Eleanor terbangun lagi. Kepalanya pening dengan berat, perutnya terasa lapar. Saat dia terbangun, dilihatnya Miranti berdiri di kaki ranjang dengan ekspresi yang tenang dan tak berwarna."Kamu sudah bangun, makananmu ada disana," ungkap Miranti, menunjuk bubur di atas piring, diletakkan di nakas di samping tempat tidur."Aku tidak bisa banyak membantumu dan membuatmu besar kepala." Ujarnya pula, lalu Miranti meninggalkan kamar Eleanor. Ele mencoba menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur. Dia mencoba meraih makanan di atas meja dengan tangan gemetar. Rasanya sangat lemas dan tak bertenaga.Dia menyuap makanan, sesendok, dua sendok, tiga sendok, dan dia tidak punya kekuatan lagi. Semuanya terlihat berputar sehingga dia tidak bisa menyelesaikan makannya dengan cara duduk. Kendatipun masih terasa lapar, Ele akhirnya menaruh piring itu lagi di atas nakas, yang menghasilkan suara berdentang karna dia tidak bisa menahan tangannya yang gemetar."Pusing..." Keluhnya pelan, membaringkan d
Tristan memandang sosok Ele yang terbaring dengan alat bantu kesehatan di sekujur tubuhnya. Dia masih nyaris tidak dapat mencerna, ketika dia tiba hari ini dan mendapati Ele tergeletak di pintu kamarnya tak sadarkan diri, dan Miranti di kabarkan oleh asisten rumah tangga sedang pergi keluar. Melihat keadaan Ele yang tampaknya sudah tidak bisa di tangani dengan penanganan rumahan, Tristan langsung melarikan Eleanor ke rumah sakit.Yang membuat dia semakin kebingungan, dokter mengatakan kalau tubuh Ele kekurangan asupan makanan dan minuman yang kesehatan gadis itu semakin memburuk.Tristan mengeluarkan ponselnya, menelpon asisten rumah tangganya, Wulan."Ibu sudah pulang?" Tanyanya langsung."Belum, Pak.""Suruh dia ke rumah sakit kalau sudah kembali." Ujar Tristan. Bukan apa-apa, dia sudah berusaha menghubungi Miranti, tapi ponsel istrinya itu malah mati."Baik, Pak." Sahu Wulan, salah satu asisten rumah tangga mereka pula dengan patuh.Tristan bermaksud mengakhiri pembicaraan, namun
"Kami sudah berhasil melacak keberadaan Nyonya, Tuan." Laporan Gabriel, orang kepercayaannya itu membuat Effendy menoleh menatapnya. Taman luas yang tertampang dari ruang kerja di rumahnya kini terasa lebih menarik semenjak kepergian Ele. Dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk merenung disana."Dia dimana?"Gabriel baru hendak bicara ketika pintu ruang kerja Effendy terbuka, dan Ashley berdiri ragu-ragu disana. Tak seperti dulu dimana dia akan menyelonong tanpa permisi, sekarang perempuan itu lebih berhati-hati.Effendy melangkah ke pintu, "Ada apa, Ashley?""Aku hanya ingin tahu kabarmu, sudah berapa hari ini kamu tidak dapat dihubungi,""Aku sibuk."Ashley mengernyit, "Aku terus memikirkan malam itu. Kamu meninggalkanku seolah aku hanya seonggok barang." Kecam Ashley pula, mulai menampakkan taringnya."Kita akan membicarakan itu nanti,""Kamu harus bertanggungjawab," Ashley menekan dengan tatapan tajam.Effendy terdiam sesaat, "Itu hanyalah sebuah insiden. Aku juga bukan
"Aku mau bicara," ucapan Effendy yang pelan itu secara otomatis mengaktifkan mode serius di antara mereka. Mereka berada di dalam kamar Effendy, duduk berhadapan di sofa biru gelatik yang ada di sana. Ele menyukai wangi tubuh Effendy, dia merasa heran dengan dirinya sendiri. Rasanya dia ingin memeluk dan menghidu bau itu dari sosok suaminya secara puas. "Aku minta maaf," tegas Effendy seraya menatap netra coklat gelap Eleanor. Ele meremat tangannya tanpa sadar. "Maaf untuk apa?" Tanyanya, sedikit gemetar. Bayangan malam itu kembali singgah di benaknya, bercampur dengan dorongan untuk memeluk dan mencium wangi tubuh suaminya. Ele merasa heran dengan dirinya sendiri."Aku tahu itu melukai kamu, aku benar-benar tidak sadar saat aku melakukan itu," gumam Effendy pula. Tatapan matanya menurun, " Kamu bisa membenciku, tapi aku bisa mengatakan bahwa itu hanyalah ketidaksengajaan, dan aku benar-benar minta maaf, Eleanor.""Aku..." Ele mengigit bibir bagian dalamnya, merasa parasnya sudah me
Effendy tidak bisa melukiskan perasaan apa yang muncul di dadanya mendengar pengakuan Ashley. Itu seperti perasaan tenggelam dimana tidak ada yang mengulurkan tangan untuknya.Laki-laki itu terdiam. Ashley berdiri dan menatap matanya, menyerahkan sebuah surat dokter yang masih terlipat rapi. "Aku hamil, Mi amor." Ashley meraih tangan Effendy yang masih terdiam kaku, meletakkannya di perutnya yang rata, "Dan ini adalah anakmu.""Kenapa ini bisa terjadi?" Chislon menggumam, merasa frustasi. Dia membuka surat dokter pemberian Ashley, mendapati pernyataan bahwa wanita di hadapannya positif hamil."Kamu tanya kenapa? Kita melalui malam yang panas, Chislon. Bagaimana bisa kamu menanyakan mengapa ini bisa terjadi?" Ashley menampakan ekspresi marah, dia meraup wajah Effendy lembut, menatap sepasang mata laki-laki itu dengan lekat, "Ini adalah anakmu, Chislon. Apakah kamu tega membiarkan anakmu terhina sebagai anak yang lahir tanpa ayah? Anak yang lahir dalam hubungan yang tanpa ikatan?"Effen
Eleanor merasa tubuhnya mendadak kaku. Dia mundur sebentar, mencari kekuatannya, lalu menatap mata biru suaminya, "Mengapa?"Effendy menimbang-nimbang, lalu dengan berat dia menjawab, "Ashley hamil anakku."Eleanor tak banyak bereaksi, gadis itu diam, pandangannya menurun dan berubah redup. Dia merasa huyung, karnanya Ele memutuskan untuk duduk di atas kursi yang ada di dekatnya."Kamu dan dia..." "Aku minta maaf," Ele terlalu linglung, bahkan tak menyadari ketika Effendy telah berlutut di depannya, menatap penuh permohonan, "Aku minta maaf." Ulang Effendy.Matanya mendadak panas, Ele keheranan dengan dirinya yang akhir-akhir ini tidak dapat mengendalikan diri. Dengan bibir gemetar, dia berusaha bersuara. "Kau yakin itu anakmu? Maksudku... Kalian...""Itu anakku, Ele."Pupus. Segala harapannya untuk tetap bersama dengan lelaki yang telah merebut separuh hatinya itu pupus sudah. Ele tak melihat apapun, dia merasa segala sesuatu gelap untuk sesaat. Lama, mereka terdiam tanpa kata. Keh
Hari itu nyatanya tiba juga, tepat seminggu setelah Effendy membicarakan perceraian dengan Eleanor, surat itu pun sampai. Effendy tak di sana, hanya Ele seorang diri didalam kamarnya menatapi lembar pengesahan status pisah mereka. Lama, dia tercenung. Ele tak menaruh perhatian sedikitpun dengan pernyataan bahwa Effendy akan tetap bertanggungjawab secara nafkah setelah mereka bercerai. Pikirannya, terasa kosong. Eleanor mengangkat tangannya, menandatangani surat itu dengan sekali gerak, lalu berdiri.Dia menatap sekeliling kamarnya sebentar, lalu meraih kopernya yang sudah dia siapkan sejak tadi. Dengan langkah yang dikuatkan, Ele keluar dari kamarnya, melihat Maritha dan para maid yang lain telah berdiri di depan kamarnya dengan ekspresi prihatin."Selamat berpisah, Nyonya," mata Maritha tampak memerah. "Saya berharap Anda selalu berbahagia." "Terimakasih, Rith. Terimakasih juga karna sudah banyak membantuku selama ini." Ele memeluk maid yang paling dekat dengannya itu lalu menoleh
Eleanor membuka mata, menyaksikan dirinya telah berada di ruangan yang mudah dikenalinya sebagai kamar rumah sakit. Bau rumah sakit selalu khas untuk mengirimkan informasi ke otaknya. Tangannya di selundupi infus, membuat Ele berusaha mengingat apa yang membawanya kesini.Tristan ada dalam ruangan itu, menatapnya dengan pandangan yang rumit. Laki-laki itu bahkan tak tersenyum ketika melihat Ele telah sadar."Anemiaku kambuh," ujar Ele dengan pandangan ke langit-langit. Tristan mendekat ke ranjangnya, kali itulah Ele melihat laki-laki itu mencoba tersenyum saat menatapnya. "Aku ingin memberitahu sebuah kabar, aku harap kamu tidak kaget," ujarnya pula. Ekspresinya terlihat muram."Apa yang hendak Mas sampaikan?"Tristan menarik nafas sejenak. "Kamu hamil, sudah lima Minggu."Eleanor terdiam sesaat, dia mencoba bergerak duduk meski kepalanya masih sedikit terasa pening. Hamil? Lima Minggu?Itu adalah anak Effendy. Ele tahu. Tapi sekonyong-konyong dia merasa tak berdaya, kaget, dan bingu