Julie masuk ke kamar anaknya melalui connecting door dan tersenyum saat melihat Ipang yang tengah menggendong Taka, seraya menceritakan masa kecilnya dengan Suri dahulu.“Mas dari selesai makan malam di sini terus gendong Taka, nggak mau istirahat?”Ipang menggeleng. “Taka masih seru dengerin cerita Mas.”Julie terkekeh. Tiga bulan setelah Taka lahir, rutinitas Ipang tentu saja bertambah seperti Julie. Pulang bekerja, Ipang akan segera mandi dan menyapa istri serta anaknya. Lalu mereka akan makan bersama meski kadang makannya harus bergiliran, Julie makan duluan selagi Ipang menggendong Taka atau sebaliknya.Setelahnya, kalau belum waktunya Julie menyusui Taka, maka Ipang-lah yang akan bersama Taka. Ipang tidak mau istrinya itu bahkan tak punya waktu untuk diri sendiri meski hanya satu atau dua jam.Dan bersama Taka, Ipang selalu merasa senang dan bahagia. Meskipun kadang Ipang harus mendadak mengganti popok anaknya atau berkeliling rumah sambil menggendong Taka supaya anaknya itu tak
“Kamu beneran nggak apa-apa ditinggal berdua sama Taka aja, Mas?”Ipang menatap Taka yang tengah tertawa di gendongannya, lalu beralih pada sang istri yang masih duduk di depan meja riasnya dengan gamang.“Beneran, nggak apa-apa.” Ipang berusaha untuk meyakinkan istrinya. “Nggak bakal kenapa-kenapa kok. Anggap aja lagi harinya ayah dan anak.”Julie tertawa grogi, ia jadi ingat kata-kata Padma—istri Badai, sahabat suaminya—yang minggu lalu bertemu dengannya di A Class. Kata Padma, anak dan ayah yang ditinggal tanpa pengawasan bisa saja menciptakan roket lalu pergi ke bulan tanpa bilang-bilang pada mereka.Terdengar berlebihan, tapi yah… kadang memang bisa sekacau itu kalau mereka ditinggal tanpa istrinya.“Tenang, kami nggak akan mengacau.” Ipang menggerakkan tangan kanan Taka seakan-akan anak mereka itu tengah melambaikan tangannya pada Julie, kemudian lelaki itu mengubah suaranya menjadi kekanakan seraya berkata, “Tenang aja, Ma, aku sama Papa nggak akan bikin seisi rumah jadi kolam
“Sebenernya kita ngapain ke sini lagi, Mas?” Julie menatap mall yang baru mereka masuki.Ipang, suaminya, masih sambil menggandeng tangan Julie ketika mengarahkan langkah sang istri menuju supermarket yang ada di lantai paling bawah mall tersebut.“Takut ada yang kurang, Babe,” jawab Ipang dengan kalem. “Mending kelebihan sedikit kan daripada nanti pas hari H ada yang kurang.”“Astaga, sedikit?” desah Julie pelan seraya menekankan nada bicaranya saat mengatakan kata ‘sedikit’. “Mas, kamu mau responsku yang jujur atau yang bohong?”Ipang menjawab dengan cepat. “Jujurlah, Babe.”“Mas, yang ada di rumah aja tuh bisa buat ngerayain ulang tahun Taka satu sampai dua kali lagi.”Ipang meringis begitu mendengar kejujuran tersebut keluar dari bibir istrinya. Lelaki yang hari itu mengenakan pakaian kasual karena mereka baru keluar dari rumah di pertengahan hari Sabtu itu, tertawa kecil dan memilih tak menyahut lagi.Rasanya waktu berjalan dengan begitu cepat ketika kita bahagia. Tahu-tahu mingg
[Saat Ipang dan Julie saat masih kuliah….]Ipang menoleh dan mendapati Ario menatap ke luar mobil dengan tatapan nelangsa.Kerutan di kening lelaki bernama Pangeran Biyas Ailendra itu semakin dalam karena sepertinya Ario bukan sekadar melamun biasa, tapi seperti orang yang sedang… sedih.“Jadi pendakian kita minggu ini beneran buat obat patah hatimu?”Pertanyaan Ipang berhasil mencuri perhatian Ario.Mereka memang baru pulang mendaki. Sebagai sesama mahasiswa pecinta alam dan sering mendaki bersama di luar kegiatan UKM, Ipang dan Ario sudah biasa pergi bersama secara mendadak—seperti saat ini.Padahal keduanya berasal dari jurusan yang berbeda. Tetapi, entah sejak kapan mereka jadi sering merencanakan pendakian di luar kegiatan UKM.Minggu lalu, dua hari sebelum pendakian mereka, Ario tiba-tiba menghubunginya pukul sepuluh malam dan mengajak Ipang mendaki bersamanya di akhir pekan.Ipang pikir Ario sedang stress dengan ujian yang baru selesai, jadi ia iyakan saja saat sudah mengantuk
[Dua tahun setelah ulang tahun Taka yang pertama….]“Jangan jauh-jauh dari aku,” rajuk Julie seraya menggamit erat lengan suaminya, Ipang.“Iya, Babe.” Ipang meyakinkan sang istri dengan senyum di wajah. “Aku nggak akan ke mana-mana, tenang aja.”“Bukannya aku mikir kamu bakal ninggalin aku gitu aja begitu kamu ketemu sama temen-temenmu, Mas.” Julie mengerucutkan bibirnya. “Tapi aku takut….”“Takut kenapa?” Ipang meraih tangan Julie yang menggamit lengan kemeja batik yang ia kenakan, lalu membuat mereka kini saling bergenggaman tangan.‘Begini lebih baik,’ pikir Ipang dengan senyum puas di wajahnya. Mereka melenggang santai menuju ballroom yang digunakan untuk reuni SMA mereka dahulu.Reuni akbar ini membuat Ipang dan Julie yang berbeda angkatan, datang bersama-sama. Suri dan Candy, sahabat Julie, juga datang dan kabarnya telah tiba lebih dulu di ballroom.“Takut aja,” cicit Julie. “Aku kan nggak pernah suka reunian. Terakhir kita dateng reuni, temen sekelasmu nggak suka sama aku.”‘O
“Are you sure, Mas? Bisa aku tinggal beneran?”“Bisa kok, bener deh.” Ipang memberikan senyum terbaiknya untuk Julie, meyakinkan istrinya bahwa ia bisa ditinggal bertiga dengan anak-anak mereka—Taka dan Raras.Julie menaikkan satu alisnya, terlihat sekali kalau ia masih ragu. Tapi mereka tidak punya pilihan lain. Ada klien penting di A Class yang sudah reservasi sejak jauh-jauh hari dan untuk acara yang sangat penting—resepsi pernikahan.Sejak Ipang dan Julie memiliki Taka dan Raras, pasangan itu benar-benar mengatur sebisa mungkin supaya tidak harus pergi bekerja di akhir pekan—kecuali jika ada urusan yang sangat mendesak dan tidak bisa ditunda.Julie sudah tidak menerima klien di akhir pekan, kecuali klien-klien lama dan dengan alasan yang mendesak. Itu pun biasanya Julie akan berdiskusi dulu dengan Ipang. Asal Ipang tidak keberatan, maka Julie akan menerima reservasi tersebut, berlaku juga sebaliknya.“Udah sana, nanti telat.” Untuk kembali meyakinkan Julie, Ipang mencium kedua pip
“Papa pingsan, Mas! Aku ke rumah sakit sama yang lain sekarang.”Napas Ipang berderu cepat kala akhirnya tiba di rumah sakit tempat ayahnya berada. Setengah jam yang lalu, Suri meneleponnya dengan panik dan Ipang langsung berlari menuju mobilnya. Untunglah Julie langsung sigap meminta sopir mereka yang menyetir, sebelum Ipang duduk di kursi pengemudi dan menyetir dengan kesetanan.“Mas!”Seruan Nilam yang menunggu di depan kamar rawat inap Bagindo, membuat Ipang semakin mempercepat larinya. Nilam dan Raden langsung berdiri dari duduknya.“Gimana keadaan Papa?” tanya Ipang meski napasnya masih tersengal-sengal. “Apa kata dokter? Papa udah siuman? Sebenernya Papa sakit apa?”“Napas dulu, Mas,” jawab Nilam pelan.“Suri ada di dalem, tadi kami juga udah nengokin Papa, dan Papa udah siuman untungnya. Cuma kata dokter, lebih baik kalau Papa istirahat dulu dan dirawat di sini, supaya mereka bisa observasi lebih lanjut,” beri tahu Raden untuk menjawab deretan pertanyaan Ipang sebelumnya. “Pap
“Kalian ini apa nggak punya kehidupan? Pulang sana! Ngapain di sini?”“Punya kok,” jawab Ipang. “Tapi aku mau di sini.”“Inget anak dan istrimu, Mas. Masa kamu tinggalin mereka begitu?!"“Mereka ngerti kok kenapa aku ke sini.”“Pulang sana! Besok juga Papa pulang. Ngapain sih kamu sampai nginep di sini berhari-hari?!” Kemudian seolah belum puas mengomeli Ipang, Bagindo beralih pada Raden yang duduk di sebelah Ipang. “Kamu juga pulang sana! Mamamu sama siapa di rumah?”“Sama Mama Salwa dan Mama Sinna. Ada Suri, Nilam, Sultan, dan Gusti juga kok.” Raden menjawab dengan santai. “Justru kalau kami pulang, Papa yang sendirian di sini.”“Ya, terus kenapa?”“Papa yakin mau sendirian?”Julie pernah bilang, katanya lelaki saat sedang sakit bisa dibagi menjadi dua kategori. Ada yang berubah jadi sangat manja sampai-sampai bertingkah seperti anak kecil (Ipang salah satunya) dan ada juga yang berubah jadi sangat galak hingga menyebalkan.Bagindo sepertinya adalah tipe kedua.Kalau dipikir-pikir,