"Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak kedua atau kakak pertama saja?
Adara Aurelia kurnia, memelotot. Urat halus timbul di wajah putihnya. Dalam raut marah wajahnya terlihat merah padam.
"Kakak pertamamu sudah punya pacar dan akan menikah sebentar lagi. Sementara kakak keduamu masih kuliah. Ibu mohon, mengalahlah untuk sekali ini saja," pinta Siti Aminah.
"Nggak," ucap Adara. Ia menggelengkan kepala perlahan. Matanya memerah, sudut matanya mulai basah, "Adara baru delapan belas tahun. Ijazah SMA aja belum jadi. Lagi pula, Adara gak mau menikah dengan orang yang tidak Adara kenal," bantah gadis muda berambut panjang itu.
Siti Aminah menatap anak ketiganya penuh harap, "Jika bukan kamu, kami bisa berharap pada siapa lagi?"
"Tolonglah kami sekali ini," imbuh Hartanto sang ayah.
Mata Adara memanas. Pandangannya mulai kabur karena kristal kaca mulai tak terbendung. Setetes air bening jatuh mengaliri pipinya, "Adara gak mau Yah, Bu."
Adara beranjak dari sofa usang berwarna kehijauan yang didudukinya. Melangkah dengan cepat menuju kamar tidurnya.
"Adara …."
Siti Aminah hanya dapat menatap punggung anak ketiganya yang semakin menjauh. Pundak Adara bergetar.
Brukgh!
Terdengar suara pintu dibanting dengan keras. Tubuh Adara sudah tak terlihat di depan pintu kamar.
"Bagaimana sekarang, Yah?"
"Entahlah, Buk. Ayah juga bingung apa yang harus kita lakukan?"
"Apa kita tidak bisa meminjam uang dari bank saja, Yah?"
"Apa yang mau kita jaminkan? Sertifikat rumah ini saja sudah kita sekolahkan di Bank. Motor satu-satunya yang kita punya juga sudah lama tidak dibayarkan pajaknya. Andai saja sawah dan tambak kita tidak gagal panen, kita pasti bisa membayar hutang-hutang itu!"
Hartanto mengembuskan napas dengan berat dan perlahan. Bersandar pada bantalan sofa. Pandangan matanya menyiratkan kelicikan.
Prank!
"Apa itu, Buk?" Hartanto dan Siti Aminah saling pandang.
"Suaranya dari arah kamar Almira, Pak."
Keduanya bergegas bangun dari sofa. Berjalan cepat melewati lorong menuju kamar anak pertamanya. Hartanto segera mengetuk beberapa kali. Tidak ada jawaban. Pintu langsung dibuka, "Almira ada apa?"
Anak pertama mereka sedang duduk di pinggir ranjang. Pecahan kaca, bantal dan guling berserakan di lantai bahkan sprei ranjang menjuntai ke lantai tak tertata dengan rapi seperti biasanya.
"Kamu kenapa, Nak?" Siti Aminah segera mendekat. Menyibakkan rambut yang menutupi wajah cantik Almira. Bekas lelehan air mata membasahi pipinya.
"Ada apa ini?" Hartanto meninggikan nada bicaranya melihat seisi kamar tidur anak gadisnya yang seperti kapal pecah.
"Kak Almira? Ada apa?" Adara Aurelia yang mendengar suara benda pecah ikut keluar dari kamarnya.
"Alex Yah, Bu …."
"Kenapa dengan Alex?" Siti Aminah mengernyit menatap wajah Almira.
"Dia mau ninggalin Almira," rintih Almira dengan suara tercekat. Air bening menganak sungai menuruni pipi cantiknya.
Alex adalah kekasih Almira sejak tiga tahun yang lalu. Anak seorang kepala desa yang kaya raya. Siti Aminah juga Hartanto mendapat banyak keuntungan selama ini. Alex sangat royal, suka membelikan makanan juga barang-barang mewah pada mereka.
"Jangan. Kamu harus mempertahankan dia, selain tampan masa depanmu akan terjamin nanti. Rayu dia terus, gunakan segala cara." Siti Aminah menasehati putrinya. Ia memeluk dan mengelus lembut rambut Almira.
Dalam pelukan Siti Aminah, Almira melirik pada Adara. Rencananya berhasil! Ia tak perlu bersusah payah mencari alasan menolak jika terpaksa dinikahkan oleh orang tuanya.
"Kamu lihat kakakmu, dia sudah memiliki pacar. Pacarnya adalah anak kepala desa yang kaya raya, juga royal pada keluarga kita. Kenapa kamu tidak mengalah dan menurut untuk menikahi anak teman ayah?"
Adara terdiam. Ia tak bisa membela diri. Ayah dan Ibunya sejak kecil selalu membela kakak-kakaknya daripada dirinya sekalipun ia tak salah.
"Tapi …."
"Tapi apa? Apa kamu tidak mau menolong keluarga ini? Rumah kita terancam disita pihak Bank jika tak segera melunasi hutang bahkan ijazah SMAmu belum bisa diambil karena tunggakan sekolahmu sebelumnya. Setujui saja dan anggap kamu menolong diri sendiri."
Adara menggelengkan kepalanya berulang kali, bibirnya bergetar, "Nggak Yah. Adara gak mau," ratapnya dengan suara parau, "Adara belum siap."
"Jangan menangis Adara, siapa tahu dengan menikah dengan anak teman ayah hidup kamu lebih bahagia." Almira ikut menasehati adiknya.
Dalam hati anak tertua di keluarga Hartanto itu tertawa puas. Strateginya berhasil. Dengan drama pecahan kaca tadi Ayah dan Ibunya lebih bersimpati dan membelanya. Ia tak perlu bersusah payah mencari alasan menolak dijodohkan.
'Makan tuh, bujang lapuk yang cacat mental!' batin Almira lagi.
Ia sudah pernah mendengar perihal lelaki yang akan dijodohkan oleh sang Ayah. Kabar yang tersiar ia adalah bujang lapuk yang cacat mental.
Terdengar langkah kaki mendekat ke dalam kamar Almira, "Ada apa ini ribut-ribut?"
Bola mata hitam milik Siska menatap satu persatu semua keluarganya, "Kok, keliatan serius banget, sih?"
Anak kedua keluarga Hartanto itu baru pulang kuliah. Umurnya tiga tahun di atas Adara Aurelia. Rambutnya sepanjang bahu diwarna kecokelatan. Mengenakan celana jeans hitam dan blouse dari sutra yang terlihat mahal. Baginya penampilan dan harga diri adalah nomor satu.
"Mumpung kalian semua ada disini. Ayah akan membicarakan hal serius ini lagi." Hartanto menghentikan bicara. Memindai wajah ketiga anaknya satu persatu.
Adara menundukkan kepala tak berani menatap tatapan tajam Hartanto yang mengarah padanya.
Almira tersenyum puas melihat situasi adik bungsunya. Ia tersenyum menyeringai dan mengedipkan mata pada Siska.
"Sawah dan tambak kita gagal panen. Ayah sama Ibu terlilit hutang yang tak sedikit. Teman Ayah, Aldriansyah Ibrahim mau membantu dan melunasi hutang kita jika salah satu dari kalian mau menikah dengan anaknya. Ayah mohon salah satu dari kalian bersedia untuk menikah dengan Antony Ibrahim."
"Apa? Menikah? Gila … demi hutang aku harus melepas masa muda dan menikah dengan orang yang gak kukenal? Sorry-sorry to say Yah, Siska gak mau. Lagi pula Siska masih kuliah." Dengan Cepat Siska membantah dan mengeluarkan pendapatnya.
Sifat siska berbanding terbalik dengan sang kakak Almira. Ia akan berbicara dengan tegas dan berterus terang tanpa melihat perasaan orang lain. Sementara Almira yang lebih dewasa ia pintar bersilat lidah dan licik. Baik di luar tapi seperti ular di dalamnya.
"Apalagi aku? Aku 'kan udah punya pacar. Udah tampan, kaya lagi. Masak iya, harus kutinggalkan?" Almira tak kalah sengitnya. Langsung menolak permintaan sang ayah.
Semua mata memandang Adara Aurelia. Gadis itu masih menunduk dalam. Hanya mendengarkan perkataan semua orang, tanpa membela diri.
"Kenapa? Kenapa harus aku? Apa salahku? Kenapa kalian selalu membela Kak Almira dan Kak Siska? Gak adil …."
"Apa aku ini bukan anak kalian?"
***Terpaksa Menikahi Tuan Muda***
Bagaimana kisah selanjutnya ya?
Kira-kira siapa yang akan dipaksa menikah demi membayar hutang nih?
Ikuti terus kisahnya…
To Be Continued ….
Hartanto, Siti Aminah, Almira dan Siska saling pandang. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu."Sudahlah Adara, jangan menolak lagi. Jangan berdebat dengan orang tua, sebagai anak yang berbakti kamu harus menurut, apa kamu mau berdosa?!" Almira menyibakkan rambut kecokelatannya."Ngaaak! Aku gak mau."Adara berlari keluar dari rumahnya. Sedih dan kesal membuatnya lupa memakai sandal. Ia berlari tanpa alas kaki."Keterlaluan. Kenapa harus selalu aku? Kenapa sikap mereka selalu berbeda jika padaku? Sebenarnya aku ini anak mereka bukan, sih?""Aku akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Agar mereka tak menemukanku."Adara menggerutu seorang diri sambil terus berlari. Sesekali ia mengernyit
Hartanto keluar dari kamarnya, segera menuju ruang tamu. Bola matanya membesar menatap Julio Pratama, "Kamu siapa?""Dia selingkuhan Adara, Yah."Pemikiran Siti Aminah sungguh picik. Ia berpikir jika Adara sengaja mencari pria lain untuk menghindari pernikahannya."Tidak, Bu. Bukan seperti itu." Adara berusaha menjelaskan. Tangannya meraih rambut panjang yang ditarik paksa ibunya, "Lepaskan Bu, sakit."Adara memelas meminta sang ibu melepaskan jambakan rambutnya. Sementara sang ibu seperti kesetanan terus menarik rambut Adara."Tolong hentikan, akan saya jelaskan." Julio Pratama mendekat ke arah Siti Aminah dan Adara.Melihat Adara dan Julio Pratama terlihat dekat Hartanto b
Mobil rolls Royce Phantom baru saja terparkir. Seorang lelaki memakai setelan hitam dengan wajah pucat turun dari mobil.Tubuhnya yang tinggi dengan cepat sampai ke dalam klub dalam beberapa langkah. Saat membuka pintu, semua tatapan tertuju pada Antony."Selamat datang Tuan Muda," sapa seorang pekerja. Ia tersenyum dengan genit pada Antony.Sudut mata Antony hanya meliriknya. Terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan pelayan tadi.Aura ketampanan dan dingin terpancar dari sosok Antony. Dia terlihat kejam dan membunuh hanya dengan menatap lawan bicaranya.Antony terus masuk dan menuju sebuah ruangan bertuliskan VVIP di atasnya. Itulah ruangan yang biasa ia gunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya.
"Berhenti!""Siapa kalian?"Adara berteriak dengan sekuat tenaga ketika menyaksikkan tindak kejahatan di depannya."Gadis kecil, jangan ikut campur urusan orang dewasa pergi sana," sergah lelaki yang menempelkan pisau ke perut lelaki di sampingnya.Satu lelaki lagi segera berlari ke arah Adara. Ia memegang tangan gadis bermata bulat itu.Bola mata Adara berputar. Keningnya mengernyit. Ia sedang serius mencari cara untuk melepaskan diri dari kedua lelaki di hadapannya."Tolooong." Adara berteriak meminta tolong dengan kencang."Diam," desis lelaki dengan tato di lengan kirinya itu.Lel
"Diam dan renungkan kesalahanmu." Hartanto mendorong Adara masuk ke kamarnya. Ia menguncinya dari luar."Ayah, kenapa tega sama Adara?" Adara berteriak, ia menggedor pintu kamarnya.Hartanto termenung di depan kamar sang putri ketiga sejenak. Ada rasa tak tega menumbalkan sang anak demi uang. Muncul Siti Aminah, memegang pundak sang suami."Tenanglah, semua akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Tak usah mengkhawatirkan Adara. Ia akan hidup senang setelah ini."Siti Aminah tersenyum ke arah Hartanto. Mereka berjalan ke kemar tidurnya. Jarum pendek jam di dinding sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Waktu yang cukup larut untuk keluarga itu.Setelah semua yang terjadi. Adara tak lagi menangis. Hatinya lebih kuat d
"Diam dan renungkan kesalahanmu." Hartanto mendorong Adara masuk ke kamarnya. Ia menguncinya dari luar."Ayah, kenapa tega sama Adara?" Adara berteriak, ia menggedor pintu kamarnya.Hartanto termenung di depan kamar sang putri ketiga sejenak. Ada rasa tak tega menumbalkan sang anak demi uang. Muncul Siti Aminah, memegang pundak sang suami."Tenanglah, semua akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Tak usah mengkhawatirkan Adara. Ia akan hidup senang setelah ini."Siti Aminah tersenyum ke arah Hartanto. Mereka berjalan ke kemar tidurnya. Jarum pendek jam di dinding sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Waktu yang cukup larut untuk keluarga itu.Setelah semua yang terjadi. Adara tak lagi menangis. Hatinya lebih kuat d
"Berhenti!""Siapa kalian?"Adara berteriak dengan sekuat tenaga ketika menyaksikkan tindak kejahatan di depannya."Gadis kecil, jangan ikut campur urusan orang dewasa pergi sana," sergah lelaki yang menempelkan pisau ke perut lelaki di sampingnya.Satu lelaki lagi segera berlari ke arah Adara. Ia memegang tangan gadis bermata bulat itu.Bola mata Adara berputar. Keningnya mengernyit. Ia sedang serius mencari cara untuk melepaskan diri dari kedua lelaki di hadapannya."Tolooong." Adara berteriak meminta tolong dengan kencang."Diam," desis lelaki dengan tato di lengan kirinya itu.Lel
Mobil rolls Royce Phantom baru saja terparkir. Seorang lelaki memakai setelan hitam dengan wajah pucat turun dari mobil.Tubuhnya yang tinggi dengan cepat sampai ke dalam klub dalam beberapa langkah. Saat membuka pintu, semua tatapan tertuju pada Antony."Selamat datang Tuan Muda," sapa seorang pekerja. Ia tersenyum dengan genit pada Antony.Sudut mata Antony hanya meliriknya. Terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan pelayan tadi.Aura ketampanan dan dingin terpancar dari sosok Antony. Dia terlihat kejam dan membunuh hanya dengan menatap lawan bicaranya.Antony terus masuk dan menuju sebuah ruangan bertuliskan VVIP di atasnya. Itulah ruangan yang biasa ia gunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya.
Hartanto keluar dari kamarnya, segera menuju ruang tamu. Bola matanya membesar menatap Julio Pratama, "Kamu siapa?""Dia selingkuhan Adara, Yah."Pemikiran Siti Aminah sungguh picik. Ia berpikir jika Adara sengaja mencari pria lain untuk menghindari pernikahannya."Tidak, Bu. Bukan seperti itu." Adara berusaha menjelaskan. Tangannya meraih rambut panjang yang ditarik paksa ibunya, "Lepaskan Bu, sakit."Adara memelas meminta sang ibu melepaskan jambakan rambutnya. Sementara sang ibu seperti kesetanan terus menarik rambut Adara."Tolong hentikan, akan saya jelaskan." Julio Pratama mendekat ke arah Siti Aminah dan Adara.Melihat Adara dan Julio Pratama terlihat dekat Hartanto b
Hartanto, Siti Aminah, Almira dan Siska saling pandang. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu."Sudahlah Adara, jangan menolak lagi. Jangan berdebat dengan orang tua, sebagai anak yang berbakti kamu harus menurut, apa kamu mau berdosa?!" Almira menyibakkan rambut kecokelatannya."Ngaaak! Aku gak mau."Adara berlari keluar dari rumahnya. Sedih dan kesal membuatnya lupa memakai sandal. Ia berlari tanpa alas kaki."Keterlaluan. Kenapa harus selalu aku? Kenapa sikap mereka selalu berbeda jika padaku? Sebenarnya aku ini anak mereka bukan, sih?""Aku akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Agar mereka tak menemukanku."Adara menggerutu seorang diri sambil terus berlari. Sesekali ia mengernyit
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak kedua atau kakak pertama saja?Adara Aurelia kurnia, memelotot. Urat halus timbul di wajah putihnya. Dalam raut marah wajahnya terlihat merah padam."Kakak pertamamu sudah punya pacar dan akan menikah sebentar lagi. Sementara kakak keduamu masih kuliah. Ibu mohon, mengalahlah untuk sekali ini saja," pinta Siti Aminah."Nggak," ucap Adara. Ia menggelengkan kepala perlahan. Matanya memerah, sudut matanya mulai basah, "Adara baru delapan belas tahun. Ijazah SMA aja belum jadi. Lagi pula, Adara gak mau menikah dengan orang yang tidak Adara kenal," bantah gadis muda berambut panjang itu.Siti Aminah menatap anak ketiganya penuh harap, "Jika bukan kamu, k