Brakk!
Bagus Santosa dan sang istri yang bernama Sintya Widyawati itu merasa sangat terkejut. Sepulang dari perjalanan di luar kota, mereka tak sengaja mendengar ada suara keributan dari kamar sang anak sulungnya.Sehingga otomatis membuat kedua paruh baya itu merasa keheranan dan juga sangat panik karenanya. Lalu, dengan tanpa berpikir panjang lagi, saat itu juga sang suami langsung mendobrak pintu kamar tersebut.Dan, betapa terkejutnya mereka ketika melihat apa yang tengah dilakukan oleh dua orang yang berada di dalam kamar itu.Langit yang sedang menindih Cahaya terjingkat kaget dan menoleh ke arah sumber suara. Begitu juga dengan wanita yang kini berada di bawahnya itu pun sama kagetnya dengannya."Langit! Apa yang kamu lakukan?" teriak Bagus dengan penuh emosi melihat nanar pada putra sulungnya yang kini tengah berada di atas tubuh seorang wanita.Lalu, dengan seketika lelaki paruh baya itu segera menyeret paksa tubuh Langit agar segera bangkit dari atas gadis itu. Dan dengan sangat marah ia langsung melayangkan sebuah tamparan.Plakk!Langit yang masih dalam keadaan mabuk hanya sempoyongan sembari meringis kesakitan memegangi pipinya yang terasa perih dan panas akibat dari tamparan keras ayahnya.Sementara Cahaya yang dalam keadaan setengah telanjang, baju bagian atasnya sudah terkoyak hingga menampakan bra putih yang ia kenakan. Dengan segera nenarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Lalu, sembari duduk menunduk, ia pun mulai menangis.Sintya yang merasa sangat syok, panik dan juga iba melihatnya, segera mendekat dan memeluknya dengan erat."Hsstt ... sudah jangan menangis, ya! Tolong maafkan anak saya, Aya! Sudah kamu jangan takut ya, kamu sudah aman sekarang," ucapnya seraya mengusap-usap lembut kepala gadis itu."Hehehe ... eh, Papah," oceh Langit sembari cengengesan tersenyum pada ayahnya."Dasar anak bodoh. Bikin malu saja!" Dengan sangat geram lelaki paruh baya itu mulai memukulinya dengan bertubi-tubi.Sehingga membuat Sintya yang melihatnya segera melerainya."Udah, stop, Papah! Dia ini sedang mabok. Sehingga ia tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya, Papah!" sergahnya sembari berdiri di antara dua pria itu."Ya, justru inilah kebodohannya. Kenapa dia pakai mabok-mabokan segala. Dan lihatlah sekarang! Andai saja kita tidak datang tepat waktu, entah apa yang akan terjadi pada Cahaya sekarang?""Iya iya, Pah. Langit memang bersalah. Tetapi bukan begini solusinya," teriak Sintya berusaha menghentikan suaminya."Lalu, sekarang kita harus bagaimana, Mah? Lihatlah, kasian Cahaya. Pasti dia sangat terpukul dan juga trauma atas semua ini, Mah." Bagus menujuk gadis yang masih terus sesegukan duduk di atas ranjang sang putra."Mah, Pah! Ada apa ini? Kok, pada ribut di sini, sih?" Thalita yang terbangun karena mendengar kegaduhan dari kamar sang kakak segera berlari dan masuki kamar itu dengan kebingungan.Dirinya cukup kaget saat melihat ada pecahan botol di depan kamarnya. Dan kini ia semakin merasa syok melihat Cahaya yang sedang duduk menangis di sana. Seketika itu ia langsung bergegas mendekatinya."A-aya, kamu kenapa?" Gadis berambut coklat itu menatapnya keheranan dan langsung memeluknya dengan sangat erat.Sementara gadis yang dipeluknya itu hanya terisak dan tak bisa berkata-kata untuk sekedar menjawab pertayaannya.Lalu, Thalita menoleh ke arah kakak laki-lakinya yang kini dalam bertelanjang dada. Dan penampilannya juga sangat awut-awutan tidak karuan yang mendakan kalau lelaki itu pasti sedang mabuk berat."Huh?!" Reflek Thalita membekap mulutnya dengan sebelah tangan, ia merasa sangat syok. Baru menyadari pasti kakaknya itu telah melakukan suatu hal yang buruk pada Cahaya."Thalita! Cepat bawa Cahaya ke kamarmu sekarang!" titah sang ayah. "Dan kamu Langit, Papah tunggu di ruang tamu. Kita perlu bicara sekarang juga!"Setelah itu, lelaki berkacamata itu segera berlalu meninggalkan kamar. Sedangkan Thalita segera menuntun Cahaya untuk segera menuju kamarnya.Sementara Sintya memapah putranya menuju ranjang dan merebahkannya di sana. Lalu ia segera keluar kamar, mencari obat untuk meredakan mabok dan memberikannya pada Langit.***Hingga beberapa menit kemudian, dengan masih merasa pusing di kepalanya, Langit berjalan menuju ruang tamu. Di mana di ruang itu sudah ada kedua orang tuanya, adiknya dan tentu saja Cahaya."Ada apa ini, Pah?" tanyanya linglung. Ia masih belum menyadari apa yang telah diperbuatnya tadi."Ada apa, kamu bilang? Kamu lihat dia!" teriak Bagus menunjuk gadis yang kini terduduk di sebelah putrinya.Raut wajah gadis itu tampak begitu sedih dan terpukul. Dengan tertunduk, sesekali ia mengusap sisa air matanya yang msih terus mengalir di kedua pipinya.Seraya mengerutkan dahi, Langit menoleh ke arahnya."Apa kamu sudah mengingat apa yang telah kamu lakukan padanya tadi, Langit?" tanya Bagus menatap tajam pada anaknya.Sehingga membuat Langit merasa sangat kebingungan mendengarnya. "Mak-maksud, Papah apaan sih? Aku gak ngerti deh." Dengan sangat lesu pemuda itu kini menjatuhkan bokongnya di atas sofa yang berada tepat di hadapan Cahaya."Kamu tadi hampir menodainya, Langit!" ujar Bagus sembari menggertakkan giginya geram."A-apaa?!" Jelas pemuda bekaos putih itu kaget mendengarnya. Namun, tak lama kemudian ia malah tertawa sumbang seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ayahnya katakan."Hahaha ... jangan becanda deh, Pah! Mana mungkin aku mau memperkosa gadis seperti dia. Kayak gak ada gadis lain saja," cibirnya sembari tersenyum sinis menatap Cahaya.Brakg!Dengan penuh emosi Bagus menggebrak meja dengan cukup keras, hingga membuat semua orang yang berada di sana tersentak kaget."Kamu pikir Papah sedang bercanda, huh?" bentaknya."Ya ya, a-aku minta maaf, Pah. A-aku benar-benar tidak bisa mengingat apa-apa tadi." Dengan terbata Langit merasa sedikit ketakutan melihat ekspresi wajah ayahnya yang tampak begitu marah padanya. "Mu-mungkin aku khilaf, Pah! Sungguh aku gak sengaja, Pah. Tadi aku mabok, sehingga aku tidak sadar dan tidak ingat jika telah melakukan ini semua, Pah!" Pemuda berambut coklat itu berusaha membela diri."Kamu ini benar-benar bikin malu Papah aja, Langit! Sekarang bagaimana dengan Cahaya, hah!" Dengan geramnya Pratama mengepalkan kedua tangan. Ingin rasanya ia memukulinya lagi, namun langsung dicegah oleh istrinya.Sementara Langit kini hanya diam tertunduk pasrah menerima amarahnya."Sudah! Sudah, Pah! Sabar, jangan emosi, ya! Ingat dengan penyakit jantung Papah!" Sintya mengusap lengannya berusaha untuk menenangkannya."Gimana gak emosi, Mah. Itu si Langit. Argh ... !" Dengan menyugar rambut kasar, Pria paruh baya itu benar-benar merasa kebingungan. "Gimana dengan Cahaya, Mah? Dan bagaimana kita menghadapi keluarganya nanti?" Dengan tertunduk lesu, Langit pun berkata, "Maafkan Langit, Mah, Pah! Aku sudah membuat kalian kecewa.""Langit-kangit! Papah benar-benar gak habis pikir sama kamu." Bagus bangkit dari duduknya dan mendekat ke arahnya. Kemudian sembari menghela nafas berat, ia menatap tajam sang anak yang sedang terduduk lesu di hadapannya kini."Kenapa kamu pakai mabok-mabokan segala, hah? Dan lihatlah sekarang, apa akibatnya! Kamu hampir menodainya. Dan sekarang kita harus bagaimana, Langit?" lanjutnya lagi."Ya ya, gak harus gimana-mana lah, Pah. Lagi pula aku juga tidak sampai menodainya, kan? Jadi, dia masih aman. Kenapa kita harus repot sih?" jawab Langit tanpa beban."Apa yang kamu bilang? Memang kau tidak sampai menodainya karena Papah datang tepat waktu. Jika tidak, yang ada kau pasti telah menodainya, Langit!" Lagi-lagi lelaki paruh baya itu merasa geram mendengar perkataan putra sulungnya yang seolah menganggap remeh masalah ini. "Pokoknya Papah gak mau tau. Kamu harus bertanggung jawab!" tandasnya penuh dengan penekanan."Maksud, Papah?" Langit mengangkat wajah dan mengerutkan dahi menatapnya."Ya kamu harus menikahi Cahaya!""Apaa! Me-menikah?" pekik Langit syok."Ta-tapi, aku gak bisa menikah dengan dia, Pah. Karena Aku tidak mencintainya, Pah," elak Langit."Lagi pula aku juga tidak sengaja melakukan itu semua. I-itu hanya kecelakaan. Sungguh aku gak sengaja. Aku khilaf, Pah." Tentu saja pria muda berusia 25 tahunan itu langsung menolaknya."Terus kamu maunya bagaimana, Langit? Setelah semua ini terjadi, lalu kamu mau lepas dari tanggungjawab, huh?" pungkas Bagus kesal."Langit-langit! Papah dan Mamahmu ini tidak pernah mengajarimu tuk jadi orang yang tidak bertanggungjawab seperti ini, Langit!" lanjutnya. Tiba-tiba saja keluarga dari Cahaya yang sengaja dipanggil oleh Bagus telah datang. Yaitu Paman dan Bibiknya Cahaya kini telah masuk ke rumah tersebut. "Tuan, ini Pak Hadi dan istrinya sudah datang," ucap salah satu pelayan yang mempersilahkan pasangan suami istri itu untuk masuk ke ruang tamu.Sontak semua orang yang berada di sana langsung menoleh ke arah pasangan suami istri tersebut."Oh, Pak Hadi dan Bu Irma. Mari-mari silahkan dudu
Seketika seluruh orang yang berada di ruang itu merasa sangat syok dan juga panik. Dengan segera Sintya menyuruh putrinya untuk mengambil obat dan air putih untuk suaminya."Ini, Pah. Diminum dulu, Pah!" Dengan wajah yang terlihat sangat cemas Sintya menyodorkan segelas air putih dan satu butir obat pada suaminya.Setelah meminum obat, rasa nyeri di dalam dada lelaki itu sudah sedikit berkurang. Tiba-tiba tangan Bagus bergerak lemah ingin meraih tangan pria yang berdiri di dekatnya. Pak Hadi yang melihatnya, langsung menyambut dan meraih tangan itu. Lalu menggegamnya erat."P-p-pak Hadi!" ucap Bagus pelan."Iya, Tuan!" jawab Pak Hadi."To-tolong maafkan saya! Ini semua adalah salah saya karena telah gagal mendidik Langit. Sehingga Langit sampai berbuat seperti itu pada Cahaya." Dengan tatapan yang terlihat sendu, Bagus memohon permintaan maaf atas kesalahan yang diperbuat oleh anak sulungnya.Pak Hadi menggeleng. "Tidak, Tuan! Ini bukanlah salah, Tuan.""Ta-tapi, apakah Pak Hadi mau m
Ceklik!Dengan sedikit ragu, gadis cantik yang masih memakai kebaya pengantin itu mulai melangkah masuk ke dalam suatu ruang kamar seperti suite room di hotel mewah. Ruangan itu tampak begitu indah dan luas. Namun, di ruang inilah dirinya hampir kehilangan mahkotanya, sehingga membuatnya harus terpaksa menikah dengan sang anak majikan.Untuk sesaat ia mengedarkan pandangan, mengamati ruangan kamar tersebut. Di tengah ruangan itu ia melihat ada sebuah ranjang besar dengan ukuran king size lengkap dengan kasur busa yang terlihat sangat empuk dan nyaman untuk merebahkan diri.Di depan ranjang terdapat TV LED dengan layar yang lebar menempel di dinding. Sedangkan di sebelah kiri ranjang ada sebuah lemari baju yang besar berdiri kokoh di dekat tembok. Sementara di sisi kananya ada sebuah sofa yang terletak di dekat jendela kaca besar yang langsung menghadap ke balkon.Lalu dengan perlahan ia mulai menapakkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Namun, ketika baru beberapa langkah ia memasuk
Keesokan harinya. Dengan kebingungan Cahaya terbangun hanya seorang diri di dalam kamar. Untuk sesaat gadis itu terdiam menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencoba mengingat-ingat kejadian apa yang telah menimpanya semalam."Huh!" Reflek gadis itu membekap mulutnya dengan kedua tangan. Ia pun teringat dengan kejadian semalam. Sontak rasa takut, cemas dan khawatir mulai menyelimuti hatinya. Dan ia pun berfikir ke mana laki-laki itu berada sekarang? Apakah dia dalam keadaan yang baik-baik saja?Ingin sekali ia mengabaikan rasa itu. Ia berusaha untuk bersikap acuh dan tidak perduli terhadapnya. Tapi tidak bisa. Perasaan bersalah masih saja muncul di benaknya. Sembari berjalan mondar-mandir di samping ranjang, sesekali ia menggigit kuku-kukunya yang sudah sedikit panjang, terlihat jelas kalau ia sedang sangat gelisah memikirkan bagaimana keadaan lelaki itu.Otaknya kini tidak bisa berfikir dengan jernih. Apa bila ia memikirkan sikap Langit yang sangat kasar padanya. Ia tidak tau apa y
Waktu menunjukan pukul jam 05.00 pagi. Seperti biasa, setelah menunaikan sholat subuh, Sintya keluar dari kamar dan segera berjalan menuju dapur. Sesampainya di sana, ia langsung membuka kulkas dan melihat-lihat isi dalam kulkas tersebut."Eh, Nyonya udah bangun?" sapa salah satu pelayan yang biasa bertugas sebagai tukang masak di sana.Sintya menoleh ke arahnya. "Eh, iya, Bik. Nanti kira-kira Bibik mau masak apa buat sarapan pagi ini?""Nyonya mau dimasakin apa hari ini?""Terserah Bibik aja, deh!""Em ... baiklah, Nyah. Bagaimana kalau nasi goreng seafood atau roti panggang isi aja?" usul si pelayan itu."Em ... kalau gitu, Bibik bikin keduanya saja. Biar nanti anak-anak yang akan memilih sendiri makanannya.""Oh, Baik, Nyah, sendiko!""Eh, ya Bik. Bahan makanan kayaknya udah pada mulai habis. Lebih baik nanti setelah Bibik selesai masak langsung pergi belanja ke pasar saja ya! Mumpung masih pagi, kan, masih banyak pilihan dan pastinya juga masih fresh sayurannya.""Iya baik, Nyah.
Di malam hari, Cahaya kembali masuk ke dalam kamar Langit yang kini menjadi kamarnya juga.Kali ini ia bingung harus tidur di mana? Jika ia tidur di atas tempat tidur, apakah nanti Kak Langit tidak akan memarahinya? Di samping itu juga, apabila ia tidur seranjang dengannya lagi, apa itu tidak berbahaya baginya? Bisa saja kejadian yang tadi malam akan terulang lagi padanya, bagaimana?Gadis cantik bermata bening itu langsung menggelengkan kepala. "Tidak tidak tidak! Aku tidak mau kalau itu terulang lagi," gumamnya.Kemudian ia melihat ke arah sebuah sofa berwarna abu yang terbentang di sudut ruangan. Bibirnya langsung merekah merasa senang, pada akhirnya ia menemukan tempat yang aman untuk merebahkan bobot tubuhnya sekarang.Dengan segera Cahaya bergegas ingin mendekati sofa itu. Namun, baru saja ia akan melangkah. Tiba-tiba ia mendengar suara pintu terbuka.Ceklik!Sontak, gadis yang memakai baju tidurnya itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Di mana ia melihat sesosok pria jangk
"Gimana, enak, gak?""Em ... biasa aja kok, Mah," jawab Langit berbohong. Dengan ekspresi daftar ia kembali melanjutkan makan.Sebenarnya di dalam hatinya ia setuju dengan perkataan Mamahnya. Memang nasi goreng buatan Cahaya itu terasa lezat dan sangat cocok di lidahnya. Namun, lagi-lagi karena ego dan rasa gengsinya yang tinggi, sehingga membuatnya enggan untuk mengakuinya."Kalau aku bilang enak, yang ada nih cewek besar kepala," gerutunya membatin.Seketika senyum di bibir Cahaya langsung memudar. Seperti tertusuk sambilu, hatinya kini terasa sakit namun tak berdarah. Tak kala ia mendengar jawaban lelaki berkemeja hitam itu yang terkesan sangat dingin dan acuh padanya. Sungguh hatinya merasa sedih. Tak bisakah suaminya ini sedikit saja untuk memujinya?"Cih, Cahaya ... Cahaya! Kamu jangan mimpi, Aya! Mana mungkin Kak Langit mau memujimu. Bahkan untuk memandangmu saja dia tidak sudi," batinnya merasa pilu."Ih, kamu ini gimana sih? Orang enak begini, kok kamu bilang biasa aja!" sahu
Setelah kepergian anak beserta suaminya ke kantor. Seperti biasa, hampir di setiap harinya Sintya akan pergi ke salah satu butik miliknya yang berada tak jauh dari tempatnya tinggal.Begitu juga dengan Thalita. Gadis cantik nan imut itu akan pergi ke kampusnya pada pukul jam delapan pagi dan akan pulang ke rumah pada siang ataupun di sore hari, menyesuaikan dengan jadwal kuliahnya.Kini tinggallah Cahaya sendirian di dalam kamar. Perempuan cantik itu tampak sedikit kebingungan, sedang berkemas-kemas menyiapkan segala sesuatu untuk pindah ke apartemen nanti."Duh ... apa saja yang harus aku siapkan, nih? Lagian Kak Langit dadakan banget sih! Mana dia gak ngomong dulu sama aku. Eh ... tiba-tiba malah ngajak pindah ke apartemen!" gumamnya seraya terus sibuk memilah- milih baju suaminya yang berada di dalam lemari.Lalu sesaat ia teringat dengan perkataan yang diucapkan oleh suaminya tadi.Deg!Jantungnya langsung berdebar dan pipinya juga memerah apabila mengingatnya."Duh ... maksudnya
Dengan sangat terburu-buru Cellina terlebih dahulu masuk ke dalam kantor dan ia ingin segera menuju ke ruang kerjanya Langit. Sementara Cahaya yang sedang berjalan ingin memasuki kantor. Tiba-tiba saja ada yang memanggilnya dari belakang. "Hay, Cahaya!" Panggil Revan yang kebetulan baru saja datang di kantor itu. Karena merasa ada yang memanggil, gadis itu pun menoleh ke arah sumber suara. "Eh, Revan! Kamu juga kerja di sini bareng Kak Langit, ya?" jawab Cahaya. "Enggak, kok. Kalau aku kerjanya di kantor cabang yang ada di Kebon Jeruk. Biasa aku ke sini karena ada meeting gitu. Nanti setelah meetingnya selesai aku balik lagi deh ke kantor cabang." "Kalau kamu kok tumben datang ke sini mau ketemu sama Langit, ya?" tebaknya. "Oh ini, tadi Kak Langit hp-nya ketinggalan. Jadi aku mau anterin HP ini ke dia." Gadis cantik bergaun putih tulang itu menunjukkan ponsel yang ada di tangan kanannya. "Oh gitu." Revan tampak manggut-mangut. "Ya udah, ayo biar aku antar ke ruangan Lan
Begitu mendengar ucapan Aditya tadi, dengan memasang wajah garang, Cahaya langsung melotot ke arah Langit. "Oh, jadi Kakak masih suka ketemuan sama Mbak Cellina?" tanyanya sewot. "E-eh ... enggak enggak kok!" Dengan gelagapan pria berkemeja hitam itu langsung menggelengkan kepala. "Itu tadi si Aditya berbohong, Sayang. Dia memang sengaja ingin ngerjain aku. Agar kamu marah sama aku. Jadi, jangan percaya ya sama dia! Dan lagi pula mana mungkin aku janjian sama Cellina, sementara ada kamu di sini," lanjutnya lagi. "Oh ... berarti kalau nggak ada aku di sini, Kakak masih suka ketemuan sama dia, gitu?" sahut Cahaya jutek. Lalu dengan terlihat sangat kesal, gadis itu langsung saja melangkah pergi meninggalkan lelaki tersebut. "Ya-ya ... bu-bukan begitu, Sayang. Kok kamu malah jadi marah begini, sih! Ah ... sialan! Ini gara-gara si Aditya rese nih. Eh, tunggu!" Dengan terlihat panik, lelaki itu gegas mengejarnya. "Aya, jangan marah begini, dong! Kan, kamu tahu sendiri. Semenjak
Dengan terus menatap tajam ke arah sepasang suami istri itu, tiba-tiba Cellina terdiam dan menghentikan langkahnya. Sehingga membuat kedua temannya merasa keheranan dan juga ikut menoleh ke arah Langit dan Cahaya. Dengan mata yang membola, kedua wanita itu cukup tercengang ketika melihat Langit yang sedang berjalan sambil bergandengan mesra dengan seorang wanita. "Loh, Itu bukanya si Langit? Kok malah lagi jalan sama si cewek kampungan itu, sih? Bukannya kamu bilang kalau dia masih cinta mati sama kamu. Tapi, kenapa dia malah terlihat sangat mesra dengan cewek udik itu?" ujar Alena merasa keheranan. "Diam! Aku juga kesel tau! Ternyata Langit benar-benar sudah terpikat dengan gadis kampungan itu. Sehingga dia rela meninggalkanku demi cewek murahan itu. Tapi, aku gak akan diam saja seperti ini. Lihat saja akan kuberi pelajaran dia nanti. Karena telah berani merebut Langit dariku," jawab Cellina dengan kesal terus menyorot tajam ke arah sepasang suami istri tersebut. "Terus sek
"Em ... kira-kira siapa, ya? Orang yang aku sukai itu adalah ... Kakak," ucapnya sangat pelan dan nyaris tak terdengar. "Hah! Siapa tadi? Aku nggak dengar, Aya." Langit berpura-pura tidak mendengar. "Ah ... tau, ah!" Karena kesal, gadis itu ingin mendorong tubuh laki-laki itu untuk menjauh. Namun kedua tangannya itu langsung di tahan oleh Langit. "Ayo dong, Aya! Katakan sekali lagi. Aku nggak dengar tadi," bujuknya. Pada akhirnya dengan wajah yang bersemu merah, gadis cantik itu pun menjawab pertanyaannya lagi. "Aku ... sukanya ... sama Kak Langit." Lelaki itu langsung tersenyum sumringah ketika mendengar pengakuannya. Lalu sedetik kemudian pria tersebut menyambar bibir ranum gadis itu dan mulai mengechupnya dengan lembut. Cahaya hanya pasrah memejamkan mata dan membalas ciumannya juga. Dan tidak cukup sampai di situ saja. Sepasang suami istri itu pun melanjutkan aksinya hingga sampai tengah malam. Merasakan surga dunia sebagai sepasang suami istri. Dan itulah hal yang te
"Ya, nggak gimana-gimana dong, Sayang." Sembari tersenyum manis, lelaki itu menoel hidungnya gemas. Kemudian ia menakup kedua pipinya dan menatap dalam dua bola mata bening milik gadis itu. "Dengarkan aku, Aya! Yang terpenting, 'kan aku sekarang cuma cintanya sama kamu. Jadi, kamu nggak usah khawatir. Karena mau sampai kapanpun juga, aku berjanji nggak akan pernah mau tinggalin kamu," tukasnya terlihat dengan sangat sungguh-sungguh berusaha untuk meyakinkan sang istri. Sehingga membuat gadis itu tersenyum bahagia mendengar ucapannya. "Tapi ... seumpamanya Mbak Cellina masih pengen balik lagi sama Kakak gimana?" "Hahaha ...." Sontak saja Langit malah tertawa geli, karena nampaknya saat i i sedangmerasa cembur."Hem ... kelihatannya Istriku yang cantik ini lagi cemburu ya? Tapi nggak papa, aku malah seneng kok kalau kamu cemburu kayak gini, itu tandanya kamu cinta banget sama aku." Dengan terseyum tengil, ia malah mengejeknya. "Cih, siapa juga yang cemburu?" elak Cahaya. "Orang
Setelah selesai sarapan, Langit pun kembali lagi masuk ke dalam kamar. Hari ini ia sengaja tidak masuk kerja. Karena ingin menunggu Cahaya yang sedang sakit dan sekaligus ingin segera menyelesaikan kesalah pahaman di antara mereka berdua. Lelaki bertubuh atletis itu membawa laptop ke dalam kamar. Ia ingin melanjutkan pekerjaannya dari rumah. Sembari menunggu istrinya yang masih tertidur karena pengaruh obat yang diminumnya tadi, jari-jemarinya terlihat sibuk mengotak-atik kaybort laptop yang ada di pangkuannya. Lelaki itu kini duduk di atas kasur bersebelahan dengan Cahaya. Dengan sesekali Ia melihat ke arah gadis itu untuk memastikan kalau istrinya itu dalam keadaan baik-baik saja. Lalu tak berapa lama wanita cantik yang ada di sebelahnya itu mulai terbangun. Ia mendapati kalau suaminya kini berada di sampingnya terlihat sedang sibuk dengan laptopnya. Sehingga membuatnya merasa sedikit senang dan terharu padanya. "Oh, ternyata sedari tadi dia nungguin aku, ya? Sampai nggak
"Apaa?!" Sontak saja Langit langsung membelalakan mata menatap tidak percaya pada Cahaya. Sungguh ia sangat syok ketika mendengar kata cerai yang keluar dari bibir gadis itu. Lalu dengan segera lelaki itu kembali menggelengkan kepala. "Tidak, aku mohon jangan berkata seperti itu, Aya!" Kini pria itu memeluk erat tubuh gadis yang sedang terduduk di hadapannya kini. Sedangkan gadis itu hanya terdiam seperti patung tidak mau membalas pelukannya. "Aku mohon dengarkan penjelasanku dulu, Aya! Akan aku jelaskan dengan yang sejujur-jujurnya kalau semua ini hanyalah salah paham saja. Jadi, please jangan berburuk sangka dulu, ok?" Lelaki itu menengadahkan wajahnya menatap gadis itu dengan sayu. "Ya ya memang benar kalau selama ini aku sering pergi menemuinya. Akan tetapi kami tidak pernah melakukan apa pun juga, Aya. Ya, aku pun terpaksa melakukan ini, karena aku sudah terlanjur berjanji kepadanya kalau aku akan menemaninya dalam waktu sebulan ini saja." Dengan sangat gugup dan terbat
Pukul jam 03.00 dini hari, tiba-tiba saja Cahaya terbangun. Dengan perlahan gadis itu mulai mengerjapkan mata dan membukanya dengan lebar. Dirinya kini mulai mengingat-ingat kejadian yang semalam. Seketika itu ia pun menoleh ke arah samping dan mendapati tempat itu dalam keadaan kosong tanpa adanya sosok suaminya di sana. Kemudian ia menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan waktu masih jam 03.00 pagi. Lalu sembari tersenyum kecut ia berkata, "Ternyata ini semua bukanlah mimpi. Dan tidur di mana dia sekarang?" Raut wajah gadis itu kembali murung. Pada awalnya ia berharap semua kejadian tadi adalah hanya sebuah mimpi buruk saja. Namun, semua ini nyata. Lagi-lagi ia tertawa miris. "Hahaha ... bodoh sekali kamu, Cahaya! Palingan juga dia pergi ke tempatnya si Cellina. Mending sekarang aku sholat tahajud saja." Tanpa berpikir panjang lagi, kemudian gadis yang sedang dilanda kesedihan itu pun beranjak dari tempat tidurnya. Ia berniat untuk pergi ke kamar mandi dan akan mengamb
"A-apa?! Ca-cahaya istri kamu?" Sontak saja Aditya terpekik kaget melotot ke arah Langit. "Kamu jangan bercanda deh, Lang!" lanjutnya sambil terkekeh canggung. "Siapa juga yang sedang bercanda? Kalau kamu tidak percaya tanyakan saja pada Cahaya," jawab Langit dingin. Pria berkemeja krem itu menoleh ke arah gadis yang sedang dicekal tangannya oleh Langit. "Apakah itu benar, Cahaya? Kalau kamu ini adalah istrinya Langit?" tanyanya merasa tak percaya. Cahaya yang masih tetap terdiam menganggukkan kepalanya dengan pelan. Sebagai tanda kalau apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu adalah benar. Sehingga membuat Langit kini tersenyum sinis padanya. "Sudah jelas, 'kan? Jadi, mulai sekarang tolong jauhi Cahaya!" tukasnya tegas. Lalu sembari menarik tangan Cahaya, lelaki itu langsung meninggalkan Aditya yang masih diam mematung karena merasa sangat syok ketika mengetahui bahwa wanita yang ia sukai selama ini sudah mempunyai suami. Dan lebih parahnya lagi suaminya itu ternyata ada