“Sekarang aku tahu mengapa kau menyetujui perjodohan ini. Apa kau sangat menderita hidup di keluarga seperti itu?”Aku menoleh, menatap wajahnya dari samping. Dia tampak berkharisma saat duduk di balik kursi kemudi. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya tampak sangat sempurna, meninggalkan kesan dewasa. Ah, inilah definisi pria matang sempurna. Matang di pohon, bukan hasil karbitan.“Ya, begitulah. Aku sudah muak dengan tingkah keduanya. Kau ingin tahu apa yang diucapkan Aldrich tadi?”Dia sejenak menoleh, lalu kembali fokus ke jalan. “Memangnya dia berkata apa?”“Dia akan mencari cara agar hubungan kita bisa berakhir lebih cepat.” Aku menghembuskan napas kasar. “Aku ingin terbebas dari kukungan mereka, tetapi sepertinya keinginan itu sulit untuk kudapatkan.”“Mengapa kau terdengar pesimis. Aku akan membantumu untuk keluar dari situasi tersebut. Percayalah padaku.”Ada senyum tipis yang samar-samar terlihat di mataku. Apa aku bisa mempercayai pria ini? Pria yang baru kukenal b
Kutatap adegan yang tak pernah kuharapkan. Hatiku masih saja merasakan sensasi yang sama. Terluka, kecewa, dan iri. Padahal, aku sudah berusaha untuk terhindar dari kedua insan yang membuat perasaanku menjadi terguncang dan porak-poranda. Disana, Rangga dan Kinan sedang memamerkan kemesraan yang membuat dadaku sesak. Mengapa masih saja seperti ini? Kukira hatiku sudah berpaling, kukira tak akan terluka jika melihat keduanya, tetapi aku salah. Semuanya masih saja sama. Rangga masih saja berada di tempat yang sama di hatiku. Tersimpan dengan apik dan sempurna.Aku segera berpaling dan merubah haluan. Jika ada yang melihat, mungkin mereka beranggapan bahwa aku masih menyukai Rangga. Ya, meski itu benar, tetapi aku harus menutupinya. Aku tak berusaha memperbaiki pandangan orang-orang terhadapku, karena sebesar apa pun aku berusaha memperbaiki namaku, mereka tak akan mudah percaya. Ingat, ketika orang membencimu, mereka tak akan pernah melihat kebaikan yang kau lakukan. Karena kebaikan ter
Aku tersenyum masam saat menyadari pandangan orang lain terhadapku. Apa yang salah? Hanya karena aku berjalan dengan seorang pria, mereka lantas mengatakan bahwa aku adalah perawan tua yang haus kasih sayang. Seharusnya mereka senang, karena aku akhirnya bisa keluar dari belenggu kesesatan. Dosen-dosen muda itu malah mengejekku mengatakan bahwa aku perawan tua yang gatal. Mereka bahkan berdoa agar aku tak memiliki kekasih sampai tua. Dasar! Kukira mereka kawan, ternyata aku salah, merekalah lawan sesungguhnya. “Kau tahu siapa pria tampan yang berjalan bersama Bu Mega? Apakah pria itu pengganti Pak Rangga?”“Bu Mega benar-benar gila ya, muka pas-pasan, tapi gaetnya cowok elit. Dilihat dari pakaian dan postur tubuhnya, kemungkinan besar pria itu jauh lebih kaya dari Pak Rangga.”“Sekarang Bu Mega pasti gencar cari pengganti, wong usianya sudah tua. Bentar lagi kadaluarsa, kan?”Tawa keduanya membuat gendang telingaku terasa ingin pecah. Aku masih setia mendengarkan perbincangan panas m
Perjodohan. Satu kata yang mungkin akan terdengar biasa saja bagi mereka yang memiliki sistem jadulisasi yang menjunjung tinggi akan nilai bakti pada orang tua yang telah merawat sejak dini. Meski perjodohan selalu terkait dengan era pre-boomer yang terkenal dengan sebutan zaman Siti Nurbaya, tetap saja sampai sekarang masih banyak yang menerapkan sistem tersebut. Terbukti, saat ini orang tuaku sudah meronrong dan memintaku agar ikhlas dan bersuka cita menyetujui keinginan mereka. Aku yang hidup di zaman milenial dengan segala kecanggihan dan modernisasi yang sudah berkembang dengan sangat cepat, dipaksa menerima pernikahan yang tercipta di jalur perjodohan. “Aku nggak bisa, Ma,” tolakku sedikit meninggikan suara.“Kami sudah sepakat.”“Kami?” tanyaku tak mengerti maksud dari beliau.“Mama Rangga juga sudah setuju.”“Sebelum kalian menetapkan hal ini, seharusnya aku ditanya dulu, mau atau nggak? Ya, jelas aku nggak mau, dong. Masa nikah sama kakak ipar sendiri. Apa nggak ada laki-la
Aku melangkah dengan pelan ke depan ruangan Mas Rangga, sambil merapalkan doa agar laki-laki itu tak memasang wajah jutek dan sedikit lebih ramah padaku. Meski kutahu sebenarnya itu adalah hal yang cukup mustahil. Namun, siapa yang bisa menebak, siapa tahu saja hantu penunggu kampus merasukinya dan membuat dosen itu sedikit berubah. Ya, walaupun perubahannya hanya secuil, setidaknya ia tak kaku seperti uang yang baru kering akibat ikut masuk ke saku celana yang dicuci.Kuketuk pintu dengan hati-hati, berharap sang dosen ada di dalam sana. Ketukan pertama tak ada sahutan sama sekali. Ketukan kedua juga begitu. Aku menghembuskan napas kesal, setahuku Mas Rangga sudah selesai mengajar.Apa dia sudah pulang? Aku mengernyit, sebab hal itu tak mungkin terjadi. Mas Rangga memiliki jadwal yang teratur untuk setiap kesehariannya. Menurut penelitianku selama tiga tahun ini, dia akan pulang saat pukul empat sore, sekalipun tidak ada jadwal mengajar.“Dia ke mana, sih?” rutukku sambil balik badan
Hari yang tidak kunanti akhirnya tiba. Mama sejak tadi mengomel karena aku yang masih rebahan sambil bermain ponsel. “Kamu tuh, harusnya sudah mandi, terus dandan yang cantik. Ini kok, masih kayak gembel,” omelnya sambil menarik kakiku agar turun dari kasur.Tak perlu heran jika melihatku memiliki sifat yang bar-bar dan petakilan, sebab itu sudah turunan. Makanya, aku dan mama tidak bisa disatukan, apalagi sampai berdebat. Kami sama-sama keras kepala dan tak suka diatur. Berbeda dengan bapak yang tidak suka banyak bicara, tetapi jika beliau mengeluarkan suara semuanya otomatis diam, dan tak berani membantah. Gen bapak lebih banyak diturunkan ke Kinara, dan hanya secuil diturunkan padaku. Itu pun hal yang tidak kusukai. Di semua keluarga dari mama memiliki kulit putih seputih awan di langit, kecuali aku. Kulitku hitam manis, sehingga jika aku berkumpul di keluarga mama, mereka kerap mengataiku anak pungut, sebab hanya aku yang memiliki warna kulit berbeda. Oke mereka memang sedikit r
Mama sudah mengatakan bahwa aku tak perlu ikut campur dalam mengurus urusan pernikahan. Ya, aku sangat setuju dan sangat bersyukur akan hal itu. Meski aku pernah membayangkan tentang kesibukan yang akan kurasakan kelak menjelang pernikahan, tetapi sepertinya mimpi itu tak akan bisa kugapai. Tak ada acara pilih-pilih cincin, memilih desain undangan, memilih vendor wedding, memilih makanan catering, dan semua tetek bengek kesibukan pra pernikahan. Hanya satu yang nantinya kulakukan, memilih baju pengantin. Hanya para orang tua yang menyibukkan diri, dan mengabaikan segala kemauanku. Rasa semangat itu tiba-tiba pupus ketika aku kembali sadar bahwa calon suamiku adalah Rangga, kakak iparku sendiri. “Tuhan, mengapa engkau terlalu cepat mengambil Mbak Kinara. Seharusnya aku menikahi laki-laki lain, bukan si hantu kutub itu.” Aku meringis dan berkali-kali mengembuskan napas gusar.“Hantu kutub apa? Di kutub ada hantu juga?” Suara seorang pria mengagetkanku.Aku menoleh dengan mata memicin
“Apa lagi ini?” jeritku dalam hati saat para orang tua menyeret tubuh ringkih ini ke salah satu butik yang cukup terkenal di daerahku. Meski awalnya tak senang, tetapi wajah takjubku seketika merekah saat melihat gaun-gaun pengantin yang tertata rapi.Aku pernah membayangkan akan menjadi seorang putri kerajaan saat mengenakan gaun pengantin. Pernah berharap akan menjadi cantik saat menggunakan gaun putih itu di pelaminan. Namun, semuanya sirna saat aku kembali mengingat siapa yang akan menjadi pasanganku.“Cobalah, Nan. Sepertinya kamu akan cocok dengan gaun ini.” Mama memberikan dua pilihan gaun. Aku pasrah saja.Aku masuk ke ruang ganti dan pelayan wanita menutup tirai berwarna abu gelap. Pelayan tersebut tak henti-gentinya memuji akan bentuk tubuhku yang ramping dan semampai. Ia berpikir bahwa aku menjalani diet ketat. Padahal, ia tak tahu saja bagaimana cara makanku yang sudah hampir mirip kuli. Memiliki tubuh yang ideal tanpa harus menjalani proses yang disebut diet membuatku san