Pukul sembilan waktu London, Sky sudah sadarkan diri. Gea menyuapinya, sementara Zia duduk dengan tenang di sisi ranjang memainkan ponsel di tangan.“Kenapa muka lo tegang gitu, sih?” seloroh Gea. Dalam diam ia memerhatikan raut wajah sang kaka yang tidak seceria biasanya.“Ada job dadakan? Enggak ‘kan?” tambah Gea. Tahu betul bagaimana jadwal syuting gadis centil itu.Zia menggeleng. “Enggak. Aku udah batalin semuanya. Lagian, kita udah bahas masalah ini ‘kan kemarin?”“Ya terus kenapa? Dari kemarin kamu pantengin hp terus!” dengus, Gea. Ia melanjutkan tugasnya memberikan suap demi suap kepada kakak tersayangnya.Saat itu juga pintu ruangan Sky terbuka. Freya berdiri di ambang pintu dengan senyum yang berbinar. Matanya langsung menyorot ke tempat di mana Sky terbaring dengan kaki terangkat. Dibebat oleh sesuatu yang terlihat sangat keras.Freya mendekat dan senyum Sky melebar. Ia bahkan terlihat sangat antusias dan hendak menegakkan tubuhnya. Gea mencoba melarang, tetapi tidak dihirau
“Lo nggak mau ngomong?” sergah Sky pada Freya.”“Aku sudah katakan yang harus aku katakan, Sky. Tapi kamu selalu menyangkalnya. Kita bisa lakukan tes DNA kalau anaknya sudah lahir nanti,” kata Freya dengan menahan air matanya.Dia tidak ingin terlihat membela Sean, karena tidak ada sedikitpun cinta untuk lelaki itu. Hanya ada rasa kemanusiaan, hanya ada rasa kasihan untuk pria yang sangat baik itu.“Tidak perlu. Aku akan rawat anak itu. Jangan sakiti bayinya , lakukan apa pun yang kalian mau. Tugasku hanya menjaganya sampai anak itu lahir ‘kan?” tukas Sean.“Ya emang kudu lo yang jaga ‘kan? Dia anak lo, setan!”“Sky, cukup! Jaga ucapanmu. Bagaimanapun aku— tetap lebih tua darimu. Kau boleh tidak anggap aku sebagai kakakmu, tapi— tolong ucapkan kata yang sedikit sopan,” papar Sean.“Bullshit,” gumamnya. Pria itu memalingkan wajah tidak ingin menatap sang kakak.“Sky, aku minta maaf untuk kesalahanku. Asal kamu tahu, dia sangat mencintaimu. Dia selalu memujimu, dia selalu menginginkanmu.
"Abang jauh lebih baik dari Kak Sky. Kapan Abang akan menyadari hal itu?" Zia menyentuh punggung tangan Sean. "Kenapa Abang suka sama dia? Kenapa Abang mau sama wanita yang udah punya pacar?" Zia sungguh tidak mampu menahan keingintahuannya. "Abang tidak tahu. Dia datang begitu saja dalam hidup abang. Dulu— Freya adalah wanita humoris, Zie. Dia adalah wanita yang ceria sama sepertimu. Kukira dia akan menjadi penerusmu. Gadis terbaik yang Abang miliki." Zia menggeleng. "Tidak akan ada wanita sebaik Zie. Tidak ada wanita yang bersyukur memiliki Abang. Cuma Zie, tapi— aku pastikan sebentar lagi, Abang akan temukan wanita ke duanya," kata Zia menyemangati. "Ya, kamu benar. Ternyata memang tidak ada yang sebaik little pony abang. Mungkin jodoh abang bukan wanita. Tapi, kematian." Lagi-lagi Zia menggeleng. "Tidak boleh! Abang tidak boleh mati. Abang harus tetap hidup sampai Zie menikah dan beranak pinak! Zie ingin anak-anak Zie kenal sama paman terbaiknya. Zie pengen mereka sepe
Gea mendekati sang kakak dan mencekal tangannya. "Kita pergi dari sini. Abang nggak perlu lakukan apa pun buat mereka! Perempuan seperti itu tidak layak buat Abang!" pekik Gea. Sean yang semula menekuk mukanya sangat dalam seketika kebingungan dan melangkah bersama tarikan Gea. Setelah keluar dari ruangan itu, dokter yang menangani Sky berpapasan dengan mereka. "Sean? Benar?" Sean menoleh dan menatap wajah pria berambut blonde tersebut. "Mas Rayyan?" Pria itu mengangguk. Keduanya berpelukan setelah Sean melepaskan jeratan tangan Gea. Gadis itu mendengus kesal melihat dua pria yang saling berpelukan itu, ia geli dan jijik. "Kamu apa kabar? Aku kira kamu nggak akan datang." Tentu masih ingat Rayyan bukan? Dia adalah anak dari Ivy, sahabat terbaik Divya. "Datanglah, Sky adikku. Bagaimana aku tidak datang. Apakah semuanya baik-baik saja, Mas?" "Baru saja aku mau mengajakmu ngobrol masalah ini. Ayo!" ajak Rayyan. Sean mengangguk dan Gea membuntuti keduanya.
"Cari apa, Bang?" seru Zia saat mendapati sang kakak kebingungan. Mereka, Zia dan Sean sama-sama memiliki perasaan yang lebih peka.“Ponsel Abang,” jawab Sean tanpa menoleh ke arah adiknya. Ia sibuk celingukan merogoh ke dua sakunya secara bergantian. Dia lupa, bahwa pagi tadi, ia langsung pergi begitu saja tanpa memedulikan benda persegi panjang itu.Zia lekas mengulurkan ponsel miliknya. "Pakai punya Zie aja," katanya dengan ceria.Sean menerimanya dan mencari kontak milik Ivy. Matanya melihat deretan pesan yang dikirim Zia pada bibinya itu. Ternyata gadis cantik dengan rambut panjang itu jauh lebih sering bertukar kabar dengan sang bibi."Iya, Sayang," seru Ivy saat menerima panggilannya. Akan tetapi matanya membola saat tahu siapa yang memenuhi layar ponselnya."Sean?!" pekiknya. "Apa kabar, Nak? Kenapa tidak pernah telepon, Ibu? Kamu sehat kan? Kalian di London?" Pertanyaan memberondong itu memenuhi telinga Sean, Zia, dan Gea."Iya, Bu. Maaf untuk itu. Sean— ya, Sean salah—”“Suda
Setelah usai dengan makan siang. Mereka memisahkan diri. Sean berkeliling rumah bibinya. Zia memutuskan untuk membaca buku di ruangan milik anak bungsu Ivy. Sementara Gea, gadis itu melamun di pinggir danau yang ada di belakang rumah Ivy. Cukup jauh sehingga dia terlihat menyendiri.“Melamun, Nak?” seru Ivy yang membuat Gea terperanjat dan lekas menoleh ke asal suara.“Ibu, bikin kaget,” protesnya kecil. Ia kembali mengayun ayunan dari kayu tersebut. Menyandarkan kepalanya pada tali tambang yang masih kokoh menopang penumpang ayunan itu.“Apa yang kamu pikirkan, Nak? Ibu juga Mamamu. Percayalah kamu bisa cerita sama Ibu, Nak.” Ivy duduk di bangku yang tidak jauh dari ayunan sedikit ke kiri tepat di samping pohon besar nun rindang. Tangan tua itu sibuk mengupas apel.“Gea bingung. Gue sadar kalau salah sama Abang. Gue jauhin dia karena gue kesel sama dia. Dia itu harapan Papa, Bu. Harusnya dia yang balapan, dia anak pertama, kudunya dia rela lakukan apa pun untuk adik-adiknya dan Papa s
“Menurut ibu, sebaiknya kamu mundur, Zha. Kamu hanya akan melukai diri sendiri. Sebesar apa pun cintamu kalau ternyata pria itu bahkan tidak melirikmu, untuk apa? Kamu cantik, kamu mandiri, kamu hebat dan juga keren. Kenapa harus mencintai pria yang sama? Dunia ini luas, Sayang,” tutur Ivy.Lagi-lagi Gea tersenyum kecut. Harusnya dia tidak perlu bertanya, karena dia sendiri pun berpikir hal yang sama seperti Ivy, bahwa Sean terlalu baik untuk Freya. Gadis itu bahkan tidak layak mendapatkan secuil perhatian Sean.“Terima kasih, Bu. Jangan bilang sama Zie, ya,” pintanya.Ivy mengangguk sambil menarik kedua sudut bibirnya. Tentu saja dia akan jaga rahasia dusta itu, karena cerita itu hanya manipulasi Gea semata.“Bu— di sini kalian rupanya. Kita harus pulang, Zha. Mas Rayyan bilang persiapannya sudah maksimal. Jadi, kemungkinan besok malam kita akan terbang,” cakap Sean seraya berjalan mendekati dua wanita beda usia itu.“Yakin secepat itu?” Ivy sedikit sedih, mereka belum tuntas melepas
Penerbangan yang memakan waktu cukup menjenuhkan. Sky diantarkan langsung menggunakan pesawat milik rumah sakit tempat dirinya dirawat sebelumnya. Tidak satu menit pun, Freya meninggalkan laki-laki itu. tubuhnya terbaring nyaman di ranjang yang hanya muat untuknya. Matanya terpejam dengan ringan.“Hati-hati,” pinta Freya pada Sean yang membantu petugas menurunkan Sky.Pria itu tersenyum sambil mengangguk. Tentu saja, ia akan berhati-hati. Sky tetaplah adiknya.Kini tubuh itu telah dibaringkan di brankar. Sky kembali digeledek ke ruangan pemeriksaan untuk memastikan bahwa kondisinya tetap stabil selama penerbangan yang baru saja dilewati.Mereka semua harap-harap cemas menantikan kabar berikutnya. Selama perjalanan, Sky diberi obat tidur agar tidak membuatnya semakin banyak bergerak dan menghambat proses pengobatannya. Kendati semua tahu bahwa Sky sempat mengalami koma. Mereka tetap tenaga medis profesional dan tahu yang lebih baik dan dibutuhkan oleh Sky.“Boleh saya ikut masuk, Dok?”
Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm
Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi
Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,
Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti
Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan
Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu
"Sean, Sky membaik. Pagi ini, dia minta makan enak katanya. Dia sembuh, Sean." Kabar itu meluncur membawa kehangatan untuk Sean. Dia merasa lega akhirnya sang adik mendapatkan harapan itu. Setelah panggilan itu terputus, Sean beralih pada Gatra dan juga Zeta. Mereka juga sudah jauh lebih baik dari semalam. Tatapan penuh keharuan dan beban yang seolah menguar begitu saja. Sekarang, dia tidak harus memikirkan nasib Gatra. Tidak harus menyembunyikan perasaannya pada Zeta dari Freya. Tidak harus menanggung beban atas kehidupan ibu dan anak itu. Sean menarik langkah mendekati Zeta. Mereka berdua duduk di atas matras dengan taburan berbagai macam mainan milik bocah laki-laki itu. "Mine? Kamu senyum? Ada apa?" Zeta menoleh memerhatikan raut wajah sang kekasih yang terlibat berbinar. "Freya baru saja telpon. Dia bilang, Sky membaik. Dia minta sesuatu untuk di makan. Aku senang, Nay." "Syukurlah. Aku juga ikut senang, Mine. Maaf aku egois dengan mengatakan ini." Sebelah alis Sean teran
Sorot mata Sean menatap penuh kasih pada Gatra yang terlelap di ranjang bersama dengan Zeta. Mereka baru saja pulang dari klinik. Meneguk obat masing-masing dan kini terpengaruh obat-obat tersebut. Tatapan Sean secara bergantian memerhatikan wajah kekasihnya dan juga anak dari adiknya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Beban yang terasa salah, tetapi juga dirasa tidak benar. Tidak mungkin aku menempatkanmu dalam satu pilihan, Nay. Tapi— bahkan batinnya saja menggantung kalimatnya. Pria itu bertumpu siku pada pahanya. Merangkus wajahnya dengan kasar, mendesah frustasi. Ia raih ponselnya dan menelepon seseorang yang jauh di seberang. "Bagaimana kondisinya?" "Sky— kondisinya semakin menurun, Sean. Aku takut. Saat terlelap begini, seperti tidak terjadi sesuatu padanya. Tapi, suhu tubuhnya tidak turun sama sekali sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi, Sean."Lagi-lagi Sean menghembuskan napasnya secara perlahan. Menyembunyikan kesesakan dalam dirinya. "Semoga saja Tuhan beri
Tubuh Zeta gemetar bukan main. Selain ia belum tidur sejak kemarin, ia pun tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali air putih. Sekarang, ia menggendong Gatra yang mulai menurut padanya, tetapi suhu tubuh bocah itu meningkat sejak bangun tidur pagi tadi. "Mau Papa, Tante," rengeknya pelan. Tatapan matanya sayu."Mau telpon Paman dulu sampai dia datang, Sayang?" Gatra menggeleng pelan. "Mau papa, bukan telepon," jawabnya masih dengan suara yang lemah. "Sabar, ya. Paman akan segera datang." Gerakan tangan Zeta tidak berhenti barang sebentar. Ia terus mengayunkan langkah dan lengan agar Gatra merasa nyaman. "Mbak Zeta. Di luar ada masalah," lapor Nia. Ia meremas ujung apron yang dia kenakan dengan gerakan kuat. "Masalah apa?" suaranya tidak kalah lirih dari Gatra. Dengan tidak anggun, ia menarik ingus yang sudah hendak keluar dari hidung. "Itu mbak. Pembeli permasalahkan toping, katanya— katanya—""Katanya apa, Nia? Kepalaku pusing banget, bisa lebih cepat ngomongnya?""Ka