Hartanto keluar dari kamarnya, segera menuju ruang tamu. Bola matanya membesar menatap Julio Pratama, "Kamu siapa?"
"Dia selingkuhan Adara, Yah."
Pemikiran Siti Aminah sungguh picik. Ia berpikir jika Adara sengaja mencari pria lain untuk menghindari pernikahannya.
"Tidak, Bu. Bukan seperti itu." Adara berusaha menjelaskan. Tangannya meraih rambut panjang yang ditarik paksa ibunya, "Lepaskan Bu, sakit."
Adara memelas meminta sang ibu melepaskan jambakan rambutnya. Sementara sang ibu seperti kesetanan terus menarik rambut Adara.
"Tolong hentikan, akan saya jelaskan." Julio Pratama mendekat ke arah Siti Aminah dan Adara.
Melihat Adara dan Julio Pratama terlihat dekat Hartanto bertanya, "Ada hubungan apa antara kalian? Apa yang sudah kalian lakukan?" tuduh Hartanto.
"Saya salah seorang bawahan Tuan Aldriansyah Ibrahim."
Siti Aminah segera menyembunyikan ekspresi terkejutnya, "Kenapa tak mengatakannya dari tadi?" Ia segera melepaskan rambut Adara, "Silakan duduk."
Siti Aminah segera merubah ekspresi wajahnya. Sebuah senyuman yang terlihat aneh tersungging.
"Maaf sudah malam. Saya masih ada tugas lain dan harus segera kembali." Julio Pratama melirik Adara yang berusaha merapikan rambutnya.
Adara yang merasa kesal langsung pergi ke kamarnya. Siti Aminah tersenyum dengan sinis, "Istirahatlah Adara, sudah malam."
Julio Pratama berpamitan pada Siti Aminah dan Hartanto. Kedua orangtua Adara mengantar kepergian utusan keluarga Ibrahim sampai teras. Bola mata keduanya membulat sempurna melihat mobil mewah yang dikendarai lelaki berpostur tinggi itu.
Siti Aminah menyikut lengan suaminya, "Adara harus mau jadi mempelai anaknya Tuan Ibrahim."
Keduanya tersenyum menyeringai dengan licik. Berharap pernikahan Adara menghasilkan banyak keuntungan untuk mereka sendiri.
Hartanto sebenarnya sudah memberikan uang untuk melunasi uang sekolah Adara. Namun, Siti Aminah menggunakannya untuk membeli perhiasan. Harga diri yang tinggi membuat Siti Aminah tak bisa menolak untuk membeli perhiasan ketika berkumpul dengan teman-teman sosialitanya.
Ayah dan Ibu Adara itu segera masuk dan menutup pintu saat mobil Julio Pratama sudah menjauh. Hartanto masuk ke kamar tidurnya. Sementara Siti Aminah berjalan lurus ke kamar anak pertamanya.
"Bagaimana keadaan Adara, Bu?"
Baru masuk beberapa langkah di kamar Almira anak pertamanya itu langsung bertanya. Raut wajahnya terlihat khawatir, tetapi dalam hati ia sangat senang karena sudah terhindar dari perjodohan sepihak yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
"Seharusnya sekarang dia sedang bersiap-siap. Sepertinya dia menerima pernikahan ini." Siti Aminah tersenyum menyeringai.
"Mau atau tidak dia harus menerimanya. Aku tidak menginginkan pernikahan sialan ini," ketus Almira.
"Dengarkan ibu. Kamu adalah harapan kami. Jangan lepaskan pacarmu. Jika kamu bisa menikah dengan orang kaya, tentu keluarga kita akan lebih baik di masa depan."
"Tentu saja, Bu. Almira takkan melupakan jasa Ayah dan Ibu."
Keduanya tersenyum bahagia.
Seharusnya Almiralah yang akan menikah dengan anak keluarga Ibrahim. Mereka sudah dijodohkan sejak kecil. Namun, Almira mendengar kabar jika anak kesayangan di keluarga Ibrahim itu telah mengalami kecelakaan besar. Ia mengalami cacat mental juga cacat tubuh.
"Bagaimana dengan hubunganmu dan pacarmu?"
Almira memutar bola matanya, "Kami sudah berbaikan. Ia akan segera datang ke rumah. Tolong buatkan pesta ulang tahun yang mewah untukku Bu, masak calon istri keluarga kaya gak bisa membuat pesta mewah?" rengek Almira.
Tanpa Siti Aminah dan Almira Tahu, di depan pintu kamar yang tak tertutup sempurna itu Adara mendengarkan percakapan mereka.
"Aku harus melarikan diri dari rumah ini," gumam Adara.
Sementara itu di kediaman keluarga Ibrahim. Julio Pratama baru saja datang. Ia langsung masuk dan menaiki anak tangga menuju lantai atas.
Di depan sebuah pintu kayu Julio mengetuk pintu perlahan.
"Masuk." Sebuah suara bariton dari dalam menjawab ketukannya.
Julio melangkah mendekat pada meja kerja Aldriansyah. Di belakang meja itu terdapat rak berisi banyak buku.
Beberapa map dan berkas terbuka, majikan Julio Pratama sedang meneliti dan memasukkan data ke dalam komputer. Melihat Julio datang, Aldriansyah meletakkan bolpoin di samping sebuah berkas lalu mendongak, "Bagaimana tugas yang kuserahkan padamu?"
"Sudah Tuan. Saya sudah memberikan pemberian Tuan. Juga mengatakan akan menjemputnya pukul sepuluh besok pagi."
Sebulan yang lalu ketika ia menghubungi keluarga Hartanto Wijaya menanyakan perihal pernikahan anak-anak mereka Ayah Adara itu berkelit, memberikan banyak alasan sehingga mau tak mau calon pengantin Antony Ibrahim ditukar.
"Bagaimana menurutmu si Adara, calon istri Antony ini?"
"Dia gadis yang cantik dan polos Tuan," jawab Julio kemudian.
"Bagus, terimakasih. Kamu bisa kembali ke perusahaan dan mengerjakan tugasmu."
Julio mengangguk dan keluar dari ruang kerja Aldriansyah Ibrahim.
Aldriansyah Ibrahim merenung, kerutan tampak di keningnya. Perjodohan antara anaknya dan keluarga Hartanto sudah dilakukan sejak anak mereka kecil. Namun, tak disangka beberapa hari yang lalu keluarga Hartanto menggantikan calon pengantin. Mengutus anak terakhirnya untuk menikah dengan Antony.
Lelaki berumur lima puluhan tahun itu berjalan ke kamar anak lelakinya. Ia ingin melihay keadaan Antony. Beberapa hari ini penyakit insomnia sang anak kembali kambuh. Jika sudah begitu emosi sang anak tidak akan terkendali, ia akan berteriak dan marah-marah seorang diri.
Tanpa mengetuk pria tua itu langsung membuka pintu kamar Antony.
"Antony?"
Seorang lelaki dengan postur tinggi tegap sedang menatap ke luar jendela. Ia mengembuskan asap rokok dengan cepat lalu berbalik, "Papa …."
"Bagaimana keadaanmu?"
"Masih sama seperti kemarin," kata Antony dengan dingin. Ia kembali menghisap sebatang rokok di sela jemarinya.
"Kamu harus banyak beristirahat jangan minum-minuman beralkohol, hentikan merokok. Ingat besok calon istrimu akan datang. Bersikap baiklah padanya."
Tak ada jawaban. Antony tak mendengarkan sang papa. Baginya merokok adalah jalan keluar dari semua masalah.
Sejak kecelakaan mobil yang menimpanya ia menutup diri dari dunia luar. Tak begitu membaur dengan para kerabat juga kolega perusahaan Papanya.
Sehingga rumor di luar mengatakan ia mengalami cacat mental juga cacat tubuh.
Aldriansyah mendekat pada Antony. Urat-urat di matanya memerah. Kantung mata menghitam di bawah kelopak matanya juga tampak tebal.
"Astaga, sudah berapa hari kamu tak tidur?"
Antony menghempaskan tangan Aldriansyah saat akan mengambil rokok di sela tangannya.
"Jangan mengaturku Pa, atur sendiri hidup Papa," desis Antony penuh amarah.
"Antony …." Aldriansyah terkejut melihat reaksi sang anak. Terakhir kali membawa sang anak ke psikiater untuk meredakan penyakit insomnia itu, ia hanya bisa tertidur beberapa jam. Tak ada perubahan.
"Kapan terakhir kali kamu minum obat?" tanya Aldriansyah pada sang anak.
"Aku bosan Pa, hanya ingin tidur saja aku harus minum beberapa obat. Apa papa tahu rasanya, hah?" Antony meninju dinding. Melangkah keluar dari kamar.
Aldriansyah terperanjat dengan tingkah sang anak. Penyakit insomnianya semakin akut dan menyebabkan sang anak tak bisa mengontrol emosi.
"Mau kemana kamu?"
Tak ada jawaban. Punggung Antony sudah semakin jauh. Mengenakan celana kain berwarna hitam dan kemeja senada yang dilipat selengan, lelaki beralis tebal itu meninggalkan rumah. Ia menaiki mobil Rolls Royce Phantomnya. Meluncur ke pusat kota Jakarta.
Klub 999, salah satu klub milik keluarga Ibrahim. Tempat para orang kaya berkumpul. Sejam yang lalu Nicky Leonardo, sahabat Antony memintanya untuk datang.
Mereka biasa menghabiskan waktu di sana. Sekadar mendengar musik atau bermain kartu. Tentu saja ada wanita cantik yang bisa dipesan untuk menemani di sana.
"Pelayan siapkan minuman dan wanita cantik untuk Antony."
***Terpaksa Menikahi Tuan Muda***
Bersambung …
Mobil rolls Royce Phantom baru saja terparkir. Seorang lelaki memakai setelan hitam dengan wajah pucat turun dari mobil.Tubuhnya yang tinggi dengan cepat sampai ke dalam klub dalam beberapa langkah. Saat membuka pintu, semua tatapan tertuju pada Antony."Selamat datang Tuan Muda," sapa seorang pekerja. Ia tersenyum dengan genit pada Antony.Sudut mata Antony hanya meliriknya. Terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan pelayan tadi.Aura ketampanan dan dingin terpancar dari sosok Antony. Dia terlihat kejam dan membunuh hanya dengan menatap lawan bicaranya.Antony terus masuk dan menuju sebuah ruangan bertuliskan VVIP di atasnya. Itulah ruangan yang biasa ia gunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya.
"Berhenti!""Siapa kalian?"Adara berteriak dengan sekuat tenaga ketika menyaksikkan tindak kejahatan di depannya."Gadis kecil, jangan ikut campur urusan orang dewasa pergi sana," sergah lelaki yang menempelkan pisau ke perut lelaki di sampingnya.Satu lelaki lagi segera berlari ke arah Adara. Ia memegang tangan gadis bermata bulat itu.Bola mata Adara berputar. Keningnya mengernyit. Ia sedang serius mencari cara untuk melepaskan diri dari kedua lelaki di hadapannya."Tolooong." Adara berteriak meminta tolong dengan kencang."Diam," desis lelaki dengan tato di lengan kirinya itu.Lel
"Diam dan renungkan kesalahanmu." Hartanto mendorong Adara masuk ke kamarnya. Ia menguncinya dari luar."Ayah, kenapa tega sama Adara?" Adara berteriak, ia menggedor pintu kamarnya.Hartanto termenung di depan kamar sang putri ketiga sejenak. Ada rasa tak tega menumbalkan sang anak demi uang. Muncul Siti Aminah, memegang pundak sang suami."Tenanglah, semua akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Tak usah mengkhawatirkan Adara. Ia akan hidup senang setelah ini."Siti Aminah tersenyum ke arah Hartanto. Mereka berjalan ke kemar tidurnya. Jarum pendek jam di dinding sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Waktu yang cukup larut untuk keluarga itu.Setelah semua yang terjadi. Adara tak lagi menangis. Hatinya lebih kuat d
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak kedua atau kakak pertama saja?Adara Aurelia kurnia, memelotot. Urat halus timbul di wajah putihnya. Dalam raut marah wajahnya terlihat merah padam."Kakak pertamamu sudah punya pacar dan akan menikah sebentar lagi. Sementara kakak keduamu masih kuliah. Ibu mohon, mengalahlah untuk sekali ini saja," pinta Siti Aminah."Nggak," ucap Adara. Ia menggelengkan kepala perlahan. Matanya memerah, sudut matanya mulai basah, "Adara baru delapan belas tahun. Ijazah SMA aja belum jadi. Lagi pula, Adara gak mau menikah dengan orang yang tidak Adara kenal," bantah gadis muda berambut panjang itu.Siti Aminah menatap anak ketiganya penuh harap, "Jika bukan kamu, k
Hartanto, Siti Aminah, Almira dan Siska saling pandang. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu."Sudahlah Adara, jangan menolak lagi. Jangan berdebat dengan orang tua, sebagai anak yang berbakti kamu harus menurut, apa kamu mau berdosa?!" Almira menyibakkan rambut kecokelatannya."Ngaaak! Aku gak mau."Adara berlari keluar dari rumahnya. Sedih dan kesal membuatnya lupa memakai sandal. Ia berlari tanpa alas kaki."Keterlaluan. Kenapa harus selalu aku? Kenapa sikap mereka selalu berbeda jika padaku? Sebenarnya aku ini anak mereka bukan, sih?""Aku akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Agar mereka tak menemukanku."Adara menggerutu seorang diri sambil terus berlari. Sesekali ia mengernyit
"Diam dan renungkan kesalahanmu." Hartanto mendorong Adara masuk ke kamarnya. Ia menguncinya dari luar."Ayah, kenapa tega sama Adara?" Adara berteriak, ia menggedor pintu kamarnya.Hartanto termenung di depan kamar sang putri ketiga sejenak. Ada rasa tak tega menumbalkan sang anak demi uang. Muncul Siti Aminah, memegang pundak sang suami."Tenanglah, semua akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Tak usah mengkhawatirkan Adara. Ia akan hidup senang setelah ini."Siti Aminah tersenyum ke arah Hartanto. Mereka berjalan ke kemar tidurnya. Jarum pendek jam di dinding sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Waktu yang cukup larut untuk keluarga itu.Setelah semua yang terjadi. Adara tak lagi menangis. Hatinya lebih kuat d
"Berhenti!""Siapa kalian?"Adara berteriak dengan sekuat tenaga ketika menyaksikkan tindak kejahatan di depannya."Gadis kecil, jangan ikut campur urusan orang dewasa pergi sana," sergah lelaki yang menempelkan pisau ke perut lelaki di sampingnya.Satu lelaki lagi segera berlari ke arah Adara. Ia memegang tangan gadis bermata bulat itu.Bola mata Adara berputar. Keningnya mengernyit. Ia sedang serius mencari cara untuk melepaskan diri dari kedua lelaki di hadapannya."Tolooong." Adara berteriak meminta tolong dengan kencang."Diam," desis lelaki dengan tato di lengan kirinya itu.Lel
Mobil rolls Royce Phantom baru saja terparkir. Seorang lelaki memakai setelan hitam dengan wajah pucat turun dari mobil.Tubuhnya yang tinggi dengan cepat sampai ke dalam klub dalam beberapa langkah. Saat membuka pintu, semua tatapan tertuju pada Antony."Selamat datang Tuan Muda," sapa seorang pekerja. Ia tersenyum dengan genit pada Antony.Sudut mata Antony hanya meliriknya. Terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan pelayan tadi.Aura ketampanan dan dingin terpancar dari sosok Antony. Dia terlihat kejam dan membunuh hanya dengan menatap lawan bicaranya.Antony terus masuk dan menuju sebuah ruangan bertuliskan VVIP di atasnya. Itulah ruangan yang biasa ia gunakan untuk berkumpul bersama teman-temannya.
Hartanto keluar dari kamarnya, segera menuju ruang tamu. Bola matanya membesar menatap Julio Pratama, "Kamu siapa?""Dia selingkuhan Adara, Yah."Pemikiran Siti Aminah sungguh picik. Ia berpikir jika Adara sengaja mencari pria lain untuk menghindari pernikahannya."Tidak, Bu. Bukan seperti itu." Adara berusaha menjelaskan. Tangannya meraih rambut panjang yang ditarik paksa ibunya, "Lepaskan Bu, sakit."Adara memelas meminta sang ibu melepaskan jambakan rambutnya. Sementara sang ibu seperti kesetanan terus menarik rambut Adara."Tolong hentikan, akan saya jelaskan." Julio Pratama mendekat ke arah Siti Aminah dan Adara.Melihat Adara dan Julio Pratama terlihat dekat Hartanto b
Hartanto, Siti Aminah, Almira dan Siska saling pandang. Mereka terlihat menyembunyikan sesuatu."Sudahlah Adara, jangan menolak lagi. Jangan berdebat dengan orang tua, sebagai anak yang berbakti kamu harus menurut, apa kamu mau berdosa?!" Almira menyibakkan rambut kecokelatannya."Ngaaak! Aku gak mau."Adara berlari keluar dari rumahnya. Sedih dan kesal membuatnya lupa memakai sandal. Ia berlari tanpa alas kaki."Keterlaluan. Kenapa harus selalu aku? Kenapa sikap mereka selalu berbeda jika padaku? Sebenarnya aku ini anak mereka bukan, sih?""Aku akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Agar mereka tak menemukanku."Adara menggerutu seorang diri sambil terus berlari. Sesekali ia mengernyit
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak kedua atau kakak pertama saja?Adara Aurelia kurnia, memelotot. Urat halus timbul di wajah putihnya. Dalam raut marah wajahnya terlihat merah padam."Kakak pertamamu sudah punya pacar dan akan menikah sebentar lagi. Sementara kakak keduamu masih kuliah. Ibu mohon, mengalahlah untuk sekali ini saja," pinta Siti Aminah."Nggak," ucap Adara. Ia menggelengkan kepala perlahan. Matanya memerah, sudut matanya mulai basah, "Adara baru delapan belas tahun. Ijazah SMA aja belum jadi. Lagi pula, Adara gak mau menikah dengan orang yang tidak Adara kenal," bantah gadis muda berambut panjang itu.Siti Aminah menatap anak ketiganya penuh harap, "Jika bukan kamu, k