Edo memilih berada di kelab malam dari pada melihat drama rumah tangga sang kakak. Pria dengan kaos putih dipadu celana jin robek-robek itu duduk memindahi sekeliling tempat ramai itu. Sesekali ia meneguk minuman di depannya.
Hari itu ia tak sedang berjanjian dengan siapa pun karena moodnya kurang baik. Sepertinya ia harus merileksasikan otaknya kali ini. Namun, lamunannya buyar seketika seseorang menepuk pundaknya.
“Aku mau bicara,” ujar wanita di hadapannya.
Edo memutar bola mata malas melihat wanita cantik dengan pakaian sexy di hadapannya. Ia bangkit dan mengikutinya ke luar kelab malam itu.
Edo menyenderkan tubuh di tembok, sedangkan wanita di hadapannya siap mengatakan hal yang penting untuk pria itu.
“Aku hamil, Do.”
Edo menegang mendengar penuturan wanita itu. Ia tak menduga jika selama ini sudah bermain cantik, tetapi malah kecolongan. Pria itu menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar.
“Jangan bercanda. Gue main cantik, Sel. Jangan-jangan, lo sengaja biar gue nikahin elo,” ujar Edo sembari menunjuk Sella.
“Mana ada aku bercanda. Main cantik kalau apes, ya apes aja. Buktinya, aku hamil, Do.”
“Jangan ngada-ngada. Itu bukan anak gue, lo tidur sama yang lain kali.”
Tamparan keras mengenai pipinya. Ia menatap dengan tawa wanita yang sudah memerah wajahnya itu. Edo tidak habis pikir, di rumah sedang mempeributkan masalah keturunan, tapi ia malah yang mendapat keturunan.
Edo kembali tidak percaya dengan keadaan itu. Apa yang akan ia lakukan? Menikahi Sella dan terkekang dalam sebuah rumah tangga. Edo menendang kaleng di samping ia berdiri.
“Aku nggak mau tahu, kamu harus tanggung jawab.”
“Gugurin aja!”
“Shit! Enak banget, kamu bilang seperti itu. Aku nggak mau dosa untuk kedua kalinya.”
Edo mendorong kasar Sella, pria itu tanpa belas kasih meninggalkan Sella yang masih tersungkur di jalan. Ia tak peduli dengan apa yang dikatakan Sella, baginya tidak ada pernikahan. Yang ia inginkan hanya kesenangan tanpa terikat dengan status pernikahan.
Sementara, Sella meringis kesakitan memegangi perutnya yang keram tiba-tiba. Wanita itu bersumpah akan membuat Edo untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
***
Edward mengelus pucuk rambut Amalia yang sudah tertidur. Ia merasa kasihan dengan kondisi sang istri. Akan tetapi, dirinya tak tega harus mengatakan yang sesungguhnya. Penolakannya terhadap bayi tabung semakin membuat Edward merasa bersalah. Di satu sisi ia memikirkan bagaimana nasib Yura malam itu.
Pikiran Edward kacau memikirkan Yura. Teringat luka lebam di pipi istri keduanya, ia ingin menghampiri Yura. Namun, bagaimana dengan Amalia. Edward semakin gelisah, ia bangkit perlahan, mengendap-endap agar Amalia tidak terbangun.
“Yura, buka pintunya,” ucap Edward saat mengetahui Yura mengunci pintu dari dalam. Ia sedikit lega karena sang istri mengikuti perintahnya.
Yura sudah berada di hadapan Edward. Pria itu gegas masuk dan kembali mengunci pintu. Entah, perasaan apa, tangan Edward menyentuh lembut pipi Yura.
“Aw, sakit.”
“Masih sakit?”
“Nggak, hanya saat tersentuh saja sakit.”
“Sudah di obati?”
“Tadi di kompres air hangat, lalu kuoleskan minyak yang diberikan Edo.”
Pria itu menjadi tak suka saat mendengar nama Edo di sebut sang istri. Ia kesal kenapa harus sang adik yang menjadi pahlawan kesiangan bagi Yura.
“Aku sudah bilang, jauhi Edo.”
“Kenapa? Dia hanya memberikan aku obat oles saja. Lagi pula Edo baik.”
Edward mencengkeram tangan Yura. “Dengar, kamu hanya milik aku. Jangan pernah berdekatan dengan pria mana pun, termaksud Edo.”
“Sa—sakit.”
Edward mendorong tubuh Yura ke ranjang. Sementara, Yura kembali merasakan sesak saat Edward menatap dengan tatapan seperti malam itu. Ia bingung, apa yang Edward mau kali ini. Pria itu menolaknya, tapi tak membiarkan dia berdekatan dengan orang lain
“Stop berbuat kasar,” ucap Yura. Ia perlahan bangkit dan berdiri di depan Edward. “Kalau kamu nggak suka pernikahan ini, silakan ceraikan aku. Aku muak dengan semua keadaan di sini!”
Edward semakin panas, ia menarik pinggang kecil Yura hingga tak ada jarak di antara mereka. Embusan napas pria itu begitu terasa, sedangkan Yura tak mengerti dengan jantungnya yang berdebar sangat kencang.
Bibir Yura begitu menggoda hingga membuat Edward tak tahan untuk menyentuhnya.
“Lepas!”
Yura mendorong tubuh pria itu, tetapi Edward begitu kuat hingga kembali mengunci tubuhnya. Jantungnya semakin tak karuan, Yura terus berpikir apa Edward akan menunaikan tugasnya sebagai suami dan mewujudkan keinginan sang ibu?
***
Edo memilih berada di kelab malam dari pada melihat drama rumah tangga sang kakak. Pria dengan kaos putih dipadu celana jin robek-robek itu duduk memindahi sekeliling tempat ramai itu. Sesekali ia meneguk minuman di depannya.
Hari itu ia tak sedang berjanjian dengan siapa pun karena moodnya kurang baik. Sepertinya ia harus merileksasikan otaknya kali ini. Namun, lamunannya buyar seketika seseorang menepuk pundaknya.
“Aku mau bicara,” ujar wanita di hadapannya.
Edo memutar bola mata malas melihat wanita cantik dengan pakaian sexy di hadapannya. Ia bangkit dan mengikutinya ke luar kelab malam itu.
Edo menyenderkan tubuh di tembok, sedangkan wanita di hadapannya siap mengatakan hal yang penting untuk pria itu.
“Aku hamil, Do.”
Edo menegang mendengar penuturan wanita itu. Ia tak menduga jika selama ini sudah bermain cantik, tetapi malah kecolongan. Pria itu menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar.
“Jangan bercanda. Gue main cantik, Sel. Jangan-jangan, lo sengaja biar gue nikahin elo,” ujar Edo sembari menunjuk Sella.
“Mana ada aku bercanda. Main cantik kalau apes, ya apes aja. Buktinya, aku hamil, Do.”
“Jangan ngada-ngada. Itu bukan anak gue, lo tidur sama yang lain kali.”
Tamparan keras mengenai pipinya. Ia menatap dengan tawa wanita yang sudah memerah wajahnya itu. Edo tidak habis pikir, di rumah sedang mempeributkan masalah keturunan, tapi ia malah yang mendapat keturunan.
Edo kembali tidak percaya dengan keadaan itu. Apa yang akan ia lakukan? Menikahi Sella dan terkekang dalam sebuah rumah tangga. Edo menendang kaleng di samping ia berdiri.
“Aku nggak mau tahu, kamu harus tanggung jawab.”
“Gugurin aja!”
“Shit! Enak banget, kamu bilang seperti itu. Aku nggak mau dosa untuk kedua kalinya.”
Edo mendorong kasar Sella, pria itu tanpa belas kasih meninggalkan Sella yang masih tersungkur di jalan. Ia tak peduli dengan apa yang dikatakan Sella, baginya tidak ada pernikahan. Yang ia inginkan hanya kesenangan tanpa terikat dengan status pernikahan.
Sementara, Sella meringis kesakitan memegangi perutnya yang keram tiba-tiba. Wanita itu bersumpah akan membuat Edo untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
***
Edward mengelus pucuk rambut Amalia yang sudah tertidur. Ia merasa kasihan dengan kondisi sang istri. Akan tetapi, dirinya tak tega harus mengatakan yang sesungguhnya. Penolakannya terhadap bayi tabung semakin membuat Edward merasa bersalah. Di satu sisi ia memikirkan bagaimana nasib Yura malam itu.
Pikiran Edward kacau memikirkan Yura. Teringat luka lebam di pipi istri keduanya, ia ingin menghampiri Yura. Namun, bagaimana dengan Amalia. Edward semakin gelisah, ia bangkit perlahan, mengendap-endap agar Amalia tidak terbangun.
“Yura, buka pintunya,” ucap Edward saat mengetahui Yura mengunci pintu dari dalam. Ia sedikit lega karena sang istri mengikuti perintahnya.
Yura sudah berada di hadapan Edward. Pria itu gegas masuk dan kembali mengunci pintu. Entah, perasaan apa, tangan Edward menyentuh lembut pipi Yura.
“Aw, sakit.”
“Masih sakit?”
“Nggak, hanya saat tersentuh saja sakit.”
“Sudah di obati?”
“Tadi di kompres air hangat, lalu kuoleskan minyak yang diberikan Edo.”
Pria itu menjadi tak suka saat mendengar nama Edo di sebut sang istri. Ia kesal kenapa harus sang adik yang menjadi pahlawan kesiangan bagi Yura.
“Aku sudah bilang, jauhi Edo.”
“Kenapa? Dia hanya memberikan aku obat oles saja. Lagi pula Edo baik.”
Edward mencengkeram tangan Yura. “Dengar, kamu hanya milik aku. Jangan pernah berdekatan dengan pria mana pun, termaksud Edo.”
“Sa—sakit.”
Edward mendorong tubuh Yura ke ranjang. Sementara, Yura kembali merasakan sesak saat Edward menatap dengan tatapan seperti malam itu. Ia bingung, apa yang Edward mau kali ini. Pria itu menolaknya, tapi tak membiarkan dia berdekatan dengan orang lain
“Stop berbuat kasar,” ucap Yura. Ia perlahan bangkit dan berdiri di depan Edward. “Kalau kamu nggak suka pernikahan ini, silakan ceraikan aku. Aku muak dengan semua keadaan di sini!”
Edward semakin panas, ia menarik pinggang kecil Yura hingga tak ada jarak di antara mereka. Embusan napas pria itu begitu terasa, sedangkan Yura tak mengerti dengan jantungnya yang berdebar sangat kencang.
Bibir Yura begitu menggoda hingga membuat Edward tak tahan untuk menyentuhnya.
“Lepas!”
Yura mendorong tubuh pria itu, tetapi Edward begitu kuat hingga kembali mengunci tubuhnya. Jantungnya semakin tak karuan, Yura terus berpikir apa Edward akan menunaikan tugasnya sebagai suami dan mewujudkan keinginan sang ibu?
***
Bersambung
Di tunggu ya pemenang koin emas ada di part 11 besok atau bisa sore atau malam.
“Aku harus kembali ke kamar Amalia sebelum dia bangun dan mencariku.” Edward mengambil baju yang berserakan di lantai. Ia kembali melihat ke arah Yura dan mencium keningnya lalu beranjak dari kasur. Yura masih bergeming melihat punggung Edward yang menghilang dari pandangannya. Ia mencoba bangkit, tetapi rasa nyeri masih terasa begitu ngilu. Ia memunguti baju di lantai dan memakainya. Perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Malam itu, ia menyerahkan mahkotanya untuk Edward. Pria yang sejak pertama bertemu selalu saja kasar. Namun, akhirnya luluh dengan kesabaran Yura. Pipinya masih sangat nyeri, di bawah guyuran shower, Yura kembali mengingat malam indah bersama Edward. Namun, tangisnya kembali terdengar kala ia hanya dijadikan alat untuk memiliki keturunan. Jika dirinya tak kunjung hamil, pasti akan tergeser pula. Hatinya sudah berlabu pada pr
Awalnya Amalia tidak berniat datang ke rumah sang ibu. Namun, berulang kali ponselnya terdengar membuat ia semakin penat. Akhirnya, terpaksa Amalia datang menemuinya.Rumah itu masih sama seperti saat ia terakhir datang. Ruang besar yang seperti tak terurus, belum lagi banyak barang yang berserakan di lantai. Rumah itu juga menjadi tempat tinggal adiknya yang baru saja lahiran.“Kenapa kamu lama sekali mengirimkan mama uang?” tanya Bu Dian.“Ma, uang tabunganku sudah habis. Bukannya belum lama Mama meminta uang dengan alasan untuk kontrol ke dokter. Tapi apa, Mama malah berlibur ke Bali. Uangku habis, Ma.” Amalia mencoba meyakinkan sang ibu.“Kan ada suami kamu. Minta sama dia, mana mungkin dia menolak. Uangnya banyak, Lia.” Bu Dian selalu saja memaksakan kehendaknya.
“Apa ada kabar dari Edo dan Yura?” tanya Edward pada sang ibu.“Tadi Edo bilang sudah di Jakarta, tapi mereka berhenti makan. Sejak di rumah orang tua Yura tidak ada sinyal.” Edward lega mendengar penjelasan sang ibu. Namun, ia kembali melihat waktu yang sudah agak malam, tapi mereka pun belum muncul juga. Edward kembali mencoba menelepon Yura, tetapi tetap sama tidak ada jawaban.Tidak mau sang istri curiga, Edward gegas menemui Amalia dulu. Walau hatinya sangat cemas memikirkan Yura yang pergi bersama dengan Edo.“Baru pulang langsung ke ruangan Mami, ada apa?” tanya Amalia.“Mami bertanya tentang Yura.”“Biarkan saja, Sayang. Lagi pula, paling dia sedang bersenang-senang dengan Edo. Tahu sendiri adik
Walau sering bertemu dengan banyak wanita, Edo belum pernah merasakan getaran aneh seperti saat ia bersama suster cantik yang ada di hadapannya. Namanya Rena, kulit putih dengan wajah khas Indonesia membuat Edo tak bergerak dari tempatnya.“Sudah selesai,” ucap Rena.“Kayanya belum, ini kepala saya masih pusing.” Edo mencoba berlama-lama dengan Rena.“Kalau Anda pusing, nanti saya minta dokter untuk periksa. Sebentar.”Rena tak jadi melangkah karena tangannya tertahan oleh Edo. “Kamu saja.”“Saya bukan Dokter, maaf tangan Anda.”Edo melepaskan tangannya dari tangan Rena. Ia tidak mau beranjak dari ranjang itu karena masih ingin berduaan dengan Rena. Akan tetapi, sebagai perawat di rumah sakit itu, Rena p
Ada yang hilang dari diri Edward. Pria itu membalut tubuhnya dengan handuk di pinggang setelah ke luar dari kamar mandi. Amalia memberikannya baju pada sang suami, setelah itu ia masih menunggu jawaban Edward.Edward paham jika sang istri menunggunya bicara. Namun, ia sedang tidak ingin banyak bicara. Ia lelah dengan apa yang terjadi hari ini. Bahkan, ia ingin sekali melihat keadaan Yura di kamar. Akan tetapi, semuanya tidak akan semudah yang dibayangkan.“Apa kamu belum bisa menjawab apa yang aku tunggu?” tanya Amalia.“Bukan aku tak mau bicara, aku sudah lelah hari ini mengurus beberapa masalah,” ujar Edward sembari memijit pelipisnya.Amalia menghampiri sang suami, ia mencoba memijit pelan kepala hingga leher Edward agar ia lebih rileks. Pria itu pun memejamkan mata, ia ingin sekali tertidur cepat, te
Sella mengamuk saat tahu anak dalam kandungannya meninggal. Ia terus memberontak dengan tangan terborgol. Sebelum di masukkan sel, untuk sementara ia di rawat di rumah sakit dengan pengawasan ketat. Wanita itu terlihat sangat kacau. Apalagi saat Edo datang mengunjungi ke rumah sakit. Pria itu sengaja datang melihat kondisi Sella. Terutama memastikan jika tidak ada janin lagi di perutnya. Ia pun lega karena tak harus bertanggung jawab pada wanita itu. “Bajingan kamu Edo!” Sella kembali berteriak saat melihat Edo. “Bukannya kita sudah sepakat, tidak akan ada keterikatan. Kamu melanggar dan apa kamu pikir usahamu berhasil dengan sengaja membuat dirimu hamil?” Sella menatap bengis Edo. Ia kembali berusaha menarik-narik tangannya yang mustahil bisa lepas dari borgol itu. Tak ada penyesala
“Hai, kenapa?” Yura bertanya sembari mengibarkan tangan di depan wajah Edward.Edward tersadar dari lamunannya. Wanita di hadapannya benar Yura—istri keduanya. Ia pun berpikir bagaimana bisa kedua istrinya datang bergantian. Tadi Amalia, kini giliran Yura yang datang. Ia sempat tak percaya, tetapi kehadiran Yura itu nyata.“Kenapa di sini?” tanya Edward.“Ini, berkas kamu. Bukannya kamu meminta aku datang?”Edward kembali menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia baru ingat jika sebelum Amalia datang, ia meminta Yura untuk membawakan berkas penting ke kantor. Edward pun memperhatikan pakaian yang dikenakan sang istri. Sebuah gaun cantik, di padu sepatu hitam membuat Yura tampil Elegan.Warna rambut coklatnya pun menyala di bawah sinar matahari. Kulit putih,
Edward mengompres luka lebam Amalia. Untuk kesekian kalinya, ia merasa iba dengan kondisi sang istri. Ia pun kembali merasa bersalah telah menikah dengan Yura. Ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan Yura.“Sakit,” ucap Amalia.“Maaf, mau ke dokter saja?”“Nggak usah, yang membuat sembuh aku adalah kamu. Asal kamu berjanji akan menjauhi Yura.”Entah perasaan apa yang kini ada di benak Edward. Ia bimbang saat Amalia memintanya untuk menjauhi Yura. Sementara, berjauhan dengan istri keduanya saja membuat dirinya rindu. Amalia memperhatikan sang suami yang beberapa hari terlihat sering melamun.“Sayang, bagaimana? Kamu mau menjauh dari Yura?” tanya Amalia lagi.“Iya, Sayang. Aku akan menjauhi Yura.”
“Kamu masih peduli bukan dengan Amalia?”Edward menghentikan langkah, seketika ia menoleh ke belakang. Bu Dian berdiri dengan percaya diri di hadapannya. Ia yakin jika menantunya akan membantu menyembuhkan Amalia.“Aku memang sengaja datang untuk memastikan semuanya.”“Kamu masih cinta Amalia. Tidak mungkin kebersamaan selama delapan tahun begitu saja hilang. Tolong dia, Amalia akan sehat kembali. Hanya kamu yang bisa membuatnya kembali tersenyum.” Permintaan Bu Dian membuat Edward dilema.Namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak terlihat jika dirinya begitu mencemaskan Amalia. Jika tidak, wanita di hadapannya akan kembali memanfaatkan dirinya lewat Amalia.Keputusan menceraikan Amalia sudah bulat. Namun, jika ia terus menerus mencari tahu tentang dia, kemungkinan akan kembali membuatnya resah.“Maaf, untuk kesekian kali saya tegaskan pada Anda, saya tidak mau berhubungan lagi dengan kalian. C
Tangan Rena terasa dingin saat ia mulai memasuki rumah besar Edward. Ia memberanikan diri saat pria itu mengajaknya bertemu dengan sang ibu. Mau tidak mau, ia pun memenuhi permintaan Edo. Wajah sang kekasih sangat semringah, sedangkan Rena begitu tegang.Langkahnya semakin berat saat mulai memasuki ruang tengah. Tanpa di panggil, Madam Syin menghampiri Rena dan Edo. Wanita itu sudah tahu jika anaknya akan membawa kekasih hati. Ia mencoba memperhatikan, menilai sedikit dan ia mengernyitkan kening.“Kamu, bukannya suster di RS Palapa?” tanya Madam Syin sembari mengingat-ingat.“I—iya, Tante.” Rena menjawab gugup.Edo mengelus lembut pundak Rena, mencoba menenangkannya. Namun, tetap saja sang kekasih merasa gugup. Sampai akhirnya Yura datang bersama Edward hingga membuat Rena sedikit tenang.
Tangan Rena terasa dingin saat ia mulai memasuki rumah besar Edward. Ia memberanikan diri saat pria itu mengajaknya bertemu dengan sang ibu. Mau tidak mau, ia pun memenuhi permintaan Edo. Wajah sang kekasih sangat semringah, sedangkan Rena begitu tegang.Langkahnya semakin berat saat mulai memasuki ruang tengah. Tanpa di panggil, Madam Syin menghampiri Rena dan Edo. Wanita itu sudah tahu jika anaknya akan membawa kekasih hati. Ia mencoba memperhatikan, menilai sedikit dan ia mengernyitkan kening.“Kamu, bukannya suster di RS Palapa?” tanya Madam Syin sembari mengingat-ingat.“I—iya, Tante.” Rena menjawab gugup.Edo mengelus lembut pundak Rena, mencoba menenangkannya. Namun, tetap saja sang kekasih merasa gugup. Sampai akhirnya Yura datang bersama Edward hingga membuat Rena sedikit tenang.
Edo menemui Rena yang menunggunya di sebuah kafe. Mereka memang sengaja bertemu karena sudah beberapa hari pria itu mulai sibuk dengan pekerjaan barunya. Ia menempati jabatan di perusahaan Madam Syin. Sejak memutuskan menikah dengan Rena, ia pun menerima tawaran untuk bekerja.Wajah Edo semringah saat Rena melambaikan tangan. Buket bunga yang ia bawa langsung ia serahkan saat sampai di hadapan sang kekasih. Wajah Rena berseri menerima apa yang diberikan pria tampan dengan jas hitam itu.“Terima Kasih.”“Sama-sama. Kami, terlihat sangat cantik,” puji Edo.“Jangan memuji aku, nanti terbang.” Rena tertawa menatap Edo.Keduanya saling berbincang, lalu Rena membuka percakapan tentang perceraiannya. Sidak terakhir memutuskan mereka resmi bercerai dan Rena menyandang
Bi Rukmini sibuk merapikan beberapa barang yang diminta Edward untuk memindahkan ke kamar Yura. Sementara, Yura memandang heran dengan apa yang di lakukan asisten rumah tangganya itu.“Bi, kok di pindahkan ke kamar aku? Itu bukannya barang-barang Edward?” tanya Yura.“Iya, memang punya Tuan Edward. Dia meminta saya memindahkan, Nyonya.” Bi Rukmini hanya tersenyum lalu kembali membawa baju-baju sang tuan.Yura terus mengikuti Bi Rukmini sampai tidak sadar jika sang suami sudah pulang. Edward meminta asisten rumah tangganya ke luar dari kamar. Ia ingin berbicara banyak pada Yura tentang beberapa hal.Bi Rukmini cukup paham dan ia meninggalkan keduanya untuk berbicara hal yang penting. Edward menutup rapat pintu, ia berharap Yura mau mendengar apa yang akan dibicarakannya.&
Amalia mengikuti saran dari Alin, ia datang ke kantor untuk menemui Edward. Ia berharap mereka bisa kembali rukun. Kedatangan Amalia membuat Edward bingung, dia sedang tidak mau berdebat atau bertengkar. Namun, sang istri malah datang menemuinya.“Aku ingin bicara dengan kamu, kalau di rumah tidak akan bisa. Aku harap kita bisa bersama-sama dan mengulang dari nol lagi,” ucap Amalia.“Aku sedang tidak mau berdebat.”“Aku nggak ngajak berdebat, hanya bicara 4 mata saja. Dari hati ke hati, itu saja. Kalau di rumah, kamu pasti terpengaruh Yura dan Mami.”Edward kembali menggeleng, Amalia masih sama saja. Menyalahkan Yura dan sang ibu. Ia tidak suka hal seperti itu terjadi lagi. Tetap saja istri pertamanya tidak pernah berubah selalu saja menyalahkan orang lain.
“Edward! Ke luar! Tolong aku, Mami mengusirku.” Amalia terus mengendur kamar Yura. Ia tidak peduli, terpenting Edward ke luar dan menolong dirinya.Yura hendak ke luar, tetapi Edward menahan tangannya. Pria itu menggeleng agar istri keduanya tidak membukakan pintu untuk Amalia. Yura terpaksa duduk kembali, ia tidak tega mendengar Amalia terus berteriak.“Kamu tega, dia terus berteriak?” tanya Yura.“Kamu terlalu baik apa bodoh? Sudah jelas dia melakukan kejahatan padamu, bahkan ia menghasutku untuk tidak mengakui anak dalam kandunganmu.”Yura membuang wajah. Memang harusnya ia tidak berbaik hati, tetapi ia tetap saja memiliki rasa iba. Tidak peduli, ia membukakan pintu untuk Amalia.Amalia menerobos masuk menemui Edward di kamar.
Edward merasa aneh tiba-tiba ingin berada di kamar Yura. Bahkan, harusnya Edward menjaga agar perasaan Amalia tidak tersakiti. Namun, ia malah memilih bersama Yura. Sementara, Yura tidak banyak bicara saat Edward memilih bersamanya. Ia beranggapan hanya biasa saja.Edward memperhatikan Yura yang sejak tadi sibuk bermain ponsel. Ia heran kenapa rasa mualnya sudah hilang. Kemudian, tubuhnya pun kembali seperti biasa. Ada apa pikirnya?“Apa begitu caramu saat aku ada di sini?” tanya Edward.Yura menoleh ke arah Edward. Ia masih kesal dengan suaminya yang memang berhati lembek jika bersama Amalia. Jika mengingat penolakannya, dirinya begitu kesal. Berharap pria itu menyesal seumur hidupnya.“Cara apa maksud kamu?” tanya Yura.“Mendiamkan aku.”
Tiba-tiba saja Edward merasa tidak enak perut. Ia berlari ke kamar mandi, sedangkan Madam Syin dan Yura menatap keheranan. Edward memanggil Bi Rukmini untuk membuatkannya teh hangat tanpa gula. Setelah itu, ia membaringkan tubuh di ranjang dengan membalurkan minyak gosok.Madam Syin menghampiri Edward di kamar, ia menatap heran dengan wajah sang anak yang pucat. Bi Rukmini datang membawakan teh hangat, lalu memberikannya langsung pada sang majikan.Edward duduk sembari menyeruput teh hangat itu. Lalu, ia kembali merebahkan tubuh tanpa memedulikan sang ibu yang keheranan melihat tingkahnya.“Kamu salah makan?” tanya Madam Syin.“Nggak, Mi. Nggak tahu tiba-tiba kaya orang mabuk perjalanan aja. Perut kaya di kocok,” ungkapnya.Yura mengintip dari balik pintu, ia berpikir ker