Mobil rolls Royce Phantom baru saja terparkir. Seorang lelaki memakai setelan hitam dengan wajah pucat turun dari mobil.
Tubuhnya yang tinggi dengan cepat sampai ke dalam klub dalam beberapa langkah. Saat membuka pintu, semua tatapan tertuju pada Antony.
"Selamat datang Tuan Muda," sapa seorang pekerja. Ia tersenyum dengan genit pada Antony.
Sudut mata Antony hanya meliriknya. Terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan pelayan tadi.
Aura ketampanan dan dingin terpancar dari sosok Antony. Dia terlihat kejam dan membunuh hanya dengan menatap lawan bicaranya.
Antony terus masuk dan menuju sebuah ruangan bertuliskan VVIP di atasnya. Itulah ruangan yang biasa ia gunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya.
"Hai, akhirnya kamu datang juga?"
Nicky Leonardo berdiri, menuju pintu dan merangkul sahabatnya itu. Mempersilahkannya duduk. Di sana sudah ada seorang lelaki lagi. Rayyan stefan, saudara sepupu dari Nicky.
Keduanya anak keluarga kaya. Kekek mereka membuka perusahaan tambang terbesar di daerah Kalimantan sana.
Antony duduk tanpa ekspresi. Ia merogoh saku, mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai menyalakan pemantik api lagi.
"Suntuk amat itu muka?" tanya Rayyan, sepupu Nicky.
"Kurang kasih sayang atau kurang tidur, sih?" gurau Nicky kemudian
Antony menatap Nicky dengan dingin. Kedua alis tebalnya hampir bersatu. Ia melempar rokok menyala di tangannya ke arah Nicky.
"Heh, Tenang. Apa maksudmu Antony!"
Antony tak menjawab ia menatap Nicky dengan dingin.
Melihat Anthony menatapnya dengan tajam. Nicky tak berani berkata lagi.
Rayyan bergidik ngeri melihat ekspresi Antony. Wajah pucat, dengan tatapan dingin dan tajam, "Dia kumat lagi?" bisik Rayyan di telinga sepupunya.
Nicky mengangguk pelan. Dia mengedip pada seorang pelayan yang bertugas menyediakan minuman. Pelayan tadi mengangguk tanda paham. Ia segera keluar dari ruang termahal di dalam klub itu.
"Gimana pernikahanmu? Sepertinya sebentar lagi kamu harus menggelar pesta perpisahan untuk masa-masa bujangmu, Kawan."
"Aku bahkan belum tahu seperti apa calon istriku itu."
Nicky dan Rayyan saling berpandangan, "Serius? What?"
Kedua saudara sepupu yang berdarah campuran Inggris-Indonesia itu benar-benar tak menyangka jika Antony belum bertemu dengan calon istrinya. Padahal pernikahan sudah di depan mata.
Pintu terbuka, pelayan lelaki yang keluar tadi kembali masuk. Di belakangnya ada tiga wanita berpakaian sexy dengan wajah cantik. Mereka adalah primadona di klub malam itu.
"Wow," desis Nicky. Matanya membulat sempurna menatap gadis bergaun merah dengan belahan dada terbuka.
Gadis itu mengerling manja membalas tatapan nakal Nicky.
"Ini adalah wanita terbaik di klub malam ini, Vanessa, Amanda, dan Gisella akan menemani Tuan semua," ucap sang pelayam lelaki itu.
Ketiga gadis melangkah maju dengan percaya diri. Duduk di sisii para lelaki kaya di dalam ruang termahal di klub itu.
"Hai cantik, siapa namamu?" Nicky segera menyapa gadis di sebelahnya.
"Aku Amanda," jawab sang gadis. Ia meraih tangan Nicky dan saling berkenalan.
Nicky mencium punggung tangan Amanda. Kemudian merangkul sang gadis begitu akrab.
Vanessa, gadis dengan rok mini hitam dan blouse putih. Sengaja memilih duduk di sebelah Antony.
"Kemarilah Gisella," perintah Rayyan pada gadis terakhir yang masih berdiri. Terlihat malu-malu mendekat. Rayyan dan Gisella mengobrol ringan setelah itu.
Vanessa menatap penuh harap pada Antony. Namun, Tuan muda pemilik perusahaan elektronik terbesar itu hanya diam. Raganya ada di dalam klub malam itu, tetapi jiwanya entah di mana.
Beberapa hari ini ia berpikir terlalu berat. Insomnianya kembali kambuh. Ia memikirkan pernikahannya dengan gadis pilihan sang ibu. Sementara ibunya telah menghilang sejak dua puluh tahun ini. Saat ia mulai masuk sekolah dasar.
"Antony … cewek cantik kok, dianggurin sih," ucap Nicky menggoda sang sahabat.
"Aku bosan." Antony berdiri dari tempat duduknya, ia melangkah keluar.
Vanessa gadis yang menemaninya ikut berdiri, "Biar kutemani, ya?" pintanya.
Antony mendorong tubuh Vanessa hingga terjatuh di atas sofa kembali. Sikapnya tak setampan wajahnya, Antony begitu dingin dan angkuh pada setiap wanita.
Tumbuh tanpa kasih sayang sang mama membuatnya bersikap dingin dengan orang di sekitarnya.
"Antony, kamu kemana?" Nicky memanggil sahabatnya itu. Mengikutinya keluar dari ruangan.
"Ada apa Tony, kenapa sedari tadi kamu terlihat pucat dan dingin?"
"Entahlah. Jangan ikuti aku. Masuklah."
Nicky menghentikam langkah. Kalau Antony sudah memberikan perintah tak ada yang berani melawannya. Ia cukup tahu bagaimana tabiat sahabatnya itu. Ia punya masalah dengan pengendalian emosi. Bisa berbuat di luar kendali jika sedang marah.
Nicky kembali ke dalam ruang VIP. Rayyan, Vanessa, Amanda dan Gisella menatapnya penuh tanya.
"Kemana Antony?"
"Dia pergi. Bosan katanya!" Nicky mengangkat kedua bahunya. Ia mengerling nakal pada Amanda, "Kita lanjutkan apa yang tertunda, Baby."
Nicky mencium mesra bibir Amanda yang berwarna merah dan tebal.
Rayyan tak mau kalah dengan sepupunya. Tangannya mulai menyentuh tubuh Gisella dengan liar. Gadis dengan rambut dicat blonde itu hanya diam dan menikmati.
Vanessa yang sendiri tanpa pasangan keluar dari ruangan itu. Ia memutuskan akan mencari Antony, "Kemana dia pergi?"
Vanessa mengitari klub 999 mencari keberadaan Antony. Menoleh ke sana kemari, berharap lelaki tampan itu masih berada di sekitar klub.
"Itu dia." Vanessa mempercepat langkahnya.
Seseorang memegang botol wine. Di pojok klub. Ia menatap ke luar jendela. Pandangannya kosong.
"Hai, disini rupanya?"
Antony menoleh, ia mengernyitkan alisnya, "Pergi dari sini." Ia menendang kursi di hadapannya hingga terjatuh.
Pengunjung mulai menatap ke arah mereka berdua. Keduanya seperti pasangan muda yang sedang bertengkar. Vanessa tak mematuhi perintah Antony. Ia tetap duduk, di kursi sebelahnya kini.
Antony segera berdiri, "Kau atau aku yang pergi?" tanyanya dengan tegas.
"Lelaki ini begitu keras kepala!" batin Vanessa.
"Aku bisa menemanimu." Vanessa berkata dengan nada lemah lembut dan tersenyum.
"Aku tak butuh ditemani." Selesai berkata Antony melangkah pergi. Ia keluar dari klub.
"Fu*k You!" umpat Antony.
Moodnya hilang. Tak lagi ingin mencari udara segar ataupun berkumpul dengan teman-temannya.
Ia kembali menuju mobil berwarna hitam dengan plat khusus miliknya. Dengan huruf B dan satu angka di belakangnya. Simple dan mudah diingat. Memperlihatkan status dan kekayaan keluarga. Karena plat itu hanya dimiliki keluarga Ibrahim sebagai keluarga terkaya di Indonesia.
Ia menginjak pedal gas dengan penuh. Menyusuri jalan tanpa tahu arah tujuan. Antony hanya ingin menjauh dari pusat keramaian.
Satu jam mengendara akhirnya ia menghentikan mobil di daerah sepi. Ia keluar dari mobilnya, berjalan dengan sedikit terhuyung.
Dari kejauhan sebuah sepeda motor mendekat. Dua orang di atasnya segera turun dan mendekat.
"Serahkan barang berharga loe, sekarang," ancam lelaki yang tutun dari motor terlebih dahulu. Ia mengeluarkan pisau lipat dan menodongkannya ke perut Antony.
Satu lelaki lainnya turun, matanya tak henti menatap ke mobil Rolls Royce Phantom. Mobil yang dikendarai Antony terlihat mahal dan berkelas.
"Harta atau nyawa? Silakan pilih sekarang," desis si lelaki di samping telinga Antony.
"Berhenti …."
"Siapa kalian?"
***Terpaksa Menikahi Tuan Muda***
Bersambung ….
"Berhenti!""Siapa kalian?"Adara berteriak dengan sekuat tenaga ketika menyaksikkan tindak kejahatan di depannya."Gadis kecil, jangan ikut campur urusan orang dewasa pergi sana," sergah lelaki yang menempelkan pisau ke perut lelaki di sampingnya.Satu lelaki lagi segera berlari ke arah Adara. Ia memegang tangan gadis bermata bulat itu.Bola mata Adara berputar. Keningnya mengernyit. Ia sedang serius mencari cara untuk melepaskan diri dari kedua lelaki di hadapannya."Tolooong." Adara berteriak meminta tolong dengan kencang."Diam," desis lelaki dengan tato di lengan kirinya itu.Lel
"Diam dan renungkan kesalahanmu." Hartanto mendorong Adara masuk ke kamarnya. Ia menguncinya dari luar."Ayah, kenapa tega sama Adara?" Adara berteriak, ia menggedor pintu kamarnya.Hartanto termenung di depan kamar sang putri ketiga sejenak. Ada rasa tak tega menumbalkan sang anak demi uang. Muncul Siti Aminah, memegang pundak sang suami."Tenanglah, semua akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Tak usah mengkhawatirkan Adara. Ia akan hidup senang setelah ini."Siti Aminah tersenyum ke arah Hartanto. Mereka berjalan ke kemar tidurnya. Jarum pendek jam di dinding sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Waktu yang cukup larut untuk keluarga itu.Setelah semua yang terjadi. Adara tak lagi menangis. Hatinya lebih kuat d
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak kedua atau kakak pertama saja?Adara Aurelia kurnia, memelotot. Urat halus timbul di wajah putihnya. Dalam raut marah wajahnya terlihat merah padam."Kakak pertamamu sudah punya pacar dan akan menikah sebentar lagi. Sementara kakak keduamu masih kuliah. Ibu mohon, mengalahlah untuk sekali ini saja," pinta Siti Aminah."Nggak," ucap Adara. Ia menggelengkan kepala perlahan. Matanya memerah, sudut matanya mulai basah, "Adara baru delapan belas tahun. Ijazah SMA aja belum jadi. Lagi pula, Adara gak mau menikah dengan orang yang tidak Adara kenal," bantah gadis muda berambut panjang itu.Siti Aminah menatap anak ketiganya penuh harap, "Jika bukan kamu, k
Hartanto, Siti Aminah, Almira dan Siska saling pandang. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu."Sudahlah Adara, jangan menolak lagi. Jangan berdebat dengan orang tua, sebagai anak yang berbakti kamu harus menurut, apa kamu mau berdosa?!" Almira menyibakkan rambut kecokelatannya."Ngaaak! Aku gak mau."Adara berlari keluar dari rumahnya. Sedih dan kesal membuatnya lupa memakai sandal. Ia berlari tanpa alas kaki."Keterlaluan. Kenapa harus selalu aku? Kenapa sikap mereka selalu berbeda jika padaku? Sebenarnya aku ini anak mereka bukan, sih?""Aku akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Agar mereka tak menemukanku."Adara menggerutu seorang diri sambil terus berlari. Sesekali ia mengernyit
Hartanto keluar dari kamarnya, segera menuju ruang tamu. Bola matanya membesar menatap Julio Pratama, "Kamu siapa?""Dia selingkuhan Adara, Yah."Pemikiran Siti Aminah sungguh picik. Ia berpikir jika Adara sengaja mencari pria lain untuk menghindari pernikahannya."Tidak, Bu. Bukan seperti itu." Adara berusaha menjelaskan. Tangannya meraih rambut panjang yang ditarik paksa ibunya, "Lepaskan Bu, sakit."Adara memelas meminta sang ibu melepaskan jambakan rambutnya. Sementara sang ibu seperti kesetanan terus menarik rambut Adara."Tolong hentikan, akan saya jelaskan." Julio Pratama mendekat ke arah Siti Aminah dan Adara.Melihat Adara dan Julio Pratama terlihat dekat Hartanto b
"Diam dan renungkan kesalahanmu." Hartanto mendorong Adara masuk ke kamarnya. Ia menguncinya dari luar."Ayah, kenapa tega sama Adara?" Adara berteriak, ia menggedor pintu kamarnya.Hartanto termenung di depan kamar sang putri ketiga sejenak. Ada rasa tak tega menumbalkan sang anak demi uang. Muncul Siti Aminah, memegang pundak sang suami."Tenanglah, semua akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Tak usah mengkhawatirkan Adara. Ia akan hidup senang setelah ini."Siti Aminah tersenyum ke arah Hartanto. Mereka berjalan ke kemar tidurnya. Jarum pendek jam di dinding sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Waktu yang cukup larut untuk keluarga itu.Setelah semua yang terjadi. Adara tak lagi menangis. Hatinya lebih kuat d
"Berhenti!""Siapa kalian?"Adara berteriak dengan sekuat tenaga ketika menyaksikkan tindak kejahatan di depannya."Gadis kecil, jangan ikut campur urusan orang dewasa pergi sana," sergah lelaki yang menempelkan pisau ke perut lelaki di sampingnya.Satu lelaki lagi segera berlari ke arah Adara. Ia memegang tangan gadis bermata bulat itu.Bola mata Adara berputar. Keningnya mengernyit. Ia sedang serius mencari cara untuk melepaskan diri dari kedua lelaki di hadapannya."Tolooong." Adara berteriak meminta tolong dengan kencang."Diam," desis lelaki dengan tato di lengan kirinya itu.Lel
Mobil rolls Royce Phantom baru saja terparkir. Seorang lelaki memakai setelan hitam dengan wajah pucat turun dari mobil.Tubuhnya yang tinggi dengan cepat sampai ke dalam klub dalam beberapa langkah. Saat membuka pintu, semua tatapan tertuju pada Antony."Selamat datang Tuan Muda," sapa seorang pekerja. Ia tersenyum dengan genit pada Antony.Sudut mata Antony hanya meliriknya. Terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan pelayan tadi.Aura ketampanan dan dingin terpancar dari sosok Antony. Dia terlihat kejam dan membunuh hanya dengan menatap lawan bicaranya.Antony terus masuk dan menuju sebuah ruangan bertuliskan VVIP di atasnya. Itulah ruangan yang biasa ia gunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya.
Hartanto keluar dari kamarnya, segera menuju ruang tamu. Bola matanya membesar menatap Julio Pratama, "Kamu siapa?""Dia selingkuhan Adara, Yah."Pemikiran Siti Aminah sungguh picik. Ia berpikir jika Adara sengaja mencari pria lain untuk menghindari pernikahannya."Tidak, Bu. Bukan seperti itu." Adara berusaha menjelaskan. Tangannya meraih rambut panjang yang ditarik paksa ibunya, "Lepaskan Bu, sakit."Adara memelas meminta sang ibu melepaskan jambakan rambutnya. Sementara sang ibu seperti kesetanan terus menarik rambut Adara."Tolong hentikan, akan saya jelaskan." Julio Pratama mendekat ke arah Siti Aminah dan Adara.Melihat Adara dan Julio Pratama terlihat dekat Hartanto b
Hartanto, Siti Aminah, Almira dan Siska saling pandang. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu."Sudahlah Adara, jangan menolak lagi. Jangan berdebat dengan orang tua, sebagai anak yang berbakti kamu harus menurut, apa kamu mau berdosa?!" Almira menyibakkan rambut kecokelatannya."Ngaaak! Aku gak mau."Adara berlari keluar dari rumahnya. Sedih dan kesal membuatnya lupa memakai sandal. Ia berlari tanpa alas kaki."Keterlaluan. Kenapa harus selalu aku? Kenapa sikap mereka selalu berbeda jika padaku? Sebenarnya aku ini anak mereka bukan, sih?""Aku akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Agar mereka tak menemukanku."Adara menggerutu seorang diri sambil terus berlari. Sesekali ia mengernyit
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak kedua atau kakak pertama saja?Adara Aurelia kurnia, memelotot. Urat halus timbul di wajah putihnya. Dalam raut marah wajahnya terlihat merah padam."Kakak pertamamu sudah punya pacar dan akan menikah sebentar lagi. Sementara kakak keduamu masih kuliah. Ibu mohon, mengalahlah untuk sekali ini saja," pinta Siti Aminah."Nggak," ucap Adara. Ia menggelengkan kepala perlahan. Matanya memerah, sudut matanya mulai basah, "Adara baru delapan belas tahun. Ijazah SMA aja belum jadi. Lagi pula, Adara gak mau menikah dengan orang yang tidak Adara kenal," bantah gadis muda berambut panjang itu.Siti Aminah menatap anak ketiganya penuh harap, "Jika bukan kamu, k