadiran anak laki-lakinya itu. Sementara mata Ayesha membinar, berkelibat penuh cahaya. Dia sepertinya terharu hingga matanya tampak berkaca-kaca. Menatapnya membuatnya mengingat bagaimana kelahirannya yang begitu tiba-tiba. Itu membuat hatinya terenyuh. “Aa sudah menyiapkan nama yang bagus untuknya,” gumam Izhar, dia memikirkannya sepanjang malam sambil menjaga Ayesha. “Tapi Ay juga udah siapin
“Bayi sampai dirawat di NICU, sejuta perhari. Kamu enggak sadar udah menghabiskan uang berapa karena persalinan kamu itu?” Ayesha makan tanpa berselera. Jika dirinya tak berniat menyusui bayinya, maka dia tak perlu makan dan mendengarkan ocehan mertuanya yang berhasil membuatnya sakit hati. Perempuan itu makan dengan setengah hati, berusaha meredam rasa kesal di dalam dirinya. “Bu, udah!” Izhar menghela nafasnya dan berusaha membuat ibunya tak menyinggung Ayesha. “Ibu waktu melahirkan kamu ya, Zhar, Ibu enggak perlu bantuan dokter, tuh!” Ayesha lantas melemparkan sendoknya ke piring dengan kasar, membuat suara bising yang berhasil membungkam mulut mertuanya. Ayesha lantas menatapi ibu mertuanya itu sejenak. Ibu mertuanya terkejut setengah mati hingga memegangi dadanya kaget. Izhar juga tentu terkejut dengan reaksi Ayesha. Dia segera menghampiri ibunya, dia mengkhawatirkan ibunya, tentu saja. “Ay!” Izhar menatapi Ayesha, aga
Ayesha menatapi keluarga Izhar yang datang ke rumahnya untuk menengok bayinya. Bayinya sekarang berada di rumah tengah dengan box-nya, agar mudah ditengok. Ayesha sendiri merasa seharusnya tidak melakukan itu, karena ia khawatir bayinya akan stres dengan suara-suara itu. Itu membuat jiwa keibuannya meronta, tentu saja. Dia lantas mendekati Izhar yang berada di teras rumah, lantaran tengah menunggu kambing yang akan disembelih untuk aqiqahnya. “A, Aa apa enggak khawatir? Juan lahirnya prematur, seharunya dia enggak di tempat ramai. Bukannya Ay nolak kedatangan keluarga Aa. Tapi Ay khawatir sama Juan. Juan itu mudah sakit, dokter juga enggak menyarankan Juan ada di tempat ramai,” ucap Ayesha dengan penuh penekanan, agar Izhar sadar jika dirinya tengah menghawatirkan anak mereka itu. “Ay, yang dokter maksud itu kayak mal, pasar, atau tempat umum lainnya. Ini di rumah, kan?” “Tapi suasananya ramai, banyak orang juga. Aa bisa enggak sih, ngerti sedikit?!” Ayesha memelankan suaranya aga
“Ay! Kamu kenapa, sih?!” Izhar lantas segera mendekati Ayesha. Izhar segera memegangi tangan Ayesha, mencegahnya keluar dari kamar. Barang kali Ayesha keliar dan malah membuat keributan. Izhar kemudian menutup pintu kamarnya segera dan menatapi Ayesha yang kini menatapnya dengan tatapan yang menantang suaminya itu. “Bilang sama Aa sekarang, kamu mau apa? Acara ini enggak akan ada tiap bulan, kok. Enggak tiap tahun juga. Tolong banget, Aa minta tolong sama kamu, jangan merusak acara ini! Jangan bikin ulah, jangan banyak tingkah!” tegas Izhar. “Enggak niat, sih,” ucap Ayesha seraya menggelengkan kepalanya, tatapan matanya tak berubah. Izhar menghela nafasnya berat. Dia berusaha sabar dalam menghadapi Ayesha. Dia benar-benar berusaha. Namun di matanya, Ayesha yang sekarang malah menantang emosinya sendiri. “Jadi kamu maunya gimana sekarang sih, Ay?” Izhar berusaha menuruti keinginan Ayesha. “Enggak mau gimana-gimana, udah, eng
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga