Setelah menjalani masa recovery dua hari, Effendy akhirnya benar-benar sembuh. Pagi itu dia kembali berangkat ke kantor, mendapati setumpuk dokumen di atas mejanya yang belum di ACC dan ditandatangani olehnya. Laki-laki itu baru meraih berkas pertama saat pintu ruangannya terbuka, dan sosok seorang perempuan melangkah masuk.“Hei,” Chislon tersenyum. Tangannya menaruh berkas itu lagi. Siapa lagi perempuan yang bisa membuatnya tersenyum seperti itu kalau bukan Ashley?Wanita itu melangkah mendekat pada Chislon dan mereka berpelukan sebentar.“Kamu sudah sehat?” tanya Ashley.“Seperti yang kamu lihat,” ungkap Effendy. “Kamu tidak menjengukku.” Lanjutnya. Dia mengucapkannya sebagai peenyataan, bukan rajukan.“Well, aku datang.” Ashley tersenyum tipis. “Tapi istrimu tersayang mengusirku dari rumahmu.”Effendy mengangkat sebelah alisnya. “Dia melakukan itu?”“Dia mengusirku, Mi Amor. Mengusirku dari sebuah tempat yang sudah kuanggap sebagai rumahku sendiri.”“Dia tidak bilang kalau
Effendy menepati janji. Sore itu, selepas kembali dari kantor, dia mengajak Ele ikut bersamanya di dalam mobil yang sama. Uniknya Effendy tidak menggunakan jasa sopirnya kali ini, dia yang menyetir sendiri. Namun Ele yakin pengawal pengawal pribadi laki laki itu tersebar di setiap tempat atau mungkin tengah mengawal mereka sekarang.“Boleh aku minta satu hal?” Ele membuka suara ketika mereka harus berhenti karna lampu merah.”Effendy sedang mengetikkan sesuatu pada ponselnya, lalu menoleh pada istrinya. “Apa? Kamu ingin pesawat pribadi?”Mau tak mau Ele tersenyum mendengar ucapan yang dilontarkan Effendy dengan nada serius dan santai itu.“Aku sudah memenuhi keinginanmu untuk meminta maaf pada Nona Bimantara, sebagai kompensasi, bisakah aku meminta kamu berhenti menyuruh Gabriel atau siapapun itu terus membuntuti aku?”“Itu demi keamananmu.”“Aku aman, Chislon. Aku tidak membutuhkan pengawalan berlebihan seperti itu. Aku merasa seperti buronan yang kemana-mana selalu di buntuti.
Aku sudah meminta maaf, jadi aku harap kau juga mengabulkan apa yang aku minta,” ucap Ele ketika mereka sudah berada bersama di dalam mobil.“Baiklah,” jawab Effendy, mengerti apa yang dibicarakan istrinya. “Kau yakin, masih ingin mempertahankan pernikahan ini?”Atas pertanyaan itu, Eleanor menatap suaminya. Sorot matanya menyimpan kecemburuan yang samar, namun dia memaksa tersenyum. “Aku masih ingin memperjuangkannya.”Effendy tak bertanya lagi. Dia memilih bungkam.***“Ada seorang perempuan yang datang dua Minggu yang lalu,” lapor Darmawati ketika Ele berkunjung di Panti Harapan weekend itu. Dia duduk di depan Ele yang tengah memangku Alinda, bayi yang baru berusia dua tahun.“Perempuan itu menanyakan anaknya,”“Anak?” Ele tampak tertarik, dia melihat pada sang Bunda dengan kening berkerut. Darmawati mengangguk. “Dia menanyakan seorang bayi yang pernah di tinggalkannya di panti asuhan ini nyaris 20 an tahun yang lalu.”“Siapa yang dia
Selepas kepergian Dewi Bimantara, Effendy meninggalkan ruang tamu tanpa mengucapkan apapun.Ele hanya menatap punggung suaminya dan menghela napas pelan. Suaminya semakin terasa jauh sekarang. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya, namun baru saja dia bergerak bangkit, Ashley Bimantara datang dari arah pintu depan, airmukanya masam, Ele bahkan masih dapat mendeteksi sudut matanya yang basah."Dimana Chislon?" tanyanya pada Ele yang berdiri di ruang depan."Dia berada di kamarnya."jawaban Eleanor tak mendapatkan balasan berarti, dengan tergesa, Ashley menaiki tangga, meninggalkan Ele yang berdiri diam menatapnya.***Ashley membuka pintu kamar Chislon tanpa aba-aba, melihat laki-laki itu tengah melepas atasannya. Mereka bersitatap dalam diam, lalu Ashley dengan tampilan yang emosional berjalan masuk."Aku tidak bisa lagi, Chislon." ucapnya pula. Effendy diam, membiarkan wanita itu menuntaskan ucapannya."Kamu harus menikah denganku! Ceraikan perempuan itu! kamu m
Andika Syailendra menghela napas memandang AShkey yang menangis sesenggukan di hadapannya. Mata gadis itu sembab, wajahnya bebas make up sama sekali. Laki-laki itu menyodorkan segelas air putih dan kotak tisu, yang diletakkannya lembut di atas meja kerjanya. Ashley mendatangi dirinya saat dia masih berada di rumah sakit.Ashley meraih tisu yang ada, menyeka airmatanya yang membanjir."Dia bilang dia tidak mencintaiku, lagi, Dik." Ashley berkeluh kesah. Didalam circle pertemanan mereka, Andika adalah orang pertama yang akan Ashley mintai bantuan saat dia marahan dengan Effendy sejak dulu. Andika adalah satu-satunya orang yang tidak lantas menyalahkannya. Sekalipun Ashley satu circle dengan Salma, dia tidak pernah berani berlari membicarakan masalahnya dengan Effendy pada Salma. Salma adalah wanita yang realistis, dia tidak pernah ragu menyalahkan dan menyudutkan Ashley kalau dia rasa hal itu salah dalam pandangannya. Sedang Fred cenderung hanya jadi pendengar, tidak memberikan solusi d
Saat Effendy baru saja hendak membaringkan diri, pintu kamarnya terbuka, di sana ada Ashley yang langsung bergerak masuk tanpa Tedeng aling-aling, membuat Chislon Abimanyu bergerak bangkit dengan cepat dan menarik tangan Ashley keluar pintu."Kamu seharusnya tidak datang kesini," tukas Chislon pula dengan menekan, tapi cengkraman tangannya yang menggenggam lengan Ashley masih sama lembutnya seperti dulu."Aku mau bicara," ungkap Ashley pula dengan suara rendah dan mata yang memohon. Chislon menghela nafas. "Baik, tapi jangan disini," Ashley menarik Chislon mengikutinya menuju kolam resort. Satu hal yang dilupakan Chislon adalah kolam itu berada tepat di depan dinding kaca kamarnya yang gordennya belum tertutup sempurna.Mereka duduk di tepi kolam, di atas kursi kolam yang terbuat dari rotan, dalam naungan pohon kemboja yang khusus di tanam di dekatnya."Aku minta maaf karna telah bersikap selfish tempo hari," ucap Ashley pula dengan lembut. "Aku sadar aku salah. Aku tidak seharusnya
Malam telah beranjak larut, Ele mendapati dirinya terjaga dengan tiba-tiba, saat dia menoleh ke samping, Ele melihat Chislon sudah kembali, berbaring dengan tenang dengan posisi terlentang. Wanita itu tidak lagi merasa mengantuk, saat dia melirik jam, itu sudah pukul dua malam. Ele bergerak duduk dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur, menekuk lututnya yang berbalut selimut, memandang ke arah dinding kaca geser yang memang sengaja tidak tertutup. Pemandangan di luar hening dan remang, namun tak menutupi keindahan resort mewah ini. Lalu, rasa itu kembali lagi. Ele benci perasaan itu. Sejak kecil, di waktu-waktu tertentu dia akan terbangun dan merasakan perasaan sendirian yang menyedihkan sehingga dia merasa begitu sakit. Dia akan merasa cemas dan khawatir tanpa sebab. Mungkin disebabkan oleh trauma masa kecilnya saat dia tidak benar benar memiliki keluarga utuh pada umumnya, dibesarkan di panti.Ele menyayangi Bundanya, menyayangi semua saudara-saudara senasibnya di panti
Saat Eleanor dan Fred kembali menemui yang lain, mereka tampak sudah bersiap untuk kembali. Saat keduanya muncul mendekat, tak dapat dipungkiri, empat pasang mata menatap ke arah mereka beberapa saat dengan ekspresi berbeda ."Kalian bersama?" Ashley bersuara. "Kupikir tidak cukup baik pergi bersama pria lain tanpa menemui suamimu lebih dulu," lanjutnya pula sembari tertawa kecil untuk menyamarkan sindirannya, namun tetap saja ucapan itu membuat Ele menjadi canggung, apalagi dia dapat merasakan tatapan Salma padanya yang agak tidak biasa. Mereka kembali ke resort setelah berjemur santai.Effendy berjalan di didepan, diikuti Ashley, lalu Salma dan Fred. Dibelakang, adalah Andika dan Ele.Saat Ele hendak berjalan melewati Andika yang melambatkan langkahnya, sang dokter menahan tangannya. Ele mengangkat alisnya, menatap sang dokter dengan ekspresi bertanya."Kau baik-baik saja?"Ele tidak yakin dengan maksud pertanyaan Andika, namun dia mengangguk saja. "Aku baik. Bagaimana denganmu?""T