Monika menelan salivanya dengan paksa. Ini pertama kalinya dia berada di jarak yang sangat dekat dengan seorang pria. Deru napasnya yang hangat menerpa, membuat keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
"Kita buktikan seberapa mesumnya pria tampan ini."
Rio menarik tangan Monika dengan paksa, membawanya ke ruang istirahat yang ada belakang sana. Tentu saja hal itu membuat Monika panik. Dia berusaha melepaskan cekalan tangan Rio, namun usahanya gagal.
"Tuan?!" Leo menghadang langkah atasannya. Dia menggeleng kuat, meminta tuannya untuk menghentikan apapun rencana busuknya.
"Kamu ingin melindunginya?" geramnya. Aura iblis menguar di sekitar tubuh. Dia sungguh murka, tidak terima rencananya untuk menyiksa wanita ini harus ditahan oleh Leo.
"Kita gunakan rencana cadangan!" Leo melirik tubuh Jonathan Wu yang terbujur kaku di lantai. Dia mengingatkan tuannya untuk memakai rencana kedua untuk menaklukkan wanita ini.
"Mari, Nona." Leo melepaskan cengkeraman Rio pada pergelangan tangan Monika dan membawanya menjauh dari pria yang berniat menunjukkan tajinya barusan.
Sebuah guci antik di depan Rio menjadi sasaran tendangan kaki kanannya. Pecahan keramik itu tersebar ke berbagai arah, membuat nyali Monika semakin menciut. Dia bersembunyi di balik tubuh Leo, berharap bisa melindunginya dari pria yang hampir saja menyerangnya.
Hening. Tidak ada suara apapun di ruangan minimalis ini selain deru air conditioner di pojokan.
Langkah kaki Rio terus berlanjut, sebelum sebuah debaman pintu terdengar. Berikutnya, suara gaduh segera mewarnai ruangan tertutup itu. Rio merusak apa saja yang ada di dalam sana. Dia memukul, menendang, menghantam benda yang ada dalam jangkauannya.
"Nona, silakan diminum." Leo menyerahkan segelas air putih pada wanita di hadapannya ini. Wajahnya terlihat pucat. Dia ketakutan akan apa yang baru saja didengarnya. Temperamental pria itu tak terkendali. Bagaimana nasibnya jika Leo tidak berhasil menahannya tadi? Entahlah.
"Tuan muda memiliki temperamen yang cukup buruk." Leo menjelaskan.
"Apa kematian ayahku, itu juga..." Monika tidak bisa melanjutkan pertanyaannya. Hatinya mencelos membayangkan betapa mengerikannya Rio saat menyiksa ayahnya.
"Maaf, Nona. Kami tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan ayah Anda. Jika saja pagi ini Anda langsung ikut dengan kami, mungkin saja..."
Monika menggeleng. Dia tidak ingin mendengar penjelasan itu. Perasaan bersalah segera merasuk ke dalam hatinya. Jika saja dia langsung ikut dengan orang-orang yang menghadangnya di depan kamar kos, mungkin nyawa ayahnya masih bisa diselamatkan. Tapi, dengan bodohnya dia justru kabur menuju minimarket tempatnya bekerja.
Bulir-bulir tanpa warna itu terus membasahi pipi tirus yang cantik ini.
"Nona, tidak ada yang bisa Anda sesali. Yang bisa Anda lakukan adalah menandatangani perjanjian ini. Anda harus menikah dengan tuan Rio Dirgantara. Itu satu-satunya cara agar ayah Anda bisa dimakamkan dengan layak."
Monika tetap menggeleng. Dia tidak mungkin menyetujuinya.
"Tidak. Aku tidak akan menandatanganinya. Aku tidak akan menikah dengan iblis itu."
"Nona, hati-hati dengan ucapan Anda." Leo memperingatkan. Suara gaduh di dalam sana tak lagi terdengar, menandakan bahwa Rio tengah menenangkan diri sambil mendengarkan asisten pribadinya yang berusaha membujuk wanita ini.
"Jika tuan mendengar ucapan Anda, dia bisa saja menggagahi Anda saat ini juga."
Monika berdiri dari duduknya. Dia tidak ingin ada di tempat terkutuk ini lebih lama lagi. Berbagi kata kasar keluar dari mulutnya. Dia menggertakkan gigi, marah pada Rio dan seluruh orang yang membuatnya susah, termasuk Leo.
Tepat saat itu Rio keluar dari dalam ruangannya. Dia mendekat ke arah mayat Jonathan dan menendangnya tanpa aba-aba.
"PAPA!!" pekik Monika detik itu juga. Dia berlari menghambur ke arah ayahnya yang terbujur kaku di lantai. Air matanya tak lagi terbendung, tumpah ruah membasahi wajah.
"PA..." Monika menggunakan tubuhnya sebagai tameng, membuat punggungnya terkena tendangan Rio yang sangat keras.
"Aargghh!" Monika mengaduh kesakitan. Rasa sakit luar biasa segera dia rasakan, membuat tubuhnya limbung seketika.
"Tuan?!" Leo menahan pria 31 tahun ini, mencegah tendangan kedua yang mungkin bisa membuat tulang punggung Monika patah.
"Nyonya Besar akan pulang minggu depan!" Peringatan Leo membuat kesadaran Rio kembali. "Jika Anda belum menikah, maka beliau akan menjodohkan Anda dengan wanita pilihannya."
Rio terlihat frustrasi. Dia tidak ingin terikat dengan wanita-wanita yang ibunya pilihkan. Bersama gadis sosialita itu seharian saja membuatnya mual, bagaimana bisa menyandingnya setiap hari? Yang benar saja!
"Ambil kontraknya! Jika dia menolak, buang mayat busuk ini ke hutan. Harimau dan serigala liar akan menerimanya dengan senang hati!"
Detak jantung Monika terhenti sepersekian detik. Dia semakin erat memeluk tubuh Jonathan, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya sendiri.
Monika tidak rela jika mayat ayahnya harus menjadi santapan hewan liar di hutan. Tapi, menikah dengan pria arogan ini juga tidak bisa dia setujui begitu saja. Ada Devan, kekasihnya yang siap menghalalkannya akhir tahun ini.
Monika kembali berpikir. Pilihan ini sulit, bagaikan memakan buah simalakama. Semuanya merugikan untuknya. Dia tidak ingin memutuskan hubungannya dengan Devan, tapi tak bisa mengabaikan ayah kandungnya sendiri.
Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia menikahi CEO mesum ini? Tidak adakah jalan lain untuk menyelamatkan diri?
Bersambung...
"Ambil kontraknya! Jika dia menolak, buang mayat busuk ini ke hutan. Harimau dan serigala liar akan menerimanya dengan senang hati!" titah Rio pada asisten pribadinya, membuat Monika menggelengkan kepala. Dia tidak ingin tubuh ayahnya menjadi santapan hewan buas. "Jangan!" Monika coba melindungi ayahnya. Dia semakin mengeratkan pelukan pada tubuh pria yang semakin terasa dingin ini. "Nona Monika, tolong kerjasamanya." Leo berjongkok di sisi badan Monika sembari menyodorkan stopmap merah yang ia bawa. "Silakan." Dengan tangan gemetar, Monika terpaksa mengambil pena yang Leo berikan. Dia menandatangani perjanjian itu dengan air mata berlinang. Hatinya sakit, perih, seperti tertusuk ribuan sembilu. Cita-citanya untuk menikah dengan Devan pupus sudah. Dia justru akan menjadi istri kontrak pria tak dikenalnya. "Urus sisanya! Aku tidak mau tahu." Rio pergi, membanting pintu di belakangnya tepat setelah perjanjian itu ditandatanga
Rio kembali memasang wajah angkuh, kemudian berbalik menuju pintu yang menghubungkannya dengan ruangan pemotretan. Tangan pria ini mengepal erat, berusaha menenangkan jantungnya yang seolah ingin melompat keluar dari tempatnya. "Silakan, Nona." Leo mempersilakan gadis ini untuk menyusul Rio. Dia meraih tangan Monika dan membimbingnya berjalan agar tidak terjatuh. Di belakang mereka, dua orang pegawai butik membantu mengangkat pakaian pengantin yang terhampar di lantai. "Nyonya, ponsel Anda terus berdering." Seorang pegawai butik mendekat, menyerahkan benda pipih di tangannya pada wanita yang tengah membantu Monika berjalan di atas karpet merah. "Maaf saya permisi." Monika terhenyak saat wanita itu pergi begitu saja, membuatnya hampir terjerembab ke lantai. Dia tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, langkahnya oleng saat kehilangan pegangan. "Hati-hati, Nona." Leo dengan sigap menangkap tubuh ramping Monika, mendekapnya dengan erat.
WARNING!!! 18+ BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SUATU BACAAN! * * * 'Shit! Dada indah itu!' geram Rio dalam hati. Cengkeraman tangannya di pinggang Monika semakin erat. Dadanya bergemuruh, ada gejolak yang tak bisa dia kendalikan. Semacam rasa ingin meraup, mencecap, dan menikmati kehangatan di dalam sana. Rio menarik pinggang Monika, membuat tubuh keduanya saling menempel. Napas pria itu semakin memburu, bersamaan dengan dadanya yang naik turun tanpa bisa dia cegah. "Rio," panggil Monika dengan suara yang lembut, membuat pikiran liar pria ini semakin menggila. Matanya terpaku pada bibir seksi istrinya. Lengang. Tak ada suara apapun yang tertangkap oleh indera pendengarannya kecuali panggilan Monika tadi. 'Aku tidak bisa menahannya lagi,' geram pria 31 tahun ini dalam hati. Tanpa aba-aba, Rio mendekatkan kepalanya pada Monika dan siap mencicipi bibir ranum warna merah d
Monika keluar dari dalam ruang ganti dan mendapati Leo berdiri membelakanginya. Tampaknya pria ini sengaja menunggunya di sana. "Ini ponsel dan tas Anda." Pria berpakaian serba hitam itu memberikan benda yang Monika tinggalkan di minimarket pagi ini begitu keduanya berhadapan. "Terima kasih," ucap Monika lirih. Dia memakai tas selempangnya dan kemudian duduk di bangku yang kebetulan ada di belakang tubuhnya. Hatinya hampa, mengingat ia baru saja kehilangan sosok yang begitu dia hargai. "Tuan menyuruh saya mengantarkan Anda untuk pulang. Mari." Monika tak merespon. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sampai beberapa detik berlalu, wanita ini tak jua beranjak dari tempatnya. Tatap matanya kosong. Wajah cantiknya tampak sedikit pucat, membuat Leo khawatir. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" Lagi-lagi Monika tak menjawab. Dia melirik Leo sekilas sebelum menangkup wajah dengan kedua tangannya. Leo salah tingkah. Dia tidak nya
Gemericik air segera terdengar dari dalam kamar mandi. Sampo beraroma greentea dan daun mint segera dia ratakan ke atas kepala, membuat mahkota indahnya tertutup busa. Setidaknya aromaterapi itu akan membuat tubuhnya lebih fresh. Beberapa menit kemudian, Monika keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk melilit tubuh rampingnya. Langkah kaki gadis itu terhenti di depan pintu saat mendapati lampu utama di kamar ini padam. "Eh? Apa lampunya rusak?" Monika menghadap ke atas. Seorang pria yang bersembunyi dalam kegelapan hanya bisa menelan ludahnya berkali-kali. Pemandangan di hadapannya sungguh membuat libidonya naik seketika. Otak mesumnya segera bekerja, mengimajinasikan segala kenikmatan bersama wanita ini. 'Shit!" umpatnya dalam hati. Hasrat laki-lakinya terus meronta. Bagaimana tidak? Tetes-tetes air yang turun melalui ujung surai pirang Monika, mengalir membasahi leher putih mulusnya. Siluet tubuh gadis ini terlihat begitu seksi dan menggo
WARNING !!! 21+ BUKAN UNTUK DITIRU. BIJAKLAH MENYIKAPI SEBUAH BACAAN. * * * Lengang. Tak ada respon dari Monika. Gadis ini telah masuk ke alam bawah sadarnya, tak merasakan apapun yang Rio lakukan. Kelima panca inderanya berhasil dilumpuhkan dengan obat tidur dosis rendah yang pria mesum itu tambahkan ke dalam air putih. Ya, Monika tak tahu sama sekali bahwa Rio sudah menaruh serbuk obat di dasar gelas kaca miliknya. Pria ini benar-benar licik. Rio menatap jam di pergelangan tangannya, pukul tujuh malam. Waktunya masih panjang. Dia bisa mempermainkan gadis ini sesuka hatinya. Bibir ranum yang tertutup menjadi sasaran utama pria mesum ini. Terasa manis. Dia sudah terobsesi, ingin menikmati seluruh tubuh wanita ini. "Shit!" Rio mengumpat saat aktivitasnya terganggu oleh getaran ponsel Monika di atas nakas. Nama 'Lovely' terlihat di sana, membuat emosi Rio kembali datang. Adegan c
Monika mengerjapkan matanya beberapa kali. Sinar hangat mentari menelisik ruangannya, melewati jendela kaca yang telah terbuka. Samar-samar aroma pengharum ruangan menyapa indera penciumannya. "Anda sudah bangun, Nona?" Suara seorang wanita tertangkap telinga Monika, membuatnya terkesiap. 'Siapa?' batin Monika berkata. Gadis bersurai panjang ini membuka mata dengan paksa, mengabaikan kepalanya yang terasa berat. Perlahan retina matanya befungsi normal setelah mengedip beberapa kali. "Nona tertidur begitu lelap. Kami tidak berani membangunkan Anda." Monika menatap dua wanita berpakaian serba hitam yang berjarak beberapa langkah darinya. Keningnya berkerut, merasa tidak pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Gadis itu duduk dan menatap jam digital di atas nakas, pukul enam pagi. "Ini bisa meredakan sakit kepala yang Anda alami. Silakan, Nona." Lagi-lagi wanita yang tidak Monika ketahui identitasnya ini tersenyum ramah. Tangannya terulu
"Bawa para b*jingan itu ke ruang penyiksaan! Aku ingin melihat kesaksian mereka dengan mata kepalaku sendiri!" Suara Rio menggema, menunjukkan bahwa pria itu marah dan tidak bisa mengendalikan emosinya lagi. "Baik." Leo berbalik badan, siap melangkah pergi dari ruangan ini. "Tunggu!" titah Rio membuat langkah pria berpakaian serba hitam itu terhenti. "Ya, Tuan?" Leo berbalik, kembali menghadap tuannya yang kini duduk di kursi kebesarannya yang empuk. "Dimana dia sekarang? Apa yang sedang dia lakukan?" Leo terdiam sepersekian detik. Otaknya berusaha mencerna siapa 'dia' yang tuannya bicarakan. Pria ini tidak pernah mempedulikan orang lain sebelumnya. Tapi, kemampuan otak Leo diatas rata-rata. Dia tahu siapa yang dimaksud oleh tuannya. "Nona Monika pergi ke tempatnya bekerja. Dia meminta kelima pengawal kita untuk pergi dan menyampaikan sebuah pesan untuk Anda." "Pesan? Untukku?" Ada seulas senyum tipis yang tampak di bibir pria
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol