"Selamat pagi. Selamat datang di minimarket kami. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Monika pada dua orang yang mendekat ke arahnya. Mereka tampak aneh, tidak seperti pembeli lain pada umumnya.
Kedua pria berpakaian serba hitam itu saling pandang, kemudian mengangguk satu sama lain. Mereka memiliki rencana lain untuk membawa gadis ini pergi. Salah satu dari mereka melepas kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di atas hidung.
"Nona Monika Alexandra?" tanya pria itu.
"Ya?" Monika menatap rekan kerja di sampingnya. Dia takut dua pria ini berniat jahat padanya. Tampilan mereka menunjukkan mereka bukan warga sipil, mungkin pihak keamanan, bodyguard, atau semacamnya.
"Maaf, ada yang bisa kami bantu?" Rekan kerja Monika ikut bersuara, mempertanyakan maksud kedatangan dua pria misterius ini.
"Nona, bisa ikut dengan kami sebentar?" Pria itu kembali menatap Monika, mengabaikan pria yang berusaha memecah konsentrasinya barusan.
Monika menelan salivanya dengan paksa. Dua pria ini mengingatkannya pada pengawal khusus yang sering dia lihat dalam film, mengawal tuan besar keluarga konglomerat atau semacamnya. Tapi, kenapa mereka mencarinya?
"Maaf, saya sedang bekerja. Jika ada yang ingin Anda sampaikan, katakan saja di sini." Monika memberanikan diri menghadapi mereka. Dia tidak ingin membahayakan dirinya sendiri.
"Anda mengenal Jonathan Wu?" Pria itu menunjukkan foto seorang pria yang sangat Monika kenal. Itu ayah kandungnya. Pria keturunan tionghoa itu mengabaikan ibunya demi menikah dengan wanita lain.
Monika tak langsung menjawab, meraba kemana arah pembicaraan mereka. "Maaf, mungkin Anda salah mengenali orang. Saya tidak memiliki urusan dengannya lagi."
"Apa Anda mengenalnya?" ulang pria itu lagi. "Dia membutuhkan bantuan Anda sekarang."
Beberapa detik berlalu, Monika masih bungkam tapi memikirkan keselamatan pria itu.
"Apa ada masalah?"
Pria berpakaian hitam itu mengangguk, pura-pura bertanya. "Tuan meminta saya menjemput Anda sekarang juga. Apa hubungan Anda dengan tuan Jonathan?"
"Itu ayah saya." Mau tak mau, Monika akhirnya mengakui pria itu sebagai ayahnya. Entah kenapa hatinya tidak tenang, takut sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu.
"Kalau begitu silakan ikut kami. Kami akan mengantar Anda menemui ayah Anda."
Monika menggeleng tegas. "Tunggu!" Suaranya sedikit meninggi. "Katakan padaku, apa masalahnya!"
Monika menatap sekeliling. Dirinya sudah menjadi pusat perhatian di sini. Beberapa pengunjung minimarket mulai memperhatikannya. Tidak baik jika obrolan ini didengar banyak orang.
Monika mendekat ke arah rekan kerjanya dan membisikkan sesuatu, meminta pria ini menghandle meja kasir selama dia pergi.
Wanita dengan seragam warna biru itu melangkah ke luar toko, mengikuti dua orang pria yang datang menemuinya. Meski belum bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi, Monika merasa ayahnya melakukan kesalahan yang besar.
"Apa yang terjadi? Kenapa Tuan-Tuan mencari saya?" Monika berbicara dengan dua orang tukang pukul di hadapannya. Tanpa bertanya sekalipun, semua orang tahu itulah profesi utama mereka.
"Anda tahu dimana dia sekarang?" pria itu kembali bertanya. Sekilas dia mengangguk pada rekannya.
Monika menarik napas dalam-dalam. Ini bukan pertanyaan pertama yang dia dengar tentang ayah berengseknya itu. Sebelumnya, beberapa bulan yang lalu, ada debt collector yang menemuinya, bertanya dimana Jonathan berada.
"Saya tidak tahu. Terakhir kami bertemu tiga bulan yang lalu. Setelahnya, tidak pernah berjumpa atau bahkan berkirim pesan. Mungkin dia sibuk dengan perusahaan temaptnya bekerja atau anak dan istrinya. Entahlah." Monika menjawabnya dengan jujur.
Lagi-lagi pria itu mengangguk pada rekannya yang lain, membuat Monika memicingkan mata. Curiga. Alarm tanda bahaya segera berbunyi, memintanya untuk lebih waspada.
"Silakan Anda ikut dengan kami sebentar. Ada masalah di perusahaan yang berkaitan dengan ayah Anda."
Monika mundur dua langkah, sedikit menjauh dari orang-orang ini.
"Sayang sekali, saya sedang bekerja sekarang. Saya tidak bisa ikut dengan Anda." Monika melihat kedatangan tiga orang pria berpakaian hitam-hitam dari arah lain. Hal itu membuat kewaspadaannya meningkat. Dia harus segera pergi dari sini, lebih tepatnya menyelamatkan diri.
"Nona, mohon kerjasamanya!" pria itu mulai melangkah mendekati gadis bersurai pirang ini.
Detik berikutnya, Monika mengambil langkah seribu. Dia harus segera meninggalkan tempat ini, meminta bantuan pada rekan-rekannya. Setidaknya, Doni bisa memanggil polisi jika melihatnya diculik oleh orang-orang misterius ini.
"Tangkap Nona Monika! Jangan biarkan dia lolos. Tuan Muda akan murka!"
Sekilas Monika mendengar perintah yang pria itu ucapkan, hal itu tentu saja membuatnya panik. Dia berusaha menyelamatkan diri. Harus!
Bisakah Monika lolos dari kelima pria itu? Apa yang harus dia lakukan?
Nantikan bab berikutnya. See you,
Hanazawa Easzy
Dengan napas yang semakin tersengal, Monika berhasil memaksakan kakinya untuk tetap bergerak, menjauh dari para pengejarnya. Hanya lima meter lagi, dia akan sampai di jalan raya yang menjadi penghubung gang sempit ini dengan minimarket. Dia bisa berteriak meminta tolong nantinya. Ya, cara itu pasti efektif. Sebuah tangan kekar berhasil mencengkeram pundak gadis cantik ini, membuat pergerakannya terhenti. Percobaannya untuk kabur gagal. Dia kalah cepat dari pria yang mengejarnya. Monika tertangkap. "Lepas!" Monika meronta, berharap tenaganya cukup untuk memberikan perlawanan berarti. "Amankan dia!" Teriak pria yang tampaknya adalah pemimpin orang-orang ini. Tanpa menunggu waktu lama, pria yang berhasil menahan Monika kini mengangkat tubuh ramping itu di atas pundak seperti sekarung beras. Rontaan, teriakan, dan pukulan yang coba Monika lakukan, tak ada gunanya sama sekali. Tubuh pria yang memanggul Monika begitu kokok, lebih keras dibandingkan
"Leo, siapkan kontraknya!" Belum sempat Monika menghapus air matanya, pria berpakaian hitam yang tadi membawanya kemari muncul di balik pintu. Di tangannya terdapat satu stopmap warna merah menyala. "Bangun!" Suara dingin itu kembali menggema, menyuruh Monika untuk berdiri dari tempatnya memeluk mayat yang semakin memucat. "Nona Monika, silakan," ucap pria yang diketahui bernama Leo tadi. Dengan isyarat tangannya, dia meminta Monika duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan ini. Monika masih terpaku di lantai, enggan meninggalkan ayahnya di sana. Tidak. Dia tidak ingin pergi barang sejengkal pun. "Nona..." Leo tampak gusar. Entah kenapa wajahnya tampak khawatir, seolah berada dalam pilihan antara hidup dan mati. Dia mendekat dan berjongkok di depan Monika. "Nona Monika Alexandra, silakan menghadap Tuan Muda. Jangan sampai membuatnya murka atau nyawa Anda taruhannya!" Monika menelan salivanya dengan paksa. Nada bicara Leo sa
Monika menelan salivanya dengan paksa. Ini pertama kalinya dia berada di jarak yang sangat dekat dengan seorang pria. Deru napasnya yang hangat menerpa, membuat keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Kita buktikan seberapa mesumnya pria tampan ini." Rio menarik tangan Monika dengan paksa, membawanya ke ruang istirahat yang ada belakang sana. Tentu saja hal itu membuat Monika panik. Dia berusaha melepaskan cekalan tangan Rio, namun usahanya gagal. "Tuan?!" Leo menghadang langkah atasannya. Dia menggeleng kuat, meminta tuannya untuk menghentikan apapun rencana busuknya. "Kamu ingin melindunginya?" geramnya. Aura iblis menguar di sekitar tubuh. Dia sungguh murka, tidak terima rencananya untuk menyiksa wanita ini harus ditahan oleh Leo. "Kita gunakan rencana cadangan!" Leo melirik tubuh Jonathan Wu yang terbujur kaku di lantai. Dia mengingatkan tuannya untuk memakai rencana kedua untuk menaklukkan wanita ini. "Mari, Nona." Leo melepa
"Ambil kontraknya! Jika dia menolak, buang mayat busuk ini ke hutan. Harimau dan serigala liar akan menerimanya dengan senang hati!" titah Rio pada asisten pribadinya, membuat Monika menggelengkan kepala. Dia tidak ingin tubuh ayahnya menjadi santapan hewan buas. "Jangan!" Monika coba melindungi ayahnya. Dia semakin mengeratkan pelukan pada tubuh pria yang semakin terasa dingin ini. "Nona Monika, tolong kerjasamanya." Leo berjongkok di sisi badan Monika sembari menyodorkan stopmap merah yang ia bawa. "Silakan." Dengan tangan gemetar, Monika terpaksa mengambil pena yang Leo berikan. Dia menandatangani perjanjian itu dengan air mata berlinang. Hatinya sakit, perih, seperti tertusuk ribuan sembilu. Cita-citanya untuk menikah dengan Devan pupus sudah. Dia justru akan menjadi istri kontrak pria tak dikenalnya. "Urus sisanya! Aku tidak mau tahu." Rio pergi, membanting pintu di belakangnya tepat setelah perjanjian itu ditandatanga
Rio kembali memasang wajah angkuh, kemudian berbalik menuju pintu yang menghubungkannya dengan ruangan pemotretan. Tangan pria ini mengepal erat, berusaha menenangkan jantungnya yang seolah ingin melompat keluar dari tempatnya. "Silakan, Nona." Leo mempersilakan gadis ini untuk menyusul Rio. Dia meraih tangan Monika dan membimbingnya berjalan agar tidak terjatuh. Di belakang mereka, dua orang pegawai butik membantu mengangkat pakaian pengantin yang terhampar di lantai. "Nyonya, ponsel Anda terus berdering." Seorang pegawai butik mendekat, menyerahkan benda pipih di tangannya pada wanita yang tengah membantu Monika berjalan di atas karpet merah. "Maaf saya permisi." Monika terhenyak saat wanita itu pergi begitu saja, membuatnya hampir terjerembab ke lantai. Dia tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, langkahnya oleng saat kehilangan pegangan. "Hati-hati, Nona." Leo dengan sigap menangkap tubuh ramping Monika, mendekapnya dengan erat.
WARNING!!! 18+ BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SUATU BACAAN! * * * 'Shit! Dada indah itu!' geram Rio dalam hati. Cengkeraman tangannya di pinggang Monika semakin erat. Dadanya bergemuruh, ada gejolak yang tak bisa dia kendalikan. Semacam rasa ingin meraup, mencecap, dan menikmati kehangatan di dalam sana. Rio menarik pinggang Monika, membuat tubuh keduanya saling menempel. Napas pria itu semakin memburu, bersamaan dengan dadanya yang naik turun tanpa bisa dia cegah. "Rio," panggil Monika dengan suara yang lembut, membuat pikiran liar pria ini semakin menggila. Matanya terpaku pada bibir seksi istrinya. Lengang. Tak ada suara apapun yang tertangkap oleh indera pendengarannya kecuali panggilan Monika tadi. 'Aku tidak bisa menahannya lagi,' geram pria 31 tahun ini dalam hati. Tanpa aba-aba, Rio mendekatkan kepalanya pada Monika dan siap mencicipi bibir ranum warna merah d
Monika keluar dari dalam ruang ganti dan mendapati Leo berdiri membelakanginya. Tampaknya pria ini sengaja menunggunya di sana. "Ini ponsel dan tas Anda." Pria berpakaian serba hitam itu memberikan benda yang Monika tinggalkan di minimarket pagi ini begitu keduanya berhadapan. "Terima kasih," ucap Monika lirih. Dia memakai tas selempangnya dan kemudian duduk di bangku yang kebetulan ada di belakang tubuhnya. Hatinya hampa, mengingat ia baru saja kehilangan sosok yang begitu dia hargai. "Tuan menyuruh saya mengantarkan Anda untuk pulang. Mari." Monika tak merespon. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sampai beberapa detik berlalu, wanita ini tak jua beranjak dari tempatnya. Tatap matanya kosong. Wajah cantiknya tampak sedikit pucat, membuat Leo khawatir. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" Lagi-lagi Monika tak menjawab. Dia melirik Leo sekilas sebelum menangkup wajah dengan kedua tangannya. Leo salah tingkah. Dia tidak nya
Gemericik air segera terdengar dari dalam kamar mandi. Sampo beraroma greentea dan daun mint segera dia ratakan ke atas kepala, membuat mahkota indahnya tertutup busa. Setidaknya aromaterapi itu akan membuat tubuhnya lebih fresh. Beberapa menit kemudian, Monika keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk melilit tubuh rampingnya. Langkah kaki gadis itu terhenti di depan pintu saat mendapati lampu utama di kamar ini padam. "Eh? Apa lampunya rusak?" Monika menghadap ke atas. Seorang pria yang bersembunyi dalam kegelapan hanya bisa menelan ludahnya berkali-kali. Pemandangan di hadapannya sungguh membuat libidonya naik seketika. Otak mesumnya segera bekerja, mengimajinasikan segala kenikmatan bersama wanita ini. 'Shit!" umpatnya dalam hati. Hasrat laki-lakinya terus meronta. Bagaimana tidak? Tetes-tetes air yang turun melalui ujung surai pirang Monika, mengalir membasahi leher putih mulusnya. Siluet tubuh gadis ini terlihat begitu seksi dan menggo
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol