Dengan terburu-buru, Sean membawa mobilnya dengan kecepatan penuh. Ia mengajak serta Gea yang mengomel dengan memangku Gatra di bangku belakang.“Abang jangan egois! Kalian, tuh mau nikah, aku nggak mau kalau ada drama aneh-aneh lagi,” sungut, Gea dengan emosi yang tertahan.Kalau tidak ada Gatra di pahanya dia tidak akan mengerem setiap kata yang dilontarkan pada sang kakak.“Gea, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Aku tidak pernah mau dan ingin menunda apa pun yang aku rencanakan dengan matang. Ini tentang Sky, Kakakmu, adik abang. Apa salahnya aku terbang ke sana sebentar melihat kondisinya?” jawab Sean dengan melirik adiknya lewat arah spion yang ada di depannya. Kemudian kembali memusatkan pandang pada jalanan pagi yang tampak sudah terisi penuh dengan beberapa kendaraan.“Kalau kau sakiti Zeta, aku tidak akan lagi membelamu, ingat itu! Kau bukan lagi abangku,” ancam Gea.Sean bungkam. Tidak ada sedikit saja niatnya untuk menyakiti Zeta. Hari pernikahan mereka baru akan d
“Sean!” Melihat kedatangan pria itu, Freya berlari dan memeluk tubuh laki-laki yang pernah menjadikan dia wanita paling beruntung di dunia. Tangisnya pecah, seraut wajah yang dulu tampak menarik di mata Sean sekarang hanya terlihat parau.“Sky belulm juga sadarkan diri. Dokter terus upayakan agar dia lekas dibawa ke rumah sakit lebih besar, Sean,” isaknya. Membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan terenyuh.Kedatangan mereka ke sini untuk berbulan madu, siapa yang sangka jika kejadiannya akan menjadi seperti ini?Sebelum menjawab setiap penuturan Freya, Sean melepaskan jaket yang dia kenakan. Ia selimutkan di bahu Freya. Masih ia dekap tubuh kurus itu dan ia ajak untuk duduk. Melihat penampilan Freya, Sean bisa pastikan bahwa gadis itu tidak ada waktu untuk sekadar menutup tubuhnya.“Kita doakan agar Sky baik-baik saja, ya. Mungkin karena terlalu lelah,” timpal Sean dengan nada bicara setenang mungkin.Dia pria yang tidak pernah merasakan panik. Namun, pagi tadi, rasanya Sean kehil
86Pekatnya malam sudah merajam senja jingga di ufuk barat. Zeta, hanya mampu duduk menanti sebuah kabar dengan berbangku tangan yang setia menggenggam ponselnya. Wajahnya sudah membengkak karena terlalu banyak menangis. Sejauh ini tidak pernah Sean lupa memberi kabar ataupun membalas pesan yang dia kirimkan.Akan tetapi, hari ini— sudah sepuluh jam terlewat pesan yang ia kirim tidak juga mendapatkan sinyal dibaca ataupun ingin menjawabnya.“Mbak, ayo! Kita makan dulu, Runi udah masak kesukaan Mbak, lho,” ajak asisten rumah tangga yang sejak pagi tenaganya sudah terkuras habis karena mengasuh dan juga membereskan rumah sendirian.Sedangkan Zeta hanya melamun, termenung, menangis, dan terkadang terisak dalam bungkamnya. Suaranya tidak keluar sejak Sean keluar dari rumah mungil bergaya modern naturalis.Gelengan kepala itu dilihat Runi. Sudah satu jam lamanya dia membujuk majikannya untuk memasukkan barang sebutir nasi ke mulutnya, tetapi terus saja di tolak.“Mbak istirahat aja, aku mau
87Sky meraih perlahan tangan istri dan juga kakaknya. Menyatukan jemari keduanya yang membuat Sean menautkan alis dengan lekat. “Apa ini, Sky?” jelas dia tidak tahu apa yang dilakukan pria itu sampai, Sky menjelaskan pikirannya pada mereka berdua.“Aku melihat surat perceraian kalian. Aku merebut Freya darimu. Seharusnya kalian sudah bahagia bukan? Kuanggap ini hukuman untukku. Karena sikapku yang sudah diluar batas. Aku—” tatapannya beralih pada Freya. “Aku memanfaatkanmu. Dari awal hubungan kita tidak sesuci dan sekuat yang kamu harapkan, Babe. Aku minta maaf.” Freya menggeleng. Dia bahkan tidak menganggap bahwa dirinya dimanfaatkan.“Kamu ngomong apa?” sergah Sean.“Tidak, diam dulu.” Sky tidak mau ucapannya terpotong. Atau Tuhan tidak akan memberi kesempatan untuk melanjutlan ucapannya lagi.“Aku tahu sekarang perasaanmu sangat kuat untukku dan juga Sean. Kau mencintaiku dan tidak mau kehilangan abangku. Freya, Abang. Kalau dalam waktu dekat atau suatu hari nanti aku mati, maukah
Sepanjang malam, Sean tidak berhasil memejamkan matanya. Ia terus melirik ponsel dengan perasaan yang tidak menentu. Pikirannya terus berputar-putar. Memikirkan ucapan adiknya, demikian juga Zeta. Dia tidak akan bisa menjelaskan keinginan Sky pada Zeta.Pucuk dicinta ulam pun tiba. Gawai di tangannya bergetar dan menampilkan nama kekasihnya. Dengan tangan bergetar, Sean menggeser icon berwarna hijau itu. Wajah Gatra langsung menyambutnya.“Papa, Papa,” ocehnya dengan suara terbata-bata karena sepertinya bocah itu baru saja menghabiskan malam dengan tangisan. Namun kemudian ia kembali meraung.“Dia terus menangis sepanjang malam. Mbak Runi dan aku tidak bisa membuatnya tenang, Mine.” Ada getar yang menyesakkan saat mendengar panggilan Zeta yang biasanya selalu membuatnya nyaman. Ada sesuatu yang memberontak. Ada hal lain yang membuatnya sedih dan dihinggapi penyesalan hebat ketika kata itu disebut.“Mine? Kamu baik-baik saja? Aku tidak minta kau kembali sekarang. Hanya saja mungkin kau
Tubuh Zeta gemetar bukan main. Selain ia belum tidur sejak kemarin, ia pun tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali air putih. Sekarang, ia menggendong Gatra yang mulai menurut padanya, tetapi suhu tubuh bocah itu meningkat sejak bangun tidur pagi tadi. "Mau Papa, Tante," rengeknya pelan. Tatapan matanya sayu."Mau telpon Paman dulu sampai dia datang, Sayang?" Gatra menggeleng pelan. "Mau papa, bukan telepon," jawabnya masih dengan suara yang lemah. "Sabar, ya. Paman akan segera datang." Gerakan tangan Zeta tidak berhenti barang sebentar. Ia terus mengayunkan langkah dan lengan agar Gatra merasa nyaman. "Mbak Zeta. Di luar ada masalah," lapor Nia. Ia meremas ujung apron yang dia kenakan dengan gerakan kuat. "Masalah apa?" suaranya tidak kalah lirih dari Gatra. Dengan tidak anggun, ia menarik ingus yang sudah hendak keluar dari hidung. "Itu mbak. Pembeli permasalahkan toping, katanya— katanya—""Katanya apa, Nia? Kepalaku pusing banget, bisa lebih cepat ngomongnya?""Ka
Sorot mata Sean menatap penuh kasih pada Gatra yang terlelap di ranjang bersama dengan Zeta. Mereka baru saja pulang dari klinik. Meneguk obat masing-masing dan kini terpengaruh obat-obat tersebut. Tatapan Sean secara bergantian memerhatikan wajah kekasihnya dan juga anak dari adiknya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Beban yang terasa salah, tetapi juga dirasa tidak benar. Tidak mungkin aku menempatkanmu dalam satu pilihan, Nay. Tapi— bahkan batinnya saja menggantung kalimatnya. Pria itu bertumpu siku pada pahanya. Merangkus wajahnya dengan kasar, mendesah frustasi. Ia raih ponselnya dan menelepon seseorang yang jauh di seberang. "Bagaimana kondisinya?" "Sky— kondisinya semakin menurun, Sean. Aku takut. Saat terlelap begini, seperti tidak terjadi sesuatu padanya. Tapi, suhu tubuhnya tidak turun sama sekali sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi, Sean."Lagi-lagi Sean menghembuskan napasnya secara perlahan. Menyembunyikan kesesakan dalam dirinya. "Semoga saja Tuhan beri
"Sean, Sky membaik. Pagi ini, dia minta makan enak katanya. Dia sembuh, Sean." Kabar itu meluncur membawa kehangatan untuk Sean. Dia merasa lega akhirnya sang adik mendapatkan harapan itu. Setelah panggilan itu terputus, Sean beralih pada Gatra dan juga Zeta. Mereka juga sudah jauh lebih baik dari semalam. Tatapan penuh keharuan dan beban yang seolah menguar begitu saja. Sekarang, dia tidak harus memikirkan nasib Gatra. Tidak harus menyembunyikan perasaannya pada Zeta dari Freya. Tidak harus menanggung beban atas kehidupan ibu dan anak itu. Sean menarik langkah mendekati Zeta. Mereka berdua duduk di atas matras dengan taburan berbagai macam mainan milik bocah laki-laki itu. "Mine? Kamu senyum? Ada apa?" Zeta menoleh memerhatikan raut wajah sang kekasih yang terlibat berbinar. "Freya baru saja telpon. Dia bilang, Sky membaik. Dia minta sesuatu untuk di makan. Aku senang, Nay." "Syukurlah. Aku juga ikut senang, Mine. Maaf aku egois dengan mengatakan ini." Sebelah alis Sean teran