Tit, Tit, Danang menekan satu tombol warna merah yang ada dalam kunci mobil otomatis yang ia pegang. Sehingga mesin mobil mati secara otomatis pula. Danang masih berpikir tentang Kakek tua dan cat dari adik lelakinya Raja. “Maksudnya apa ya perkataan Kakek tua tadi. Bahkan Raja juga bilang padaku kalau dia tahu tentang Si Kakek tua?” Danang masih berdiri di muka teras depan pintu masuk rumahnya. Tampak bingung dan berwajah agak berpikir keras. “Ah sudahlah kenapa juga aku pikirkan satu hal yang tak kelas seperti tadi. Lebih baik aku masuk rumah pergi mandi lalu istirahat.” Langkah Danang perlahan memasuki rumah dengan hati tetap gusar. Perkataan Kakek tua rupanya sangat membebani pemikiran logikanya. “Woi ayo sekarang giliran kamu Agung. Hahaha, sekali-kali kita hibur diri kira bermain layaknya anak kecil tidak apa-apa. Masak harus memikirkan bab demi bab novel yang harus disetor pada Pak Broto ya kan.”Terdengar suara ocehan Raja tengah bercanda dengan teman-temannya. Rupanya R
Sebulan sudah berlalu dari sakitnya Rindu. Sekarang Rindu sudah mulai ceria lagi. Rindu sudah sehat benar menurut Danang. Tetapi menurut Raja dan berkali-kali ia mengatakan pada Danang. Bila Rindu belum sehat benar dia masih ada bayang-bayang aura negatif di tubuhnya. Namun Danang selalu menepis perkataan Raja dengan perkataan jangan percaya takhayul dan setan itu tidak ada. Bahkan Danang tampak begitu ceria pagi ini. Tampak sangat bersemangat untuk berangkat bekerja. “Dek cepat sedikit kalau mandi kamu ini. Masak mandi saja seperti anak gadis lama banget,” Danang berteriak di depan pintu kamar mandi. Sedangkan Raja tampak santai dan meneruskan mandinya. Bahkan sesekali Raja sengaja bersenandung ria. Agar tak mendengar suara Kakaknya berteriak untuk menyuruhnya keluar. “Dek cepat kenapa aku sudah telat berangkat kerja ini. Hari ini banyak klien yang harus aku temui. Cepat woi Raja!” Danang terus marah-marah di depan pintu kamar mandi. Namun Raja tak menggubrisnya sama sekali. “
POV RAJA “Nak Raja bangunlah tetap fokus jangan lengah. Istigfar Cucuku tetap Shalawat dan tetal terjaga.” Sosok Pak Haji membangunkan aku kembali. Setelah beberapa saat aku malah terlena oleh satu hawa sirep. Bahkan dalam mimpiku sedang bercumbu dengan Rindu. “Astagfirullah Hal Adjim, Allahuma Shalli Ala Muhammad, baik Pak Haji. Allahuakbar makhluk apa yang sedang melayang di hadapan kita ini Pak Haji?” Saat aku tersadar lalu melihat ke arah depan. Satu makhluk begitu mengerikan melayang di depan kami. Sosok kuntilanak yang sering diceritakan Ibu dan beberapa kali menampakkan diri pada Ibu mertua. Kali ini benar-benar di hadapan kami. Melayang hampir sampai langit-langit kamar. Memakai baju layaknya daster polos putih lusuh dan kotor. Rambutnya begitu lebat panjang tergerai acak-acakan hingga semata kaki. Lidahnya keluar memanjang sampai melilit leher Pak Haji. Sebagian rambutnya bahkan kini mengikat leherku. “Argtz, bagaimana Pak Haji, apa aku harus berakhir di sini. Aku tida
“Dek sudah seminggu berlalu dari peristiwa malam perang yang tak bisa aku sebutkan padamu. Sebab begitulah pesan Kakek Haji kepadaku. Tetapi kamu belum jua terbangun dari tidur panjangmu.” Aku masih bicara dengan Rindu yang masih tertidur di atas kasur. Aku masih setia menemaninya dan hanya bekerja dari rumah. Terkadang orang kantor yang datang ke rumah. Sekedar meminta tanda tanganku atau memeriksakan satu berkas yang tak mereka mengerti. Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Rinduku belum jua terbangun dari terlelapnya. Padahal makhluk buruk rupa setan durjana si kuntilanak. Sudahlah hilang dari tubuhnya hancur menjadi abu. “Dek bangunlah sekali saja, bukankah kita sudah membangun biduk rumah tangga. Walau semua terjadi bukan atas kemauan kita. Tetapi mungkin saja ini semua adalah takdir Tuhan.” Aku masih menyeka tubuh Rindu dengan air hangat. Aku basuh perlahan dengan sabar jengkal demi jengkal tubuh istriku. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tidak luput dari sapuan bas
Huftz,Rindu menghembuskan nafas agak panjang. Ketika Raja selesai melakukannya, melakukan sebuah hasrat keinginan. Keinginan akan wajib suami istri setiap malam Jumatnya. “Eh Dek kamu sudah sadar, Dek Rindu kamu sadarkah. Kamu benar-benar bangunkah sayang, jawab aku dong?” Rudi mencoba bertanya dengan hati berharap apa yang ia lihat benar terjadi. Berharap Rindu benar-benar terbangun dari tidur panjangnya. “Kamu sedang apa Mas Raja?” Satu kata yang keluar dari bibir Rindu yang masih basah. Menggelincir lancar walau matanya masih saja terpejam. “Aduh, badanku capek semua rasanya Mas. Kamu lagi ngapain di atasku?” Rindu kembali bertanya pada Raja yang memang. Posisi Raja masih di atas Rindu malam ini. Bahkan mereka masih baru saja selesai satu ronde. Raja belum juga membersihkan tubuh Rindu. Raja juga belum mengenakan pakaian Rindu kembali. “Anu Dek Rindu, itu apa namanya anu itu loh. Ah kok aku jadi kikuk begini sih!” Raja agaknya bingung harus menjawab apa tentang pertanyaan
Pagi sudah kembali namun gerimis masih saja turun. Walau intensitasnya tidak begitu sekerap semalam. Tetapi cukup untuk membasahi desa Kembang secara merata. Sudah pukul tujuh pagi tentunya di tempat Raja dan Rindu. Mereka tampak sudah rapi memakai pakaian serba hitam. Seperti rencana semalam Raja hendak mengajak Rindu mengunjungi makam Danang. Terlihat Rindu juga sudah siap di atas kursi roda. Tampak ayu dibalut kerudung warna hitam yang dibelikan oleh Raja. Tadi pagi benar Rindu sudah mengemasi semua barang yang berhubungan dengan Raja. Termasuk busana muslim dan kerudung serta hijab yang pernah dibelikan Danang. Pagi tadi semuanya dimasukkan ke dalam kardus oleh Rindu dengan dibantu oleh Raja. Lalu Raja menaruhnya ke dalam gudang. Semua ini dimaksudkan oleh mereka berdua untuk mengarungi lembar baru. Sebuah lembar biduk rumah tangga masa depan. Melalui niat penuh bulat akan rumah tangga Raja dan Rindu. “Mas belum siap juga toh?” Rindu terlihat menunggu Raja duduk santai di a
POV : Bunga,“Bagaimana aku melupakanmu Rajaku. Kau yang pernah ada dari kata cinta sejati. Menancap dalam sangat istimewa di relung hati. Begitu jahatnya engkau menerima keputusan seluruh keluargamu. Lalu menyingkirkan namaku menggantinya menjadi nama Rindu.” Bunga masih melamun di sudut teras rumahnya. Satu foto undangan pernikahan dengan bertuliskan nama Raja dan Rindu. Terus menghiasi layar ponselnya dan terus ia pandangi. Bahkan mendung tak jua hentikan lamunan Bunga. Sebuah lamunan sisi pojok teras di atas pembatas samping kebun singkong milik Abahnya. Tak terasa angin lembut membelai kelopak mata Bunga. Merayu bola mata untuk meneteskan air mata bening dari sudut pupil mata. Tes, Jatuhlah sudah air mata perawan desa nan cantik rupa. Sedikit lentik jemari indah Bunga meraih sudut bawah mata. Mengusap lembut sedikit lengkung basah matanya. “Raja bukankah kau yang dahulu berjanji padaku. Berjanji menjemput Bungamu dari tanaman pekarangan desaku. Berjanji memetiknya dari Abah
Bunga masih terbalut gelap malam di sudut kamar. Matanya enggan terpejam untuk menutup bayangan tentang Raja. Seluruh otak berpacu dan bergonta-ganti pertanyaan. Apakah malam ini memang kau sedang tidur bersama Rindu Rajaku. Apa memang kalian sedang memadu kasih. Apa kau tengah meneguk sari pati untuk menjadikan satu bakal buah hati kalian. Bunga merebah menatap langit-langit atap kamarnya. Sambil terus mengalirkan tetes demi tetes jernih air matanya. “Kenapa aku menangisi lelaki yang jelas-jelas kini sudah menjadi suami orang. Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku?” Bunga kembali menyalakan ponselnya. Menggulirnya perlahan pada ikon galeri. Satu foto lalu terhenti jempolnya di satu kotak gambar foto satu lelaki. Lelaki yang selama ini ia cintai sepenuh hati. Lelaki itu masih lah Raja tak pernah terganti jua. Detak jam di layar ponsel sudah tertera pukul sebelas malam. Tapi Bunga tak sedikit saja mengantuk, bahkan cenderung sangat terjaga matanya. Lalu satu lembar kertas ia am
Raja membuka matanya perlahan dan keseluruhan badannya telah basah kuyup. Bahkan ia kembali dan kembali diguyur air satu ember. Satu ember air comberan yang berbau menyengat tak sedap. Bagai bau kotoran manusia yang sangat menyengat. Byur, “Bangun kau Raja sang legenda MMA kota Bangzo. Bangun jagoan yang selalu dapat mengalahkan lawan-lawanya dari alam nyata maupun alam gaib. Lihatlah sekelilingmu sekarang Raja dan perhatikan kau ada dimanah sekarang?” Oceh Nona Ana yang tengah berdiri bertolak pinggang. Sambil membawa satu ember berukuran tanggung bekas terisi penuh air comberan yang ia guyurkan pada Raja. Raja menatap sekitar ia berada dan kali ini Raja benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Sebab kedua tangannya terikat oleh pasung dan juga lehernya. Kedua kakinya terikat rantai besi dengan bandul bola besi besar di ujungnya. Raja melihat istrinya Rindu tak memakai apa pun di tubuhnya dirantai di kedua kaki dan tangannya dengan cara direntangkan. Matanya ditutup dan mulutnya dis
Langkah kaki Raja menapak kembali rumah kosong di belakang pos hansip. Tangannya meraih pintu pagar depan yang sudah hampir hancur. Membukanya dengan cepat dan mulai berjalan ke arah pintu depan rumah tersebut. “Sudah aku bilang padamu untuk berhenti Joni. Tetapi kau tetap saja tak mengindahkan perkataanku. Kalau demikian percuma aku menganggapmu saudara selama ini,” gerutu Raja yang mulai basah di beberapa bagian pakaian yang ia kenakan. Sebab kali ini tengah malam turunlah air mata langit. Berupa titik-titik gerimis dengan intensitas agak kerap. Ceklek, Gagang pintu depan rumah kosong belakang pos hansip. Segera terbuka oleh Raja hanya gelap menyeruak dari dalam rumah kosong. Tidak ada cahaya sama sekali yang bisa untuk menerangi mata. Agar seseorang bisa melihat apa yang ada di dalam rumah. Hanya sebatas satu penglihatan satu sentimeter saja. Tetapi ada satu cahaya lilin di tengah-tengah ruang tamu yang menyala. Ada satu tikar kecil yang digelar di belakang lilin. Ada satu soso
“Hai Joni temanku welcome selamat datang di Istanaku yang bisa dibilang ini hasil warisan Ayahku. Kau tahulah teman bahkan kau adalah salah satu teliksandi atau kaki tangan Ayahku dulu yang tak terlihat. Maaf aku tak bisa datang saat kematian Nenek Lembayung. Saya ikut mengucapkan bela sungkawa,” ucap Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni di taman sisi depan halaman rumahnya.Ternyata Joni selama ini merahasiakan hal sebesar ini dari Raja. Bahkan Raja tak mengetahui bila saudara sesusunnya Joni dari desa Lembayung yang kapan hari ia kunjungi. Ternyata ada hubungan erat dengan Nyonya Lintang. Bahkan Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni bagai kawan lama. Raja juga tidak mengetahui jikalau yang membunuh Nenek Lembayung bukan para dukun desa. Tetapi Joni dan istrinya sendiri agar seluruh aset rumah, sawah dan pekarangan Nenek Lembayung yang lebarnya hampir mencakup setengah desa menjadi milik Joni sendiri. Tanpa harus dibagi pada Raja yang hanya anak sesusuan saja. “Nona Lintang
Pagi itu Raja menemukan dua kantong belanjaan yang berserakan di depan pagar rumah terbengkalai samping pos satpam. Raja juga menemukan sobekan daster dua lengan dengan Rendra bunga-bunga. Dia tahu benar kalau itu adalah sobekan dari dua lengan daster Rindu. Sebab ia yang membelikan daster yang kini dikenakan Rindu. Tanpa pikir panjang Raja langsung melompati pagar depan rumah kosong. Pos hansip atau pos satpam di sampingnya juga belum jua ada penjaganya. Padahal hari sudah melewati pukul setengah enam lebih lima menit. Raja terus masuk ke area halaman rumah kosong yang kebetulan. Halamannya hanya sedikit selebar satu setengah meter. Kali ini Raja menemukan sandal jepit milik Rindu yang tersangkut di pot bunga dan yang satunya terlempar di sebelah kiri rumah kosong. Akhirnya Raja menemukan daster utuh milik Rindu. Tergeletak di lantai ubin warna merah di teras rumah kosong tersebut. Wajah Raja semakin memerah marah bercampur geram. “Kalau seperti ini kejadiannya dan ini sudah tida
“Nak pulanglah sekarang Bapak ini sudah lama mengenal tabiat anak itu. Nyonya Lintang itu tentu tak akan tinggal diam dengan apa yang kamu lakukan dua hari ini. Anggrek Hitam berbeda sistemnya dengan mafia orang tuanya dahulu. Bila orang tuanya dahulu lebih senang mengumpulkan satu titik kekuatannya. Pada satu tempat saja tak menyebarkannya di beberapa titik atau mereka sebut pos bagian. Sekarang mereka tersebar di seluruh kota. Termasuk di pos hansip tempat Pak RT yang kamu ajak kemarin. Belakang pos hansip itu ada rumah kosong di sana mereka juga ada,” tutur Pak Bandot mengingatkan Raja. “Yah saya sudah menduganya akan hal itu Pak Bandot. Baiklah saya pamit pulang terlebih dahulu. Semoga Bapak tetap sehat selalu dan lain kali kita dapat berjumpa lagi, Asallamualaikum,” ucap Raja mengucapkan salam lalu beranjak pergi dari Warkop Pak Bandot. Sementara itu di tempat yang dikatakan Pak Bandot. Belakang pos hansip tak jauh dari rumah Pak RT. Ternyata adalah sebuah rumah terbengkalai da
Pagi berikutnya, Brak, dar, pyar, Tiga algojo penunggu teras rumah mewah Nyonya Lintang terlempar ke arah jendela kaca pas di samping pintu masuk rumah. Bahkan tiga algojo yang dahulu menyeret-nyeret Rajo lalu membunuhnya. Tak mampu mengalahkan Raja yang hanya menggunakan tangan kosong. Raja sempat duduk di kursi ukir klasik khas orang kaya yang berada di sisi kiri teras. Sedangkan tiga algojo sudah tidak bergerak dengan kaca berserakan di sekitar mereka. Raja masih bergaya bak tamu yang datang berkunjung. Menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asap ke udara dari bibirnya. “Lumayan juga dua hari saat pagi seperti ini berolah raga. Sudah lama otot-ototku kaku tak bergerak. Dua hari ini cukup membuat keringat. Hitung-hitung biar badan segar-bugar dan sehat kembali,” ucap Raja memandang ke arah taman. “Woi kalian berlima apa tidak ingin sedikit membuat keringat. Kemarilah kita berolah raga sejenak diam-diam saja. Buatkan aku kopi mendingan tamu ini,” teriak Raja memanggil lima aj
Raja berjalan pelan dan tetap santai menuju gerbang besar warna merah dua sisi. Masih ada ukiran mawar hitam di setiap sisinya persis seperti setahun yang lalu. Ada juga ukiran naga dan tengkorak sebagai ornamen tambahan. Raja sempat menyulut sebatang rokok dari saku kemeja yang ia pakai dan kemeja itu milik Rajo. Persis seperti yang digunakan Rajo setahun yang lalu. Sebelum akhirnya langkah Raja dihentikan oleh beberapa penjaga di gerbang merah. “Woi mau ke mana kau anak muda. Apa kau tidak salah jalan menuju ke mari?” ucap salah satu penjaga gerbang merah. “Maaf Pak saya mau tanya, apakah benar ini kediaman Nyonya Lintang. Saya hendak menemuinya dan hendak menyampaikan sesuatu kepadanya?” jawab Raja masih bersopan-santun dan berlemah-lembut dalam tutur katanya. Namun penjaga gerbang merah di depannya menatap Raja agak mencincingkan mata. Seakan ia pernah melihat Raja sebelumnya. Bahkan mereka agak berbisik-bisik satu sama lain. “Bukankah dia yang datang ke mari setahun yang lal
“Apa benar kau akan melakukannya Ayah. Kenapa Bunda jadi khawatir ya Ayah. Apa tidak bisa dengan cara lain?” Rindu tampak kembali murung dengan niat Raja untuk melihat kediaman mafia Anggrek Hitam. Rindu takut akan terjadi tragedi yang sudah-sudah. Walau mereka selalu selamat dan selalu beruntung. Tapi perasaan wanita sungguh sangat lembut dan gampang sekali. Takut akan terjadinya sesuatu yang tak diinginkan. Sebab perasaan wanita sangat perasa jua. Pagi ini Rindu dengan kandungannya yang sudah membesar dan hampir melahirkan. Berdiri di teras bersama Bu RT melihat Raja berdandan ala Rajo anak dari Pak RT yang sudah meninggal. Bu RT terlihat terus menatap Raja dengan tatapan kerinduan pada almarhum anaknya. “Nak Raja kau sungguh mirip dengan almarhum anak kami Rajo. Baju itu dan celana itu pakaian terakhir yang dipakai Rajo. Saat malam itu ia berpamitan pergi untuk mengambil kembali calon menantu kami. Sayangnya Nak Raja bukan Rajo kalian dua orang berbeda. Anak kami Rajo yang selal
Brak, brak, Rajo tampak berdarah-darah terus dipukuli dua algojo dari Nyonya Lintang. Rajo sudah tak berdaya lagi dan sudah pasrah akan keadaannya. Memang Rajo mampu melewati penjaga gerbang merah. Mampu melewati lima bodyguard di taman. Tetapi melawan dua algojo di depan pintu masuk rumah mewah milik Nyonya Lintang. Rajo sudahlah habis tenaga dan tak mampu lagi melawan dua algojo yang berbadan kekar-kekar tersebut. Sehingga kini Rajo malah diseret ke arah ruangan dimanah calon istrinya tengah dieksekusi para lelaki hidung belang. “Kami akan membawamu menyaksikan calon istrimu menikmati kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Kamu harus tahu kegadisannya sudah jebol sejak sore tadi. Istrimu sudah tak lagi gadis dan sekarang sedang dinikmati tiga orang lelaki tua secara bersamaan. Mari saya antar melihatnya agar kau tahu bagaimana rasanya kalau melawan Nyonya Lintang?” ucap satu Algojo sambil menjambak rambut Rajo yang memang agak panjang. Tubuhnya terus diseret walau berdarah-dar