“Akh!” Hania mendesis kesakitan. Dalam sekali gerakan, dirinya kini bersandar pada tembok, terkurung tubuh bidang Zico. Kulit wajahnya terasa memanas karena cengkeraman jemari Zico saat ini.
“Lepas bajingan!” pekik Hania dengan ekspresi menahan sakit.
“Ya, memang si bajingan itu harus kau lepaskan.” Zico seolah bodoh dan mengalihkan maksud Hania.
“Zico, sakit!” Hania mengadu dengan wajah yang mulai berlinang air mata.
“Menyedihkan.” Zico melepas kasar cengkeraman kasarnya dari wajah Hania.
Hania terlihat bergetar ketakutan sembari meraba wajahnya yang kebas.
“Ck. Kenapa jadi seperti ini? Mana keberanian dan keangkuhan yang tadi kau tunjukkan, hem?” Zico memasang wajah sinis.
“Dasar sok keras.” Zico menyambung perkataannya.
“Entah bagaimana cara orang tuamu mendidik gadis sepertimu, sampai-sampai sudi menjadi selingkuhan suami orang. Kalau aku jadi dirimu, lebih baik tidak usah kuliah. Percuma mengejar pendidikan tinggi-tinggi, kalau martabat sendiri direndahkan.”
“TUTUP MULUTMU, ZICO!” Hania berteriak sangat kencang. Beruntung, lorong di sana jauh dari jangkauan para mahasiswa. Kecuali saat sedang ada kegiatan berbau musik.
“Silahkan menghinaku dengan brutal. Tapi satu hal, jangan bawa-bawa orang tuaku, Zico. Kau tidak tahu bagaimana mereka mendidik anak-anaknya dengan sabar dan penuh perjuangan, kau tahu apa soal itu semua, hah?!” Hania berbicara dengan napas tersengal.
“Dan untuk hidupku, kau ataupun sebagian orang mungkin berpikir semua itu bukanlah apa-apa. Tapi bagiku, berada di titik ini perlu perjuangan yang tak mudah.”
“Berbeda denganmu yang dilahirkan di tengah keluarga berpunya, aku hanya anak dari seorang petani. Semua orang memiliki kapasitas hidup yang berbeda, dan kau tidak pantas menilainya rendah. Karena kau tidak tahu, seberapa maksimalnya mereka berjuang demi semua itu,” ucap Hania meluapkan semua kekesalannya yang bersarang sejak kemarin. Apa yang dilontarkan Hania, terbentuk karena hinaan dari pria di hadapannya ini.
“Aku tahu, jangan mengajariku. Aku tahu semua orang punya kapasitas hidup masing-masing. Setidaknya, kalau sudah sulit ekonomi, jangan sulit sadar diri.” Zico memutar bola matanya malas.
“Laki-laki di dunia ini banyak Hania, bahkan yang sederajat denganmu pun tak sedikit. Apa susahnya kau melepaskan Daviandra untuk adikku? Jika kau butuh uang, sebutkan saja nominalnya, aku akan membayarnya agar kau tak merasa dirugikan,” sindir Zico. Pria itu menatap hina gadis di hadapannya.
Hania yang ditatap seperti itu merasa tidak suka. Dengan kasar, jemarinya menghapus jejak air mata di kedua belah pipinya. Ia mendongak, menatap tajam wajah Zico. Hania tak habis pikir, memang Zico kira Daviandra itu barang yang bisa dialihkan dan dibayar begitu saja.
“Berapapun nominalnya, akan aku bayar.”
“Memang mudah untuk orang sepertimu, memaksakan kehendak pada orang lain. Tanpa memikirkan perasaannya,” sergah Hania dengan senyuman menjatuhkan.
Terlihat Zico kembali mengeraskan wajah.
“Kenapa kau marah, Zico? Aku tidak salah bukan?” Hania mengembangkan senyum manisnya. Sayang, maknanya tak semanis itu.
“Sebaiknya, kau selidiki dulu adikmu. Mengapa bisa Daviandra lebih tertarik padaku yang notabenenya gadis kampung, daripada Larasati yang kau sebut-sebut sempurna itu. Terkadang, yang cantik di luar belum tentu cantik juga dalamnya,” ucap Hania sembari memaksakan senyuman penuh air di bibirnya.
Wajah menyebalkan Zico semakin meredup, digantikan dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sepertinya Hania benar-benar kembali memanggil sisi iblis pria itu.
“Em, mungkin adikmu itu—“
“Emmmh!”
Perkataan Hania terjeda secara paksa karena bibirnya yang langsung dibungkam kasar oleh Zico. Dengan cara salah, yang kembali mengundang jejak air mata dari kelopak mata indah Hania.
Ya, Zico membungkam mulut Hania dengan bibirnya. Pria itu melumatnya dengan sangat kasar dan tanpa perasaan. Rasa asin ciri khas dari darah pun mendominasi kegiatan mereka
Setelah merasa Hania hampir kehabisan napas, Zico menjauhkan wajahnya. Setelahnya, terdengarlah isak tangis Hania yang begitu memilukan.
“Jangan coba-coba berani menghina adikku, atau aku bisa melakukan hal yang lebih padamu daripada ini!” tegas Zico.
Hania mendorong kasar tubuh Zico, lalu mendaratkan tamparan sebanyak dua kali dengan gerakan cepat.
“Dasar, iblis!” makinya dengan suara menggema.
“Ya, aku memang iblis yang siap menghancurkan hidup perempuan tidak tahu diri sepertimu,” balas Zico dengan tenang.
“Kau tidak punyak hak mengatur hidupku. Jadi mulai detik ini, berhenti mencampuri urusanku apalagi sampai memerintah hidupku. Dan soal adikmu dengan Daviandra, aku sama sekali tidak keberatan. Lagipula, poligami bukanlah hal yang dilarang bagi seorang pria yang mampu, bukan?” Senyuman jenaka tercetak jelas di bibir ranum Hania yang sedikit membengkak akibat ulah bejad Zico.
Setelah mengatakan hal itu, Hania memutuskan untuk pergi dari sana. Lama-lama di sana akan membuat ia kehilangan kewarasannya. Dengan sengaja Hania juga menabrak tubuh Zico dengan tubuhnya agar menyingkir dari jalannya.
“Coba saja kalau berani, kau akan tau akibatnya bitch!” Geraman dari bibi Zico sekilas masih terdengar di telinga Hania. Akan tetapi, ia memilih tak peduli pada semua itu.
Setelah dari lorong gedung musik, Hania pergi ke toilet. Di dalam sana, tangis gadis itu pecah.
Hidupnya sudah sulit, kini ditambah dengan kesulitan yang baru.
“Ibu, Hania takut!” Jeritan itu tertahan dalam hati Hania. Jika saja ia tak memikirkan masa depannya, mungkin Hania akan pulang kampung saja dan meninggalkan pendidikan berserta semua masalah yang menjeratkan saat ini.
Beberapa menit kemudian, Hania baru saja kembali dari kantin membeli satu botol air mineral. Rasanya tenggorokan Hania kering selepas berdebat dengan jelmaan iblis, seperti Zico tadi.
“Eh, ini bukannya Daviandra. Wow, dia baru nikah belum seminggu tapi sudah peluk- peluk perempuan lain. Laki-laki memang tidak pernah cukup dengan satu wanita ya.”
“Siapa sih, perempuannya? Kenapa harus disensor gitu mukanya?”
“Iya, penasaran secantik apa sih, sampai Daviandra berpaling dari istrinya. Padahal, Larasati itu sudah sempurna menurutku.”
“Yang pasti bukan Larasati lah. Kamu gak lihat, mereka bertengkar di sana.”
Hania memelankan langkah kakinya ketika melewati mading. Bola matanya membulat sempurna saat melihat beberapa pasang foto sepasang kekasih, sengaja ditempel di sana. Ya itu adalah fotonya bersama Daviandra. Wajahnya disamarkan, dan pakaian yang digunakan olehnya kala berfoto waktu itu adalah pakaian yang tak pernah ia gunakan ke kampus.
Sebisa mungkin Hania menahan ekspresi wajah, agar tak membuat semua orang curiga bahwa dirinyalah sosok yang berada di foto tersebut.
Pandangan Hania mengedar. Tak jauh dari mading, ia melihat sosok Daviandra sedang berusaha menenangkan Larasati yang kala itu bergerak memukul-mukul dada pria di hadapannya. Sepertinya mereka bertengkar karena foto-foto itu, yang berhasil menggemparkan satu fakultas dalam hitungan menit.
Hania mengepalkan tangannya. Ia tentu sudah tahu siapa dalang di balik semua kekacauan ini. Ternyata Zico tidak bisa dianggap remeh.
Sembari mengepalkan sebelah tangan, Hania melangkah pergi dari sana. Tujuannya saat ini adalah fakultas teknik ruang kelas A5. Kelas yang ia yakini adalah kelas Zico.
“Permisi.”
Semua atensi penghuni kelas A5 kala itu tertuju pada ambang pintu, lebih tepatnya pada sosok Hania.
Salah satu kelas teknik yang hanya dihuni oleh laki-laki itu terasa sunyi. Beberapa orang di sana saling tatap. Sedangkan sisanya setia berbaring entah tertidur atau malas berbaur dengan keadaan yang tersaji.
“Maaf, Kak. Cari Kak Zico.” Hania mengungkapkan tujuannya berada di sana.
“Oh ....” Terdengar balasan paham dari beberapa orang di sana.
“Tom, bangunin si Zico!” titah pria berbadan gemuk kepada salah satu dari mereka.
“Masuk saja, sini. Siapa namanya? Gue Sandi.” Seorang dari mereka mengulurkan tangannya. Tak ingin dikatakan tidak sopan, Hania pun membalas uluran tangan pria itu.
“Hania,” jawabnya.
Tatapan Hania berpindah pada sosok pria yang sedang membangunkan Zico. Saat itu terdengar geraman sosok yang dicarinya, pertanda Zico sudah bangun.
“Ada yang nyariin, namanya Hania.”
Apa yang disampaikan oleh Tomi, membuat Zico bangun dan spontan melompat dari meja. Pria itu kini sudah berdiri, dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur.
“Zic, siapa itu?”
“Kirain selera dia yang glamoran doang.”
Bisik-bisik dari teman-teman Zico pun terdengar.
“Bukan siapa-siapa. Kenapa tanya-tanya? Minat sama dia? Tinggal request jam gampang kan,” balas Zico dengan senyum mengejek melirik teman-temannya.
Tak ada lagi yang bersuara. Teman-teman Zico bungkam. Bukan tak mengerti maksud perkataan Zico, hanya saja mereka tak begitu yakin Zico mengatakan hal semacam itu pada gadis lugu yang wajahnya super natural seperti Hania.
Berbeda dengan para laki-laki itu, darah Hania sudah mendidih.
“Ada perlu apa mencariku?” tanya Zico dengan wajah datar.
“Jangan pura-pura!” hardik Hania.
Melihat wajah berang lawan berbicaranya, Zico tertawa sumbang.
“Masih mau bermain-main denganku, hem? Itu baru permulaan Hania!” Zico menekan setiap perkataannya kala itu.
Dengan tangan mengepal, Hania melangkah mendekati Zico dan langsung menghadiahi pria itu tamparan yang tak kalah kuat dengan yang tadi. Dalam hitungan jam, sudah sebanyak empat kali Hania menampar wajah yang sama. Bahkan saking seringnya, sudut bibir Zico sampai mengeluarkan bercak darah.
“Keterlaluan!” teriak Hania tepat di hadapan wajah Zico dengan napas memburu dan emosi yang meledak-ledak.
Zico belum menjawab apa pun. Pria itu melirik temannya, memberi perintah melalui isyarat, yang Hania sendiri tak tahu apa itu.
Detik berikutnya, pintu ruang kelas ditutup oleh salah satu dari mereka dan diganjal sebuah kursi.
Hania mulai panik. Mengapa pintu harus ditutup? Ditambah, tak ada satu pun perempuan lagi selain dirinya. Hanya ada sepuluh orang laki-laki di sana.
Hania memundurkan langkahnya ketika melihat seringai di wajah Zico, yang menandakan bahwa ia sedang dalam bahaya. Zico adalah tipikal laki-laki yang nekat.
“Argh! Lepas!” Hania memekik ketakutan, saat tubuhnya yang akan berbalik ditarik paksa oleh Zico.
“Zico! Lepasin!”
“Tolong! Tolong!”
Teriakan ketakutan Hania saat itu bagaikan angin lalu semata yang tak didengar oleh siapapun di luar sana. Sedangkan sembilan orang laki-laki lainnya tak mungkin menolongnya lantaran mereka berada di pihak Zico.
"Aku mohon Hania, jangan pergi dariku. Aku berjanji, akan menyelesaikan semua ini secepatnya.""Tidak bisa. Kau gila ya, kalau sampai semua orang tahu, bisa habis aku. Hubungan kita itu tidak diketahui siapa pun. Sedangkan pernikahanmu? Semua terpublikasi, Davi!" pungkas seorang wanita dengan nada frustrasi."Tidak. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Baiklah, begini saja. Tugasmu hanya tetap bersamaku, biarkan aku yang bertindak membuktikan semuanya. Aku mohon, Hania. Selama ini, aku bahkan tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun, bukan?" mohon seorang lelaki dengan wajah memelas. Ada guratan putus asa di sana yang membuat lawan bicaranya kini merasa iba. Benar adanya, kesetiaan laki-laki di hadapannya ini memang tidak diragukan dalam kurun waktu yang tak bisa dikatakan sebentar itu."Baiklah. Aku pegang ucapanmu. Sekarang aku harus pergi."Dengan langkah yang sedikit dipercepat, gadis dengan penampilan sederhana itu melirik ke segala penjuru. Mewanti-wanti agar tak ada
Hania terdiam. Mencerna apa yang diucapkan oleh Zico. Benar, ia memang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita yang dinikahi Daviandra. Mahasiswi dari fakultas bahasa Inggris itu adalah seorang putri kesayangannya keluarga kaya raya, sedangkan dirinya? Hanya tinggal di kos-kosan kecil tak jauh dari kampus. Meskipun dari segi pisik ia tak kalah cantik, tetap saja ia kalah jauh dari sisi-sisi yang lainnya.Larasati yang ke kampus setiap harinya selalu memakai mobil mewah, berteman dengan orang-orang yang sama terpandangnya di kampus, sangat jauh dengannya yang harus bekerja setiap malam sebagai pelayan di salah satu kafe. Berasal dari keluarga yang kurang mampu membuat Hania harus ekstra kerja keras, demi melanjutkan hidupnya di kota orang. Jangankan bergaya, ataupun membeli kendaraan, untuk makan saja setiap harinya ia kesusahan. Menjadi mahasiswa bidik misi tak membuatnya ditanggung segala kebutuhannya secara finansial terlebih yang di luar urusan kampus.Awal masuk kuliah dulu,
Selepas menuaikan kewajibannya, Hania segera bersiap untuk pergi ke tempat ia bekerja. Tak lama, ia hanya akan bekerja selama kurang lebih 4 jam dan akan kembali pukul 11 malam nanti. Tergantung bagaimana kepadatan pengunjung saja.Hania bekerja dengan sepenuh hati. Tak pernah ada pelanggan yang komplain atas pelayanannya di sana. Sikap hati-hati dan ramahnya selalu ia terapkan tiap kali berhadapan dengan para pelanggan kafe dari berbagai kalangan.Namun, untuk pertama kalinya malam ini, ia melakukan sebuah kesalahan. Untung saja pelanggannya tidak memiliki sikap angkuh yang keras dan berprinsip pelanggan harus selalu dirajakan."Maaf, Bu. Saya tidak sengaja. Sekali lagi maaf, Bu." Hania meminta maaf secara berulang-ulang kepada wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik tersebut."Tidak apa-apa, Nak." Wanita yang tak diketahui namanya oleh Hania itu tersenyum tipis.Kelegaan seketika menghampiri perasaan Hania. Ternyata tak semua orang kaya itu angkuh. Buktinya, ibu-ibu y
Beberapa hari berikutnya. Setelah selesai mengikuti mata kuliah jam pertama, Hania fokus mengerjakan tugas membuat resume dari dosen yang akan dikumpulkan Minggu depan. Walaupun waktunya cukup lama, tetapi Hania tetap mencuri-curi waktu untuk mengerjakannya. Mengingat malam hari ia tak punya waktu untuk tugasnya, selain pekerjaannya di kafe.Ting!Satu notifikasi dari ponselnya berhasil menarik atensi Hania yang sedang fokus pada buku di tangannya.Daviandra[Assalamualaikum. Hania, temui aku di tempat biasa. Sepuluh menit lagi aku sampai.”Hania[Wa’alaikumssalam.]Hania hanya membalas singkat pesan Daviandra. Helaan napas berat pun terdengar. Sejujurnya ia lelah dengan hubungan rahasia seperti ini. Terlebih, saat ini keadaannya makin urgent dari sebelumnya. Jika sebelumnya mereka sembunyi-sembunyi karena ia takut dihujat oleh banyak orang, berbeda dengan saat ini yang sangat diharuskan sembunyi-sembunyi lantaran risikonya jauh lebih berbahaya.Hania merapikan kertas-kertas berisi ha
“Akh!” Hania mendesis kesakitan. Dalam sekali gerakan, dirinya kini bersandar pada tembok, terkurung tubuh bidang Zico. Kulit wajahnya terasa memanas karena cengkeraman jemari Zico saat ini.“Lepas bajingan!” pekik Hania dengan ekspresi menahan sakit.“Ya, memang si bajingan itu harus kau lepaskan.” Zico seolah bodoh dan mengalihkan maksud Hania.“Zico, sakit!” Hania mengadu dengan wajah yang mulai berlinang air mata.“Menyedihkan.” Zico melepas kasar cengkeraman kasarnya dari wajah Hania.Hania terlihat bergetar ketakutan sembari meraba wajahnya yang kebas.“Ck. Kenapa jadi seperti ini? Mana keberanian dan keangkuhan yang tadi kau tunjukkan, hem?” Zico memasang wajah sinis.“Dasar sok keras.” Zico menyambung perkataannya.“Entah bagaimana cara orang tuamu mendidik gadis sepertimu, sampai-sampai sudi menjadi selingkuhan suami orang. Kalau aku jadi dirimu, lebih baik tidak usah kuliah. Percuma mengejar pendidikan tinggi-tinggi, kalau martabat sendiri direndahkan.”“TUTUP MULUTMU, ZICO!
Beberapa hari berikutnya. Setelah selesai mengikuti mata kuliah jam pertama, Hania fokus mengerjakan tugas membuat resume dari dosen yang akan dikumpulkan Minggu depan. Walaupun waktunya cukup lama, tetapi Hania tetap mencuri-curi waktu untuk mengerjakannya. Mengingat malam hari ia tak punya waktu untuk tugasnya, selain pekerjaannya di kafe.Ting!Satu notifikasi dari ponselnya berhasil menarik atensi Hania yang sedang fokus pada buku di tangannya.Daviandra[Assalamualaikum. Hania, temui aku di tempat biasa. Sepuluh menit lagi aku sampai.”Hania[Wa’alaikumssalam.]Hania hanya membalas singkat pesan Daviandra. Helaan napas berat pun terdengar. Sejujurnya ia lelah dengan hubungan rahasia seperti ini. Terlebih, saat ini keadaannya makin urgent dari sebelumnya. Jika sebelumnya mereka sembunyi-sembunyi karena ia takut dihujat oleh banyak orang, berbeda dengan saat ini yang sangat diharuskan sembunyi-sembunyi lantaran risikonya jauh lebih berbahaya.Hania merapikan kertas-kertas berisi ha
Selepas menuaikan kewajibannya, Hania segera bersiap untuk pergi ke tempat ia bekerja. Tak lama, ia hanya akan bekerja selama kurang lebih 4 jam dan akan kembali pukul 11 malam nanti. Tergantung bagaimana kepadatan pengunjung saja.Hania bekerja dengan sepenuh hati. Tak pernah ada pelanggan yang komplain atas pelayanannya di sana. Sikap hati-hati dan ramahnya selalu ia terapkan tiap kali berhadapan dengan para pelanggan kafe dari berbagai kalangan.Namun, untuk pertama kalinya malam ini, ia melakukan sebuah kesalahan. Untung saja pelanggannya tidak memiliki sikap angkuh yang keras dan berprinsip pelanggan harus selalu dirajakan."Maaf, Bu. Saya tidak sengaja. Sekali lagi maaf, Bu." Hania meminta maaf secara berulang-ulang kepada wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik tersebut."Tidak apa-apa, Nak." Wanita yang tak diketahui namanya oleh Hania itu tersenyum tipis.Kelegaan seketika menghampiri perasaan Hania. Ternyata tak semua orang kaya itu angkuh. Buktinya, ibu-ibu y
Hania terdiam. Mencerna apa yang diucapkan oleh Zico. Benar, ia memang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita yang dinikahi Daviandra. Mahasiswi dari fakultas bahasa Inggris itu adalah seorang putri kesayangannya keluarga kaya raya, sedangkan dirinya? Hanya tinggal di kos-kosan kecil tak jauh dari kampus. Meskipun dari segi pisik ia tak kalah cantik, tetap saja ia kalah jauh dari sisi-sisi yang lainnya.Larasati yang ke kampus setiap harinya selalu memakai mobil mewah, berteman dengan orang-orang yang sama terpandangnya di kampus, sangat jauh dengannya yang harus bekerja setiap malam sebagai pelayan di salah satu kafe. Berasal dari keluarga yang kurang mampu membuat Hania harus ekstra kerja keras, demi melanjutkan hidupnya di kota orang. Jangankan bergaya, ataupun membeli kendaraan, untuk makan saja setiap harinya ia kesusahan. Menjadi mahasiswa bidik misi tak membuatnya ditanggung segala kebutuhannya secara finansial terlebih yang di luar urusan kampus.Awal masuk kuliah dulu,
"Aku mohon Hania, jangan pergi dariku. Aku berjanji, akan menyelesaikan semua ini secepatnya.""Tidak bisa. Kau gila ya, kalau sampai semua orang tahu, bisa habis aku. Hubungan kita itu tidak diketahui siapa pun. Sedangkan pernikahanmu? Semua terpublikasi, Davi!" pungkas seorang wanita dengan nada frustrasi."Tidak. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Baiklah, begini saja. Tugasmu hanya tetap bersamaku, biarkan aku yang bertindak membuktikan semuanya. Aku mohon, Hania. Selama ini, aku bahkan tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun, bukan?" mohon seorang lelaki dengan wajah memelas. Ada guratan putus asa di sana yang membuat lawan bicaranya kini merasa iba. Benar adanya, kesetiaan laki-laki di hadapannya ini memang tidak diragukan dalam kurun waktu yang tak bisa dikatakan sebentar itu."Baiklah. Aku pegang ucapanmu. Sekarang aku harus pergi."Dengan langkah yang sedikit dipercepat, gadis dengan penampilan sederhana itu melirik ke segala penjuru. Mewanti-wanti agar tak ada