"Aku mohon Hania, jangan pergi dariku. Aku berjanji, akan menyelesaikan semua ini secepatnya."
"Tidak bisa. Kau gila ya, kalau sampai semua orang tahu, bisa habis aku. Hubungan kita itu tidak diketahui siapa pun. Sedangkan pernikahanmu? Semua terpublikasi, Davi!" pungkas seorang wanita dengan nada frustrasi.
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Baiklah, begini saja. Tugasmu hanya tetap bersamaku, biarkan aku yang bertindak membuktikan semuanya. Aku mohon, Hania. Selama ini, aku bahkan tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun, bukan?" mohon seorang lelaki dengan wajah memelas. Ada guratan putus asa di sana yang membuat lawan bicaranya kini merasa iba. Benar adanya, kesetiaan laki-laki di hadapannya ini memang tidak diragukan dalam kurun waktu yang tak bisa dikatakan sebentar itu.
"Baiklah. Aku pegang ucapanmu. Sekarang aku harus pergi."
Dengan langkah yang sedikit dipercepat, gadis dengan penampilan sederhana itu melirik ke segala penjuru. Mewanti-wanti agar tak ada yang melihat dirinya, setelah bertemu seseorang yang sangat berpengaruh di Universitas tersebut.
"Aw, maaf-maaf." Gadis itu memekik saat tak sengaja bertabrakan dengan mahasiswi lain.
"Astaga, Hania! Kamu ngapain sih, pakai jalan gak lihat-lihat. Kaya lagi dikerja hantu saja," erang Kirana.
Mahasiswi yang kerap dipanggil Ana itu adalah teman seangkatan Hania. Keduanya bersahabat lantaran merasa sama-sama cocok. Ana juga bukan berasal dari keluarga kaya raya, tetapi semuanya tercukupi. Hanya ada sedikit perbedaan saja dengan Hania.
"Maaf, tadi dari toilet, Na." Hania menjawab dengan gugup.
"Toilet? Ngapain kamu jauh-jauh ke toilet di sini, Han?" Ana menatap sahabatnya dengan tatapan penuh selidik.
"Ya, ta-tadi ... tadi di toilet sana penuh. Aku kebelet jadinya ya, aku terpaksa ke sini. Lagian aku gak berani kalau harus ke fakultas lain." Hania berusaha memasang ekspresi yang biasa saja agar tak dicurigai oleh sahabatnya.
Benar, ia baru saja bertemu dengan Daviandra. Lelaki yang masih menjalin kasih dengannya setelah pria itu menikah. Entahlah, pantas disebut apa dirinya ini yang masih sudi berhubungan dengan laki-laki yang baru saja menikah itu.
Perempuan dengan setelan kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung tak sampai siku itu, adalah seorang mahasiswi yang baru saja memasuki semester 5. Hania Zalfa Qirani, nama dari seorang gadis sederhana yang berasal dari desa. Hania melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan berkat beasiswa bidik misi yang sempat ia ikuti sewaktu lulus sekolah dulu, dan dirinya dinyatakan lolos seleksi. Sejak saat itulah, Hania memutuskan untuk mengadu nasib di kota orang demi memperjuangkan gelar sarjananya.
"Ya sudah, aku duluan ya, Na. Aku harus cepat istirahat, karena nanti malam mau masuk kerja," pamit Hania.
"Oke. Hati-hati di jalan ya. Aku akan ke kelas kekasihku dulu."
Keduanya pun melenggang pergi ke arah yang berlawanan.
Hania memilih jalan pintas yang akan membawanya langsung ke tempat parkir. Di sana, ia bisa langsung keluar dari kampus untuk berjalan kaki menuju tempat tinggalnya. Jaraknya sekitar 400 meter.
Di lorong sepi tepatnya samping perpustakaan fakultas teknik, Hania merasa ada yang mengikutinya. Namun, pada saat berbalik ke belakang ia tak mendapati siapa pun di sana.
Akan tetapi, pada saat berbelok, tiba-tiba tangannya ditarik kasar oleh seseorang. Ketika akan berteriak, suaranya tertahan begitu saja karena bekapan telapak tangan yang lebar entah milik siapa.
"Eughhh!" Hania meronta, tetapi tak kunjung dilepaskan.
"Kau siapa? Kenapa membawaku ke sini!" sungut Hania saat sudah berhadapan dengan orang yang menariknya tadi, yang ternyata adalah seorang pria. Meski tak punya kenalan banyak di sana, Hania bisa tahu siapa sosok yang berdiri di hadapannya kini. Zico Navares, seorang ketua MPM kampus yang merupakan perwakilan dari fakultas teknik. Tentu saja sosok Zico namanya sudah tak asing di telinga para mahasiswa. Tak hanya Zico sebenarnya, tetapi seluruh jajaran mahasiswa yang ikut menjadi anggota kepengurusan mahasiswa. Hanya saja, Zico tak pernah mengumbar nama belakangnya yang akan membuat ia semakin disegani.
"Kenapa adik junior? Sepertinya wajahmu terlihat ketakutan, hem?"
Hania menepis kasar lengan pria di hadapannya yang dengan lancang berani membelai pipinya tanpa izin.
"Jangan kurang ajar, ya!" hardik Hania dengan napas memburu antara takut dan marah. Takut karena di gudang yang cukup luas itu hanya ada keduanya, dan marah karena ia merasa dilecehkan.
"Kenapa? Apa perlu aku bayar dulu, baru bisa bebas menyentuhmu, begitu?" ucap Zico dengan senyuman miring di bibirnya.
Plak!
"Apa maksudmu berbicara seperti itu?!" tanya Hania dengan nada meninggi. Sebelumnya, Hania sempat melayangkan tamparan ke pipi kiri pria itu.
Bukan marah, Zico malah mengusap pipinya yang terasa memanas sembari menatap Hania dengan tatapan mengejek.
"Jangan pura-pura, kau pikir aku tidak tahu hah? Hania, Hania, jangan sok jual mahal. Kau bahkan memberikan tubuhmu dengan suka rela pada suami orang."
Deg!
Mendengar kata 'suami orang' yang dilontarkan pria di hadapannya, Hania menjadi panas dingin. Tidak mungkin kan, hubungannya dengan Daviandra diketahui oleh pria asing ini? Sedangkan sahabatnya sendiri saja, tak tahu perihal ia dan Daviandra yang memang memilih menutupi hubungan keduanya rapat-rapat.
"Ma-maksudmu apa?!" Hania menatap pria di hadapannya dengan serius.
"Daviandra, putra sulung wakil rektor tiga, yang baru saja menikah beberapa hari lalu dengan putri bungsu keluarga terpandang. Dia kekasihmu bukan?" Zico mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang sudah terpakai di gudang tersebut. Salah satu kakinya sengaja ia angkat untuk merelakskan posisinya.
"Wajahmu saja yang terlihat lugu, tapi ternyata tak lebih dari seorang pelakor." Bibir Zico menyeringai, menatap gadis di hadapannya yang mulai pucat pasi.
"Tutup mulutmu! Aku bukan pelakor. Tahu apa kau soal hidupku?!" teriak Hania. Matanya berembun, dadanya menyesak, ia terasa direndahkan saat ini.
Ia bukan pelakor. Dirinya dan Daviandra menjalin kasih sejak ia semester satu dulu. Namun, tepat pada hari jadi mereka yang kedua tahun, Daviandra memberinya kabar buruk. Pria itu dijodohkan oleh orang tuanya. Tak bisa menghindari hal itu, akhirnya Daviandra pun pasrah menikah dengan gadis bernama Larasati.
"Lalu apa? Perempuan penggoda suami orang?" Zico terkekeh, merasa geli dengan ucapannya sendiri. Sementara Hania, dengan mata memerah, gadis itu mengepalkan tangannya erat. Ia masih tak habis pikir, kenapa pria asing sok berkuasa ini bisa mengetahui kartu as hidupnya.
"Harusnya kau sadar diri Hania. Kau itu tidak akan bisa bersaing dengan Nyonya Muda Daviandra. Kau siapa? Hanya anak bidik misi, sama halnya parasit," papar Zico dengan wajah tanpa ekspresi. Perkataan pria itu sama sekali tak difilter. Jangan heran, itu adalah hal yang biasa untuk seorang Zico yang memang dengan kata-katanya biasa menjatuhkan lawan. Meski begitu, Zico bukanlah tipikal pria yang hanya mengandalkan perkataannya, tanpa dibarengi tindakan.
"Seharusnya kau tahu diri juga, yang mengurus beasiswamu di sini adalah wakil rektor tiga, ayah kandung Daviandra. Apa begitu cara berterima kasihmu? Dengan menjadi seorang yang merusak rumah tangga putranya beliau?" Zico menatap Hania dengan mata menyipit.
Hania terdiam. Mencerna apa yang diucapkan oleh Zico. Benar, ia memang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita yang dinikahi Daviandra. Mahasiswi dari fakultas bahasa Inggris itu adalah seorang putri kesayangannya keluarga kaya raya, sedangkan dirinya? Hanya tinggal di kos-kosan kecil tak jauh dari kampus. Meskipun dari segi pisik ia tak kalah cantik, tetap saja ia kalah jauh dari sisi-sisi yang lainnya.Larasati yang ke kampus setiap harinya selalu memakai mobil mewah, berteman dengan orang-orang yang sama terpandangnya di kampus, sangat jauh dengannya yang harus bekerja setiap malam sebagai pelayan di salah satu kafe. Berasal dari keluarga yang kurang mampu membuat Hania harus ekstra kerja keras, demi melanjutkan hidupnya di kota orang. Jangankan bergaya, ataupun membeli kendaraan, untuk makan saja setiap harinya ia kesusahan. Menjadi mahasiswa bidik misi tak membuatnya ditanggung segala kebutuhannya secara finansial terlebih yang di luar urusan kampus.Awal masuk kuliah dulu,
Selepas menuaikan kewajibannya, Hania segera bersiap untuk pergi ke tempat ia bekerja. Tak lama, ia hanya akan bekerja selama kurang lebih 4 jam dan akan kembali pukul 11 malam nanti. Tergantung bagaimana kepadatan pengunjung saja.Hania bekerja dengan sepenuh hati. Tak pernah ada pelanggan yang komplain atas pelayanannya di sana. Sikap hati-hati dan ramahnya selalu ia terapkan tiap kali berhadapan dengan para pelanggan kafe dari berbagai kalangan.Namun, untuk pertama kalinya malam ini, ia melakukan sebuah kesalahan. Untung saja pelanggannya tidak memiliki sikap angkuh yang keras dan berprinsip pelanggan harus selalu dirajakan."Maaf, Bu. Saya tidak sengaja. Sekali lagi maaf, Bu." Hania meminta maaf secara berulang-ulang kepada wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik tersebut."Tidak apa-apa, Nak." Wanita yang tak diketahui namanya oleh Hania itu tersenyum tipis.Kelegaan seketika menghampiri perasaan Hania. Ternyata tak semua orang kaya itu angkuh. Buktinya, ibu-ibu y
Beberapa hari berikutnya. Setelah selesai mengikuti mata kuliah jam pertama, Hania fokus mengerjakan tugas membuat resume dari dosen yang akan dikumpulkan Minggu depan. Walaupun waktunya cukup lama, tetapi Hania tetap mencuri-curi waktu untuk mengerjakannya. Mengingat malam hari ia tak punya waktu untuk tugasnya, selain pekerjaannya di kafe.Ting!Satu notifikasi dari ponselnya berhasil menarik atensi Hania yang sedang fokus pada buku di tangannya.Daviandra[Assalamualaikum. Hania, temui aku di tempat biasa. Sepuluh menit lagi aku sampai.”Hania[Wa’alaikumssalam.]Hania hanya membalas singkat pesan Daviandra. Helaan napas berat pun terdengar. Sejujurnya ia lelah dengan hubungan rahasia seperti ini. Terlebih, saat ini keadaannya makin urgent dari sebelumnya. Jika sebelumnya mereka sembunyi-sembunyi karena ia takut dihujat oleh banyak orang, berbeda dengan saat ini yang sangat diharuskan sembunyi-sembunyi lantaran risikonya jauh lebih berbahaya.Hania merapikan kertas-kertas berisi ha
“Akh!” Hania mendesis kesakitan. Dalam sekali gerakan, dirinya kini bersandar pada tembok, terkurung tubuh bidang Zico. Kulit wajahnya terasa memanas karena cengkeraman jemari Zico saat ini.“Lepas bajingan!” pekik Hania dengan ekspresi menahan sakit.“Ya, memang si bajingan itu harus kau lepaskan.” Zico seolah bodoh dan mengalihkan maksud Hania.“Zico, sakit!” Hania mengadu dengan wajah yang mulai berlinang air mata.“Menyedihkan.” Zico melepas kasar cengkeraman kasarnya dari wajah Hania.Hania terlihat bergetar ketakutan sembari meraba wajahnya yang kebas.“Ck. Kenapa jadi seperti ini? Mana keberanian dan keangkuhan yang tadi kau tunjukkan, hem?” Zico memasang wajah sinis.“Dasar sok keras.” Zico menyambung perkataannya.“Entah bagaimana cara orang tuamu mendidik gadis sepertimu, sampai-sampai sudi menjadi selingkuhan suami orang. Kalau aku jadi dirimu, lebih baik tidak usah kuliah. Percuma mengejar pendidikan tinggi-tinggi, kalau martabat sendiri direndahkan.”“TUTUP MULUTMU, ZICO!
“Akh!” Hania mendesis kesakitan. Dalam sekali gerakan, dirinya kini bersandar pada tembok, terkurung tubuh bidang Zico. Kulit wajahnya terasa memanas karena cengkeraman jemari Zico saat ini.“Lepas bajingan!” pekik Hania dengan ekspresi menahan sakit.“Ya, memang si bajingan itu harus kau lepaskan.” Zico seolah bodoh dan mengalihkan maksud Hania.“Zico, sakit!” Hania mengadu dengan wajah yang mulai berlinang air mata.“Menyedihkan.” Zico melepas kasar cengkeraman kasarnya dari wajah Hania.Hania terlihat bergetar ketakutan sembari meraba wajahnya yang kebas.“Ck. Kenapa jadi seperti ini? Mana keberanian dan keangkuhan yang tadi kau tunjukkan, hem?” Zico memasang wajah sinis.“Dasar sok keras.” Zico menyambung perkataannya.“Entah bagaimana cara orang tuamu mendidik gadis sepertimu, sampai-sampai sudi menjadi selingkuhan suami orang. Kalau aku jadi dirimu, lebih baik tidak usah kuliah. Percuma mengejar pendidikan tinggi-tinggi, kalau martabat sendiri direndahkan.”“TUTUP MULUTMU, ZICO!
Beberapa hari berikutnya. Setelah selesai mengikuti mata kuliah jam pertama, Hania fokus mengerjakan tugas membuat resume dari dosen yang akan dikumpulkan Minggu depan. Walaupun waktunya cukup lama, tetapi Hania tetap mencuri-curi waktu untuk mengerjakannya. Mengingat malam hari ia tak punya waktu untuk tugasnya, selain pekerjaannya di kafe.Ting!Satu notifikasi dari ponselnya berhasil menarik atensi Hania yang sedang fokus pada buku di tangannya.Daviandra[Assalamualaikum. Hania, temui aku di tempat biasa. Sepuluh menit lagi aku sampai.”Hania[Wa’alaikumssalam.]Hania hanya membalas singkat pesan Daviandra. Helaan napas berat pun terdengar. Sejujurnya ia lelah dengan hubungan rahasia seperti ini. Terlebih, saat ini keadaannya makin urgent dari sebelumnya. Jika sebelumnya mereka sembunyi-sembunyi karena ia takut dihujat oleh banyak orang, berbeda dengan saat ini yang sangat diharuskan sembunyi-sembunyi lantaran risikonya jauh lebih berbahaya.Hania merapikan kertas-kertas berisi ha
Selepas menuaikan kewajibannya, Hania segera bersiap untuk pergi ke tempat ia bekerja. Tak lama, ia hanya akan bekerja selama kurang lebih 4 jam dan akan kembali pukul 11 malam nanti. Tergantung bagaimana kepadatan pengunjung saja.Hania bekerja dengan sepenuh hati. Tak pernah ada pelanggan yang komplain atas pelayanannya di sana. Sikap hati-hati dan ramahnya selalu ia terapkan tiap kali berhadapan dengan para pelanggan kafe dari berbagai kalangan.Namun, untuk pertama kalinya malam ini, ia melakukan sebuah kesalahan. Untung saja pelanggannya tidak memiliki sikap angkuh yang keras dan berprinsip pelanggan harus selalu dirajakan."Maaf, Bu. Saya tidak sengaja. Sekali lagi maaf, Bu." Hania meminta maaf secara berulang-ulang kepada wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik tersebut."Tidak apa-apa, Nak." Wanita yang tak diketahui namanya oleh Hania itu tersenyum tipis.Kelegaan seketika menghampiri perasaan Hania. Ternyata tak semua orang kaya itu angkuh. Buktinya, ibu-ibu y
Hania terdiam. Mencerna apa yang diucapkan oleh Zico. Benar, ia memang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita yang dinikahi Daviandra. Mahasiswi dari fakultas bahasa Inggris itu adalah seorang putri kesayangannya keluarga kaya raya, sedangkan dirinya? Hanya tinggal di kos-kosan kecil tak jauh dari kampus. Meskipun dari segi pisik ia tak kalah cantik, tetap saja ia kalah jauh dari sisi-sisi yang lainnya.Larasati yang ke kampus setiap harinya selalu memakai mobil mewah, berteman dengan orang-orang yang sama terpandangnya di kampus, sangat jauh dengannya yang harus bekerja setiap malam sebagai pelayan di salah satu kafe. Berasal dari keluarga yang kurang mampu membuat Hania harus ekstra kerja keras, demi melanjutkan hidupnya di kota orang. Jangankan bergaya, ataupun membeli kendaraan, untuk makan saja setiap harinya ia kesusahan. Menjadi mahasiswa bidik misi tak membuatnya ditanggung segala kebutuhannya secara finansial terlebih yang di luar urusan kampus.Awal masuk kuliah dulu,
"Aku mohon Hania, jangan pergi dariku. Aku berjanji, akan menyelesaikan semua ini secepatnya.""Tidak bisa. Kau gila ya, kalau sampai semua orang tahu, bisa habis aku. Hubungan kita itu tidak diketahui siapa pun. Sedangkan pernikahanmu? Semua terpublikasi, Davi!" pungkas seorang wanita dengan nada frustrasi."Tidak. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Baiklah, begini saja. Tugasmu hanya tetap bersamaku, biarkan aku yang bertindak membuktikan semuanya. Aku mohon, Hania. Selama ini, aku bahkan tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun, bukan?" mohon seorang lelaki dengan wajah memelas. Ada guratan putus asa di sana yang membuat lawan bicaranya kini merasa iba. Benar adanya, kesetiaan laki-laki di hadapannya ini memang tidak diragukan dalam kurun waktu yang tak bisa dikatakan sebentar itu."Baiklah. Aku pegang ucapanmu. Sekarang aku harus pergi."Dengan langkah yang sedikit dipercepat, gadis dengan penampilan sederhana itu melirik ke segala penjuru. Mewanti-wanti agar tak ada