"Berhenti!"
"Siapa kalian?"
Adara berteriak dengan sekuat tenaga ketika menyaksikkan tindak kejahatan di depannya.
"Gadis kecil, jangan ikut campur urusan orang dewasa pergi sana," sergah lelaki yang menempelkan pisau ke perut lelaki di sampingnya.
Satu lelaki lagi segera berlari ke arah Adara. Ia memegang tangan gadis bermata bulat itu.
Bola mata Adara berputar. Keningnya mengernyit. Ia sedang serius mencari cara untuk melepaskan diri dari kedua lelaki di hadapannya.
"Tolooong." Adara berteriak meminta tolong dengan kencang.
"Diam," desis lelaki dengan tato di lengan kirinya itu.
Lelaki itu segera membekap mulut Adara. Tak ada lagi jeritan minta tolong yang terdengar.
Antony yang sedari tadi hanya diam. Menoleh dan menatap lelaki yang menempelkan pisau di perutnya. Tatapan tajamnya sedang menganalisa jarak dan kecepatan tangannya sendiri. Ia segera berbalik memegang tangan si lelaki. Pisau terjatuh.
Dengan gerak cepat Antony membalikkan posisi. Lelaki penjambret tadi jatuh di tanah. Kakinya menginjak lelaki itu.
Tatapan dinginnya mengarah pada lelaki yang membekap mulut Adara, "Lepaskan gadis itu?"
"Tidak akan. Sebelum kamu menyerahkan barang berhargamu."
"Kamu tak pantas mendapatkan apa pun bede*ah!"
Antony menginjak dengan keras lelaki di bawah sepatunya sekali lagi.
"Arghhh …." Lelaki itu berteriak keras. Terdengar suara patahan. Tulang punggung lelaki itu mungkin patah. Ia menggeliat kesakitan memegangi punggungnya.
Antony menatap lelaki di bawahnya dengan dingin. Memastikan ia takkan bergerak lagi.
"Lepaskan gadis itu dan cepat pergi!"
Antony berjalan mendekat ke arah lelaki bertato. Lelaki dengan tato di tangan kirinya itu mulai terlihat takut.
Antony memberi kode pada Adara. Adara mengangguk perlahan.
"Jangan mendekat. Berhenti di sana!"
Tak mendengarkan perintah si lelaki Antony maju dan meninju perutnya. Adara bergerak ke samping menyingkir.
Kedua lelaki tadi bukan tandingan Antony. Tubuhnya lebih tegap dan kuat. Sedangkan kedua lelaki tadi paruh baya dan gemuk. Jelas tak segesit Antony.
Kedua lelaki itu lari ketakutan. Target penjambretan mereka kali ini lebih kuat. Mereka kalah telak. Keduanya segera menaiki motor mereka dan kabur.
Adara menatap punggung bidang Antony. Saat membalikkan badan tak sengaja Antony yang setengah mabuk menginjak batu dan terpeleset. Ia limbung dan jatuh, kepalanya terbentur aspal.
"Hey, hey, bangunlah." Adara berteriak pada lelaki yang berada di atas tanah. Ia segera berjongkok, berusaha membangunkannya. Dipukulnya pelan pipi lelaki itu beberapa kali.
"Aduh bagaimana ini?"
Adara segera menyeret tubuh Antony masuk ke dalam mobil. Untungnya mobil itu tak terkunci.
"Badanmu berat sekali!" Adara berusaha mengangkat tubuh Antony masuk ke dalam mobil ia membaringkan Antony di kursi belakang, kakinya terjulur ke luar mobil.
Adara melirik jam di pergelangan tangannya. Sebenarnya hari ini ia akan kabur menaiki kereta pergi ke kota. Tak disangka malah bertemu penjambret yang akan melukai seorang lelaki tadi.
Adara diburu waktu untuk segera sampai ke stasiun kereta. Namun, nuraninya tak tega melihat seseorang dikeroyok di depan matanya.
Adara memutuskan untuk menemani lelaki tadi. Ia masuk ke dalam mobil dari pintu satunya. Meletakkan kepala Antony di pahanya.
Remang penerangan jalan yang masuk ke dalam mobil itu membuat pantulan wajah Antony terlihat samar dan mengagumkan. Garis wajahnya yang tegas dengan kedua alis tebal dan mata tajam. Hidung mancung dan bentuk tubuh proporsional. Adara mengamati lelaki yang tertidur di pangkuannya.
Tak berapa lama Antony terbangun. Ia mengerjap dan menatap perempuan yang memangku kepalanya, "Siapa kamu?"
"Kamu sudah sadar?" Adara tersenyum menatap Antony yang baru siuman. Bau alkohol terhidu di indera penciumannya. Jadi ia mengibaskan tangannya beberapa kali agar bau alkohol hilang.
"Jam berapa sekarang?" Antony melirik sekilas ke arah kaca jendela mobil. Malam semakin gelap, tak ada suara lalu lalang kendaraan. Sepi.
Adara mengangkat pergelangan tangannya, menatap jarum pendek pada jam. "Sekarang sudah jam sebelas malam."
"Jam sebelas malam?" Antony mengulangi perkataan Adara.
Ia sudah beberapa hari ini tak bisa tidur saat malam. Ini kali pertama ia tidur dengan sangat nyaman dan lama.
"Apa yang terjadi tadi? Kau, untuk apa seorang gadis muda sepertimu di luar rumah selarut ini?" tanya Antony.
Adara terdiam sesaat. Ia melihat ke arah luar jendela, "Aku akan pergi ke stasiun kereta. Namun, sepertinya …."
"Hei sampai kapan kamu mau tidur di pangkuanku?" Adara baru sadar jika lelaki itu sudah sadar dan baik-baik saja, tetapi masih berada di pangkuannya.
"Bukankah kamu yang menempatkanku di pangkuanmu? Mana mungkin aku yang memaksamu, hah!" Setelah berkata Antony mengangkat kepalanya. Ia duduk di samping Adara kemudian.
"Aku akan mengantarmu pulang."
"Tidak aku tidak ingin pulang," teriak Adara.
Antony segera keluar dari mobilnya. Mengunci pintu dan memutar di bagian depan, lalu duduk di belakang kursi kemudi.
"Hey, aku bilang tak mau pulang. Aku mau pergi."
"Untuk apa seorang gadis kecil sepertimu bepergian di jam seperti in? Apa kamu tidak takut diculik atau diperkosa lelaki kurang ajar di jalanan ini, hah?"
"Itu bukan urusanmu. Cepat buka mobilnya!" Adara memelotot pada Antony. Namun, lelaki di balik kemudi mobil itu lebih keras kepala dari Adara. Tak menyetujui permintaannya.
"Dimana alamatmu?" tanya Antony kemudian.
"Tidak. Aku tidak mau pulang!"
"Baiklah aku akan mengantarkanmu ke kantor polisi terdekat kalau begitu."
Adara berpikir jika ia dibawa ke kantor polisi urusan melarikan diri akan jadi panjang. Orang tua bahkan kakak-kakaknya akan memarahinya habis-habisan.
"Tidak." Adara segera menolak, "Baiklah antarkan aku pulang sekarang."
"Bagus, anak baik!"
Mobil Rolls Royce Phantom kembali melaju. Mengikuti arahan dari Adara, menyusuri jalan kembali ke rumahnya.
Sekitar tiga puluh lima menit kemudian mobil sudah memasuki halaman sebuah rumah.
"Sudah sampai di sini saja." Adara meminta Antony berhenti di gerbang masuk halaman rumahnya.
Ia membuka pintu mobil. Kembali menggendong ransel di punggungnya. Berjalan turun dan mengendap-endap menuju pintu dapur.
"Gadis aneh!" Antony melajukan mobilnya kembali. Menyalakan GPS di ponselnya untuk menemukan dimana dia berada juga jalan pulang ke kediaman Ibrahim.
Sementara itu, Adara terpaksa kembali ke rumahnya. Ia masuk lewat pintu dapur.
Ceklek!
Lampu dapur menyala.
Hartanto menatap Adara dengan tajam, "Dari mana saja kamu?"
"A-aku …."
"Jangan coba mempermalukan kami dengan kabur dari acara pernikahanmu. Besok orang suruhan keluarga Ibrahim akan menjemputmu. Berani-beraninya kamu kabur?"
"Ayah. Adara belum ingin menikah. Kenapa kalian semua memaksakan kehendak? Kenapa bukan kak Almira, atau ibu saja sana yang menikah dengan lelaki kaya itu."
"Tidak ada tapi, cepat kembali ke kamarmu!"
Hartanto menyeret Adara menuju kamarnya. Ia mendorong anak ketiganya hingga hampir menabrak ranjang.
"Ayah …." Adara berteriak menolak.
Brukgh!
Pintu kamar Adara ditutup dengan paksa. Terdengar dua kali bunyi putaran kunci.
"Tidakkk!"
Bagaimana nasib Adara sekarang? Ia gagal melarikan diri. Sementara, besok hari penjemputannya.
***Terpaksa Menikahi Tuan Muda***
Bersambung ….
"Diam dan renungkan kesalahanmu." Hartanto mendorong Adara masuk ke kamarnya. Ia menguncinya dari luar."Ayah, kenapa tega sama Adara?" Adara berteriak, ia menggedor pintu kamarnya.Hartanto termenung di depan kamar sang putri ketiga sejenak. Ada rasa tak tega menumbalkan sang anak demi uang. Muncul Siti Aminah, memegang pundak sang suami."Tenanglah, semua akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Tak usah mengkhawatirkan Adara. Ia akan hidup senang setelah ini."Siti Aminah tersenyum ke arah Hartanto. Mereka berjalan ke kemar tidurnya. Jarum pendek jam di dinding sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Waktu yang cukup larut untuk keluarga itu.Setelah semua yang terjadi. Adara tak lagi menangis. Hatinya lebih kuat d
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak kedua atau kakak pertama saja?Adara Aurelia kurnia, memelotot. Urat halus timbul di wajah putihnya. Dalam raut marah wajahnya terlihat merah padam."Kakak pertamamu sudah punya pacar dan akan menikah sebentar lagi. Sementara kakak keduamu masih kuliah. Ibu mohon, mengalahlah untuk sekali ini saja," pinta Siti Aminah."Nggak," ucap Adara. Ia menggelengkan kepala perlahan. Matanya memerah, sudut matanya mulai basah, "Adara baru delapan belas tahun. Ijazah SMA aja belum jadi. Lagi pula, Adara gak mau menikah dengan orang yang tidak Adara kenal," bantah gadis muda berambut panjang itu.Siti Aminah menatap anak ketiganya penuh harap, "Jika bukan kamu, k
Hartanto, Siti Aminah, Almira dan Siska saling pandang. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu."Sudahlah Adara, jangan menolak lagi. Jangan berdebat dengan orang tua, sebagai anak yang berbakti kamu harus menurut, apa kamu mau berdosa?!" Almira menyibakkan rambut kecokelatannya."Ngaaak! Aku gak mau."Adara berlari keluar dari rumahnya. Sedih dan kesal membuatnya lupa memakai sandal. Ia berlari tanpa alas kaki."Keterlaluan. Kenapa harus selalu aku? Kenapa sikap mereka selalu berbeda jika padaku? Sebenarnya aku ini anak mereka bukan, sih?""Aku akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Agar mereka tak menemukanku."Adara menggerutu seorang diri sambil terus berlari. Sesekali ia mengernyit
Hartanto keluar dari kamarnya, segera menuju ruang tamu. Bola matanya membesar menatap Julio Pratama, "Kamu siapa?""Dia selingkuhan Adara, Yah."Pemikiran Siti Aminah sungguh picik. Ia berpikir jika Adara sengaja mencari pria lain untuk menghindari pernikahannya."Tidak, Bu. Bukan seperti itu." Adara berusaha menjelaskan. Tangannya meraih rambut panjang yang ditarik paksa ibunya, "Lepaskan Bu, sakit."Adara memelas meminta sang ibu melepaskan jambakan rambutnya. Sementara sang ibu seperti kesetanan terus menarik rambut Adara."Tolong hentikan, akan saya jelaskan." Julio Pratama mendekat ke arah Siti Aminah dan Adara.Melihat Adara dan Julio Pratama terlihat dekat Hartanto b
Mobil rolls Royce Phantom baru saja terparkir. Seorang lelaki memakai setelan hitam dengan wajah pucat turun dari mobil.Tubuhnya yang tinggi dengan cepat sampai ke dalam klub dalam beberapa langkah. Saat membuka pintu, semua tatapan tertuju pada Antony."Selamat datang Tuan Muda," sapa seorang pekerja. Ia tersenyum dengan genit pada Antony.Sudut mata Antony hanya meliriknya. Terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan pelayan tadi.Aura ketampanan dan dingin terpancar dari sosok Antony. Dia terlihat kejam dan membunuh hanya dengan menatap lawan bicaranya.Antony terus masuk dan menuju sebuah ruangan bertuliskan VVIP di atasnya. Itulah ruangan yang biasa ia gunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya.
"Diam dan renungkan kesalahanmu." Hartanto mendorong Adara masuk ke kamarnya. Ia menguncinya dari luar."Ayah, kenapa tega sama Adara?" Adara berteriak, ia menggedor pintu kamarnya.Hartanto termenung di depan kamar sang putri ketiga sejenak. Ada rasa tak tega menumbalkan sang anak demi uang. Muncul Siti Aminah, memegang pundak sang suami."Tenanglah, semua akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Tak usah mengkhawatirkan Adara. Ia akan hidup senang setelah ini."Siti Aminah tersenyum ke arah Hartanto. Mereka berjalan ke kemar tidurnya. Jarum pendek jam di dinding sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Waktu yang cukup larut untuk keluarga itu.Setelah semua yang terjadi. Adara tak lagi menangis. Hatinya lebih kuat d
"Berhenti!""Siapa kalian?"Adara berteriak dengan sekuat tenaga ketika menyaksikkan tindak kejahatan di depannya."Gadis kecil, jangan ikut campur urusan orang dewasa pergi sana," sergah lelaki yang menempelkan pisau ke perut lelaki di sampingnya.Satu lelaki lagi segera berlari ke arah Adara. Ia memegang tangan gadis bermata bulat itu.Bola mata Adara berputar. Keningnya mengernyit. Ia sedang serius mencari cara untuk melepaskan diri dari kedua lelaki di hadapannya."Tolooong." Adara berteriak meminta tolong dengan kencang."Diam," desis lelaki dengan tato di lengan kirinya itu.Lel
Mobil rolls Royce Phantom baru saja terparkir. Seorang lelaki memakai setelan hitam dengan wajah pucat turun dari mobil.Tubuhnya yang tinggi dengan cepat sampai ke dalam klub dalam beberapa langkah. Saat membuka pintu, semua tatapan tertuju pada Antony."Selamat datang Tuan Muda," sapa seorang pekerja. Ia tersenyum dengan genit pada Antony.Sudut mata Antony hanya meliriknya. Terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan pelayan tadi.Aura ketampanan dan dingin terpancar dari sosok Antony. Dia terlihat kejam dan membunuh hanya dengan menatap lawan bicaranya.Antony terus masuk dan menuju sebuah ruangan bertuliskan VVIP di atasnya. Itulah ruangan yang biasa ia gunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya.
Hartanto keluar dari kamarnya, segera menuju ruang tamu. Bola matanya membesar menatap Julio Pratama, "Kamu siapa?""Dia selingkuhan Adara, Yah."Pemikiran Siti Aminah sungguh picik. Ia berpikir jika Adara sengaja mencari pria lain untuk menghindari pernikahannya."Tidak, Bu. Bukan seperti itu." Adara berusaha menjelaskan. Tangannya meraih rambut panjang yang ditarik paksa ibunya, "Lepaskan Bu, sakit."Adara memelas meminta sang ibu melepaskan jambakan rambutnya. Sementara sang ibu seperti kesetanan terus menarik rambut Adara."Tolong hentikan, akan saya jelaskan." Julio Pratama mendekat ke arah Siti Aminah dan Adara.Melihat Adara dan Julio Pratama terlihat dekat Hartanto b
Hartanto, Siti Aminah, Almira dan Siska saling pandang. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu."Sudahlah Adara, jangan menolak lagi. Jangan berdebat dengan orang tua, sebagai anak yang berbakti kamu harus menurut, apa kamu mau berdosa?!" Almira menyibakkan rambut kecokelatannya."Ngaaak! Aku gak mau."Adara berlari keluar dari rumahnya. Sedih dan kesal membuatnya lupa memakai sandal. Ia berlari tanpa alas kaki."Keterlaluan. Kenapa harus selalu aku? Kenapa sikap mereka selalu berbeda jika padaku? Sebenarnya aku ini anak mereka bukan, sih?""Aku akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Agar mereka tak menemukanku."Adara menggerutu seorang diri sambil terus berlari. Sesekali ia mengernyit
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak kedua atau kakak pertama saja?Adara Aurelia kurnia, memelotot. Urat halus timbul di wajah putihnya. Dalam raut marah wajahnya terlihat merah padam."Kakak pertamamu sudah punya pacar dan akan menikah sebentar lagi. Sementara kakak keduamu masih kuliah. Ibu mohon, mengalahlah untuk sekali ini saja," pinta Siti Aminah."Nggak," ucap Adara. Ia menggelengkan kepala perlahan. Matanya memerah, sudut matanya mulai basah, "Adara baru delapan belas tahun. Ijazah SMA aja belum jadi. Lagi pula, Adara gak mau menikah dengan orang yang tidak Adara kenal," bantah gadis muda berambut panjang itu.Siti Aminah menatap anak ketiganya penuh harap, "Jika bukan kamu, k