Sejenak Madam Syin berpikir dengan apa yang dituturkan sang anak. Edward datang menjelaskan niatnya dan Amalia untuk program bayi tabung. Jemarinya tak henti bermain pulpen di meja, ia berpikir keras dengan rencana Edward kali ini.
Edward langsung menemui sang ibu untuk membicarakan hal yang akan menyelamatkan rumah tangganya, walau ia tak tahu jika rencana itu juga yang akan menyelamatkan keluarga Amalia dari kemiskinan.
“Kamu pikir dengan program bayi tabung akan berhasil setelah uang yang kamu keluarkan itu tidak sedikit?” Pertanyaan menohok sang ibu membuat Edward sedikit tersudut.
“Kan, kita baru mau mencoba.” Edward kembali membela diri.
“Kamu tidak usah cemas, jalani sama dengan Yura, toh Amalia masih tetap bersama kamu. Mami tidak setuju dengan jalan itu, Amalia sudah banyak menghabiskan uang keluarga kita untuk menghidupi kemewahan keluarganya. Jadi, cukup ikuti perintah mami. Gauli Yura, dia sehat, mami sudah memeriksakan semuanya sebelum kalian menikah.”
Perkara menggauli itu yang sangat sulit baginya. Edward tidak bisa menyakiti Amalia yang selama 8 tahun menemani hidupnya. Permintaan sang ibu kali ini benar-benar membuat kepalanya sakit. Belum lagi wajah sedih Amalia terlihat saat ia hendak membicarakan Yura. Mana tega ia melakukan hal itu
Wanita mana pun sama dengan Amalia. Tidak akan rela berbagi walau cinta suaminya hanya untuknya. Akan tetapi, kemungkinan cinta datang perlahan antara Edward dan Yura pasti ada. Apalagi jika ada anak di antara mereka.
Edward kembali berpikir bagaimana cara untuk membuat semuanya terlihat baik-baik saja. Namun, ia kembali tidak bisa menentukan keputusan untuk masalah kedua istrinya itu.
“Bersikap adil saja. Jernihkan pikiranmu.”
“Untuk saat ini, aku tak bisa berpikir jernih.”
Madam Syin melihat Edward begitu tertekan, ia pun tidak bisa apa-apa karena dari keluarga itu harus ada keturunan. Tidak mungkin begitu saja diberikan pada orang lain. Edward ke luar ruangan sang ibu dengan kecewa.
***
“Kita tidak harus bilang Mami, Ward. Program itu bisa kita lakukan tanpa sepengetahuan Mami. Aku yakin berhasil.” Amalia kembali memaksa Edward.
“Nggak bisa, Sayang. Apa yang kulakukan harus ada persetujuan Mami.”
“Ini rumah tangga kita, bukan Mami yang menjalani.”
“Iya, aku tahu. Tapi, semua itu butuh biaya besar dan aku tidak mau mengeluarkan uang besar tanpa persetujuan Mami. Aku nggak bisa begitu saja melakukan itu. Tolong mengerti posisi aku. Selama ini aku tidak mempermasalahkan jika keluarga kamu meminta uang, tapi proses ini tidak bisa begitu saja aku jalankan. Apalagi tanpa izin Mami.”
“Jadi, kamu lebih memilih memiliki anak bersama Yura dari pada aku?”
Netra Amalia sudah mulai berembun. Dadanya sesak memikirkan jalan pikiran sang suami yang terlalu bergantung pada sang ibu. Namun, Edward bukan tidak mau, tapi ia juga sudah mencari tahu biaya untuk program itu. Uangnya banyak, tapi itu milik perusahaan, tabungan pribadinya sudah banyak terkuras oleh keluarga Amalia.
“Bukan begitu.” Edward mencoba merengkuh sang istri, tapi Amalia menolaknya.
“Apa lagi, intinya kamu memang mau sama Yura, kan? Dia cantik, dia muda dan gadis.”
“Aku nggak suka kamu bicara seperti itu. Aku Sayang sama kamu, buktinya malam pertama yang harusnya bersama dia, aku memilih bersama kamu. Apa kurang?”
Edward mengusap wajah kasar, ia tak mengerti bagaimana menjelaskan pada sang istri. Kali ini Amalia begitu kalut. Ia menarik napas dalam dan memilih untuk menenangkan diri di luar kamar.
Amalia menangis sejadi-jadinya, memikirkan nasib pernikahannya dengan Edward. Ia harus kuat dalam posisi ini. Ia pun teringat ucapan sang ibu untuk menyingkirkan Yura perlahan. Akan tetapi, bagaimana caranya untuk melakukan itu?
Amalia wanita lemah lembut, bahkan membunuh semut pun ia tak tega. Namun, takdir membuat dirinya harus menjadi orang jahat. Ia berpikir untuk menyingkirkan Yura dengan cara apa pun agar memperbaiki rumah tangganya.
Entah apa yang merasukinya, tangannya mencengkeram ponselnya dengan keras. Ia kembali mengingat ucapan Edward tentang pengeluaran yang sudah dia keluarkan untuk keluarganya. Dering ponsel membuyarkan lamunan Amalia, gegas ia membuka pesan dari sang ibu.
[Adikmu butuh uang, katanya mau nikah. Bisa, kan kamu minta sama Edward untuk mentransfer Mama. Ya, 50 juta cukup mungkin buat memberi ke calon istrinya ]
Amalia membanting ponselnya ke ranjang, lalu ia mengacak-acak meja rias hingga semua berhamburan ke lantai.
“Tuhan, kenapa mereka selalu menekan aku.” Amalia bergumam sendiri.
***
Yura terdiam menatap Edo yang selalu saja membuatnya kaget. Rasa cemas menyelimuti hati saat tahu di halaman belakang rumah hanya ada dirinya dan adik iparnya. Gegas Yura melangkah, tetapi Edo menahan lengannya.
“Lepas!” Yura mencoba melepaskan tangan Edo, tapi pria itu terus saja mempermainkannya.
“Kalau aku nggak mau bagaimana?” tanya Edo dengan seringai jahat.
“Kamu pikir, semua wanita bisa kamu dapatkan?”
“Tentu bisa, kalau aku mau, hari ini aku bisa mendapatkan kamu, walau kamu kakak iparku.”
Yura mendorong Edo, ia berhasil menjauh dan memundurkan tubuhnya.
“Jangan pikir aku sama dengan wanita jalang yang sering kamu kencani.”
Edo terkesiap, ia berpikir dari mana Yura tahu tentang dirinya? Apa Amalia menceritakannya?
“Kamu sepertinya tahu banyak tentang aku?”
“Siapa yang nggak kenal Edo Mahardigantara. Putra bontot keluarga Dirgantara yang lebih memilih dunia luar dari pada menikmati kekayaan dengan bekerja.”
Lagi, Edo terkesiap dengan ucapan kakak ipar keduanya. Sungguh Yura gadis cantik juga cerdik. Pria itu mengingat-ingat apa pernah bertemu dengan Yura? Di mana pikirnya?
“Kita nggak pernah saling kenal, tapi aku tahu saat setiap malam kami berganti pasangan kencan.”
“Apa kamu salah satu dari—“
“Aku bekerja paruh waktu di sana saat masih kuliah. Sebagai pelayan, tidak mungkin kamu mengenal aku.”
Edo mengusap wajah kasar, ia merasa lucu dengan apa yang dikatakan Yura saat itu. Mungkin ia terlalu sibuk hingga tidak tahu ada pelayan kelab malam sebening berlian. Edo kembali menelisik penampilan Yura. Mang wanita pilihan sang ibu sangat mempesona.
“Jangan sok suci, kamu berada di sini pun karena uang juga, kan? Untuk apa hadir dalam rumah tangga orang. Sama saja, kamu wanita tidak baik,” ujar Edo menyindir.
“Pasti semua orang berpikir seperti itu, tapi apa mereka tahu bagaimana liciknya ibumu? Dia tega memeras orang miskin dan menjadikannya boneka dan memperbudak dengan sesuka hati. Kamu pikir, aku suka ada di posisi ini?”
Senyum getir bisa terlihat dari bibir Yura. Edo pun bisa melihat netranya yang mulai berembun saat berbicara.
“Maksud kamu, Mami memaksa kamu untuk menjadi istri kedua Edward?”
“Dia menggunakan aku sebagai alat pelunas hutang kedua orang tuaku. Memaksa untuk memberikan keturunan untuk keluarga ini jika tidak, kedua orang tuaku akan dipenjarakan. Lalu, apa aku bisa dapat pilihan lain?”
Edo bergeming, sedangkan tidak jauh dari mereka, Edward berdiri sejak tadi mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
***
Yura mengusap bulir bening di pipi lalu, tersenyum getir menatap Edo yang bergeming di hadapannya. Wanita itu enggan menunggu jawaban Edo, ia langsung melewati pria itu melangkah ke dalam.Edward bersembunyi di balik pintu saat Yura masuk agar tidak terlihat oleh istri keduanya. Pria itu menatap punggung sang istri yang menghilang di balik pintu kamarnya. Sedikit rasa iba, ia baru tahu jika Yura pun terpaksa untuk menikah dengannya. Ia bingung menghadapi semua masalah di hidupnya.Paksaan sang ibu, belum lagi dengan keinginan Amalia yang membuatnya tidak bisa mengikutinya. Ia hendak melangkah, tapi terhenti saat Edo memanggil.“Pasti bingung mau masuk ke kamar mana?” tanya Edo dengan sinis.“Bukan urusan kamu.” Edward merasa tidak senang dengan ejekan Edo.Sejak kecil mer
Kedua istri Edward hanya bisa menunduk saat mereka berhadapan dengan Madam Syin—ibu mertua mereka. Edward yang berada di sana pun merasa bersalah atas apa yang terjadi antara mereka berdua.Edward menyesal karena emosi Amalia berasal dari kesalahannya semalam. Istri pertamanya itu begitu lembut, tapi ia tahu jika dia marah, apa pun akan menjadi sasaran. Itu kenyataan yang terjadi. Emosi Amalia tak akan bisa terkendali saat ia mulai tersudut atau merasa tersakiti.“Semua itu terjadi karena nggak mungkin ada asap jika nggak ada api. Apa yang membuat kalian seperti wanita nggak ada tatak rama?” Madam Syin menelisik ke arah kedua menantunya. Terutama Yura yang ia tahu menahan perih di pipi, tapi dia mencoba tenang.Edward ikut memindahi kedua istrinya. Ia iba melihat wajah Yura yang membiru akibat tonjokan Amalia. Namun, ia tak bisa bergerak meng
Edo memilih berada di kelab malam dari pada melihat drama rumah tangga sang kakak. Pria dengan kaos putih dipadu celana jin robek-robek itu duduk memindahi sekeliling tempat ramai itu. Sesekali ia meneguk minuman di depannya. Hari itu ia tak sedang berjanjian dengan siapa pun karena moodnya kurang baik. Sepertinya ia harus merileksasikan otaknya kali ini. Namun, lamunannya buyar seketika seseorang menepuk pundaknya. “Aku mau bicara,” ujar wanita di hadapannya. Edo memutar bola mata malas melihat wanita cantik dengan pakaian sexy di hadapannya. Ia bangkit dan mengikutinya ke luar kelab malam itu. Edo menyenderkan tubuh di tembok, sedangkan wanita di hadapannya siap mengatakan hal yang penting untuk pria itu. “Aku hamil, Do.” Edo menegang mendengar penuturan
“Aku harus kembali ke kamar Amalia sebelum dia bangun dan mencariku.” Edward mengambil baju yang berserakan di lantai. Ia kembali melihat ke arah Yura dan mencium keningnya lalu beranjak dari kasur. Yura masih bergeming melihat punggung Edward yang menghilang dari pandangannya. Ia mencoba bangkit, tetapi rasa nyeri masih terasa begitu ngilu. Ia memunguti baju di lantai dan memakainya. Perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Malam itu, ia menyerahkan mahkotanya untuk Edward. Pria yang sejak pertama bertemu selalu saja kasar. Namun, akhirnya luluh dengan kesabaran Yura. Pipinya masih sangat nyeri, di bawah guyuran shower, Yura kembali mengingat malam indah bersama Edward. Namun, tangisnya kembali terdengar kala ia hanya dijadikan alat untuk memiliki keturunan. Jika dirinya tak kunjung hamil, pasti akan tergeser pula. Hatinya sudah berlabu pada pr
Awalnya Amalia tidak berniat datang ke rumah sang ibu. Namun, berulang kali ponselnya terdengar membuat ia semakin penat. Akhirnya, terpaksa Amalia datang menemuinya.Rumah itu masih sama seperti saat ia terakhir datang. Ruang besar yang seperti tak terurus, belum lagi banyak barang yang berserakan di lantai. Rumah itu juga menjadi tempat tinggal adiknya yang baru saja lahiran.“Kenapa kamu lama sekali mengirimkan mama uang?” tanya Bu Dian.“Ma, uang tabunganku sudah habis. Bukannya belum lama Mama meminta uang dengan alasan untuk kontrol ke dokter. Tapi apa, Mama malah berlibur ke Bali. Uangku habis, Ma.” Amalia mencoba meyakinkan sang ibu.“Kan ada suami kamu. Minta sama dia, mana mungkin dia menolak. Uangnya banyak, Lia.” Bu Dian selalu saja memaksakan kehendaknya.
“Apa ada kabar dari Edo dan Yura?” tanya Edward pada sang ibu.“Tadi Edo bilang sudah di Jakarta, tapi mereka berhenti makan. Sejak di rumah orang tua Yura tidak ada sinyal.” Edward lega mendengar penjelasan sang ibu. Namun, ia kembali melihat waktu yang sudah agak malam, tapi mereka pun belum muncul juga. Edward kembali mencoba menelepon Yura, tetapi tetap sama tidak ada jawaban.Tidak mau sang istri curiga, Edward gegas menemui Amalia dulu. Walau hatinya sangat cemas memikirkan Yura yang pergi bersama dengan Edo.“Baru pulang langsung ke ruangan Mami, ada apa?” tanya Amalia.“Mami bertanya tentang Yura.”“Biarkan saja, Sayang. Lagi pula, paling dia sedang bersenang-senang dengan Edo. Tahu sendiri adik
Walau sering bertemu dengan banyak wanita, Edo belum pernah merasakan getaran aneh seperti saat ia bersama suster cantik yang ada di hadapannya. Namanya Rena, kulit putih dengan wajah khas Indonesia membuat Edo tak bergerak dari tempatnya.“Sudah selesai,” ucap Rena.“Kayanya belum, ini kepala saya masih pusing.” Edo mencoba berlama-lama dengan Rena.“Kalau Anda pusing, nanti saya minta dokter untuk periksa. Sebentar.”Rena tak jadi melangkah karena tangannya tertahan oleh Edo. “Kamu saja.”“Saya bukan Dokter, maaf tangan Anda.”Edo melepaskan tangannya dari tangan Rena. Ia tidak mau beranjak dari ranjang itu karena masih ingin berduaan dengan Rena. Akan tetapi, sebagai perawat di rumah sakit itu, Rena p
Ada yang hilang dari diri Edward. Pria itu membalut tubuhnya dengan handuk di pinggang setelah ke luar dari kamar mandi. Amalia memberikannya baju pada sang suami, setelah itu ia masih menunggu jawaban Edward.Edward paham jika sang istri menunggunya bicara. Namun, ia sedang tidak ingin banyak bicara. Ia lelah dengan apa yang terjadi hari ini. Bahkan, ia ingin sekali melihat keadaan Yura di kamar. Akan tetapi, semuanya tidak akan semudah yang dibayangkan.“Apa kamu belum bisa menjawab apa yang aku tunggu?” tanya Amalia.“Bukan aku tak mau bicara, aku sudah lelah hari ini mengurus beberapa masalah,” ujar Edward sembari memijit pelipisnya.Amalia menghampiri sang suami, ia mencoba memijit pelan kepala hingga leher Edward agar ia lebih rileks. Pria itu pun memejamkan mata, ia ingin sekali tertidur cepat, te
“Kamu masih peduli bukan dengan Amalia?”Edward menghentikan langkah, seketika ia menoleh ke belakang. Bu Dian berdiri dengan percaya diri di hadapannya. Ia yakin jika menantunya akan membantu menyembuhkan Amalia.“Aku memang sengaja datang untuk memastikan semuanya.”“Kamu masih cinta Amalia. Tidak mungkin kebersamaan selama delapan tahun begitu saja hilang. Tolong dia, Amalia akan sehat kembali. Hanya kamu yang bisa membuatnya kembali tersenyum.” Permintaan Bu Dian membuat Edward dilema.Namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak terlihat jika dirinya begitu mencemaskan Amalia. Jika tidak, wanita di hadapannya akan kembali memanfaatkan dirinya lewat Amalia.Keputusan menceraikan Amalia sudah bulat. Namun, jika ia terus menerus mencari tahu tentang dia, kemungkinan akan kembali membuatnya resah.“Maaf, untuk kesekian kali saya tegaskan pada Anda, saya tidak mau berhubungan lagi dengan kalian. C
Tangan Rena terasa dingin saat ia mulai memasuki rumah besar Edward. Ia memberanikan diri saat pria itu mengajaknya bertemu dengan sang ibu. Mau tidak mau, ia pun memenuhi permintaan Edo. Wajah sang kekasih sangat semringah, sedangkan Rena begitu tegang.Langkahnya semakin berat saat mulai memasuki ruang tengah. Tanpa di panggil, Madam Syin menghampiri Rena dan Edo. Wanita itu sudah tahu jika anaknya akan membawa kekasih hati. Ia mencoba memperhatikan, menilai sedikit dan ia mengernyitkan kening.“Kamu, bukannya suster di RS Palapa?” tanya Madam Syin sembari mengingat-ingat.“I—iya, Tante.” Rena menjawab gugup.Edo mengelus lembut pundak Rena, mencoba menenangkannya. Namun, tetap saja sang kekasih merasa gugup. Sampai akhirnya Yura datang bersama Edward hingga membuat Rena sedikit tenang.
Tangan Rena terasa dingin saat ia mulai memasuki rumah besar Edward. Ia memberanikan diri saat pria itu mengajaknya bertemu dengan sang ibu. Mau tidak mau, ia pun memenuhi permintaan Edo. Wajah sang kekasih sangat semringah, sedangkan Rena begitu tegang.Langkahnya semakin berat saat mulai memasuki ruang tengah. Tanpa di panggil, Madam Syin menghampiri Rena dan Edo. Wanita itu sudah tahu jika anaknya akan membawa kekasih hati. Ia mencoba memperhatikan, menilai sedikit dan ia mengernyitkan kening.“Kamu, bukannya suster di RS Palapa?” tanya Madam Syin sembari mengingat-ingat.“I—iya, Tante.” Rena menjawab gugup.Edo mengelus lembut pundak Rena, mencoba menenangkannya. Namun, tetap saja sang kekasih merasa gugup. Sampai akhirnya Yura datang bersama Edward hingga membuat Rena sedikit tenang.
Edo menemui Rena yang menunggunya di sebuah kafe. Mereka memang sengaja bertemu karena sudah beberapa hari pria itu mulai sibuk dengan pekerjaan barunya. Ia menempati jabatan di perusahaan Madam Syin. Sejak memutuskan menikah dengan Rena, ia pun menerima tawaran untuk bekerja.Wajah Edo semringah saat Rena melambaikan tangan. Buket bunga yang ia bawa langsung ia serahkan saat sampai di hadapan sang kekasih. Wajah Rena berseri menerima apa yang diberikan pria tampan dengan jas hitam itu.“Terima Kasih.”“Sama-sama. Kami, terlihat sangat cantik,” puji Edo.“Jangan memuji aku, nanti terbang.” Rena tertawa menatap Edo.Keduanya saling berbincang, lalu Rena membuka percakapan tentang perceraiannya. Sidak terakhir memutuskan mereka resmi bercerai dan Rena menyandang
Bi Rukmini sibuk merapikan beberapa barang yang diminta Edward untuk memindahkan ke kamar Yura. Sementara, Yura memandang heran dengan apa yang di lakukan asisten rumah tangganya itu.“Bi, kok di pindahkan ke kamar aku? Itu bukannya barang-barang Edward?” tanya Yura.“Iya, memang punya Tuan Edward. Dia meminta saya memindahkan, Nyonya.” Bi Rukmini hanya tersenyum lalu kembali membawa baju-baju sang tuan.Yura terus mengikuti Bi Rukmini sampai tidak sadar jika sang suami sudah pulang. Edward meminta asisten rumah tangganya ke luar dari kamar. Ia ingin berbicara banyak pada Yura tentang beberapa hal.Bi Rukmini cukup paham dan ia meninggalkan keduanya untuk berbicara hal yang penting. Edward menutup rapat pintu, ia berharap Yura mau mendengar apa yang akan dibicarakannya.&
Amalia mengikuti saran dari Alin, ia datang ke kantor untuk menemui Edward. Ia berharap mereka bisa kembali rukun. Kedatangan Amalia membuat Edward bingung, dia sedang tidak mau berdebat atau bertengkar. Namun, sang istri malah datang menemuinya.“Aku ingin bicara dengan kamu, kalau di rumah tidak akan bisa. Aku harap kita bisa bersama-sama dan mengulang dari nol lagi,” ucap Amalia.“Aku sedang tidak mau berdebat.”“Aku nggak ngajak berdebat, hanya bicara 4 mata saja. Dari hati ke hati, itu saja. Kalau di rumah, kamu pasti terpengaruh Yura dan Mami.”Edward kembali menggeleng, Amalia masih sama saja. Menyalahkan Yura dan sang ibu. Ia tidak suka hal seperti itu terjadi lagi. Tetap saja istri pertamanya tidak pernah berubah selalu saja menyalahkan orang lain.
“Edward! Ke luar! Tolong aku, Mami mengusirku.” Amalia terus mengendur kamar Yura. Ia tidak peduli, terpenting Edward ke luar dan menolong dirinya.Yura hendak ke luar, tetapi Edward menahan tangannya. Pria itu menggeleng agar istri keduanya tidak membukakan pintu untuk Amalia. Yura terpaksa duduk kembali, ia tidak tega mendengar Amalia terus berteriak.“Kamu tega, dia terus berteriak?” tanya Yura.“Kamu terlalu baik apa bodoh? Sudah jelas dia melakukan kejahatan padamu, bahkan ia menghasutku untuk tidak mengakui anak dalam kandunganmu.”Yura membuang wajah. Memang harusnya ia tidak berbaik hati, tetapi ia tetap saja memiliki rasa iba. Tidak peduli, ia membukakan pintu untuk Amalia.Amalia menerobos masuk menemui Edward di kamar.
Edward merasa aneh tiba-tiba ingin berada di kamar Yura. Bahkan, harusnya Edward menjaga agar perasaan Amalia tidak tersakiti. Namun, ia malah memilih bersama Yura. Sementara, Yura tidak banyak bicara saat Edward memilih bersamanya. Ia beranggapan hanya biasa saja.Edward memperhatikan Yura yang sejak tadi sibuk bermain ponsel. Ia heran kenapa rasa mualnya sudah hilang. Kemudian, tubuhnya pun kembali seperti biasa. Ada apa pikirnya?“Apa begitu caramu saat aku ada di sini?” tanya Edward.Yura menoleh ke arah Edward. Ia masih kesal dengan suaminya yang memang berhati lembek jika bersama Amalia. Jika mengingat penolakannya, dirinya begitu kesal. Berharap pria itu menyesal seumur hidupnya.“Cara apa maksud kamu?” tanya Yura.“Mendiamkan aku.”
Tiba-tiba saja Edward merasa tidak enak perut. Ia berlari ke kamar mandi, sedangkan Madam Syin dan Yura menatap keheranan. Edward memanggil Bi Rukmini untuk membuatkannya teh hangat tanpa gula. Setelah itu, ia membaringkan tubuh di ranjang dengan membalurkan minyak gosok.Madam Syin menghampiri Edward di kamar, ia menatap heran dengan wajah sang anak yang pucat. Bi Rukmini datang membawakan teh hangat, lalu memberikannya langsung pada sang majikan.Edward duduk sembari menyeruput teh hangat itu. Lalu, ia kembali merebahkan tubuh tanpa memedulikan sang ibu yang keheranan melihat tingkahnya.“Kamu salah makan?” tanya Madam Syin.“Nggak, Mi. Nggak tahu tiba-tiba kaya orang mabuk perjalanan aja. Perut kaya di kocok,” ungkapnya.Yura mengintip dari balik pintu, ia berpikir ker