"Aduh, Om. Sakit. Pelan-pelan masukinnya!" pekik Sania membuat Clarissa, anak Dewa yang kebetulan lewat di depan kamar sang ayah langsung menghentikan langkah.
"Habis sempit banget, San. Aku udah nyoba tapi tetap nggak bisa masuk!" Terdengar suara Dewa membuat anak perempuannya meneguk saliva dengan susah payah.
"Aduh!! Kalo nggak bisa jangan dipaksa dong, Om. Memangnya Om pikir nggak sakit!!"
"Iya, sabar. Namanya juga masih baru dan belum pernah dipake!"
"Udah, ah, Om. Aku nggak kuat, sakit banget."
Carissa bergidik ngeri membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh ayah juga Sania ibu tirinya, yang seharusnya siang tadi bersanding dengan Kevin--adiknya yang paling bungsu.
Namun, di detik-detik sebelum acara sakral itu dimulai, seorang perempuan dengan perut membesar menghentikan rombongan pengantin yang sudah siap-siap berangkat menuju rumah mempelai perempuan.
"Aku sedang mengandung anaknya Kevin, Om. Jadi tolong jangan nikahkan dia dengan Sania. Bagaimana nasib anak yang sedang aku kandung jika Kevin sampai menikah dengan perempuan lain!" jerit perempuan bernama Lisa itu seraya bersimpuh di hadapan Sadewa.
"Kevin, apa benar kamu yang menghamili perempuan ini?!" Dengan sorot mata tajam pria berusia empat puluh lima tahun itu menatap sang anak, mengepal tangan menahan emosi serta kecewa.
"Maaf, Ayah. A--aku..."
"Anak s*al*n!!" Sebuah tinju mendarat di rahang pria berkulit putih itu hingga dia terhuyung tidak bisa menyeimbangkan diri.
"Kenapa kamu minta dinikahkan dengan Sania kalau kamu sudah punya kekasih dan sedang mengandung anak kamu?!"
"Maaf, Ayah. Aku nggak tahu kalau Lisa sedang mengandung anakku."
"Aku sudah memberitahu kamu berkali-kali, Kevin. Tapi kamu tidak percaya kalau bayi yang aku kandung adalah darah daging kamu!" sanggah si wanita sembari menyusut air mata.
"Nikahi dia, Kevin. Jangan jadi l*ki-l*ki pengecut!!"
"Tapi, bagaimana dengan Sania, Ayah. Pasti dia sudah bersiap-siap di rumahnya. Dia akan kecewa jika aku tiba-tiba membatalkan pernikahan kami. Keluarganya juga pasti merasa malu, Yah!!"
Sekali lagi Sadewa mendaratkan tinju di wajah putranya, merasa begitu kecewa dengan apa yang sudah dilakukan oleh anak yang sudah dia besarkan sendiri selama dua puluh empat tahun itu.
Sambil memijat kening dia masuk ke dalam mobil, mengendarainya perlahan menuju rumah calon menantunya ingin memberitahu kabar tersebut.
Pria dengan wajah penuh kharisma itu meneguk saliva dengan susah payah ketika sampai di depan rumah calon besannya dan melihat sudah ramai sekali tamu undangan yang datang. Dia bingung harus berbuat apa, karena tidak mungkin tiba-tiba membatalkan acara yang sudah dirancang sedemikian rupa.
"Lho, Pak Dewa. Kok datangnya cuma sendirian? Mana Nak Kevin dan rombongan?" tanya Romi--ayah Sania sambil mengedarkan pandangan mencari calon mempelai pria.
"Kevin tidak bisa datang. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena sudah gagal mendidik anak saya. Dia tidak jadi menikahi putri Bapak karena ternyata dia sudah menghamili perempuan lain. Sekali lagi saya minta maaf!!"
Romi melungguh lemas mendengar kabar buruk dari lelaki yang notabene adalah bosnya itu. Dia merasa sakit hati karena telah dipermalukan serta dipermainkan.
"Mau di taruh di mana muka saya, Pak?! Tamu undangan sudah hampir datang semuanya. Pengantin perempuannya juga sudah dirias. Ya Allah..." Romi menangis tersedu sambil mengusap dada berusaha sabar menghadapi segala kenyataan pahit yang tengah terjadi.
"Saya akan menikahi putri Bapak. Saya yang akan menggantikan posisi putra saya, supaya Bapak dan Sania tidak menanggung malu."
Romi terkesiap dengan mata membola mendengar ucapan bosnya. Mana tega dia menikahkan anak perempuan satu-satunya dengan pria yang usianya hampir sama dengan dirinya. Hanya terpaut satu tahun saja, dan belum tentu Sania juga mau menerima Sadewa sebagai mempelai pengganti putranya.
"Ini demi nama baik Bapak sekeluarga. Saya berjanji tidak akan menyentuh putri Bapak sampai dia mendapatkan laki-laki yang layak untuknya dan akan menceraikan Sania jika ada pria yang tulus menjaga dan menyayangi Sania."
"Pernikahan itu bukan sebuah mainan, Pak Dewa. Pernikahan itu ikatan sakral," tampik Romi.
"Pak, ini acaranya mau dimulai kapan? Soalnya saya juga ada jadwal di tempat lain setengah jam lagi!" Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, dan dengan langkah cepat Sadewa mengikuti pak penghulu, membicarakan masalah pergantian nama calon mempelai laki-laki dan segera mengganti pakaiannya dengan baju pengantin.
Air mata mengalir deras di pipi Sania ketika mengetahui kalau Kevin tidak jadi menikahi dia dan malah harus menikah dengan calon mertua. Meski sakit hati, dia berusaha menerima kenyataan pahit tersebut, berjalan gontai keluar dari kamar menemui laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suaminya.
"Kirain nikah sama anaknya, ternyata nikahnya sama bapaknya. Duh, ternyata matre juga ya si Nia. Mau aja nikah sama om-om. Jadi sugar baby!" bisik salah seorang tamu membuat telinga Sania terasa memanas, namun, dia berusaha untuk tidak terpancing emosi, apalagi sampai memaki orang yang sedang menggosipkannya.
Biarlah! Mungkin ini sudah takdir yang digariskan Allah untukku, karena harus menikah dengan calon mertua.
Walaupun sakit, aku tetap akan berusaha menjalani rumah tangga ini, karena pernikahan itu bukan sebuah mainan. Mungkin titian takdirku harus seperti ini, tapi aku yakin bahwa sesungguhnya Allah sedang menyiapkan skenario indah untukku ke depannya. Sania membatin sendiri, mengutkan hati agar tidak merasa terlalu perih.
Dengan tangan gemetar perempuan dengan riasan sederhana juga balutan baju pengantin itu menayalami tangan Sadewa, mencium takzim bagian punggungnya kemudian seraya menitikkan air mata.
***
"Huh, San. Aku sampai keringetan!" Dewa meletakkan kembali sepatu yang dengan susah payah iya pakaikan di kaki istrinya kemudian menarik beberapa lembar tissue dan mengelap keringat yang menitik di dahi.
"Padahal bagus banget loh, Om. Aku suka modelnya." Sania mengerucutkan bibir manja.
"Besok kita nyari di mol. Kamu mau berapa? Nanti aku belikan."
"Nggak usah, Om. Terima kasih."
"Jangan panggil aku om terus dong, San. Aku ini 'kan sekarang sudah menjadi suami kamu!" Sadewa menatap lamat-lamat mata sang istri, melihat ada luka begitu dalam di sorot matanya, membuat dia kembali diselimuti rasa bersalah karena tidak mampu mendidik sang putra.
"Ya sudah, terserah kamu mau panggil aku siapa. Yang penting kamu merasa nyaman saja."
Sesaat suasana kamar berubah menjadi hening. Sadewa beranjak dari tempat tidur, mengayunkan langkah menuju pintu dan keluar dari kamar pengantinnya.
Tanpa diperintah, dua bulir air bening meluncur begitu saja membasahi pipi Sania. Dia merasakan rasa sakit teramat dahsyat akibat luka yang ditorehkan di hati oleh sang kekasih. Kevin, lelaki dengan sejuta janji yang berhasil menanamkan cinta begitu dalam di dinding sanubari, ternyata hanya seorang pembual. Tega mempermalukan dia, bahkan sampai harus menjalani pernikahan dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya.
Sania merebahkan bobot perlahan, menarik selimut menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan daster lengan pendek karena dia pikir Sadewa sekarang ini sudah sah menjadi suaminya, jadi dia berani menanggalkan gamis serta kerudung saat berada derdua di dalam kamar.
Tidak lama kemudian terdengar suara derit pintu terbuka. Sania segera memejamkan mata sebab belum siap memberikan haknya kepada sang suami terlebih lagi ia sudah menganggap Sadewa seperti ayahnya sendiri.
"Kamu sudah tidur, Sayang?"
Sania terkesiap saat mendengar suara yang tidak asing baginya. Dia memutar badan dan segera beranjak bangun melihat Kevin sudah berada di dalam kamar.
"Apa yang kamu lakukan di kamar ini, Kevin?!" Wajah Sania terlihat pucat ketika lelaki yang telah menancapkan luka begitu dalam kian mendekat, dan dia terus berusaha meraih apa saja lalu ia lemparkan ke tubuh Kevin.
"Om Dewa tolong!!" teriak Sania dengan sekuat tenaga.
"Nggak usah teriak-teriak, Sayang. Ayah sudah pergi. Sekarang jatahnya kita berdua menghabiskan waktu bersama!" Seringaian Kevin benar-benar membuat Sania merasa begitu ketakutan, apalagi saat ini jarak mereka kian dekat.
Sekuat tenaga perempuan berambut cokelat itu mendorong tubuh sang anak tiri, berusaha melepaskan diri dari kungkungannya namun Kevin terlihat begitu beringas dan tidak membiarkan Sania lepas. Dengan Kasar pria bermata tajam tersebut membanting tubuh Sania ke ranjang, merenggut paksa pakaian yang sedang dikenakan juga mendaratkan tinju hingga Sania terkapar tidak berdaya.
Sadewa memutar balik kendaraan karena tiba-tiba merasa gelisah. Dia terus saja memikirkan sang istri yang dia tinggal bersama anak-anaknya di rumah, membatalkan pertemuan dengan kolega yang menghubunginya dan meminta dia untuk bertemu saat itu juga, padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam.Perasaan resah yang terus saja menyelimuti hati membuat dia memutuskan untuk kembali. Tidak masalah jika harus kehilangan investor, asalkan tidak terjadi sesuatu kepada Sania, wanita yang baru dia nikahi beberapa jam yang lalu.Dengan mengayunkan langkah cepat Sadewa menaiki anak tangga menuju kamarnya, dan debaran di hatinya kian bertambah saat mendengar suara aneh di dalam kamar."Apa yang sedang kamu lakukan, Anak S*alan!" Tanpa basa-basi Sadewa menarik tubuh putranya dari tubuh Sania, menyeretnya keluar lalu menghadiahi pukulan tanpa ampun."Siapa yang mengajarkan kamu untuk berbuat asusila, Kevin?! Sania itu istri ayah kamu, wanita yang wajib kamu hormati!" sentak Sadewa dengan
POV Sania.Berjalan melewati Om Dewa yang sedang menggulung lengan kemeja, hatiku teriris sakit merasa dipermainkan oleh dia juga putranya.Kemarin, aku dipermalukan di depan semua orang oleh Kevin, sampai-sampai dicap sugar baby karena harus menikah dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahku. Dan semuanya tidak berakhir sampai di situ. Kevin berusaha merenggut paksa kehormatanku tepat di malam pertama aku menjadi ibu tirinya, sampai aku merasa sedikit traum akibat ulahnya itu.Jika Om Dewa terlambat beberapa menit saja, mungkin saat ini hidupku sudah hancur sehancur hancurnya.Sekarang, Om Dewa yang menancapkan luka di dada, dengan cara mendatangkan istri tuanya ke rumah yang kami tinggali.Kenapa titian takdir hidup jadi penuh duri yang malukai, Tuhan. Sebenarnya apa yang sudah aku lakukan sehingga Engkau menghukum diriku seberat ini?Duduk di kursi balkon, menatap dedaunan yang mulai meranggas di jalanan komplek. Gersang seperti hati ini. Tanpa terasa air bah nan asin sudah
Buru-buru turun dari tempat tidur, menutup jendela dan aku lihat ada dua orang berbaju serba hitam serta berkacamata sedang menatap ke arah kamar Om Dewa. Aku lekas menutup tirai rapat-rapat juga mengunci pintu kamar, takut ada yang masuk ke dalam bilik dan berbuat jahat kepadaku.Tok!Tok!Tok!Aku terkesiap ketika mendengar suara nyaring pintu diketuk."Lindungi aku, ya Allah," ucapku menahan takut luar biasa.Keringat sebesar-besar biji jagung mulai menyembul dari balik pori-pori, tenggorokan mendadak kering dan tubuh mulai gemetar."San, kamu ada di dalam 'kan?" Terdengar suara Clarissa memanggil namaku.Lekas berlari ke arah pintu, memutar anak kunci dan segera menyuruh Clarissa untuk masuk ke dalam kamar dan kembali menguncinya kembali."Ada apa, San? Kok wajah kamu pucet banget?" tanya Clarissa terlihat begitu khawatir melihat keadaan diriku."Ada yang mengawasi kamar ini. Tadi aku dapat telepon misterius, dan dia juga mengirimkan pesan berupa ancaman kepadaku!" Aku menjawab se
Sadewa membuka mata perlahan, tersenyum penuh arti saat melihat seprai kamarnya yang sudah acak-acakan dan ada bercak merah di sana.Pemilik rahang tegas serta wajah penuh kharisma itu terus saja menyunggingkan bibir bahagia, karena mendapatkan apa yang tidak pernah ia dapatkan dari Veronika dulu. Wajahnya terlihat lebih ceria, semangat dalam dada kian membara menyambut pagi dengan penuh rasa suka cita.Ditengoknya jam yang tergeletak di atas meja, dan ternyata sudah pukul lima pagi.Tidak lama kemudian Sania keluar dari kamar mandi, berjalan dengan hati-hati Manahan nyeri akibat perbuatan sang suami.Lagi, Sadewa tersenyum bahagia, apalagi ketika melihat jejak cinta di leher Sania.“Om Dewa kenapa pagi-pagi udah senyum-senyum begitu. Masih sehat ‘kan?” tanya Sania sedikit ragu.“Enggak, Sayang. Terima kasih untuk yang semalam.”“Ish!! Jangan dibahas. Aku malu. Mendingan sekarang Om mandi dan kita salat!”“Siap, Bos!!”Sadewa segera mengambil handuk yang diulurkan oleh istrinya, menga
Sambil bersenandung riang perempuan berusia dua puluh dua tahun juga salah satu lulusan terbaik di pesantren tempat dia menimba ilmu dulu segera berganti pakaian, memoles sedikit lipstik di bibirnya membuat pria yang sedang duduk di bibir ranjang kian terpesona.“Om Dewa nggak ganti baju?”“Aku begini saja, San. Masih keliatan tampan, kok!” seloroh Sadewa direspons dengan kerucutan bibir oleh istrinya.Walaupun terasa sedikit malas dan lelah si pemilik tubuh atletis berjalan keluar, menggandeng tangan Sania menuruni anak tangga menuju lantai dasar.“Kaya kereta, gandeng terus!!” celetuk Clarissa ketika melihat tangan ayah serta ibu tirinya saling menggamit satu sama lain.Mendengar ucapan si sulung wajah Sadewa langsung memerah tapi bukan karena marah. Clarissa juga mulai berani meledek sang ayah karena semenjak menikah lelaki yang teramat dia hormati tidak lagi mudah tersulut emosi. Banyak sekali perubahan positif yang dia rasa, karena kehadiran Sania sebagai ibu tirinya justru membu
“Iya, Pak.”Mereka berdua kemudian pergi ke sebuah pusat perbelanjaan, menghampiri toko berlian paling terkenal di Jakarta dan membeli kalung berliontin hati untuk Sania.Semoga saja istriku senang dengan hadiah ini. Gumam Sadewa dalam hati.“Kamu kembali ke kantor naik taksi onlen saja, Lia. Saya mau pulang ke rumah!” Sang pemilik alis tebal itu melirik benda bulat berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangan, karena merasa sudah lama sekali berada di luar rumah meninggalkan Sania.Masih jam satu siang. Tapi rasanya sudah kangen banget sama Sania. Gumamnya lagi.Emilia mengernyitkan dahi melihat perubahan aneh bosnya. Di mata wanita berambut sebahu itu Sadewa terlihat lebih fresh, tidak segalak biasanya dan bahkan ketika dia melakukan kesalahan karena lupa membawa salah satu berkas yang dibutuhkan sang atasan tidak marah sama sekali. Dia hanya ditegur, lebih tepatnya diingatkan.“Next time jangan teledor kalau bekerja.” Hanya itu yang dikatakan oleh Sadewa, dan itu membuat se
Karena tangis sang istri tidak kunjung berhenti, Sadewa memutuskan untuk membopong tubuh Sania dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Turunin aku, Om. Kalau nggak aku teriak!” ancam perempuan dengan gamis bercorak bunga lili tersebut seraya memukuli dada suaminya. Sadewa segera masuk ke dalam mobil, menyalakan kendaraan roda empatnya meninggalkan parkiran kafe membawa sang istri pulang ke rumah. “Aku nggak mau tinggal di sini. Aku mau pulang!” rengek Sania seperti anak kecil yang mulai tidak kerasan tinggal di tempat yang baru. Lagi, Sadewa menggendong tubuh mungil istrinya masuk ke dalam rumah, merebahkannya di atas kasur setelah sampai di dalam kamar. “San, maaf. Aku tidak mengizinkan kamu pulang ke rumah orang tua kamu. Kita selesaikan masalah ini secara dewasa dan jangan libatkan orang tua. Kamu itu istri aku. Jadi pulangnya ke sini bukan ke rumah Pak Romi. Tolong berhentilah menangis. Aku tidak sanggup melihat kamu terus seperti ini, Sayang.” Pemilik rahang tegas serta wajah p
Sania berjalan mendekat, mengambil tangan Romi lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat. Dia kemudian mempersilahkan ayahnya untuk masuk dan duduk di ruang tamu.“Ayah tumben mampir. Ada apa?”“Ayah kangen sama kamu, Nia. Perasaan Ayah tiba-tiba tidak enak. Makanya Ayah datang ke sini, ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Apa Pak Dewa berbuat macam-macam sama kamu?”“Enggak,Yah. Om Dewa baik banget sama aku, kok. Dia juga baru banget beliin aku kalung berlian. Iya, ‘kan, Om?” Sania menatap wajah suaminya dan dibalas senyum kaku oleh Sadewa.Entah mengapa pria di sebelahnya mendadak canggung, juga takut tiba-tiba Romi menanyakan janji yang sudah dia ucap sebelum menikahi Sania.“Begini, Pak Dewa. Emm ... Nak Dewa.” Pria satu generasi tersebut terlihat bingung harus memanggil menantunya dengan panggilan apa.“Panggil Dewa saja, Pak. Saya ini ‘kan menantu Bapak sekarang.”Riak wajah Romi seketika langsung berubah mendengarnya. Dia terlihat tidak suka, namun apa mau dikata. P
Tangis sahabat seperjuangannya itu semakin pecah ketika melihat sang mertua datang. Sadewa ikut duduk di lantai, menatap lemas dengan air mata sudah merebak dari balik kelopak.“Maaf, Pak. Silakan anak-anaknya diazani dulu!” Seorang perempuan berseragam khas perawatan keluar sambil tersenyum, menyuruh Aditya segera masuk untuk mengazani anak-anaknya.Sambil menghapus air mata laki-laki berkumis tipis itu berjalan masuk, menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah dan menciumi pipinya sambil menangis.“Jangan cengeng, Abang. Masa seorang penembak jitu nangis sesenggukan begini?” ucap Clarissa sembari menerbitkan senyum.“Iya, Ca. Saking jitunya Abang nembak, sekali jadi langsung tiga! Makanya Abang terharu dan melihat perjuangan kamu melahirkan ketiga anak kita. Padahal, dokter kemarin Cuma bilang kalau kamu hamil kembar. Abang pikir Cuma dua. Ternyata malah tiga!” Aditya kembali mengusap air matanya.“Alhamdulillah, Bang. Rezeki kita langsung dikasih amanah banyak sama Allah. Ting
“Maaf, Sayang. Abang begitu mengkhawatirkan kamu soalnya. Plis jangan nangis. Abang liat kamu kesakitan saja sudah stres, ditambah liat kamu nangis. Abang minta maaf kalo Abang salah. Tolong jangan menangis. Mana yang sakit biar Abang elus-elus.” Aditya terus saja mencerocos sambil mengusap perut gendut istrinya.“Sakit semua, Bang!” Wanita berambut ikal itu melingkarkan tangan di pinggang, mencengkeram baju yang tengah dikenakan sang suami sambil meringis menahan sakit yang semakin terasa.“Minum air hangat dulu, Kak. Biar rileks!” Sania berjalan sambil menyodorkan segelas air putih hangat dan langsung disambar oleh menantunya, ditenggak habis hingga tersisa gelasnya saja.“Istri gue ngasih minum buat anak gue! Kenapa jadi lo yang minum?!” Sadewa menjitak kepala sahabatnya itu.“Maaf, Wa. Aku terlalu grogi!”“Wa...Wa... Dasar mantu durjana, sama mertua sendiri panggil nama. Nanti gue coret kamu dari daftar keluarga!” protes sang pemilik rahang tegas sambil menjitak kepala Aditya seka
“Naik motor, ya Bang. Ica pengen peluk Abang dari belakang!”Lelaki berambut cepak itu menghela napas berat, akan tetapi dia tidak berani menolak permintaan si istri, karena saat ini Clarissa tengah berbadan dua dan perasaannya begitu sensitif. Ia pun akhirnya mendorong sepeda motor miliknya keluar, menyuruh Clarissa merapatkan tubuh serta memeluknya dan segera melajukan kendaraan roda dua miliknya menuju tukang sate langganan.Clarissa tersenyum sembari menyenderkan kepala di punggung sang suami, merasa begitu nyaman serta bahagia hidup bersama sahabat ayahnya yang kini sudah sah menjadi suaminya.Tidak seperti saat membina biduk rumah tangga dengan David dulu, yang penuh luka juga liku. David tidak pernah berlaku manis, bahkan sekedar tersenyum kepadanya pun tidak pernah. Hanya luka yang selalu ditorehkan, baik di sanubari maupun fisiknya.“Terima kasih, ya Bang,” bisiknya seraya mempererat dekapan.“Untuk apa?” Raditya menggenggam jemari Clarissa yang tengah bertengger di pinggang.
Pagi-pagi sekali Sania sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta putranya. Kebetulan hari ini Mbak Resti izin libur, karena suaminya sedang kurang sehat jadi Sania harus menyiapkan segala sendiri.“Assalamualaikum, selamat pagi bidadari,” sapa Sadewa sembari melingkarkan tangan di pinggang sang istri.“Emangnya aku secantik bidadari, Yah?”“Lebih cantik dari bidadari malahan. Kamu itu luar biasa. Wanita tercantik yang pernah aku temui juga perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Kamu adalah jantung serta napasku, dan tanpamu mungkin aku tidak akan sanggup lagi untuk hidup serta berdiri. Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu curahkan kepadaku, terima kasih juga karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku!” bisiknya mesra di telinga istrinya.Saat sedang santap pagi terdengar suara pintu diketuk nyaring. Sania segera keluar untuk melihat siapa yang datang, dan ternyata Malvin—anaknya Darmi yang bertamu. Sania mengulas senyum tipis kepada anak mantan asisten
“Sudah, buruan dimakan. Biar dedeknya tambah besar!”“Iya, Yah. Ayah juga sebaiknya cepat makan. Nanti Embun habisin loh, jatahnya kalau Cuma diliatin doang.”“Kalau mau silakan habiskan. Kalau kamu minta sekalian dibeli sama kios-kiosnya juga akan aku turuti.”“Ish! Memangnya mau buat apaan?” Sania mencebik. Perempuan berhijab ungu itu segera memotong makanan berbentuk bulat dengan isi tertelan daging tersebut dan lekas menyantapnya dengan semangat, hingga keringat sebiji-biji kacang hijau menitik di dahinya.Buru-buru Sadewa menarik dua lembar tisu, mengelap peluh yang membuat istrinya semakin terlihat bertambah menawan sambil tidak henti-hentinya mengagumi wajah cantik Sania.“Kenapa Ayah liatin aku seperti itu?” Sania menghentikan aktivitasnya menyantap bakso karena terus diperhatikan.“Kamu cantik. Aku mencintai kamu!”“Aku tau, kok, kalau Ayah begitu mencintai aku.”“Aku mencintai kamu lebih dari yang kamu tahu, Mbun. Cinta di hati ini begitu besar, dan bahkan tiap detiknya kian
“Abang ngapain? Kok malah olah raga?” tanya Clarissa seraya menatap bingung ke arah suaminya.“Sayangku itu bagaimana sih? Tadi katanya Abang suruh pemanasan. Sekarang malah ditanya lagi ngapain?”Hah? Mulut perempuan berambut ikal itu menganga lebar.Seriusan ini laki nggak mudeng pemanasan? Pikirnya.“Bang, maksud aku pemanasan itu bukan seperti itu. Tapi...Ah, masa Abang tidak tahu. Kan aneh, Abang ini duda, masa nggak paham pemanasan sebelum perang?” Kedua bulat bening milik Clarissa terus saja menatap wajah Aditya yang terlihat basah oleh keringat juga sudah ngos-ngosan.“Sebenarnya, Abang belum pernah perang sebelumnya, Ca. Abang...” Dia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Abang dulu belum sempat kikuk-kikuk sama mantan istri Abang. Dia menolak disentuh sama Abang, dan ternyata setelah beberapa bulan usia pernikahan kami, Abang baru tahu kalau dia sedang mengandung benih orang lain!”“Ya Allah, Bang. Miris sekali kisah cinta Abang dulu. Berarti Abang duda perjaka, don
“Saya terima nikah dan kawinnya Clarissa Arabella binti Veronika untuk diri saya, dengan mas kawin tersebut tunai!” Dengan sekali tarikan napas dan semangat empat lima Aditya mengucap ijab qobul di depan penghulu juga beberapa orang saksi, memindahkan tanggung jawab serta dosa-dosa wanita yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya.Clarissa menghampiri lelaki yang kini menyandang gelar suami, menyalami dan mencium bagian punggungnya dengan takzim, disambut ciuman hangat di kening dan Aditya segera membacakan doa setelah ijab kabul.“Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa menghalalkan anak kamu, Wa,” ucap Aditya ketika kedua mempelai disuruh sungkeman.“Coba sekali lagi kamu panggilan saya apa?” Kedua manik hitam lawan bicaranya melotot, menatap sang menantu yang tidak ada sopan-sopannya sama sekali.“Lah, saya harus panggil apa, Wa?”“Wa! Wa! Hargai saya sedikit lah, Dit. Saya ini ayahnya Ica dan Ica istri kamu. Otomatis kamu sudah menjadi menantu saya. Harusnya kamu panggil saya ayah. Ja
Kevin tertawa mendengar kabar tersebut, merasa lucu saja jika sang kakak benar-benar menikahi sahabat ayahnya itu.“Kenapa kamu ketawa seperti itu, Kevin? Ada apa? Memangnya nggak boleh, saya nikah sama Ica?” Timpal Aditya yang ternyata sudah berdiri tidak jauh dari tempat kevin serta Sania bercengkerama.“Ya lucu saja, Om. Om kan ... ya sudahlah. Asalkan Om setia dan menyayangi kakak saya. Usia nggak jadi penghalang. Yang penting saling mencintai!” Kevin menjawab sambil menahan tawa.“Tumben kamu lempeng, Vin?”“Kan sudah berguru sama Om waktu saya dipenjara!” kekehnya lagi.Tidak lama kemudian Clarissa keluar sambil menggendong Angel putrinya. Senyum terkembang di bibir merah perempuan itu, apalagi ketika melihat Lisa bersama putrinya datang bertamu untuk pertama kalinya.“Alhamdulillah akhirnya kamu mau main ke rumah juga, Sa. Kakak seneng kamu dateng,” ucap wanita berambut ikal itu seraya menyalami sang adik ipar.“Terima kasih, Kak.”“Hayo masuk ke dalam. Kita ngobrol-ngobrolnya
"Silakan lakukan kalo Mama berani. Aku pastikan Ayah dan Bang Adit tidak akan memberi ampun sama Mama, apalagi sampai melepaskan Mama!" Clarissa mengancam balik. Aditya yang merasa namanya disebut dengan embel-embel 'Bang', tersenyum semringah dan langsung memasang wajah serius serta jemawa. "Maaf, ibu yang pake baju hijau!" Dia menunjuk salah seorang perempuan yang tengah merekam kejadian dan memintanya untuk menghampiri dirinya. "Ma--maaf, Pak. Saya cuma iseng-iseng merekam. Kalo Bapak tidak berkenan akan saya hapus!" Wajah si ibu tampak ketakutan. "Tidak perlu takut, Bu. Saya seorang anggota polisi dan saya akan meminta video yang ibu rekam tadi sebagai barang bukti untuk menjebloskan mantan mertua calon istri saya ke penjara," ucap Aditya kemudian, membuat mamanya David bertambah ketakutan. "Pak, saya tadi cuma bercanda loh. Saya nggak serius ngancem Ica. Lagian Enjel itu kan cucu saya. Mana mungkin saya berani menculik dan menjualnya. Tolong jangan penjarakan saya, Pak Adit.