“Ayah tenanglah dulu bukankah kamu bilang Santi sudah ada pada Roni. Tadi catnya bukanya sudah di jalan menuju ke mari.” Rindu mengusap lengan Raja yang tampak kebingungan dan khawatir. Raja masih terlihat mondar-mandir lalu duduk kembali di atas kursi samping Rindu yang berada di atas kursi rodanya. “Anak itu memang dari sejak sekolah di Australia sulit di atur. Apalagi sejak ia kenal bule lelaki yang bernama Alex itu. Kalau saja aku yang jadi Roni tadi sudah aku babat habis dia!” Raja masih begitu emosi dan geram. Wajahnya memerah penuh rasa amarah tak terbendung. Bagaimana pun jua Santi sudah dianggap selayaknya adik sendiri oleh Raja. “Kalau Santi sudah sadar jangan dimarahi loh ya Ayah. Kasihan dia sedang tertimpa kemalangan. Kalau bukan kita yang menghibur dan menenangkannya siapa lagi.” Kata-kata Rindu seakan mengentakkan rasa hati Raja. Raja menatap kembali istrinya itu dengan penuh rasa kekaguman dan cinta. “Bunda terima kasih ya?” ucap Raja memegang pipi Rindu. “Teri
“Ayah, Raja, Rindu, tolong Santi kenapa ini?” Bu Juariah terus berteriak-teriak dari dalam kamar Santi. Sambil terus memangku Santi dengan mulut berbusa. Matanya mulai melirik ke atas dan badanya kejang-kejang. “Ada apa Ibu? Astagfirullah Hal Adzim Santi overdosis ini.” Raja lekas mengambil handuk kecil dan ia basahi dengan air dari dalam bak kamar mandi. Lalu menutupi wajah Santi dengan kain tersebut. “Ibu tolong keluar biar Santi aku yang bawa, katakan pada Mamang. Suruh ia lekas siapkan mobil dengan segera. Kita bawa Santi ke rumah sakit malam ini juga.” “Baik Nak hati-hati ya sayang,” ucap Bu Juariah lekas pergi keluar dari dalam kamar Santi. “Santi kenapa kami jadi begini sih Dek. Sudah Abang bilang jangan bergaul lagi sama bule-bule itu. Masih saja kamu tidak menurut sama Mas. Begini kan jadinya kamu dikerjai para bule itu.” Raja terus menggerutu sambil menggendong Santi keluar kamar. Menuruni tangga sambil tergesa-gesa. Rindu dan yang lain sudah menanti di bawah tangga.
Santi sudah dipindahkan di ruang rawat inap Paviliun Melati. Tetapi dia belum sadarkan diri sepenuhnya. Tampak Ibu Juariah masih menunggu dengan harap-harap cemas. Sambil terus memegang tangan Santi dan duduk di samping ranjang pasien tempat Santi dirawat. Sedangkan Pak Khotim dan Roni sedang duduk di depan ruangan. Mereka tampak bercakap-cakap di kursi panjang di samping pintu. “Nak Roni boleh Bapak bertanya agak pribadi. Tapi kalau Nak Roni mengizinkan tentunya.” Pak Khotim mulai mengajak bicara Roni. Mulai membuka perbincangan dengan satu permohonan atas pertanyaannya. “Silakan Pak bertanyalah untuk Bapak yang sudah aku panggil Bapak dan aku anggap selayaknya Bapak sendiri dari dahulu. Akan selalu saya jawab pertanyaan Bapak dengan senang hati.” Roni tampak tersenyum senang tengah duduk berdua dengan Pak Khotim. Sebenarnya dari dahulu Roni ingin sekali hidup bersama keluarga Raja. Sebab sedari kecil dia hanya sebatang kara. Hidupnya tak menentu berpindah-pindah dari orang ba
“Loh Dek kok bermalam di rumah sakit. Memangnya ada keluarga yang sakitkah. Apa besok tidak masuk sekolah.” Tiba-tiba ada dua suster yang tengah jaga malam. Lewat depan Agung dan Raja yang sedang bersantai. Duduk di kursi panjang samping pintu ruang rawat inap dimanah Santi dirawat. “Eh ganteng banget sih itu cowok dua. Kasih tahu teman yang lain yuk ada cowok ganteng, hehe.” Dua suster itu langsung lewat saja. Menuju ke arah ruangan kerjanya sambil lari-lari kecil. Sambil terus membicarakan Agung dan Raja. Hahaha, Raja dan Agung tiba-tiba saling menatap satu sama lain. Lalu mereka tertawa geli cekikikan, sampai-sampai Ibu Juariah keluar untuk mengingatkan mereka. “Eh ini anak dua malah tertawa, jangan rame-rame ini rumah sakit loh.” Tiba-tiba Bu Juariah mengintip dari balik pintu. Hanya nongol terlihat kepalanya saja. “Astagfirullah Ibu kaget aku!” Raja tampak terenyak kaget seketika. Saat Bu Juariah mengintip dan terlihat hanya kepalanya saja yang keluar pintu. Ibu Juariah
Sitz, Roda mobil dua yang melaju kencang ke arah Rindu. Terlihat terus mengerem dan berusaha untuk menghentikan laju kecepatan mobilnya. “Tidak tolong Mas Raja!” Teriakan Rindu begitu kerasnya, tetapi Raja berada agak jauh darinya. Raja dan Rindu terpisah dua sisi lajur jalan raya. Raja sudah kadung di dalam kafe dengan jendela kaca tebal. Sehingga ia tak mendengar jeritan Rindu. “Woi awas Mbak mau mati apa!” teriak pemilik mobil yang sedang mengemudi. Tapi roda mobil yang mengarah ke arah Rindu sudah terlanjur melaju kencang. Pengemudinya juga tak mampu mengendalikan. Rindu hanya bisa pasrah menyerah dan seakan sudah tak memiliki hati. Dalam hatinya sudahlah berkata pasti detik ini aku akan mati. “Maaf Ayah, Maaf Bapak dan Ibuku, maaf Ayah dan Ibu Mertuaku. Aku selalu menyusahkan kalian selama ini.” Rindu sudahlah menghalangi wajahnya dari sorot lampu mobil itu dengan lengannya. Sebab Rindu dalam posisi terjatuh agak di tengah jalan. Sitz, *** “Eh ke mana Agung rupanya di
“Alhamdulillah masih sempat, maaf Nona tidak apa-apa kah? Loh, eh sebentar. Kamu Rindu bukan, kamu Rindu temanku masa SMA dahulu.” Agus datang begitu saja dengan tepat waktu. Sekilas Rindu sudah pasti tertabrak mobil yang mengarah ke arahnya. Beruntung Rindu lekas tertolong oleh gerak cepat Agus. Sebenarnya Agus kebetulan lewat sambil jalan kaki sekitar rumah sakit Harapan Bunda. Saat ia berjalan di sisi trotoar depan rumah sakit Harapan Bunda. Agus melihat seorang wanita yang terjatuh agak ke tengah jalan dan hampir tertabrak mobil. Agus adalah teman Rindu kala masih SMA. Bahkan Agus bisa dibilang mantan terindah dari Rindu di masa sekolah. “Woi hati-hati kalau menyeberang dong!” teriak pengemudi mobil yang hampir saja menabrak Rindu. “Maaf Pak, maaf ya Pak, sudah membuat berkendara Anda jadi tak nyaman dan terhambat.” Agus memohon maaf sambil melihat pengemudi mobil yang tak berhenti. Terus melanjutkan perjalanan sambil terus mengomel tak jelas. Sedangkan Rindu yang kinu ada
“Ibu dimanah aku?” Santi perlahan membuka matanya. Walau tak sempurna akan terbuka dengan jelas. Tapi cukup untuk melihat beberapa orang di sekitarnya. “Ibu di sini Nak, kami semua di sini untukmu sayang. Sementara anak manis bobok di rumah sakit dahulu ya. Tapi kata dokter besok boleh pulang kok.” Ibu Juariah tampak menggenggam tangan Santi. Duduk di samping Santi penuh dengan rasa haru. “Ibu Santi kenapa, kok Santi di rumah sakit?” Santi masih belum sadar benar akan apa yang terjadi dengan dirinya. Pandangannya mencoba melihat satu-satu orang yang berada di sekitarnya. “Santi apa kau tak mengingat yang terjadi pada dirimu sebelumnya. Apa kamu tak mengingat sedikit saja kejadian naas yang menimpamu sayang?” Rindu mencoba mendekat untuk mengakrabi Santi. Menunjukkan rasa simpati akan rasa persaudaraan yang erat. Santi masih terdiam dan mulai kembali menangis. Kali ini Santi tampak begitu menyesali apa yang telah terjadi. “Ayah, Ibu, Kakak Raja, Maafkan Santi. Maafkan Santi su
“Asallamualaikum maaf semua saya mengganggu canda dan tawa salam suasana bahagia keluarga kalian. Kami dari pihak rumah sakit memohon maaf atas kekeliruan diagnosa atas Nona Santi.” Agus secara tiba-tiba memasuki ruangan rawat inap pasien dimanah Santi dirawat. Membuat semua orang yang ada di sana tampak kaget dan langsung gelisah. “Dokter apa maksud Anda dengan salah diagnosa. Apa ada satu hal yang serius tentang Adik saya?” Raja langsung menarik lengan Dokter agak emosi. “Ayah tahan emosimu sayang. Pasti ada satu alasan untuk Pak Dokter ini mengatakan hal seperti itu. Loh Mas Agus?” Rindu mencegah Raja agar tak lagi emosi. Tapi Rindu juga keceplosan bertanya seolah ia mengenal Dokter di samping Raja dan memang Rindu mengenalnya. “Loh Rindu, oh jadi Mas Raja suaminya Rindu? Salam kenal Mas Raja. Saya temannya Rindu saat masih SMA dulu. Tidak usah heran kalau saya mengenal satu-satu dari kalian. Saya membaca biodata yang diisi oleh Nona Santi.” Ucap Agus menjelaskan tentang baga