Aku melangkah dengan pelan ke depan ruangan Mas Rangga, sambil merapalkan doa agar laki-laki itu tak memasang wajah jutek dan sedikit lebih ramah padaku. Meski kutahu sebenarnya itu adalah hal yang cukup mustahil. Namun, siapa yang bisa menebak, siapa tahu saja hantu penunggu kampus merasukinya dan membuat dosen itu sedikit berubah. Ya, walaupun perubahannya hanya secuil, setidaknya ia tak kaku seperti uang yang baru kering akibat ikut masuk ke saku celana yang dicuci.
Kuketuk pintu dengan hati-hati, berharap sang dosen ada di dalam sana. Ketukan pertama tak ada sahutan sama sekali. Ketukan kedua juga begitu. Aku menghembuskan napas kesal, setahuku Mas Rangga sudah selesai mengajar.Apa dia sudah pulang? Aku mengernyit, sebab hal itu tak mungkin terjadi. Mas Rangga memiliki jadwal yang teratur untuk setiap kesehariannya. Menurut penelitianku selama tiga tahun ini, dia akan pulang saat pukul empat sore, sekalipun tidak ada jadwal mengajar.
“Dia ke mana, sih?” rutukku sambil balik badan bersiap pergi. Namun, netraku menangkap seseorang yang sudah bersedekap sambil bersandar di dinding. Aura wajahnya yang dingin membuatku terpaksa memasang cengiran yang kutahu akan terlihat sangat konyol. “Ada apa?” tanyanya lalu melangkah menuju pintu ruangan miliknya.“Ada yang mau saya omongin, Pak.” Aku selalu memantapkan diri untuk memanggilnya ‘Pak’ jika berada di kampus, dan memanggilnya ‘Mas’ jika dia sedang di rumah. “Masuk!”Selalu saja seperti ini. Dia sepertinya tak mau beramah tamah pada adik iparnya. Saat Kinara masih hidup pun, dia sama sekali tak pernah menunjukkan sisi hangatnya. Jangankan padaku, pada Kinara pun dia terkesan acuh dan tak mau tahu. Jelas-jelas Kinara adalah istrinya, tetapi Mas Rangga seperti orang lain bagi wanita penyabar tersebut. Ia duduk di kursi kebanggaannya. “Katakan!” perintahnya dengan kalimat singkat, padat, dan menjengkelkan.Tanpa diperintah aku juga ikut duduk di kursi yang berada di hadapannya. “Begini, Pak. Saya mau membahas tentang perjodohan yang orang tua kita rencanakan ….”“Tolong jangan bahas masalah pribadi di sini!” Dia memotong kalimatku.Aku membuang karbon dioksida dengan kasar, lalu menarik oksigen dengan pelan dan lembut. Kuangkat kepala dan memandangnya lagi, tak lupa kupasang senyuman semanis mungkin. “Saya tidak bisa bertemu Bapak jika di luar kampus. Saya cuma mau bilang, Bapak batalin aja. Kita sama-sama menolak, kan? Saya tahu Bapak juga tidak setuju dan ….”“Siapa bilang saya tidak setuju.” Lagi-lagi dia memotong kalimatku.“Heh?” Suaraku memekik. Bola mataku melotot, sampai aku takut benda tersebut akan keluar dari tempat semestinya.“Jika kau datang untuk membahas hal ini, sepertinya tak akan berguna. Kedua keluarga sudah sepakat dan aku pun tak menolak. Lala memang butuh seorang ibu, kan?” Ia menopang dagu memperlihatkan lengan kekarnya. “Ingat! Hanya Lala yang membutuhkan seorang ibu sambung, bukan aku yang membutuhkan seorang istri,” lanjutnya dengan nada dingin.Tunggu! Tunggu! Apa maksud dari statement yang menurutku cukup ambigu. Hanya Lala yang butuh seorang ibu, dan dia tidak membutuhkan seorang istri. Apa secara tidak langsung dia mengatakan bahwa ia menikah hanya karena Lala dan dia akan mengabaikanku yang berstatus sebagai istri? Oh Tidak! Sepertinya aku akan masuk ke lubang macan.“Maksud Bapak apa?” Aku butuh pencerahan, takut pikiran yang terlalu jauh membuatku semakin frustrasi.“Pikirkan saja sendiri, sepertinya kau bukan anak kecil lagi yang harus dijelaskan lebih rinci tentang maksud dari ucapanku.” Dia berdiri dan menghampiriku sambil melipat kedua tangan di dada. Tatapannya begitu tajam, membuatku sedikit meringkuk, mirip kucing yang sedang tersudut. Sifat arogan dan angkuhnya terlihat sangat mendominasi. “Saya sibuk. Lebih baik kamu keluar saja.”Dia mengusirku. Dengan muka cengo, aku merutuki diri sendiri yang dengan bodohnya datang ke ruangan laknat ini. Bukannya berkurang, beban hidupku malah makin bertambah. Ya, Mas Rangga adalah beban yang paling berat di hidupku saat ini. Seandainya Kinara masih hidup, aku tak akan repot-repot berurusan dengan laki-laki sedingin kutub utara itu. Dengan langkah gontai, aku keluar dari ruangan yang membuat napasku sesak. Kututup perlahan daun pintu tersebut, agar tak menimbulkan suara yang akan membuat manusia di dalam sana kembali ke mode macan. Tunggu saja! Aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak akan berakhir seperti Kinara yang dengan pasrah menerima sikap laki-laki itu. ***“Lo dari mana?” Mela menatapku dengan kening berkerut. “Komuknya dikondisikan, Neng. Kusut banget, kayak pakaian baru keluar dari mesin pengering.“Gue dari bernegosiasi dengan calon suami masa depan.” Aku menyeruput jus alpukat milik Mela. Sensasi dinginnya mampu membuat tenggorokan, otak, dan hati yang tadinya membara menjadi sedikit lebih adem.“Cie, udah mulai berani bahas ginian di kampus. Walaupun Pak Rangga terlihat acuh dan galak, sepertinya dia penyayang, deh, Nan. Lo harusnya bersyukur.”“Bersyukur kata lo? Gue sepertinya akan banyak bersabar sekaligus beristigfar, Mel.” Aku menempelkan kepala ke meja. Rasa lelah dan kecewa membuatku tak memiliki tenaga lagi. “Mel, gue mau kabur dari rumah aja, deh. Gue nggak mau masa depan ini berantakan dan tak sesuai dengan harapan yang selama ini gue idam-idamkan.” Aku memijit pelipis. “Resolusi lo tahun ini, kan, mau nikah. Lah dikabulin itu.”“Ya, tapi bukan sama dia,” gerutuku lalu merengek seperti anak kecil. Seketika aku menegakkan tubuh. “Ini hanya mimpi, kan, Mel. Iya, ini kayaknya cuma mimpi.” Senyumku mengembang.Mela memukul keningku, sehingga aku menjerit sambil mengelus-elus anggota tubuhku yang menjadi korban kekerasannya.“Jangan jadi gila, deh, Nan.”Kembali kumenelungkupkan kepala di meja, menarik napas dalam-dalam, dan membuangnya pelan-pelan. Inhale… exhale. Rilekskan diri, pikirkan hal yang baik dan buang energi jahat.“Gue bener-bener nggak tahu mau bagaimana lagi. Pasrah aja deh,” kataku masih dalam posisi yang sama.“Mungkin dia emang jodoh lo, Nan.”Aku kembali menegakkan tubuh, lalu mendongak ke langit-langit kafe. “Ya, masa jodoh gue mantan suami kakak gue sendiri, sih. Padahal, gue maunya sekelas Lee Jong Suk.”“Hello.” Mela mengibaskan kedua tangannya tepat di depan wajahku. “Kalo lo mau jodoh kayak Mas Lee Jong Suk, setidaknya lo harus sekelas Mbak Lee Jieun.”“Aish!”Aku mengacak rambut dengan rasa frustrasi yang sangat tinggi. “Tolongin gue, Mel. Gue harus bagaimana, coba?”Sahabatku itu hanya menaikkan bahu pertanda dia juga tak tahu apa-apa. “Gue nggak bisa nolongin lo. Terima nasib aja, kali, Nan.”Terima nasib? Apa dengan begitu hidupku akan terasa aman, jaya, dan sentosa? Apa masa depanku akan terjamin? Bagaimana jika nantinya Rangga selalu cuek padaku? Tidak ada keromantisan dan keharmonisan dalam rumah tangga kami. Jadi bagaimana bisa hidupku akan sentosa?Membayangkan saja sudah membuatku dongkol. Kami akan berada di rumah yang sama, se-atap, tapi tidak se-asa. Eits, tunggu! Dari mana aku mengutip kalimat itu? Sepertinya jiwa melankolisku mulai meronta-ronta tiap kali memikirkan laki-laki yang bernama Rangga. Laki-laki yang akan menjadi suamiku kelak. Laki-laki yang akan membuat hidupku tak berwarna sekaligus tak bermakna.
Hari yang tidak kunanti akhirnya tiba. Mama sejak tadi mengomel karena aku yang masih rebahan sambil bermain ponsel. “Kamu tuh, harusnya sudah mandi, terus dandan yang cantik. Ini kok, masih kayak gembel,” omelnya sambil menarik kakiku agar turun dari kasur.Tak perlu heran jika melihatku memiliki sifat yang bar-bar dan petakilan, sebab itu sudah turunan. Makanya, aku dan mama tidak bisa disatukan, apalagi sampai berdebat. Kami sama-sama keras kepala dan tak suka diatur. Berbeda dengan bapak yang tidak suka banyak bicara, tetapi jika beliau mengeluarkan suara semuanya otomatis diam, dan tak berani membantah. Gen bapak lebih banyak diturunkan ke Kinara, dan hanya secuil diturunkan padaku. Itu pun hal yang tidak kusukai. Di semua keluarga dari mama memiliki kulit putih seputih awan di langit, kecuali aku. Kulitku hitam manis, sehingga jika aku berkumpul di keluarga mama, mereka kerap mengataiku anak pungut, sebab hanya aku yang memiliki warna kulit berbeda. Oke mereka memang sedikit r
Mama sudah mengatakan bahwa aku tak perlu ikut campur dalam mengurus urusan pernikahan. Ya, aku sangat setuju dan sangat bersyukur akan hal itu. Meski aku pernah membayangkan tentang kesibukan yang akan kurasakan kelak menjelang pernikahan, tetapi sepertinya mimpi itu tak akan bisa kugapai. Tak ada acara pilih-pilih cincin, memilih desain undangan, memilih vendor wedding, memilih makanan catering, dan semua tetek bengek kesibukan pra pernikahan. Hanya satu yang nantinya kulakukan, memilih baju pengantin. Hanya para orang tua yang menyibukkan diri, dan mengabaikan segala kemauanku. Rasa semangat itu tiba-tiba pupus ketika aku kembali sadar bahwa calon suamiku adalah Rangga, kakak iparku sendiri. “Tuhan, mengapa engkau terlalu cepat mengambil Mbak Kinara. Seharusnya aku menikahi laki-laki lain, bukan si hantu kutub itu.” Aku meringis dan berkali-kali mengembuskan napas gusar.“Hantu kutub apa? Di kutub ada hantu juga?” Suara seorang pria mengagetkanku.Aku menoleh dengan mata memicin
“Apa lagi ini?” jeritku dalam hati saat para orang tua menyeret tubuh ringkih ini ke salah satu butik yang cukup terkenal di daerahku. Meski awalnya tak senang, tetapi wajah takjubku seketika merekah saat melihat gaun-gaun pengantin yang tertata rapi.Aku pernah membayangkan akan menjadi seorang putri kerajaan saat mengenakan gaun pengantin. Pernah berharap akan menjadi cantik saat menggunakan gaun putih itu di pelaminan. Namun, semuanya sirna saat aku kembali mengingat siapa yang akan menjadi pasanganku.“Cobalah, Nan. Sepertinya kamu akan cocok dengan gaun ini.” Mama memberikan dua pilihan gaun. Aku pasrah saja.Aku masuk ke ruang ganti dan pelayan wanita menutup tirai berwarna abu gelap. Pelayan tersebut tak henti-gentinya memuji akan bentuk tubuhku yang ramping dan semampai. Ia berpikir bahwa aku menjalani diet ketat. Padahal, ia tak tahu saja bagaimana cara makanku yang sudah hampir mirip kuli. Memiliki tubuh yang ideal tanpa harus menjalani proses yang disebut diet membuatku san
“Apa? Menikah lagi? Suaraku meninggi. “Apa Ibu tak bosan menjodohkanku? Lala akan sulit menerima wanita lain. Ibu sudah sering mengenalkanku dengan wanita, tetapi saat mereka bertemu Lala, pasti semuanya akan mundur perlahan.” “Kamu tenang saja, ibu yakin bahwa Lala bakal seneng.”“Ibu juga pernah mengatakan hal yang sama, tapi Lala tetap tak suka.” Aku mengerlingkan mata, sedikit tak suka dengan aksi ibu yang semaunya.“Kami, kan, ingin menjodohkanmu dengan Kinan.”Mataku melotot, kala telingaku mendengar nama gadis yang menurutku tak akan pernah masuk dalam daftar gadis yang kusukai. Petakilan, bar-bar, tak tahu aturan, dan sedikit bodoh.“Apa Ibu tidak salah? Kinan adik Kinara.”“Ya, justru karena Kinan adik Kinara sehingga kami sepakat untuk menikahkan kalian. Toh, Lala juga sudah akrab dengan Kinan. Tak akan ada alasan, seperti yang sering kau ucapkan saat menolak wanita yang ibu kenalkan.”Aku memijat pelipis dengan kuat. Orang tuaku benar-benar bersikap semaunya. Apa mereka tak
“Kemarin gimana, Nan?” Rara menopang dagu sambil melihatku dengan mata berbinar, terlihat sangat penasaran dengan kegiatanku kemarin.“Ya, gimana lagi. Sudah pasti menjengkelkan. Dia terlambat datang lalu membuatku berganti-ganti gaun. Setiap pilihanku selalu ia tolak dengan alasan gaun yang kupilih tak sesuai dengan usiaku, padahal gaun itu nggak seksi amat, kok,” geramku kala kembali mengingat kejadian kemarin.“Berarti dia nggak mau kalo aurora calon istrinya dilihat sama orang lain. Wah, protektif banget nggak, sih?” Mela tersenyum semringah. Seolah kejadian kemarin adalah hal yang paling romantis di muka bumi ini.“Bukannya protektif, tapi dia memang tak suka dengan setiap hal yang kulakukan.” Aku tahu mengapa ia sangat membenciku, mungkin karena aku adalah adik dari Kinara. Wanita yang tak pernah ia cintai sebelumnya. Dari yang kutahu Rangga tak suka pada Kinara, padahal Kinara juga korban dari perjodohan ini, tetapi sayangnya wanita lembut itu ternyata jatuh dalam pesona lelaki
Aku benar-benar tak tahu bagaimana lagi menghadapi dosen yang mengalahkan singa dan para jajarannya. Apa salahnya jika Devan yang menyelesaikan tugas yang diberikan padaku? Katanya aku melimpahkan tugas kepada orang lain dan tidak bertanggung jawab akan amanah yang diberikan. Hello! Dia pikir hanya dirinya yang punya banyak pekerjaan. Sebagai mahasiswa, aku pun memiliki segudang pekerjaan sekaligus masalah.Jika bukan Devan yang membantuku, nasibku mungkin sudah berada di ujung tanduk. Ya, Bu Mega akan memberiku nilai jelek untuk kesekian kalinya. Itu opsi yang masih ditoleransi, bagaimana jika beliau malah tidak memberikan nilai sama sekali?Mau tidak mau aku harus mengikuti kelasnya lagi, karena nilaiku yang kurang baik, sehingga dengan segala kebaikan yang ia miliki membuatku harus mengulang kelas yang sama. Hal ini adalah opsi yang sangat membagongkan, bagiku yang memiliki otak dangkal, mendapat nilai C saja sudah syukur, apalagi jika mendapat B, dipastikan aku akan menari samba s
Sekali lagi aku menatap dekorasi pelaminan yang cukup mewah. Para orang tua sengaja mengadakan acara pernikahan di sebuah hotel yang tidak jauh dari kediamanku. Alasannya tidak ingin repot lagi membersihkan pasca pernikahan. Sebab, di saat pernikahan Mbak Kinara, kami sekeluarga kewalahan membersihkan pekarangan yang cukup kotor akibat sampah dari para tamu.Toh, untuk apa mendirikan tenda di pekarangan rumah, yang nantinya membuat para tetangga terganggu. Terlebih sekarang, sudah jarang orang yang akan mengadakan resepsi di rumah sendiri, mengingat lahan yang semakin sempit dan tidak semua orang suka dengan keributan.“Eh, calon pengantin kenapa di sini? Tidak boleh berkeliaran dulu,” tegur salah satu crew wedding organizer lalu menuntunku kembali ke kamar yang sejak tadi kugunakan untuk make up dan berganti baju. Ruang pengantin masih terlihat sepi dikarenakan hari juga masih pagi, hanya ada beberapa orang yang kutahu adalah keluarga Rangga sedang asyik berfoto ria dan beberapa crew
Tak akan ada kata libur untuk pengantin baru. Aku bahkan tak habis pikir bagaimana pola pikir laki-laki yang berstatus sebagai suamiku. Harusnya aku libur saat ini, tetapi Rangga mewanti-wanti agar diriku tetap ke kampus. Tidak ada kata pengecualian meski aku berstatus sebagai istrinya. Toh, saat di kampus statusku tetap sama dengan mahasiswa lain.Orang-orang akan curiga jika Rangga memperlakukanku dengan spesial. Baru beberapa jam menyandang status sebagai istri dari Rangga Prakasa, tetapi aku sudah merasakan euforia yang sangat berbeda.Aku terus menerus mengomel sebab dia tak membangunkan. Sehingga aku harus ketinggalan bus dan terpaksa menggunakan taksi yang nahasnya harus tersendat akibat terperangkap kemacetan ibu kota. “Kirain libur?” tanya Rara setelah melihatku turun dari taksi.“Tak ada kata libur, Ra. Bisa-bisa Pak Rangga ngasih hukuman lagi. Nilai gue udah anjlok di titik terendah.”“Dih, paling hukumannya di ranjang.” Ia menaik turunkan alis, pertanda sedang menggodaku,
Aku tersenyum masam saat menyadari pandangan orang lain terhadapku. Apa yang salah? Hanya karena aku berjalan dengan seorang pria, mereka lantas mengatakan bahwa aku adalah perawan tua yang haus kasih sayang. Seharusnya mereka senang, karena aku akhirnya bisa keluar dari belenggu kesesatan. Dosen-dosen muda itu malah mengejekku mengatakan bahwa aku perawan tua yang gatal. Mereka bahkan berdoa agar aku tak memiliki kekasih sampai tua. Dasar! Kukira mereka kawan, ternyata aku salah, merekalah lawan sesungguhnya. “Kau tahu siapa pria tampan yang berjalan bersama Bu Mega? Apakah pria itu pengganti Pak Rangga?”“Bu Mega benar-benar gila ya, muka pas-pasan, tapi gaetnya cowok elit. Dilihat dari pakaian dan postur tubuhnya, kemungkinan besar pria itu jauh lebih kaya dari Pak Rangga.”“Sekarang Bu Mega pasti gencar cari pengganti, wong usianya sudah tua. Bentar lagi kadaluarsa, kan?”Tawa keduanya membuat gendang telingaku terasa ingin pecah. Aku masih setia mendengarkan perbincangan panas m
Kutatap adegan yang tak pernah kuharapkan. Hatiku masih saja merasakan sensasi yang sama. Terluka, kecewa, dan iri. Padahal, aku sudah berusaha untuk terhindar dari kedua insan yang membuat perasaanku menjadi terguncang dan porak-poranda. Disana, Rangga dan Kinan sedang memamerkan kemesraan yang membuat dadaku sesak. Mengapa masih saja seperti ini? Kukira hatiku sudah berpaling, kukira tak akan terluka jika melihat keduanya, tetapi aku salah. Semuanya masih saja sama. Rangga masih saja berada di tempat yang sama di hatiku. Tersimpan dengan apik dan sempurna.Aku segera berpaling dan merubah haluan. Jika ada yang melihat, mungkin mereka beranggapan bahwa aku masih menyukai Rangga. Ya, meski itu benar, tetapi aku harus menutupinya. Aku tak berusaha memperbaiki pandangan orang-orang terhadapku, karena sebesar apa pun aku berusaha memperbaiki namaku, mereka tak akan mudah percaya. Ingat, ketika orang membencimu, mereka tak akan pernah melihat kebaikan yang kau lakukan. Karena kebaikan ter
“Sekarang aku tahu mengapa kau menyetujui perjodohan ini. Apa kau sangat menderita hidup di keluarga seperti itu?”Aku menoleh, menatap wajahnya dari samping. Dia tampak berkharisma saat duduk di balik kursi kemudi. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya tampak sangat sempurna, meninggalkan kesan dewasa. Ah, inilah definisi pria matang sempurna. Matang di pohon, bukan hasil karbitan.“Ya, begitulah. Aku sudah muak dengan tingkah keduanya. Kau ingin tahu apa yang diucapkan Aldrich tadi?”Dia sejenak menoleh, lalu kembali fokus ke jalan. “Memangnya dia berkata apa?”“Dia akan mencari cara agar hubungan kita bisa berakhir lebih cepat.” Aku menghembuskan napas kasar. “Aku ingin terbebas dari kukungan mereka, tetapi sepertinya keinginan itu sulit untuk kudapatkan.”“Mengapa kau terdengar pesimis. Aku akan membantumu untuk keluar dari situasi tersebut. Percayalah padaku.”Ada senyum tipis yang samar-samar terlihat di mataku. Apa aku bisa mempercayai pria ini? Pria yang baru kukenal b
“Kau dari bersenang-senang bersama Davin?” Aldrich duduk di sofa, menyilangkan kedua kaki sambil tersenyum masam.“Lihatlah! Dia terlihat sangat bahagia.” Tatapanku beralih pada Austin yang ternyata berdiri di tangga, ia pun menatapku tak suka. Selalu saja seperti ini. Aku selalu menjadi pihak yang tersudut. Mereka tak menyukai jika aku bersenang-senang bersama orang lain. “Ya, kalian benar. Aku bersenang-senang dengan calon suamiku.” Tak apa berbohong. Biarkan mereka kesal, karena saat aku bahagia bersama orang lain, mereka akan tersulut emosi. Entahlah, tetapi kedua saudaraku ini benar-benar berbeda.Austin melangkah dengan cepat, menuruni tangga dengan tatapan yang sulit kuartikan, seperti orang yang marah, atau terluka. “Kau tak bisa bersenang-senang dengan orang lain, Mega. Kau hanya bisa bahagia jika bersamaku.”“Apa kau bilang?!” Aldrich berdiri, mendekat dan merangkul pundakku. “Hei, Austin, jangan berkata seperti itu. Hanya aku yang bisa membuat Mega bahagia.”“Benarkah? Ap
Aku tak menyangka bahwa semuanya bisa berjalan dengan sangat cepat. Aku ingin menangis, berteriak sekencang mungkin, tetapi aku sadar bahwa semuanya tak akan berubah. Tak akan ada yang berubah jika aku melakukan tindakan anarkis yang mungkin hanya akan menjadi bumerang bagiku. Tak ada gunanya melakukan tindakan yang sudah kutahu hanya akan mendatangkan kesia-siaan. Aku tak berhak meminta hidup yang lebih nyaman, karena hidupku bukan aku yang mengatur. Tak apa, semakin cepat menikah, semakin cepat pula aku keluar dari rumah ini. Bahkan ayahku meminta agar aku berhenti mengajar, agar fokus ke pernikahan yang sudah mereka rencanakan. Sungguh, aku tak bisa berkata-kata lagi, di saat sang pengantin sibuk mengurusi pakaian, undangan, dan segala macam perlengkapan pernikahan. Aku justru duduk, diam, dan tak perlu mengurus semuanya. Mereka hanya memintaku untuk belajar menjadi istri yang baik, dan merawat diri sampai hari pernikahan tiba, sungguh hidupku memang miris. Tak bisa berjalan sesua
Kutatap langit-langit kamar yang terasa asing. Gorden abu yang benar-benar bukan warna kesukaanku. Dinding bercat putih tulang dengan beberapa potret garis abstrak yang tertempel. Selimut berwarna hitam jelas bukan milikku—selama hidup, aku tak pernah memiliki selimut seperti ini.Aku ada di mana? Pertanyaan itu terus terngiang di otakku. Sambil berusaha menggali ingatan-ingatan tentang semalam.Semalam, aku pergi ke bar, menikmati satu botol vodka, tak sengaja bertemu dengan Davin, dan saat aku ingin pulang, tiba-tiba kepalaku pusing dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Memoriku hanya sampai di situ saja.Kusingkap selimut hitam yang terlihat tampak sangat suram. Netraku jelas membulat saat pakaian yang kukenakan sudah berubah. Apa ini? Siapa yang mengganti pakaianku?
Aku kembali menatap gelas vodka yang tersisa setengah, es batu sebesar bola pimpong terlihat mengkilap terkena cahaya lampu remang-remang. Inilah tempat favoritku akhir-akhir ini. Menikmati waktu sendiri di tengah keramaian. Terdengar lucu, memang. Aku tak suka rasa sepi, tetapi aku pun ingin sendiri. Solusinya adalah berkunjung kemari. Aku bisa menikmati kesendirianku, tanpa harus merasa kesepian. Inilah aku, dengan segala kekurangan yang kumiliki. Aku tak pernah memperlihatkan kekurangan yang kumiliki kepada orang lain. Bukan tanpa sebab, aku hanya ingin terlihat lebih berani dan sempurna. Saat aku memperlihatkan kekurangan, saat itu pula mereka akan memiliki senjata untuk menyerangku. Aku lelah diperlakukan semena-mena, jenuh diperlakukan bak robot, dan tak ingin terus menerus menjadi tameng bagi mereka yang dengan mudah memanfaatkanku. Aku bosan terkurung dan terkekang. Terkadang aku iri pada burung, yang bisa terbang bebas ke manapun yang ia mau. Aku iri pada kupu-kupu yang bisa
BABAku masih menunggu di sini, duduk di salah satu kursi restoran yang cukup terkenal. Ibu angkatku benar-benar merealisasikan semuanya. Tak apa, setidaknya jika kelak aku menikah, aku akan keluar dari neraka yang terus mengurung dan mengekangku. Setidaknya mereka tak menjadikanku boneka lagi. Setidaknya aku bisa bebas melakukan apa pun sesuka hati, tanpa ada pengawasan dari mereka.Kutatap arloji yang menempel di pergelangan, sudah sepuluh menit berlalu dari waktu perjanjian dan pria itu masih belum muncul juga. Apa dia terlalu sibuk? Atau jangan-jangan dia tak akan datang kemari? Bisa saja hal itu terjadi mengingat pria itu juga tak menyetujui perjodohan ini—menurut analisaku saat melihat foto yang Ibu angkatku berikan tempo hari.Aku memilih untuk fokus pada ponsel yang kugenggam, daripada terus-menerus menatap pintu restoran, menunggu kedatangannya. Namun, saat aku larut pada ponselku, suara kursi berderit, membuat fokusku teralihkan. “Maaf, aku terlambat,” katanya sambil menggu
Perhatian!Untuk kedepannya, cerita ini akan berfokus pada sudut pandang Mega. ~~~~Apa aku harus menghentikan obsesiku pada Rangga? Tujuh tahun menunggu, tetapi dia tak pernah memandangku. Aku selalu ada untuknya, tetapi dia malah memilih wanita lain untuk menemani hidupnya. Bukankah itu tak adil bagiku? Aku yang selalu mendukungnya, tulus mencintainya, membantunya jika kesulitan, tetapi setelah dia berhasil melewati rintangan, aku dilupakan. Katanya dia tak pernah mencintaiku, dia tak pernah menaruh rasa padaku, dan sama sekali Rangga tak pernah tertarik denganku. Apa pengorbananku selama ini tak pernah ternilai di matanya? Apa bantuanku yang tulus tak sekalipun membuat hatinya tergerak?Seharusnya dari awal aku sudah sadar diri. Seharusnya sejak awal aku berhenti mencintainya. Bukankah tujuh tahun merupakan waktu yang cukup lama? 84 bulan kulewati tanpa balasan yang setimpal, 2556 hari yang terbuang percuma, 61.344 jam terlewat dengan sia-sia tanpa ada sedikit pun yang kudapatkan