Pagi sudah kembali namun gerimis masih saja turun. Walau intensitasnya tidak begitu sekerap semalam. Tetapi cukup untuk membasahi desa Kembang secara merata. Sudah pukul tujuh pagi tentunya di tempat Raja dan Rindu. Mereka tampak sudah rapi memakai pakaian serba hitam. Seperti rencana semalam Raja hendak mengajak Rindu mengunjungi makam Danang. Terlihat Rindu juga sudah siap di atas kursi roda. Tampak ayu dibalut kerudung warna hitam yang dibelikan oleh Raja. Tadi pagi benar Rindu sudah mengemasi semua barang yang berhubungan dengan Raja. Termasuk busana muslim dan kerudung serta hijab yang pernah dibelikan Danang. Pagi tadi semuanya dimasukkan ke dalam kardus oleh Rindu dengan dibantu oleh Raja. Lalu Raja menaruhnya ke dalam gudang. Semua ini dimaksudkan oleh mereka berdua untuk mengarungi lembar baru. Sebuah lembar biduk rumah tangga masa depan. Melalui niat penuh bulat akan rumah tangga Raja dan Rindu. “Mas belum siap juga toh?” Rindu terlihat menunggu Raja duduk santai di a
POV : Bunga,“Bagaimana aku melupakanmu Rajaku. Kau yang pernah ada dari kata cinta sejati. Menancap dalam sangat istimewa di relung hati. Begitu jahatnya engkau menerima keputusan seluruh keluargamu. Lalu menyingkirkan namaku menggantinya menjadi nama Rindu.” Bunga masih melamun di sudut teras rumahnya. Satu foto undangan pernikahan dengan bertuliskan nama Raja dan Rindu. Terus menghiasi layar ponselnya dan terus ia pandangi. Bahkan mendung tak jua hentikan lamunan Bunga. Sebuah lamunan sisi pojok teras di atas pembatas samping kebun singkong milik Abahnya. Tak terasa angin lembut membelai kelopak mata Bunga. Merayu bola mata untuk meneteskan air mata bening dari sudut pupil mata. Tes, Jatuhlah sudah air mata perawan desa nan cantik rupa. Sedikit lentik jemari indah Bunga meraih sudut bawah mata. Mengusap lembut sedikit lengkung basah matanya. “Raja bukankah kau yang dahulu berjanji padaku. Berjanji menjemput Bungamu dari tanaman pekarangan desaku. Berjanji memetiknya dari Abah
Bunga masih terbalut gelap malam di sudut kamar. Matanya enggan terpejam untuk menutup bayangan tentang Raja. Seluruh otak berpacu dan bergonta-ganti pertanyaan. Apakah malam ini memang kau sedang tidur bersama Rindu Rajaku. Apa memang kalian sedang memadu kasih. Apa kau tengah meneguk sari pati untuk menjadikan satu bakal buah hati kalian. Bunga merebah menatap langit-langit atap kamarnya. Sambil terus mengalirkan tetes demi tetes jernih air matanya. “Kenapa aku menangisi lelaki yang jelas-jelas kini sudah menjadi suami orang. Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku?” Bunga kembali menyalakan ponselnya. Menggulirnya perlahan pada ikon galeri. Satu foto lalu terhenti jempolnya di satu kotak gambar foto satu lelaki. Lelaki yang selama ini ia cintai sepenuh hati. Lelaki itu masih lah Raja tak pernah terganti jua. Detak jam di layar ponsel sudah tertera pukul sebelas malam. Tapi Bunga tak sedikit saja mengantuk, bahkan cenderung sangat terjaga matanya. Lalu satu lembar kertas ia am
Pagi ini Rudi tengah asyik sarapan pagi di depan kantor kecamatan. Dia selalu datang setiap hari sebagai staf di kantor kecamatan dimanah Ayahnya menjabat sebagai Camat. Rudi tak menyadari jikalau ia tengah diintai seseorang yang duduk di belakangnya tak begitu jauh. Seorang lelaki memakai topi agak diturunkan moncongnya ke depan. Tak berapa lama lelaki itu menghampiri Rudi. Bahkan Rudi tak menyadari bila ponselnya sudah berpindah tangan dengan cepat. Lalu lelaki itu segera beranjak pergi dari Cafe dimanah Rudi sarapan. “Loh ponselku, ponselku dimanah, astaga!” Rudi kebingungan mencari ponselnya yang telah raib.“Apa ini, siapa yang menulisnya!” Rudi menemukan secarik kertas yang tib-tiba ada di atas piring makanan yang masih belum selesai ia makan. “Ponsel yang aku ambil hanya sebuah peringatan. Kalau kau melanjutkan pertunanganmu dengan Bunga. Nanti akan ada satu hari nyawamu yang aku ambil. Ingat namaku ini dengan jelas kawan, aku Raja!” Begitulah tulisan yang ada pada secarik
“Wuhu, yuhu, asyik, loh, loh Astagfirullah Hal Adzim, Allahuakbar!” Agung bagaikan seorang fristailer motor yang sangat handal menuruni bukit setelah diserempet mobil jib Roni. Bukanya celaka malah ia begitu menikmati berkendara menuruni tebing. Ajaibnya Agung malah menemukan jalan setapak kecil. Tempat para petani melewati tebing untuk mengangkut hasil kebun mereka yang rata-rata menggunakan sistem tera sering. “Lihatlah itu di bawah tebing, apa yang di lakukan Agung. Kenapa pemuda culun boneka Raja itu malah menikmati perjalanannya menuruni tebing?” Doni tampak uring-uringan saat melihat Agung masih selamat malah begitu bersemangat melintasi jalanan setapak. “Sudah jangan pedulikan Agung yang sedang gila di bawah sana. Mari kita fokus pada Bunga dan lihatlah tubuh gadis ini. Sayang sekali kalau tubuh seindah ini haris diserahkan pada anak Pak Camat yang sombong itu.” Roni terus melajukan mobil Jibnya dan sempat bergantian mengemudikan Jib. Layaknya film Bok Office luar negeri d
Brak, Kepala Rudi tengah dibenturkan pada sebatang pohon besar oleh Doni. Mengucurlah darah dari keningnya dan jatuhlah dia di bawah pohon. “Teknik-teknik silatmu masih mentah bocah kemarin sore. Jurus-jurus seperti inikah yang kau gunakan untuk menjadi juara MMA. Menyedihkan sekali generasi petarung ring tahun ini, juih.” Doni tersenyum kecut sambil meludahkan ludah bercampur darah ke wajah Rudi. Rudi masih bisa tersenyum walau bisa jadi tengkorak kepalanya retak. “Apa pun yang akan aku alami, apa saja taruhannya bahkan nyawa sekali pun. Demi cintaku pada Bunga calon istriku yang kalian bawa lari dengan mobil jib itu. Akan tetap aku ambil bagaimana pun cara dan risikonya. Walau kematian akan menjemputku, kau tak mengerti dari arti sebuah kata cinta rupanya.” Rudi terduduk lemas terengah-engah penuh luka dan darah di wajahnya. Tapi Rudi masih bisa berdiri kembali dan terus meladeni kehebatan jurus-jurus Doni. “Kau sebut cinta, kau bilang arti cinta sebenarnya. Bahkan di dunia in
“He, memang siapa yang memanggil Pak Polisi” Raja menoleh ke arah Doni kembali yang tengah diapit oleh dua orang polisi sekaligus. Tampak Doni tengah diborgol kedua tangannya. “Mas Raja juga harus tahu kalau di kecamatan Warang ini adalah daerahku. Aku dan Ayahku cukup disegani dan berpengaruh di kecamatan ini.” Rudi meringis sambil di papah oleh Raja saat turun dari mobil di pelataran rumah Rudi. Mobil kepolisian juga sudah sampai di sana. Satu mobil patroli khusus untuk memberantas kejahatan dengan Roni dan Doni duduk di atasnya sambil diborgol. Kepalanya ditutupi karung dan kakinya diikat. “Lama sekali kau Raja, apa usia mempengaruhi kecepatanmu bertarung? Hahaha.” Gelak tawa Agung yang sudah duduk santai menyeruput kopi dan menghisap asap tembakau racikan. Membuat Raja tersenyum senang akan bertemunya kembali dengan sahabatnya tersebut. “Asem kau Agung makin jos saja dirimu. Cepat sekali kau mengalahkan Roni ya. Padahal dahulu kau mati-matian agar bisa mengimbanginya. Eh se
“Ayo Mas kenapa malah melamun toh? Katanya tadi mengajak Adik cepat berangkat. Malah sekarang Mas yang melamun.” Rindu memegang dagu Raja sambil menengokkan kepala Raja ke kanan dan Ke kiri. Menatapnya heran seakan ingin bertanya tentang lamunan Raja pagi ini. “Mas, memangnya sedang melamunkan apa sih penasaran. Hayo melamun wanita lain ya, ah jangan-jangan melamunkan mantan kamu ya!” Rindu tampak menekuk wajahnya agak cemberut. Sambil melipat kedua tangannya di dada dan memanyunkan bibirnya. Membuat Raja semakin gemas dan tertawa geli melihat kelakuan istrinya. “Tidak ada yang aku lamunkan sayang, hanya kamu yang ada di dalam hati Mas sekarang, tidak ada nama wanita lain, bahkan nama mantan sudah aku hapus hanya untukmu. Baiklah mari kita pergi menuju makam Mas Danang.” Dalam hati Raja berkata, ah sudahlah itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Cerita Bunga dan tentang kejahatan Doni serta Roni sudah lama berlalu berbulan-bulan yang lalu. “Sudah jangan cemberut begitu dong, tidak