Amora sedang memuntahkan sesuatu setelah merasa muak sejak berada di kamar tadi. Bi Asih yang memperhatikannya pun ikut berada di belakang karena takut terjadi apa-apa padanya. Sementara, Jovita tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Setelah merasa lebih baik, Amora bernapas dengan perlahan. Ia melihat wajahnya yang berada di cermin kamar mandi. Wajah yang terlihat putih pucat itu hanya membuatnya semakin bersedih."Non, kalau Bibi sangka, ini tanda-tanda kalau Non sedang hamil.""Apa, hamil?" Amora terkejut, baru saja seminggu menjadi istri Stefan, ia menjadi hamil saja.Memang, ini adalah kabar gembira untuk Stefan yang menantikan keturunan. Namun, hal ini merupakan kabar yang tak diinginkan oleh Amora sendiri. Itu menjadi pertanda bahwa dirinya sudah menjadi milik Stefan seutuhnya."Bibi nggak bercanda, 'kan?" tanya Amora guna memastikan."Iya, Non. Bibi bersungguh-sungguh."Di keesokannya setelah Stefan pulang pada dini hari, ia mendengar cerita dari Bu Asih bahwa sang istri kedua merasa mual sejak malam. Stefan merasa senang sambil mengira-ngira bahwa Amora sedang hamil. Maka dari itu, Amora dibawa oleh suaminya ke dokter untuk memeriksanya secara pasti.Ternyata, dugaan mereka selama ini sangatlah benar. Amora sudah hamil dan siap untuk melahirkan keturunan. Lelaki beralis tebal tersebut semakin memperhatikan Amora layaknya sebagai istri sejati."Kamu beneran hamil, Sayang. Terima kasih ya, Sayang. Kamu sudah mewujudkan keinginanku." Stefan mencium kening sang istri dengan penuh kasih sayang.Amora hanya bisa tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah sang suami. Namun, rasa bersalah yang ada pada diri masih hinggap dan tak kunjung hilang. Setelah seminggu menjadi seorang istri dari Stefan, ia teringat dengan Delvin.Semenjak Amora hamil, ia mendapat perlakuan yang menyenangkan dari Stefan. Pria itu bahkan tidak berangkat kerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sang istri. Hal itulah yang membuat Jovita merasa tidak senang. Ia gagal menyingkirkan Amora."Kenapa aku gagal terus, sih? Wanita itu sungguh pintar memikat Stefan sampai lebih perhatian padanya. Aku harus berbuat sesuatu!" ungkap Jovita setelah melihat perhatian Stefan dengan Amora semakin melekat di kamar mereka berdua.***Hari demi hari telah berlalu. Amora semakin senang dengan perhatian Stefan saat ini. Pria itu semakin melayani dan memberi kasih sayang dengan tulus.Jovita sendiri merasa kesal melihatnya. Ia tidak bisa melancarkan aksi karena Stefan selalu berada di rumah. Pria itu selalu menjaga Amora dengan baik."Dasar, wanita miskin! Aku nggak bakal membiarkan hidupmu menjadi bahagia di sini. Lihat saja nanti! Apa yang aku lakukan padamu di kemudian hari. Aku jamin, kamu pasti akan menyesal telah menjadi nyonya di rumah ini!" Jovita menatap dirinya dengan geram di depan cermin kamar.Sementara itu, tampak seorang pemuda bertubuh tinggi tengah berjalan bersama seorang teman berambut ikal. Pemuda tersebut berhenti sesaat setelah sampai di depan sebuah rumah yang begitu sederhana."Ini rumah calon istrimu?" tanya temannya itu."Iya, Lex. Ini rumah calon istriku yang sering kuceritakan dulu. Amora, aku sudah siap menjemputmu. Semoga, kamu masih menungguku."Pemuda tersebut langsung melangkah kembali bersama temannya itu. Ia mencoba untuk mengetuk pintu depan. Tak lama kemudian, tampaklah seorang wanita berkulit sawo matang yang tak lain adalah Rahmi, ibunya Amora."Delvin? Kamu sudah pulang?" ujar Rahmi dengan raut wajah yang terkejut.Ternyata, pemuda itu adalah Delvin. Ya, kekasih Amora yang sudah menjalin hubungan lama selama tiga tahun. Hubungan mereka terpisah dengan jarak. Maka dari itu, Delvin datang untuk menjemput Amora dan melaksanakan pernikahan sesuai rencana dan janji mereka."Selamat siang, Bu. Iya, ini Delvin, Bu. Delvin sudah pulang dari Jepang dan berniat untuk menjemput Amora." Dengan wajah yang berseri, lelaki bertubuh tinggi tersebut menelisik ke dalam rumah dan mencari keberadaan Amora.Rahmi terdiam sesaat, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Apa yang harus ia lakukan setelah itu? Delvin menatap sahabatnya yang berada di samping, lalu kembali menatap wanita di depannya."Bu, bagaimana dengan keadaan Amora? Apakah dia baik-baik saja?" Delvin menekankan ya sekali lagi."Ah ya, Delvin. Amora ...." Rahmi merasa bingung ingin menjawab apa.Hal itu membuatnya semakin terdiam kaku. Ia mencoba menjawab pertanyaan Delvin dengan terbata-bata. Delvin masih tidak mengerti dengan perkataan wanita berumur empat puluhan tersebut.Tiba-tiba, datanglah Rama dari dalam rumah. Melihat Delvin, pria itu pun ikut terkejut. Ia menjadi ingat bahwa hari ini adalah hari yang tepat di mana Delvin akan pulang dari Jepang."Delvin, kamu?""Eh, Pak Rama. Apa kabar, Pak?" Pemuda berkumis tipis tersebut langsung menyalami pria tersebut.Rahmi menjadi lega karena sang suami datang di waktu yang tepat. Jika tidak, ia tidak sanggup menjelaskan terkait yang terjadi sebenarnya."Amora di mana, Pak?" Delvin masih bertanya-tanya terkait keadaan Amora saat ini. Ia pun bercerita bahwa Amora tidak bisa dihubungi semenjak sebulan terakhir. Dirinya bertanya-tanya juga terkait hal itu."Delvin, kamu masuk dulu, ya! Kita jelaskan dan obrolkan di dalam." Akhirnya, Rama mempersilakan Delvin beserta seorang temannya untuk masuk.Di sisi lain, Stefan berpamitan kepada sang istri untuk melakukan rapat mendadak di perusahaannya. Amora pun mengizinkan kepergian sang suami dan berharap pria itu segera pulang. Ia masih takut dengan kekejaman Jovita selama sang suami tidak ada di rumah."Cepat-cepat pulang ya, Mas!" ungkap Amora dengan nada sendu."Iya, Sayang. Aku akan cepat, kok."Lantas, pria itu segera keluar dari rumah besar tersebut. Sementara, Amora memandangnya dari belakang. Entah mengapa ia merasa jika rasa cinta yang diberikan Stefan terhadapnya begitu tulus.Rasa cinta itu sama tulusnya dengan yang diberikan Delvin dulu. Bahkan, Amora semakin sulit untuk membedakan antara rasa cinta sang suami dengan kekasih lamanya."Ah, tidak! Aku harus melupakan Delvin. Aku harus berfokus pada takdirku saat ini. Maafkan aku, Delvin! Aku tidak bisa menunggumu sampai saat ini. Aku benar-benar tidak bisa!" lirihnya ketika pikiran selalu tertuju pada sosok pria yang telah menjadi belahan jiwanya.Amora berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Hanya itulah ruang yang dirasa aman untuk menyendiri dan merenungi segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya. Setelah berada di dalam kamar, ia segera berbaring di kasur."Amora!" Tiba-tiba, terdengar suara seseorang dengan lantang dan keras.Wanita bergaun putih itu segera terbangun. Ia mendengar teriakan yang memanggil namanya selama berkali-kali dari luar. Amora pun memutuskan untuk mengintipnya dari jendela kamar atas. Betapa terkejutnya ia setelah melihat sosok yang berada tepat di depan gerbang."Delvin? Dia sudah pulang?"Amora sontak terkejut ketika melihat seseorang yang berada di luar rumah. Bukan tanpa sebab, seseorang yang dilihatnya itu tak lain adalah kekasih lamanya, Delvin. Lelaki itu sepertinya baru saja pulang dari Jepang. Akan tetapi, dari mana ia tahu bahwa Amora berada di rumah itu?"Apakah Delvin sudah tahu kalau aku sudah menikah dengan Mas Stefan?" ujarnya dengan penuh tanda tanya.Sementara, Delvin masih berteriak dari luar. Beberapa penjaga rumah mencoba menghentikannya, tetapi Delvin masih terlihat bersikeras untuk memanggil Amora. Lelaki tersebut ditemani oleh Alex yang merupakan teman masa kecil, sekaligus orang yang menemaninya sewaktu di Jepang."Aku harus turun!"Tanpa pikir panjang, Amora pun memutuskan untuk ke luar rumah. Ia ingin supaya Delvin tidak berada di rumah itu lagi. Bisa gawat nantinya jika istri pertama Stefan yang tak lain adalah Jovita mengetahui hal itu."Amora, keluarlah!" Sementara, Delvin masih berteriak memanggil kekasihnya untuk menagih cinta yang selama i
Pintu kamar terketuk kembali. Amora yang menyadarinya langsung menghampiri dan membuka kunci kamar. Ternyata, terdapat Bi Asih yang sudah berada di ambang pintu kamar sambil membawakan sepiring makanan dan segelas susu untuknya."Maaf, Non. Ini Bibi bawakan makanan dan susu untuk Non. Supaya anak yang berada di kandungan Non bisa sehat," ungkap Bi Asih dengan berseri-seri."Oh ya, Bi. Simpan saja di atas meja itu dulu ya, Bi." Amora menyeka air mata dengan kasar, lalu menunjuk ke sebuah meja di samping tempat tidur.Lantas, Bi Asih menyimpan apa yang dibawanya di atas meja. Lalu, memandang kembali ke majikannya dengan perasaan heran."Non, kenapa Non menangis? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Apakah Nyonya Jovita jahat kepada Non?" tanya Bi Asih berusaha menerka-nerka."Ah, nggak apa-apa kok, Bi. Aku baik-baik saja. Nyonya Jovita nggak jahat juga, kok." Amora berusaha untuk menutupi terkait Delvin kepada siapa pun.Alhasil, Bi Asih berpamitan kembali untuk keluar dari kamar tersebut.
Amora sungguh terkejut bukan kepalang melihat Jovita yang membuka pintu kamar dengan kasar. Bukan tanpa sebab, perempuan itu menampilkan wajah yang penuh dengan amarah. Apa yang sebenarnya terjadi? Atau, apakah Jovita tahu bahwa Delvin datang dan berteriak pada waktu tadi?"Nyonya Jovita, kenapa Nyonya membuka pintu seperti ini?" tanya Amora dengan waswas."Emangnya kenapa? Nggak boleh, ini rumah gue, ya! Gue berhak berbuat apa pun di rumah ini!" teriak Jovita dengan kasar.Amora menunduk, ia merasa bahwa Jovita sudah tahu tentang kejadian tadi. Mungkin saja penjaga rumah menceritakannya kepada Jovita. Entahlah, bagaimana nasib Amora ke depannya."Gue mau cerita sama, lo."Deg!Amora terbelalak, ia baru saja mendengar pernyataan dari wanita bergaun merah itu. Apa yang sebenarnya ingin diceritakan? Apakah tentang Delvin?"Apa yang akan Nyonya ceritakan kepada saya?" tanya Amora.Jovita mendekat, membuat Amora semakin waspada. Ia khawatir jika perkiraannya benar. Tamatlah riwayat Amora
Jovita segera melangkah ke kamar milik Amora setelah menyadari terdapat ponsel yang berdering. Dengan perlahan, ia mulai mendekati ponsel yang berada di atas nakas tersebut.Lama-kelamaan, ponsel itu tidak berdering lagi. Tampaklah nama Delvin sebagai panggilan tidak terjawab. Jovita masih berada di ambang pintu. Niatnya untuk melihat ponsel Amora menjadi urung tatkala dirinya merasa malas ketika mengingat Amora."Untuk apa gue lihat ponsel dia? Gak ada gunanya."Lantas, perempuan berpakaian kurang bahan itu segera pergi dari kamar tersebut. Untunglah, Jovita tidak sempat melihat nama Delvin di layar ponsel Amora. Jika tidak, pasti ia akan merasa curiga terhadap Amora.Di ruang tengah, Stefan dan Amora tengah berduaan. Stefan tak henti-hentinya mengelus perut Amora yang sedang mengandung. Sementara, Amora sendiri masih memikirkan Jovita. Ia tidak enak dengan istri pertama Stefan itu. Reaksinya yang tidak suka membuat semakin tidak betah."Semoga, kamu cepat besar ya, Nak. Nanti, kamu
Jovita menatap Amora dengan begitu tajam. Ia menaruh rasa curiga padanya bahwa Amora sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, Amora tetap meyakinkannya bahwa ia tidak menyembunyikan apa pun."Nggak, Nyonya. Saya nggak menyembunyikan apa pun." Amora tambah tegang. Jantungnya berdegup dengan begitu kencang.Jovita berusaha merebut ponsel Amora. Namun, Amora dengan sigap menahannya kembali. Terjadilah kekacauan di kamar itu. Jovita ingin melihat siapa yang berada di dalam ponsel Amora, sedangkan Amora sendiri mempertahankan ponselnya."Jangan, Nyonya! Ini nggak ada apa-apa sama sekali. Jangan begitu, Nyonya!" Amora berteriak."Nggak, lepaskan tangan lo! Gue mau lihat apa yang ada di ponsel lo!" Novita menambahkan tenaga supaya bisa merebut ponsel Amora."Nyonya Jovita!" Tiba-tiba, terdengar suara yang berasal dari luar kamar.Baik Jovita maupun Amora kemudian berpaling. Tampaklah Bi Asih yang memperhatikan mereka berdua dengan tegang. Jovita pun menghentikan aksi merebut ponselnya dan berha
Stefan melihat layar ponsel milik Amora yang menyatakan bahwa terdapat belasan panggilan yang tak terjawab. Ia berniat untuk memeriksanya, tetapi sontak saja terdapat seseorang yang memanggilnya dari pintu kamar."Mas?" Amora yang sudah berdiri di sana menjadi terkejut.Bukan tanpa sebab, Stefan memegang ponsel miliknya. Pastinya akan menimbulkan rasa curiga jika terdapat riwayat telepon."Sayang, di ponsel kamu ada banyak panggilan tak terjawab." Stefan langsung memberikan ponsel hitam itu tanpa merasakan curiga sedikit pun."Iya, Mas. Terima kasih." Amora langsung merebut ponsel itu dengan cepat. Ia tidak ingin jika masalah ponsel itu berkepanjangan."Kenapa kamu nggak lihat dulu siapa yang menelepon?" Sontak saja, Stefan bertanya di luar dugaan.Amora sedikit cemas dan kaget. Entah apa yang harus ia jelaskan kepadanya. Untunglah, wanita itu bisa menjelaskan bahwa telepon tersebut pastinya berasal dari orang tua. Stefan pun mengangguk pelan."Ya, sudah. Kalau begitu, kamu istirahat.
Amora terkejut setelah melihat Delvin yang berada di mal tersebut. Lelaki itu tampak bersama Alex yang merupakan teman akrabnya. Namun, sedang apa mereka berdua berada di tempat itu?Sejak saat itu, Amora menjadi panik. Ia harus mencari cara supaya dirinya bisa bersembunyi dan tidak terlihat oleh Delvin. Bisa gawat nantinya jika Stefan tahu bahwa Delvin adalah kekasih lamanya."Kamu kenapa, Sayang? Ada apa?" tanya Stefan setelah melihat Amora yang berhenti mendadak."Mas, aku boleh ke belakang dulu, ya! Aku soalnya nggak kuat." Amora berusaha untuk menghindar dan bersembunyi.Tanpa pikir panjang, wanita itu langsung pergi dan berjalan dengan cepat. Stefan menjadi kebingungan, ia takut dan khawatir jika terjadi apa-apa dengan Amora."Kenapa dia?" Stefan berniat untuk mengejarnya, tetapi Jovita langsung menghentikan sang suami."Sayang, biarkan saja dia ke toilet. Nanti juga datang lagi. Kita berdua saja di sini."Akhirnya, pria berjanggut tipis tersebut tidak bisa berkutik. Ia harus me
Seorang gadis sedang berjalan di trotoar jalan yang sedikit ramai. Ia menelisik ke segala arah dengan raut wajah yang netral. Tiba-tiba saja, ponselnya berdering dengan nyaring di dalam tas merah miliknya."Halo, ada apa, Bu?" perempuan berambut panjang itu segera mengangkat telepon dari sang ibu."Amora, kamu cepat pulang! Ibu dan Ayah sedang dalam masalah besar!""Apa? Sebentar lagi Amora akan ke sana ya, Bu!"Dengan raut wajah yang cemas, gadis itu langsung mempercepat langkahnya menuju rumah. Ia tak acuh dengan reaksi orang-orang yang menatap heran. Yang ada di pikirannya saat ini adalah masalah yang seketika muncul dari sang ibu.Namun, sontak saja terdapat sebuah mobil sedan hitam yang melaju dengan kencang. Mobil itu tidak sengaja melintasi genangan air yang becek. Alhasil, genangan air itu menyembur ke gaun berwarna putih milik gadis yang bernama Amora itu."Hei! Kalau berkendara lihat-lihat sekeliling, dong!" Amora menatap ke arah mobil tersebut dan melirik kembali ke gaunnya
Amora terkejut setelah melihat Delvin yang berada di mal tersebut. Lelaki itu tampak bersama Alex yang merupakan teman akrabnya. Namun, sedang apa mereka berdua berada di tempat itu?Sejak saat itu, Amora menjadi panik. Ia harus mencari cara supaya dirinya bisa bersembunyi dan tidak terlihat oleh Delvin. Bisa gawat nantinya jika Stefan tahu bahwa Delvin adalah kekasih lamanya."Kamu kenapa, Sayang? Ada apa?" tanya Stefan setelah melihat Amora yang berhenti mendadak."Mas, aku boleh ke belakang dulu, ya! Aku soalnya nggak kuat." Amora berusaha untuk menghindar dan bersembunyi.Tanpa pikir panjang, wanita itu langsung pergi dan berjalan dengan cepat. Stefan menjadi kebingungan, ia takut dan khawatir jika terjadi apa-apa dengan Amora."Kenapa dia?" Stefan berniat untuk mengejarnya, tetapi Jovita langsung menghentikan sang suami."Sayang, biarkan saja dia ke toilet. Nanti juga datang lagi. Kita berdua saja di sini."Akhirnya, pria berjanggut tipis tersebut tidak bisa berkutik. Ia harus me
Stefan melihat layar ponsel milik Amora yang menyatakan bahwa terdapat belasan panggilan yang tak terjawab. Ia berniat untuk memeriksanya, tetapi sontak saja terdapat seseorang yang memanggilnya dari pintu kamar."Mas?" Amora yang sudah berdiri di sana menjadi terkejut.Bukan tanpa sebab, Stefan memegang ponsel miliknya. Pastinya akan menimbulkan rasa curiga jika terdapat riwayat telepon."Sayang, di ponsel kamu ada banyak panggilan tak terjawab." Stefan langsung memberikan ponsel hitam itu tanpa merasakan curiga sedikit pun."Iya, Mas. Terima kasih." Amora langsung merebut ponsel itu dengan cepat. Ia tidak ingin jika masalah ponsel itu berkepanjangan."Kenapa kamu nggak lihat dulu siapa yang menelepon?" Sontak saja, Stefan bertanya di luar dugaan.Amora sedikit cemas dan kaget. Entah apa yang harus ia jelaskan kepadanya. Untunglah, wanita itu bisa menjelaskan bahwa telepon tersebut pastinya berasal dari orang tua. Stefan pun mengangguk pelan."Ya, sudah. Kalau begitu, kamu istirahat.
Jovita menatap Amora dengan begitu tajam. Ia menaruh rasa curiga padanya bahwa Amora sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, Amora tetap meyakinkannya bahwa ia tidak menyembunyikan apa pun."Nggak, Nyonya. Saya nggak menyembunyikan apa pun." Amora tambah tegang. Jantungnya berdegup dengan begitu kencang.Jovita berusaha merebut ponsel Amora. Namun, Amora dengan sigap menahannya kembali. Terjadilah kekacauan di kamar itu. Jovita ingin melihat siapa yang berada di dalam ponsel Amora, sedangkan Amora sendiri mempertahankan ponselnya."Jangan, Nyonya! Ini nggak ada apa-apa sama sekali. Jangan begitu, Nyonya!" Amora berteriak."Nggak, lepaskan tangan lo! Gue mau lihat apa yang ada di ponsel lo!" Novita menambahkan tenaga supaya bisa merebut ponsel Amora."Nyonya Jovita!" Tiba-tiba, terdengar suara yang berasal dari luar kamar.Baik Jovita maupun Amora kemudian berpaling. Tampaklah Bi Asih yang memperhatikan mereka berdua dengan tegang. Jovita pun menghentikan aksi merebut ponselnya dan berha
Jovita segera melangkah ke kamar milik Amora setelah menyadari terdapat ponsel yang berdering. Dengan perlahan, ia mulai mendekati ponsel yang berada di atas nakas tersebut.Lama-kelamaan, ponsel itu tidak berdering lagi. Tampaklah nama Delvin sebagai panggilan tidak terjawab. Jovita masih berada di ambang pintu. Niatnya untuk melihat ponsel Amora menjadi urung tatkala dirinya merasa malas ketika mengingat Amora."Untuk apa gue lihat ponsel dia? Gak ada gunanya."Lantas, perempuan berpakaian kurang bahan itu segera pergi dari kamar tersebut. Untunglah, Jovita tidak sempat melihat nama Delvin di layar ponsel Amora. Jika tidak, pasti ia akan merasa curiga terhadap Amora.Di ruang tengah, Stefan dan Amora tengah berduaan. Stefan tak henti-hentinya mengelus perut Amora yang sedang mengandung. Sementara, Amora sendiri masih memikirkan Jovita. Ia tidak enak dengan istri pertama Stefan itu. Reaksinya yang tidak suka membuat semakin tidak betah."Semoga, kamu cepat besar ya, Nak. Nanti, kamu
Amora sungguh terkejut bukan kepalang melihat Jovita yang membuka pintu kamar dengan kasar. Bukan tanpa sebab, perempuan itu menampilkan wajah yang penuh dengan amarah. Apa yang sebenarnya terjadi? Atau, apakah Jovita tahu bahwa Delvin datang dan berteriak pada waktu tadi?"Nyonya Jovita, kenapa Nyonya membuka pintu seperti ini?" tanya Amora dengan waswas."Emangnya kenapa? Nggak boleh, ini rumah gue, ya! Gue berhak berbuat apa pun di rumah ini!" teriak Jovita dengan kasar.Amora menunduk, ia merasa bahwa Jovita sudah tahu tentang kejadian tadi. Mungkin saja penjaga rumah menceritakannya kepada Jovita. Entahlah, bagaimana nasib Amora ke depannya."Gue mau cerita sama, lo."Deg!Amora terbelalak, ia baru saja mendengar pernyataan dari wanita bergaun merah itu. Apa yang sebenarnya ingin diceritakan? Apakah tentang Delvin?"Apa yang akan Nyonya ceritakan kepada saya?" tanya Amora.Jovita mendekat, membuat Amora semakin waspada. Ia khawatir jika perkiraannya benar. Tamatlah riwayat Amora
Pintu kamar terketuk kembali. Amora yang menyadarinya langsung menghampiri dan membuka kunci kamar. Ternyata, terdapat Bi Asih yang sudah berada di ambang pintu kamar sambil membawakan sepiring makanan dan segelas susu untuknya."Maaf, Non. Ini Bibi bawakan makanan dan susu untuk Non. Supaya anak yang berada di kandungan Non bisa sehat," ungkap Bi Asih dengan berseri-seri."Oh ya, Bi. Simpan saja di atas meja itu dulu ya, Bi." Amora menyeka air mata dengan kasar, lalu menunjuk ke sebuah meja di samping tempat tidur.Lantas, Bi Asih menyimpan apa yang dibawanya di atas meja. Lalu, memandang kembali ke majikannya dengan perasaan heran."Non, kenapa Non menangis? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Apakah Nyonya Jovita jahat kepada Non?" tanya Bi Asih berusaha menerka-nerka."Ah, nggak apa-apa kok, Bi. Aku baik-baik saja. Nyonya Jovita nggak jahat juga, kok." Amora berusaha untuk menutupi terkait Delvin kepada siapa pun.Alhasil, Bi Asih berpamitan kembali untuk keluar dari kamar tersebut.
Amora sontak terkejut ketika melihat seseorang yang berada di luar rumah. Bukan tanpa sebab, seseorang yang dilihatnya itu tak lain adalah kekasih lamanya, Delvin. Lelaki itu sepertinya baru saja pulang dari Jepang. Akan tetapi, dari mana ia tahu bahwa Amora berada di rumah itu?"Apakah Delvin sudah tahu kalau aku sudah menikah dengan Mas Stefan?" ujarnya dengan penuh tanda tanya.Sementara, Delvin masih berteriak dari luar. Beberapa penjaga rumah mencoba menghentikannya, tetapi Delvin masih terlihat bersikeras untuk memanggil Amora. Lelaki tersebut ditemani oleh Alex yang merupakan teman masa kecil, sekaligus orang yang menemaninya sewaktu di Jepang."Aku harus turun!"Tanpa pikir panjang, Amora pun memutuskan untuk ke luar rumah. Ia ingin supaya Delvin tidak berada di rumah itu lagi. Bisa gawat nantinya jika istri pertama Stefan yang tak lain adalah Jovita mengetahui hal itu."Amora, keluarlah!" Sementara, Delvin masih berteriak memanggil kekasihnya untuk menagih cinta yang selama i
Amora sedang memuntahkan sesuatu setelah merasa muak sejak berada di kamar tadi. Bi Asih yang memperhatikannya pun ikut berada di belakang karena takut terjadi apa-apa padanya. Sementara, Jovita tidak peduli dengan apa yang terjadi.Setelah merasa lebih baik, Amora bernapas dengan perlahan. Ia melihat wajahnya yang berada di cermin kamar mandi. Wajah yang terlihat putih pucat itu hanya membuatnya semakin bersedih."Non, kalau Bibi sangka, ini tanda-tanda kalau Non sedang hamil.""Apa, hamil?" Amora terkejut, baru saja seminggu menjadi istri Stefan, ia menjadi hamil saja.Memang, ini adalah kabar gembira untuk Stefan yang menantikan keturunan. Namun, hal ini merupakan kabar yang tak diinginkan oleh Amora sendiri. Itu menjadi pertanda bahwa dirinya sudah menjadi milik Stefan seutuhnya."Bibi nggak bercanda, 'kan?" tanya Amora guna memastikan."Iya, Non. Bibi bersungguh-sungguh." Di keesokannya setelah Stefan pulang pada dini hari, ia mendengar cerita dari Bu Asih bahwa sang istri kedua
Stefan mendekati wajahnya terhadap istri barunya itu. Ia sudah tidak sabar lagi untuk merasakan cinta kedua dari kehidupannya. Sementara, Amora dengan cepat menutup mata dengan raut wajah yang ketakutan.Tiba-tiba, Stefan menggenggam kedua lengan atas milik perempuan itu. Amora terkejut, ia merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Amora tidak bisa berkutik, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena sudah sah menjadi istri Stefan."Malam ini, kita akan bersenang-senang," bisik Stefan dengan halus.Kini, pria berkulit putih itu melepaskan baju pernikahannya. Perlahan, ia membuka kancing dari atas. Amora seketika menutup mata kembali. Dirinya tidak ingin melihat dan merasakan sesuatu yang terjadi di malam itu."Tuan, jangan! Jangan lakukan itu!" Amora yang tidak menyangka dengan alur kehidupannya hanya bisa pasrah. Dalam hati, ingin sekali berteriak dan meminta tolong kepada Delvin terkait hal itu.***Pagi telah tiba, Amora membuka mata secara perlahan. Ia merasa lelah, mungk