WARNING!! 21+
Cerita ini hanya fiktif belaka, bukan untuk ditiru!
* * *
"Pak. Hen... hentikan!" Monika menahan dada bidang Rio, berharap agar pria ini berhenti mencoba menjelajah lehernya. Kedua tangannya mencoba sebisa mungkin menjauhkan diri.
"Kenapa? Kamu sudah ingin langsung ke intinya, heh?" Rio menunjukkan smirk iblisnya. Dia menatap Monika dengan pandangan berkabut penuh gairah.
Monika menggelang cepat. Bukan itu yang dia inginkan. Tempat dan waktunya yang tidak tepat. Bagaimana mereka bisa sedekat ini di perusahaan? Bagaimana kalau ada orang yang melihat mereka?
"Dua miliar!" Rio menatap manik mata biru milik Monika dalam-dalam. "Aku akan berhenti jika kamu bisa mengembalikan uang dua miliar yang ayahmu hilangkan!"
Monika menelan ludahnya dengan paksa. Mana mungkin dia bisa? Uang dua miliar bukan jumlah sedikit. Jangankan memilikinya, melihat uang sebanyak itu saja belum pernah. Dia bukan berasal dari golongan kelas atas yang bisa mendapat uang dalam jumlah besar.
"Kenapa diam? Tidak punya uang?" Rio mengangkat sudut bibirnya, meremehkan wanita yang kini ada di bawah kungkungannya. Dia memaku kedua tangan di samping tubuh Monika, tidak mengizinkan wanita ini pergi dari hadapannya.
Monika bungkam. Percuma menjawabnya. Dia tidak memiliki kuasa apapun. Pekerjaannya sebagai kasir minimarket tak mungkin menghasilkan sebanyak itu untuk melunasi uang yang ayahnya bawa pergi.
Sebulir air tanpa warna luruh begitu saja, membasahi pipi tirus nan cantik. Dia tidak tahu bagaimana lagi menghadapi situasi yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Dengan gerakan seduktif, Rio mulai mencium kelopak mata Monika. Dia bahkan menyesap air mata yang bersiap keluar detik berikutnya, merasakan cairan asin yang menyapa indera pengecapnya.
"Sweety, jangan melawan. Aku bisa bersikap lembut padamu jika kamu menurut padaku." Rio kembali tersenyum.
"Jika kamu memberontak, jangan salahkan aku jika besok kamu tidak bisa bangun dari tempat tidurmu!" bisik Rio sambil membenahi helai rambut Monika yang sedikit berantakan.
Monika tetap bungkam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Dia pasrah pada keadaan yang ada. Tidak ada gunanya melawan, tenaganya kalah jauh dari pria bertubuh kekar ini. Pikirannya kembali menghubungkan kejadian demi kejadian yang menimpanya.
Kemarin, tiba-tiba saja lima orang pria berpakaian serba hitam datang ke minimarket dan membawanya dengan paksa. Dia harus menikah dengan pria ini untuk menyelamatkan ayahnya. Dan beberapa waktu lalu, orang-orang itu datang lagi, menjemputnya untuk dibawa ke perusahaan tempat Rio bekerja.
"Apa kamu siap?" Rio kembali memamerkan smirk andalannya. 'Gadis kecil ini tak akan melawan,' gumamnya dalam hati.
Monika menolehkan kepalanya ke samping, enggan menatap pria yang kini berstatus sebagai suaminya. Ya, suami atas dasar selembar surat kontrak yang tak pernah diinginkannya.
"Diammu aku artikan sebagai persetujuan," bisik Rio tepat di telinga Monika. Pria ini bahkan sengaja mengembuskan napasnya, membuat perasaan aneh seketika menyerang gadis pendiam yang belum pernah disentuh oleh siapapun.
Rio mulai menikmati santap siang spesial yang ada di hadapannya. Tangan dan bibirnya bekerjasama, menjelajah setiap jengkal tubuh wanita yang resmi berstatus sebagai istrinya.
"Kamu wangi. Aku suka." Rio memuji, sejenak melepaskan bibirnya dari leher Monika. Ini pertama kalinya dia tertarik pada wanita, bahkan langsung ingin menguasainya. Sebelumnya, jangankan mencium dan mencumbunya, menatap mereka saja membuatnya mual.
Rio kehilangan akal sehatnya dan mulai berbuat sesuka hatinya. Monika telah menjadi candu untuknya sejak dia mencicipi bibir ranum milik gadis ini semalam. Ada perasaan tak wajar yang dia rasakan, seperti ingin mendapatkan lebih dan lebih lagi.
Monika memejamkan mata. Dia tidak melawan sama sekali, membuat Rio semakin nyaman berkelana kesana kemari. Entah apa yang akan pria ini lakukan selanjutnya, Monika tidak peduli. Anggap saja dia sedang melunasi hutang ayahnya.
Permainan Rio masih berlanjut hingga satu jam kemudian. Pria itu tak puas meski telah mendapatkan pelepasan berkali-kali, membuat tubuh Monika remuk redam seolah hancur berkeping-keping. Wajahnya yang cantik memesona, kini terlihat begitu layu. Dia tidak bisa menahan serangan demi serangan yang Rio tujukan. Ini pengalaman pertama baginya.
"Istirahatlah, Sayang. Kita lanjutkan lagi lain kali," ucap Rio sambil menjauhkan badannya dari tubuh Monika.
Dengan sisa kesadaran yang ada, Monika menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Dia marah, malu, kesal, dan berbagai perasaan jengkel lainnya. Kedatangan Rio dan pernikahan ini, menghancurkan semua rencana indah yang dia miliki dengan Devan, kekasih hatinya.
Pernikahan seharusnya menjadi hal paling membahagiakan bagi seorang wanita. Bersanding dengan pria yang akan dia lihat seumur hidupnya, menjalani hari-hari penuh cinta.
Namun, agaknya takdir indah seperti itu tidak berlaku bagi Monika. Gadis 26 tahun ini justru harus menikah paksa dengan seorang pria kasar nan arogan bernama Rio Dirgantara. Dia harus menanggung kesalahan ayahnya yang kini telah tiada.
Apa yang akan Monika lakukan selanjutnya? Haruskah dia menyerah pada keadaan? Atau ada cara lain untuk terlepas dari jerat CEO mesum ini?
Sampai jumpa episode berikutnya. Jangan lupa tambahkan buku ini ke daftar bacaan kalian yaa. See you,
Hanazawa Easzy
"Selamat pagi. Selamat datang di minimarket kami. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Monika pada dua orang yang mendekat ke arahnya. Mereka tampak aneh, tidak seperti pembeli lain pada umumnya. Kedua pria berpakaian serba hitam itu saling pandang, kemudian mengangguk satu sama lain. Mereka memiliki rencana lain untuk membawa gadis ini pergi. Salah satu dari mereka melepas kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di atas hidung. "Nona Monika Alexandra?" tanya pria itu. "Ya?" Monika menatap rekan kerja di sampingnya. Dia takut dua pria ini berniat jahat padanya. Tampilan mereka menunjukkan mereka bukan warga sipil, mungkin pihak keamanan, bodyguard, atau semacamnya. "Maaf, ada yang bisa kami bantu?" Rekan kerja Monika ikut bersuara, mempertanyakan maksud kedatangan dua pria misterius ini. "Nona, bisa ikut dengan kami sebentar?" Pria itu kembali menatap Monika, mengabaikan pria yang berusaha memecah konsentrasinya barusan. Monika menelan
Dengan napas yang semakin tersengal, Monika berhasil memaksakan kakinya untuk tetap bergerak, menjauh dari para pengejarnya. Hanya lima meter lagi, dia akan sampai di jalan raya yang menjadi penghubung gang sempit ini dengan minimarket. Dia bisa berteriak meminta tolong nantinya. Ya, cara itu pasti efektif. Sebuah tangan kekar berhasil mencengkeram pundak gadis cantik ini, membuat pergerakannya terhenti. Percobaannya untuk kabur gagal. Dia kalah cepat dari pria yang mengejarnya. Monika tertangkap. "Lepas!" Monika meronta, berharap tenaganya cukup untuk memberikan perlawanan berarti. "Amankan dia!" Teriak pria yang tampaknya adalah pemimpin orang-orang ini. Tanpa menunggu waktu lama, pria yang berhasil menahan Monika kini mengangkat tubuh ramping itu di atas pundak seperti sekarung beras. Rontaan, teriakan, dan pukulan yang coba Monika lakukan, tak ada gunanya sama sekali. Tubuh pria yang memanggul Monika begitu kokok, lebih keras dibandingkan
"Leo, siapkan kontraknya!" Belum sempat Monika menghapus air matanya, pria berpakaian hitam yang tadi membawanya kemari muncul di balik pintu. Di tangannya terdapat satu stopmap warna merah menyala. "Bangun!" Suara dingin itu kembali menggema, menyuruh Monika untuk berdiri dari tempatnya memeluk mayat yang semakin memucat. "Nona Monika, silakan," ucap pria yang diketahui bernama Leo tadi. Dengan isyarat tangannya, dia meminta Monika duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan ini. Monika masih terpaku di lantai, enggan meninggalkan ayahnya di sana. Tidak. Dia tidak ingin pergi barang sejengkal pun. "Nona..." Leo tampak gusar. Entah kenapa wajahnya tampak khawatir, seolah berada dalam pilihan antara hidup dan mati. Dia mendekat dan berjongkok di depan Monika. "Nona Monika Alexandra, silakan menghadap Tuan Muda. Jangan sampai membuatnya murka atau nyawa Anda taruhannya!" Monika menelan salivanya dengan paksa. Nada bicara Leo sa
Monika menelan salivanya dengan paksa. Ini pertama kalinya dia berada di jarak yang sangat dekat dengan seorang pria. Deru napasnya yang hangat menerpa, membuat keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Kita buktikan seberapa mesumnya pria tampan ini." Rio menarik tangan Monika dengan paksa, membawanya ke ruang istirahat yang ada belakang sana. Tentu saja hal itu membuat Monika panik. Dia berusaha melepaskan cekalan tangan Rio, namun usahanya gagal. "Tuan?!" Leo menghadang langkah atasannya. Dia menggeleng kuat, meminta tuannya untuk menghentikan apapun rencana busuknya. "Kamu ingin melindunginya?" geramnya. Aura iblis menguar di sekitar tubuh. Dia sungguh murka, tidak terima rencananya untuk menyiksa wanita ini harus ditahan oleh Leo. "Kita gunakan rencana cadangan!" Leo melirik tubuh Jonathan Wu yang terbujur kaku di lantai. Dia mengingatkan tuannya untuk memakai rencana kedua untuk menaklukkan wanita ini. "Mari, Nona." Leo melepa
"Ambil kontraknya! Jika dia menolak, buang mayat busuk ini ke hutan. Harimau dan serigala liar akan menerimanya dengan senang hati!" titah Rio pada asisten pribadinya, membuat Monika menggelengkan kepala. Dia tidak ingin tubuh ayahnya menjadi santapan hewan buas. "Jangan!" Monika coba melindungi ayahnya. Dia semakin mengeratkan pelukan pada tubuh pria yang semakin terasa dingin ini. "Nona Monika, tolong kerjasamanya." Leo berjongkok di sisi badan Monika sembari menyodorkan stopmap merah yang ia bawa. "Silakan." Dengan tangan gemetar, Monika terpaksa mengambil pena yang Leo berikan. Dia menandatangani perjanjian itu dengan air mata berlinang. Hatinya sakit, perih, seperti tertusuk ribuan sembilu. Cita-citanya untuk menikah dengan Devan pupus sudah. Dia justru akan menjadi istri kontrak pria tak dikenalnya. "Urus sisanya! Aku tidak mau tahu." Rio pergi, membanting pintu di belakangnya tepat setelah perjanjian itu ditandatanga
Rio kembali memasang wajah angkuh, kemudian berbalik menuju pintu yang menghubungkannya dengan ruangan pemotretan. Tangan pria ini mengepal erat, berusaha menenangkan jantungnya yang seolah ingin melompat keluar dari tempatnya. "Silakan, Nona." Leo mempersilakan gadis ini untuk menyusul Rio. Dia meraih tangan Monika dan membimbingnya berjalan agar tidak terjatuh. Di belakang mereka, dua orang pegawai butik membantu mengangkat pakaian pengantin yang terhampar di lantai. "Nyonya, ponsel Anda terus berdering." Seorang pegawai butik mendekat, menyerahkan benda pipih di tangannya pada wanita yang tengah membantu Monika berjalan di atas karpet merah. "Maaf saya permisi." Monika terhenyak saat wanita itu pergi begitu saja, membuatnya hampir terjerembab ke lantai. Dia tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, langkahnya oleng saat kehilangan pegangan. "Hati-hati, Nona." Leo dengan sigap menangkap tubuh ramping Monika, mendekapnya dengan erat.
WARNING!!! 18+ BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SUATU BACAAN! * * * 'Shit! Dada indah itu!' geram Rio dalam hati. Cengkeraman tangannya di pinggang Monika semakin erat. Dadanya bergemuruh, ada gejolak yang tak bisa dia kendalikan. Semacam rasa ingin meraup, mencecap, dan menikmati kehangatan di dalam sana. Rio menarik pinggang Monika, membuat tubuh keduanya saling menempel. Napas pria itu semakin memburu, bersamaan dengan dadanya yang naik turun tanpa bisa dia cegah. "Rio," panggil Monika dengan suara yang lembut, membuat pikiran liar pria ini semakin menggila. Matanya terpaku pada bibir seksi istrinya. Lengang. Tak ada suara apapun yang tertangkap oleh indera pendengarannya kecuali panggilan Monika tadi. 'Aku tidak bisa menahannya lagi,' geram pria 31 tahun ini dalam hati. Tanpa aba-aba, Rio mendekatkan kepalanya pada Monika dan siap mencicipi bibir ranum warna merah d
Monika keluar dari dalam ruang ganti dan mendapati Leo berdiri membelakanginya. Tampaknya pria ini sengaja menunggunya di sana. "Ini ponsel dan tas Anda." Pria berpakaian serba hitam itu memberikan benda yang Monika tinggalkan di minimarket pagi ini begitu keduanya berhadapan. "Terima kasih," ucap Monika lirih. Dia memakai tas selempangnya dan kemudian duduk di bangku yang kebetulan ada di belakang tubuhnya. Hatinya hampa, mengingat ia baru saja kehilangan sosok yang begitu dia hargai. "Tuan menyuruh saya mengantarkan Anda untuk pulang. Mari." Monika tak merespon. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sampai beberapa detik berlalu, wanita ini tak jua beranjak dari tempatnya. Tatap matanya kosong. Wajah cantiknya tampak sedikit pucat, membuat Leo khawatir. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" Lagi-lagi Monika tak menjawab. Dia melirik Leo sekilas sebelum menangkup wajah dengan kedua tangannya. Leo salah tingkah. Dia tidak nya
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol