Stefan memutuskan untuk menuju lantai dua setelah mendengar setelah mendengar sesuatu di arah sana. Sementara, Amora beserta orang tuanya tetap berada di ruang tamu dengan perasaan tak menentu. Di atas, lelaki itu segera mengetuk pintu kamarnya.
"Jovita, kamu sedang apa?"Stefan berkali-kali mengetuk, tetapi tak kunjung dibuka. Ia mencoba untuk membuka pintu dan ternyata tidak dikunci. Setelah dibuka, ternyata banyak sekali barang yang berserakan di lantai."Jovita, apa yang sedang kamu lakukan?" Stefan naik pitam, ia masuk ke kamar setelah melihat Jovita melempar barang ke segala arah."Aku gak mau dia jadi istri kedua kamu, Mas! Aku gak mau! Cukup aku saja yang jadi istrimu. Kalau nggak, aku harus mati aja!" teriak Jovita seolah-olah telah hilang pikiran."Cukup, Jovita! Cukup! Sampai kapan lagi kamu bersikap egois seperti ini?"Stefan menjadi marah. Ia langsung berkata bahwa dirinya menikah dengan Amora hanya untuk meneruskan keturunan. Dirinya pun menambahkan bahwa Jovita adalah perempuan yang tidak berguna."Kalau emang kamu ingin bunuh diri, silakan saja! Kehadiran dirimu atau pun sebaliknya, nggak akan berdampak pada kehidupanku!"Pria itu segera pergi dari kamar tersebut, tak acuh terhadap pikiran dan perasaan istrinya. Jovita merasa kesal, ia mengumpat sembari mengacak rambutnya. Dirinya tidak bisa menghentikan niat pernikahan sang suami yang bersifat dingin dan pemarah.Jovita ingin segera bunuh diri, tetapi jika mati konyol pun hanya sia-sia saja. Melihat wajah Amora yang lugu membuatnya tidak ingin kalah. Ia seketika memikirkan hal yang di luar dugaan."Awas saja. Aku akan buat dia hidup seperti di neraka!"***Di ruang tamu, Stefan berencana untuk menetapkan hari pernikahan bersama Amora. Semuanya tampak tegang, termasuk Amora. Masa depannya kini dipertaruhkan, apakah akan hidup bahagia bersama Stefan atau malah akan membuatnya semakin sengsara saja."Saya sudah putuskan bahwa saya akan menikah dengan Amora di minggu depan.""Apa? Minggu depan?" Rahmi terkejut mendengarnya.Amora hanya pasrah dengan yang terjadi ke depannya. Perempuan itu rela berkorban demi utang keluarga yang sangat besar. Dirinya rela untuk memutus hubungan dengan Delvin yang masih belum mengetahui masalah ini."Bagaimana? Apakah kamu setuju, Amora?" Stefan balik bertanya kepada calon istri keduanya.Gadis berambut panjang itu hanya menunduk, tak lama kemudian langsung mengangguk. Stefan tersenyum terkecil dan puas. Semua keinginannya sudah terwujud dan akan selalu terpenuhi.Sementara itu, Jovita melihat keberadaan keluarga Amora yang masih di bawah sana. Ia berencana untuk membuat kehidupannya semakin sengsara setelah menjadi istri kedua. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu."Kalau aku bunuh diri, pasti mereka nggak akan peduli denganku."Keputusan untuk bunuh diri menjadi hilang seketika. Dirinya yang sejak tadi menangis, tiba-tiba tersenyum jahat. Seolah-olah akan merencanakan sesuatu yang tidak baik."Lihat saja nanti! Aku akan membuat pernikahan kalian menjadi rusak dan gagal! Aku akan mempermalukan kamu di hadapan semua orang!" ucapnya dengan tangan yang melipat di depan dada.Setelah semua rencana telah matang, Amora beserta kedua orang tua pun memutuskan untuk pulang. Mereka diantar oleh Stefan yang mana akan menjadi calon suami bagi Amora sendiri.***Seminggu kemudian, hal-hal yang ditunggu pun telah tiba. Pernikahan yang megah dan mewah dari seorang bos muda telah dirayakan. Stefan dan Amora telah resmi menjadi suami istri.Sementara, Jovita yang melihat itu merasa iri dan dengki. Meski ia berencana untuk menghancurkan pernikahan mereka, ternyata hal tersebut tidak berjalan sesuai keinginan. Ia dikurung oleh Stefan di dalam kamar dan tidak diperbolehkan untuk hadir di acara pernikahan.Ya, suaminya tahu bahwa sang istri berencana yang tidak baik di hari pernikahannya. Hal itu diketahui oleh para anteknya sendiri. Alhasil, Stefan menjadi marah dan mengancam untuk cerai."Kenapa juga dia tahu tentang rencanaku? Hampir saja aku bakalan cerai dengan dia!" Jovita merasa geram. Kali ini, dirinya hanya bisa berdiam diri di rumah megahnya dengan penjagaan yang ketat.Sementara, pernikahan Stefan dan Amora berlangsung di hotel berbintang. Banyak yang hadir di acara tersebut, termasuk rekan kerja Stefan di perusahaannya yang turut hadir bersama orang-orang yang ikut berpengaruh di dunia bisnis."Gila, istri kedua Tuan Stefan cantik banget!" ujar salah seorang tamu kepada sesama temannya."Iya, beruntung banget Tuan Stefan mendapatkan gadis cantik seperti dia," bisik yang lainnya juga.Amora melihat ke sana kemari. Banyak sekali tamu yang datang dan menikmati perjamuannya. Ia berpikir bahwa semua orang yang berada di sana termasuk orang kaya.Sungguh, dirinya tidak menyangka bahwa hal itu bisa terjadi. Menjadi istri kedua dari seorang bos muda merupakan salah satu yang belum pernah dibayangkan sebelumnya."Sekarang, kamu sudah resmi menjadi istri aku. Jadi, kamu harus memanggil saya dengan sebutan sayang, bukan tuan lagi." Stefan berbisik, sementara Amora menutup mata tatkala suaminya itu berbisik.Di sisi lain, ponsel milik Amora yang tersimpan di rumah terlihat berdering. Terdapat nama kekasihnya yang sudah menelepon berkali-kali dan tak kunjung diangkat juga. Sampai saat ini, Delvin belum mengetahui terkait kejadian itu. Sungguh, hal itu pasti tidak mengenakkan bagi dirinya.Pernikahan pun berjalan dengan lancar. Semua tamu undangan tampak puas terhadap acara pernikahan megah itu. Bagaimana tidak? Mana mungkin pernikahan seorang bos muda akan berjalan dengan sederhana. Pastinya dengan mewah dan pelayanan yang serba mahal."Awas saja, Amora. Aku akan buat dirimu sengsara di rumah ini. Aku jamin, kamu nggak akan dapat cintanya Stefan" Jovita bernapas lega karena dirinya bisa keluar dari kamar setelah seharian dikurung oleh Stefan.Stefan beserta istri keduanya terlihat pulang dari hotel menuju rumah di malam hari menggunakan mobil yang penuh dengan hiasan. Mereka berdua tampak lelah, tetapi Stefan sangat menunggu momen ini. Ia bisa berdua dengan Amora di malam pertama.Untuk pertama kalinya juga Amora terpisah dari orang tua dan juga rumahnya. Ia masih sedih, terlebih jika mengingat Delvin yang sudah lama tidak berbicara secara daring. Bahkan, tiga minggu lagi lelaki tersebut akan pulang."Amora, aku minta sesuatu dari kamu untuk malam ini, Sayang." Seketika, Stefan berbisik setelah mereka sampai di kamar."Tuan, apa yang Tuan lakukan?" Amora memalingkan wajah ke sembarang arah.Amora memalingkan wajah ke arahnya. Lelaki itu tampak menyunggingkan senyum. Setelah itu, ia menghampiri pintu dan menguncinya dari dalam.Amora semakin tak karuan, ia mundur secara perlahan. Pandangannya tertuju pada sembarang arah, lalu menutupnya. Ia tidak ingin melihat tindakan yang dilakukan oleh Stefan padanya."Tuan, aku mohon! Jangan sekarang!"Stefan mendekati wajahnya terhadap istri barunya itu. Ia sudah tidak sabar lagi untuk merasakan cinta kedua dari kehidupannya. Sementara, Amora dengan cepat menutup mata dengan raut wajah yang ketakutan.Tiba-tiba, Stefan menggenggam kedua lengan atas milik perempuan itu. Amora terkejut, ia merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Amora tidak bisa berkutik, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena sudah sah menjadi istri Stefan."Malam ini, kita akan bersenang-senang," bisik Stefan dengan halus.Kini, pria berkulit putih itu melepaskan baju pernikahannya. Perlahan, ia membuka kancing dari atas. Amora seketika menutup mata kembali. Dirinya tidak ingin melihat dan merasakan sesuatu yang terjadi di malam itu."Tuan, jangan! Jangan lakukan itu!" Amora yang tidak menyangka dengan alur kehidupannya hanya bisa pasrah. Dalam hati, ingin sekali berteriak dan meminta tolong kepada Delvin terkait hal itu.***Pagi telah tiba, Amora membuka mata secara perlahan. Ia merasa lelah, mungk
Amora sedang memuntahkan sesuatu setelah merasa muak sejak berada di kamar tadi. Bi Asih yang memperhatikannya pun ikut berada di belakang karena takut terjadi apa-apa padanya. Sementara, Jovita tidak peduli dengan apa yang terjadi.Setelah merasa lebih baik, Amora bernapas dengan perlahan. Ia melihat wajahnya yang berada di cermin kamar mandi. Wajah yang terlihat putih pucat itu hanya membuatnya semakin bersedih."Non, kalau Bibi sangka, ini tanda-tanda kalau Non sedang hamil.""Apa, hamil?" Amora terkejut, baru saja seminggu menjadi istri Stefan, ia menjadi hamil saja.Memang, ini adalah kabar gembira untuk Stefan yang menantikan keturunan. Namun, hal ini merupakan kabar yang tak diinginkan oleh Amora sendiri. Itu menjadi pertanda bahwa dirinya sudah menjadi milik Stefan seutuhnya."Bibi nggak bercanda, 'kan?" tanya Amora guna memastikan."Iya, Non. Bibi bersungguh-sungguh." Di keesokannya setelah Stefan pulang pada dini hari, ia mendengar cerita dari Bu Asih bahwa sang istri kedua
Amora sontak terkejut ketika melihat seseorang yang berada di luar rumah. Bukan tanpa sebab, seseorang yang dilihatnya itu tak lain adalah kekasih lamanya, Delvin. Lelaki itu sepertinya baru saja pulang dari Jepang. Akan tetapi, dari mana ia tahu bahwa Amora berada di rumah itu?"Apakah Delvin sudah tahu kalau aku sudah menikah dengan Mas Stefan?" ujarnya dengan penuh tanda tanya.Sementara, Delvin masih berteriak dari luar. Beberapa penjaga rumah mencoba menghentikannya, tetapi Delvin masih terlihat bersikeras untuk memanggil Amora. Lelaki tersebut ditemani oleh Alex yang merupakan teman masa kecil, sekaligus orang yang menemaninya sewaktu di Jepang."Aku harus turun!"Tanpa pikir panjang, Amora pun memutuskan untuk ke luar rumah. Ia ingin supaya Delvin tidak berada di rumah itu lagi. Bisa gawat nantinya jika istri pertama Stefan yang tak lain adalah Jovita mengetahui hal itu."Amora, keluarlah!" Sementara, Delvin masih berteriak memanggil kekasihnya untuk menagih cinta yang selama i
Pintu kamar terketuk kembali. Amora yang menyadarinya langsung menghampiri dan membuka kunci kamar. Ternyata, terdapat Bi Asih yang sudah berada di ambang pintu kamar sambil membawakan sepiring makanan dan segelas susu untuknya."Maaf, Non. Ini Bibi bawakan makanan dan susu untuk Non. Supaya anak yang berada di kandungan Non bisa sehat," ungkap Bi Asih dengan berseri-seri."Oh ya, Bi. Simpan saja di atas meja itu dulu ya, Bi." Amora menyeka air mata dengan kasar, lalu menunjuk ke sebuah meja di samping tempat tidur.Lantas, Bi Asih menyimpan apa yang dibawanya di atas meja. Lalu, memandang kembali ke majikannya dengan perasaan heran."Non, kenapa Non menangis? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Apakah Nyonya Jovita jahat kepada Non?" tanya Bi Asih berusaha menerka-nerka."Ah, nggak apa-apa kok, Bi. Aku baik-baik saja. Nyonya Jovita nggak jahat juga, kok." Amora berusaha untuk menutupi terkait Delvin kepada siapa pun.Alhasil, Bi Asih berpamitan kembali untuk keluar dari kamar tersebut.
Amora sungguh terkejut bukan kepalang melihat Jovita yang membuka pintu kamar dengan kasar. Bukan tanpa sebab, perempuan itu menampilkan wajah yang penuh dengan amarah. Apa yang sebenarnya terjadi? Atau, apakah Jovita tahu bahwa Delvin datang dan berteriak pada waktu tadi?"Nyonya Jovita, kenapa Nyonya membuka pintu seperti ini?" tanya Amora dengan waswas."Emangnya kenapa? Nggak boleh, ini rumah gue, ya! Gue berhak berbuat apa pun di rumah ini!" teriak Jovita dengan kasar.Amora menunduk, ia merasa bahwa Jovita sudah tahu tentang kejadian tadi. Mungkin saja penjaga rumah menceritakannya kepada Jovita. Entahlah, bagaimana nasib Amora ke depannya."Gue mau cerita sama, lo."Deg!Amora terbelalak, ia baru saja mendengar pernyataan dari wanita bergaun merah itu. Apa yang sebenarnya ingin diceritakan? Apakah tentang Delvin?"Apa yang akan Nyonya ceritakan kepada saya?" tanya Amora.Jovita mendekat, membuat Amora semakin waspada. Ia khawatir jika perkiraannya benar. Tamatlah riwayat Amora
Jovita segera melangkah ke kamar milik Amora setelah menyadari terdapat ponsel yang berdering. Dengan perlahan, ia mulai mendekati ponsel yang berada di atas nakas tersebut.Lama-kelamaan, ponsel itu tidak berdering lagi. Tampaklah nama Delvin sebagai panggilan tidak terjawab. Jovita masih berada di ambang pintu. Niatnya untuk melihat ponsel Amora menjadi urung tatkala dirinya merasa malas ketika mengingat Amora."Untuk apa gue lihat ponsel dia? Gak ada gunanya."Lantas, perempuan berpakaian kurang bahan itu segera pergi dari kamar tersebut. Untunglah, Jovita tidak sempat melihat nama Delvin di layar ponsel Amora. Jika tidak, pasti ia akan merasa curiga terhadap Amora.Di ruang tengah, Stefan dan Amora tengah berduaan. Stefan tak henti-hentinya mengelus perut Amora yang sedang mengandung. Sementara, Amora sendiri masih memikirkan Jovita. Ia tidak enak dengan istri pertama Stefan itu. Reaksinya yang tidak suka membuat semakin tidak betah."Semoga, kamu cepat besar ya, Nak. Nanti, kamu
Jovita menatap Amora dengan begitu tajam. Ia menaruh rasa curiga padanya bahwa Amora sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, Amora tetap meyakinkannya bahwa ia tidak menyembunyikan apa pun."Nggak, Nyonya. Saya nggak menyembunyikan apa pun." Amora tambah tegang. Jantungnya berdegup dengan begitu kencang.Jovita berusaha merebut ponsel Amora. Namun, Amora dengan sigap menahannya kembali. Terjadilah kekacauan di kamar itu. Jovita ingin melihat siapa yang berada di dalam ponsel Amora, sedangkan Amora sendiri mempertahankan ponselnya."Jangan, Nyonya! Ini nggak ada apa-apa sama sekali. Jangan begitu, Nyonya!" Amora berteriak."Nggak, lepaskan tangan lo! Gue mau lihat apa yang ada di ponsel lo!" Novita menambahkan tenaga supaya bisa merebut ponsel Amora."Nyonya Jovita!" Tiba-tiba, terdengar suara yang berasal dari luar kamar.Baik Jovita maupun Amora kemudian berpaling. Tampaklah Bi Asih yang memperhatikan mereka berdua dengan tegang. Jovita pun menghentikan aksi merebut ponselnya dan berha
Stefan melihat layar ponsel milik Amora yang menyatakan bahwa terdapat belasan panggilan yang tak terjawab. Ia berniat untuk memeriksanya, tetapi sontak saja terdapat seseorang yang memanggilnya dari pintu kamar."Mas?" Amora yang sudah berdiri di sana menjadi terkejut.Bukan tanpa sebab, Stefan memegang ponsel miliknya. Pastinya akan menimbulkan rasa curiga jika terdapat riwayat telepon."Sayang, di ponsel kamu ada banyak panggilan tak terjawab." Stefan langsung memberikan ponsel hitam itu tanpa merasakan curiga sedikit pun."Iya, Mas. Terima kasih." Amora langsung merebut ponsel itu dengan cepat. Ia tidak ingin jika masalah ponsel itu berkepanjangan."Kenapa kamu nggak lihat dulu siapa yang menelepon?" Sontak saja, Stefan bertanya di luar dugaan.Amora sedikit cemas dan kaget. Entah apa yang harus ia jelaskan kepadanya. Untunglah, wanita itu bisa menjelaskan bahwa telepon tersebut pastinya berasal dari orang tua. Stefan pun mengangguk pelan."Ya, sudah. Kalau begitu, kamu istirahat.
Amora terkejut setelah melihat Delvin yang berada di mal tersebut. Lelaki itu tampak bersama Alex yang merupakan teman akrabnya. Namun, sedang apa mereka berdua berada di tempat itu?Sejak saat itu, Amora menjadi panik. Ia harus mencari cara supaya dirinya bisa bersembunyi dan tidak terlihat oleh Delvin. Bisa gawat nantinya jika Stefan tahu bahwa Delvin adalah kekasih lamanya."Kamu kenapa, Sayang? Ada apa?" tanya Stefan setelah melihat Amora yang berhenti mendadak."Mas, aku boleh ke belakang dulu, ya! Aku soalnya nggak kuat." Amora berusaha untuk menghindar dan bersembunyi.Tanpa pikir panjang, wanita itu langsung pergi dan berjalan dengan cepat. Stefan menjadi kebingungan, ia takut dan khawatir jika terjadi apa-apa dengan Amora."Kenapa dia?" Stefan berniat untuk mengejarnya, tetapi Jovita langsung menghentikan sang suami."Sayang, biarkan saja dia ke toilet. Nanti juga datang lagi. Kita berdua saja di sini."Akhirnya, pria berjanggut tipis tersebut tidak bisa berkutik. Ia harus me
Stefan melihat layar ponsel milik Amora yang menyatakan bahwa terdapat belasan panggilan yang tak terjawab. Ia berniat untuk memeriksanya, tetapi sontak saja terdapat seseorang yang memanggilnya dari pintu kamar."Mas?" Amora yang sudah berdiri di sana menjadi terkejut.Bukan tanpa sebab, Stefan memegang ponsel miliknya. Pastinya akan menimbulkan rasa curiga jika terdapat riwayat telepon."Sayang, di ponsel kamu ada banyak panggilan tak terjawab." Stefan langsung memberikan ponsel hitam itu tanpa merasakan curiga sedikit pun."Iya, Mas. Terima kasih." Amora langsung merebut ponsel itu dengan cepat. Ia tidak ingin jika masalah ponsel itu berkepanjangan."Kenapa kamu nggak lihat dulu siapa yang menelepon?" Sontak saja, Stefan bertanya di luar dugaan.Amora sedikit cemas dan kaget. Entah apa yang harus ia jelaskan kepadanya. Untunglah, wanita itu bisa menjelaskan bahwa telepon tersebut pastinya berasal dari orang tua. Stefan pun mengangguk pelan."Ya, sudah. Kalau begitu, kamu istirahat.
Jovita menatap Amora dengan begitu tajam. Ia menaruh rasa curiga padanya bahwa Amora sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, Amora tetap meyakinkannya bahwa ia tidak menyembunyikan apa pun."Nggak, Nyonya. Saya nggak menyembunyikan apa pun." Amora tambah tegang. Jantungnya berdegup dengan begitu kencang.Jovita berusaha merebut ponsel Amora. Namun, Amora dengan sigap menahannya kembali. Terjadilah kekacauan di kamar itu. Jovita ingin melihat siapa yang berada di dalam ponsel Amora, sedangkan Amora sendiri mempertahankan ponselnya."Jangan, Nyonya! Ini nggak ada apa-apa sama sekali. Jangan begitu, Nyonya!" Amora berteriak."Nggak, lepaskan tangan lo! Gue mau lihat apa yang ada di ponsel lo!" Novita menambahkan tenaga supaya bisa merebut ponsel Amora."Nyonya Jovita!" Tiba-tiba, terdengar suara yang berasal dari luar kamar.Baik Jovita maupun Amora kemudian berpaling. Tampaklah Bi Asih yang memperhatikan mereka berdua dengan tegang. Jovita pun menghentikan aksi merebut ponselnya dan berha
Jovita segera melangkah ke kamar milik Amora setelah menyadari terdapat ponsel yang berdering. Dengan perlahan, ia mulai mendekati ponsel yang berada di atas nakas tersebut.Lama-kelamaan, ponsel itu tidak berdering lagi. Tampaklah nama Delvin sebagai panggilan tidak terjawab. Jovita masih berada di ambang pintu. Niatnya untuk melihat ponsel Amora menjadi urung tatkala dirinya merasa malas ketika mengingat Amora."Untuk apa gue lihat ponsel dia? Gak ada gunanya."Lantas, perempuan berpakaian kurang bahan itu segera pergi dari kamar tersebut. Untunglah, Jovita tidak sempat melihat nama Delvin di layar ponsel Amora. Jika tidak, pasti ia akan merasa curiga terhadap Amora.Di ruang tengah, Stefan dan Amora tengah berduaan. Stefan tak henti-hentinya mengelus perut Amora yang sedang mengandung. Sementara, Amora sendiri masih memikirkan Jovita. Ia tidak enak dengan istri pertama Stefan itu. Reaksinya yang tidak suka membuat semakin tidak betah."Semoga, kamu cepat besar ya, Nak. Nanti, kamu
Amora sungguh terkejut bukan kepalang melihat Jovita yang membuka pintu kamar dengan kasar. Bukan tanpa sebab, perempuan itu menampilkan wajah yang penuh dengan amarah. Apa yang sebenarnya terjadi? Atau, apakah Jovita tahu bahwa Delvin datang dan berteriak pada waktu tadi?"Nyonya Jovita, kenapa Nyonya membuka pintu seperti ini?" tanya Amora dengan waswas."Emangnya kenapa? Nggak boleh, ini rumah gue, ya! Gue berhak berbuat apa pun di rumah ini!" teriak Jovita dengan kasar.Amora menunduk, ia merasa bahwa Jovita sudah tahu tentang kejadian tadi. Mungkin saja penjaga rumah menceritakannya kepada Jovita. Entahlah, bagaimana nasib Amora ke depannya."Gue mau cerita sama, lo."Deg!Amora terbelalak, ia baru saja mendengar pernyataan dari wanita bergaun merah itu. Apa yang sebenarnya ingin diceritakan? Apakah tentang Delvin?"Apa yang akan Nyonya ceritakan kepada saya?" tanya Amora.Jovita mendekat, membuat Amora semakin waspada. Ia khawatir jika perkiraannya benar. Tamatlah riwayat Amora
Pintu kamar terketuk kembali. Amora yang menyadarinya langsung menghampiri dan membuka kunci kamar. Ternyata, terdapat Bi Asih yang sudah berada di ambang pintu kamar sambil membawakan sepiring makanan dan segelas susu untuknya."Maaf, Non. Ini Bibi bawakan makanan dan susu untuk Non. Supaya anak yang berada di kandungan Non bisa sehat," ungkap Bi Asih dengan berseri-seri."Oh ya, Bi. Simpan saja di atas meja itu dulu ya, Bi." Amora menyeka air mata dengan kasar, lalu menunjuk ke sebuah meja di samping tempat tidur.Lantas, Bi Asih menyimpan apa yang dibawanya di atas meja. Lalu, memandang kembali ke majikannya dengan perasaan heran."Non, kenapa Non menangis? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Apakah Nyonya Jovita jahat kepada Non?" tanya Bi Asih berusaha menerka-nerka."Ah, nggak apa-apa kok, Bi. Aku baik-baik saja. Nyonya Jovita nggak jahat juga, kok." Amora berusaha untuk menutupi terkait Delvin kepada siapa pun.Alhasil, Bi Asih berpamitan kembali untuk keluar dari kamar tersebut.
Amora sontak terkejut ketika melihat seseorang yang berada di luar rumah. Bukan tanpa sebab, seseorang yang dilihatnya itu tak lain adalah kekasih lamanya, Delvin. Lelaki itu sepertinya baru saja pulang dari Jepang. Akan tetapi, dari mana ia tahu bahwa Amora berada di rumah itu?"Apakah Delvin sudah tahu kalau aku sudah menikah dengan Mas Stefan?" ujarnya dengan penuh tanda tanya.Sementara, Delvin masih berteriak dari luar. Beberapa penjaga rumah mencoba menghentikannya, tetapi Delvin masih terlihat bersikeras untuk memanggil Amora. Lelaki tersebut ditemani oleh Alex yang merupakan teman masa kecil, sekaligus orang yang menemaninya sewaktu di Jepang."Aku harus turun!"Tanpa pikir panjang, Amora pun memutuskan untuk ke luar rumah. Ia ingin supaya Delvin tidak berada di rumah itu lagi. Bisa gawat nantinya jika istri pertama Stefan yang tak lain adalah Jovita mengetahui hal itu."Amora, keluarlah!" Sementara, Delvin masih berteriak memanggil kekasihnya untuk menagih cinta yang selama i
Amora sedang memuntahkan sesuatu setelah merasa muak sejak berada di kamar tadi. Bi Asih yang memperhatikannya pun ikut berada di belakang karena takut terjadi apa-apa padanya. Sementara, Jovita tidak peduli dengan apa yang terjadi.Setelah merasa lebih baik, Amora bernapas dengan perlahan. Ia melihat wajahnya yang berada di cermin kamar mandi. Wajah yang terlihat putih pucat itu hanya membuatnya semakin bersedih."Non, kalau Bibi sangka, ini tanda-tanda kalau Non sedang hamil.""Apa, hamil?" Amora terkejut, baru saja seminggu menjadi istri Stefan, ia menjadi hamil saja.Memang, ini adalah kabar gembira untuk Stefan yang menantikan keturunan. Namun, hal ini merupakan kabar yang tak diinginkan oleh Amora sendiri. Itu menjadi pertanda bahwa dirinya sudah menjadi milik Stefan seutuhnya."Bibi nggak bercanda, 'kan?" tanya Amora guna memastikan."Iya, Non. Bibi bersungguh-sungguh." Di keesokannya setelah Stefan pulang pada dini hari, ia mendengar cerita dari Bu Asih bahwa sang istri kedua
Stefan mendekati wajahnya terhadap istri barunya itu. Ia sudah tidak sabar lagi untuk merasakan cinta kedua dari kehidupannya. Sementara, Amora dengan cepat menutup mata dengan raut wajah yang ketakutan.Tiba-tiba, Stefan menggenggam kedua lengan atas milik perempuan itu. Amora terkejut, ia merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Amora tidak bisa berkutik, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena sudah sah menjadi istri Stefan."Malam ini, kita akan bersenang-senang," bisik Stefan dengan halus.Kini, pria berkulit putih itu melepaskan baju pernikahannya. Perlahan, ia membuka kancing dari atas. Amora seketika menutup mata kembali. Dirinya tidak ingin melihat dan merasakan sesuatu yang terjadi di malam itu."Tuan, jangan! Jangan lakukan itu!" Amora yang tidak menyangka dengan alur kehidupannya hanya bisa pasrah. Dalam hati, ingin sekali berteriak dan meminta tolong kepada Delvin terkait hal itu.***Pagi telah tiba, Amora membuka mata secara perlahan. Ia merasa lelah, mungk